Disukai
2
Dilihat
758
Henkjan & Hantu Pabrik Gula (1)
Sejarah

SIBUK. Suara berat mesin giling dan suara nyaring uap dari lokomotif pengangkut tebu terdengar, udara begitu pengap, tidak cuma keringat. Air mata juga turut bercucuran menahan kepul uap, para pekerja lalu-lalang, baik yang sudah berumur dan masih bocah.

"Kerjaaaaaa! kerjaaaa!" teriakan seorang mandor mengagetkan beberapa pekerja yang masih kecil, tubuh cungkring dan perut buncit mereka gemetaran. Orang-orang panggil dia mandor Codet karena luka codet melintang di wajahnya, tubuhnya tambun dan pendek. Kemana-mana membawa rotan buat memecut atau menunjuk-nunjuk orang.

Mandor Codet menunjuk ke arah mesin penggiling lalu dia kembali berteriak, "Giling yang benar! jangan malas, kalau tidak kejar target yang kena yo aku!"

Kemudian dia berkeliling pabrik, dengan sengak terus marah-marah hingga langkahnya terhenti waktu melihat sosok yang asing. Seorang pemuda dengan stelan beskap hitam yang jongkok di pojokan, kelihatan serius mengamati sesuatu di bawah mesin uap. Mandor Codet tentu langsung mendekati sosok itu, dia mencolek punggung berlapis jas dengan rotan di tangannya.

"Sampeyan siapa?" tanya mandor Codet, sosok itu berbalik dengan wajah datar. Sorot matanya mengisyaratkan rasa terganggu.

Kemudian, dia menjawab dengan tidak kalah sombong, "Henkjan, saya mahasiswa STOVIA1 yang diundang kemari untuk studi lapangan"

Mendengar itu, ekspresi ketus mandor Codet berubah jadi ramah. Dia tersenyum dan bicara dengan nada yang lebih sopan, "Oh, sinyo mantri dokter yang diundang tuan Kohen ya?" tanya mandor Codet. Henkjan terntu saja mengangguk, kemudian dengan tak acuh dia melenggang pergi dan memantau tiap sudut pabrik.

Baru saja mandor Codet membalikan badan, pintu pabrik dibuka dengan kasar. Pemilik pabrik, tuan Hughes masuk dengan gusar. Tubuh tinggi dan gemuknya tertatih, wajahnya yang putih kelihatan merah padam.

"Codet, sini kamu!" teriak tuan Kohen, mandor Codet meringis 'mampus aku' batin mandor Codet sambil dengan paksa memasang cengiran dan menghampiri majikannya.

"Tebu dari Buitenzorg2 sudah datang?"

"Siap! sudah tuan Hughes... pokoknya beres!" mandor Codet tersenyum riang, kemudian mandor Codet menunjuk ke arah Henkjan"Oh ya, itu ada sinyo mantri dokter yang diundang tuan Kohen kemari!"

Tuan Hughes mengikuti arah jempol mandor Codet, seketika kedua alis ubanan di wajahnya mengkerut begitu melihat Henkjan yang kelihatan bersujud di dekat mesin giling besar, sambil keheranan dia berjalan mendekati Henkjan. Tuan Hughes berdehem, Henkjan yang mendengar suara tuan Hughes langsung bangkit.

Dia mengeluarkan sapu tangan dan membalut tangannya, dia menyodorkan tangan yang dibungkus sapu tangan putih itu untuk mengajak tuan Hughes bersalaman, "Saya Henkjan, salam kenal tuan..."

Tuan Hughes tertawa, "Mahasiswa kedokteran kok mainannya pabrik, ongkos dokter tidak cukup ya?"

Henkjan menggeleng, "Saya studi lapangan karena ganasnya pandemi " jawab Henkjan dengan kekesalan terpaut jelas di wajahnya meski ia masih mencoba tersenyum.

"Hmmm... memang sih, dua hari yang lalu banyak pekerja di sini yang tumbang kena ... apa itu?" tanya tuan Hughes, dia menoleh ke mandor Codet. Dengan begitu bangga dan dada yang terbusung, mandor Codet menjawab dengan lantang, "Siap! malaria!"

Henkjan mengangguk sambil mengeluarkan pena dan mulai menggulung lengan bajunya kemudian dia pakai untuk mencat kemudian dia menatap ke sekeliling, "Saya harap kedatangan saya bisa sedikit membantu anda... tuan" katanya.

"Oh ya?" tawa tuan Hughes semakin menjadi, "Kalau memang begitu, kamu ngapain intip-intip mesin? meneliti penyakit atau mau membocorkan rahasia perusahaan?"

