Disukai
1
Dilihat
1,234
SENANDIKA
Drama

“Bang, kau belum bangun? Ini sudah jam 6 loh. Nanti kau terlambat.” Teriak ibu membangunkanku.

“Iya bu, ini sudah bangun.” Sahutku.

“Ayo buruan, nanti terlambat.”

Aku pun bergegas bangun karena ku dengar suara ibu sudah sangat terburu-buru. Ketika aku melewati ruang dapur menuju kamar mandi, ku lihat ia sedang menyiapkan sarapan di atas meja dengan sangat terburu-buru. Aku pun mempercepat langkahku menuju kamar mandi.

Seusai ku bersiap-siap menggunakan seragam hitam putih khas mahasiswa baru, aku pun langsung menuju meja makan. Ku lihat ibu menyiapkan makanan sederhana, namun penuh dengan ketulusan.

Tak lama kau menyantap sarapan pagiku, terdengar suara pintu yang dibanting begitu keras. Aku pun terkejut, ku intip arah suara itu dari balik kain utih yang memisahkan dapur dan ruang keluarga. Terlihat ibu sedang mengusap pipinya, firasatku ia sedang menangis.

Setelah selesai dengan sarapanku, aku pun bergegas menuju kamar dan mengambil tas yang telah aku siapkan semalam. Tidak lupa aku berpamitan dengan ibu sebelum menuju kampus.

Selama perjalanan menuju kampus, hatiku tak hentinya bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, tak biasanya ibu berangkat kerja lebih lama dariku. Pukul 6 pagi ia sudah menyalakan motornya dan menuju lokasi tempat ia menyapu jalanan.

Mata kuliah dimulai pukul 8, aku tiba di kelas pukul 7.45, aku bergegas berlari dari lantai satu menuju lantai tiga. Keringatku bercucuran setibanya di kelas, beberapa teman mentertawakanku karena begitu terburu-buru, padahal dosen pun belum tiba di kampus.

Selama mengikuti kelas hari ini, aku merasa gelisah dan ingin cepat pulang ke rumah.

Seusai mengikuti kelas hari ini, aku langsung bergegas menuju rumah, tidak seperti teman yang lain, mereka berkumpul bersama anggota organisasi, juga yang berkumpul bersama dengan temannya untuk jalan-jalan ke tempat tongkorongan. Sedangkan aku, tanpa berpikir panjang langsung menancapkan gas menuju rumah.

Setibanya di rumah, aku langsung mengganti semua pakaian yang aku kenakan, karena besok akan digunakan lagi. Tak ada yang aneh sore ini. Aku bergegas menuju dapur karena perut ini sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Ku lihat makanan sudah tersedia lengkap di atas meja. “Pasti ibu membuatnya lebih awal karena kelelahan sepulang kerja tadi.” Gumamku dalam hati.

Usai menyantap hidangan sore itu