Seketika senyuman Henkjan pudar. Wajahnya datar bukan kepalang, dia beralih dan berjongkok. Pelan-pelan meraih sesuatu di kolong mesin dan mengeluarkannya. Sebuah sesajen dengan canang daun pisang terangkat.

"Saya cuma penasaran dengan ini, siapa ya yang pasang?" kata Henkjan sambil menyodorkannya pada tuan Hughes, terlihat kepul asap tipis membumbung dari bakaran dupa dan cengkih, irisan pandan, serta patahan serai.

"Saya dari tadi keliling, tapi yang paling menarik adalah sesajen yang banyak dipasang..." kata Henkjan, satu-persatu sudut dia tunjuk. Tuan Hughes melongo, dia mengikuti arahan Henkjan. Barulah dia sadari banyaknya sesajen yang disimpan di tiap sisi pabrik.

Seketika tuan Hughes naik pitam, dia berteriak dengan suara kepalang keras, "SIAPA YANG PASANG BENDA SIAL INI?!", tuan Hughes merebut sesajen di tangan Henkjan dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Semua pekerja mendadak berhenti dan terdiam, mandor Codet ikut menciut.

Tanpa ragu, dilemparnya sesajen itu ke wajah mandor Codet, "Kamu yang pasang?" tanya tuan Hughes mengancam.

Mandor Codet menggeleng ketakutan, "ampun tuan Hughes! bukan saya tapi si Darmi!" katanya dengan nada terbata, ekor matanya menatap Henkjan berusaha meminta bantuan.

"Darmi siapa?" tanya Henkjan, mandor Codet menegak ludah sambil menoleh gemetaran ke arah Henkjan kemudian dengan suara gelagapan dia menjawab, "pekerja baru dari kampung, sinyo... katanya buat melindungi kita dari penyakit kutukan ini!"

"Kutukan? kutukan apa?" Henkjan bertanya dengan antusias, matanya berkilat menatap mandor Codet dengan penuh minat.

"Malaria! alam dan lelembut di tanah ini kirimkan penyakit buat manusia agar mereka kembali berkuasa... itu kata si Darmi!" kata mandor Codet.

Tuan Hughes geram, kemudian dia kembali dengan lantang bersuara, "Bodoh! Persetan dengan bangsa kalian tukang takhayul yang takut pada kabut- asap! kalau sampai saya lihat yang seperti ini lagi, aku pecat kalian semua!"

"Yakin, tuan? Sedang pandemi begini.. kalau tuan memberhentikan tenaga kerja tuan secara massal cuma gara-gara takhayul begini, nanti krisis makin susah loh..." Henkjan menyela, "lagipula sepertinya si Darmi ini betulan sakti, sejak dua hari kemarin tidak ada yang sakit lagi kan?" katanya.

Tuan Hughes mendelik marah pada Henkjann,"Kamu juga, mahasiswa banyak omong! Sok kritik orang yang sudah berumur.. ujungnya kalau kau tambah tua, goyah juga pola pikirnya!" katanya sambil berlalu pergi. Sebelum betul-betul keluar dari pintu, dia menendang sesajen yang ada di dekat pintu pabrik dan berteriak, "Barang siapa yang bikin sesajen buat lelembut tanah ini bakal berhadapan denganku! Mulai sekarang cabut semua sesajen yang ada!"Β 

Mandor Codet meringis, tubuhnya kendor sampai dia jatuh terduduk di lantai pabrik yang kotor. Kedua tangannya menutupi wajah sementara rotan tergeletak di sampingnya, "Sial... harusnya tidak aku dengar si Darmi!" omelnya. Henkjan ikut berjongkok sambil mepuk pundak mandor Codet, "Sudahlah pak Codet... tuan Hughes yang tendang sesajen kok malah bapak yang kesurupan?"

"Aiiish... sinyo tidak lihat, ini bahaya! kalau dipecat bagaimana nyo?" keluh mandor Codet.

Henkjan menghela nafas, dengan santai dia menjawab "Tidak akan berani, dia. Mana mau melepas pekerja sukarela.. upah kecil tapi ulet macam kalian?"

"Besok tak marahin si Darmi!" kata mandor Codet geram, Henkjan kembali tertarik mendengar nama perempuan itu.

"Darmi ini siapa sebetulnya, kok dia suruh kalian taruh sesajen?" tanya Henkjan.

Mandor Codet yang sudah tidak bergairah menjawab lesu, "ada lah, dia masih bocah... merantau kemari dari kampung, dia suruh pasang sesajen ini karena kata si mbahnya bisa tangkal penyakit..."

"Wah... pintar sih dia" Henkjan berdecak kagum, tentu saja mandor Codet langsung komplain sambil melirik sinis.

"Ah pintar apa! Wong Eropa dikasih sesajen… nggak ada nyambung-nyambungnya!" pekik mandor Codet, sejurus kemudian dia mengeluh sambil pasang tampang minta dikasihani, "Mulai besok gara-gara sesajen ini tuan Hughes bakal datang buat kontrol tiap hari..."

Henkjan kali ini tertawa terbahak-bahak, "Ah santai, Β lihat aja, dua atau tiga hari lagi kena tuah dia, bakal celaka… potong telinga saya kalau tidak kejadian, pak!"

"Ah yang betul, nyo?"

"Sumpah"

Seperti itulah, hari-hari mulai muram di pabrik. Biasanya yang mulai teriak pagi-pagi itu mandor Codet, sekarang makin parah gara-gara tuan Hughes ikut-ikutan. Seperti paduan suara, tuan Hughes jadi suara satu dan mandor Codet jadi suara dua. Para pekerja jadi ikut sakit kepala, termasuk tuan Kohen, meskipun posisinya tidak jauh dibawah tuan Hughes dia tetap kena semprot.

Buktinya sekarang, tuan Kohen sedang berjongkok di belakang mesin penggiling dekat lapangan. Lantaran dia orangnya ramah dan mudah bergaul, pemandangan dimana dia bercengkrama dengan pribumi sudah bukan hal asing lagi.

"Ih pusing, tuan... kepala saya koyok masuk ke dalem penggilingan..." keluh seorang kakek tua, dia telanjang dada, omongannya disahut beberapa pekerja yang ikut jongkok dan istirahat. Tuan Kohen memasang wajah masam, dia mengangkat cerutu dan mengisapnya.

"Gara-gara apa sih dia jadi sok rajin begitu?" tanya tuan Kohen kesal. Seorang pekerja yang masih kecil angkat bicara, "Gara-gara sinyo dokter kemarin..." jawabnya.

Tuan Kohen baru akan menimpali, tapi terpotong oleh teriakan histeris mandor Codet yang lebih menggelegar dari peluit uap, "Toloooooong tuan Hughes pingsan!"

Tuan Kohen langsung berdiri, diikuti para pekerja yang berbondong menggerumbungi tuan Hughes. Pria tua itu telentang di lantai, badannya kejang, wajahnya merah dan keringat bercucuran.

"Tuan! tuan!" tuan Kohen berusaha memanggil, dia menyentuh tubuh tuan Hughes yang begitu panas. Sejurus kemudian, kejangnya berhenti. Tuan Hughes tersadar, kemudian dia menjerit sambil menunju-nunjuk ke atas lalu kembali pingsan.

Ramai dan kacau, tubuh tuan Hughespun beramai-ramai dibopong ke rumah mbesaran3 yang terletak tidak jauh dari pabrik. Sambil menggotong tandu, samar tuan Kohen mendengar tuan Hughes tak henti meringis lirih, "Hantu! hantu!"

"Heh Codet!" panggil tuan Kohen, dia sesekali memperbaiki tanggulan di bahunya.

"Ya tuan?"

"Tolong panggil dia kemari!"

"Dukun tuan?"

"Bukan, tolol! sinyo dokter yang kemarin!" sahut tuan Kohen kesal, mandor Codet ikut terbawa emosi karena tubuh tuan Kohen yang lagi-lagi memberontak. Sebagian orang yang berdiri berusaha menenangkan si tua bangka itu.

"Loh tuan! jelas-jelas ini kesurupan lelembut, kok anda suruh panggil si sinyo kemarin?" keluh mandor Codet gusar.

Tuan Kohen menghela nafas panjang, lalu dia lanjut bicara sambil terengah-engah, "Suruh dia cari tahu kenapa ini terjadi... kok sepertinya gara-gara dia datang kemari di sini jadi makin parah?"

BERSAMBUNG

CATATAN KAKI

  1. STOVIA : School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah kedokteran untuk pribumiΒ 
  2. BUITENZORG : Bogor
  3. Rumah mbesaran : Rumah β€œbesar” , ditempati oleh administratur pabrik

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@darmalooooo : Terima kasih sudah mampir dan membaca yaa ^^
Sad ending😳 jangan asal nuduh pak Tua
Rekomendasi dari Sejarah
Rekomendasi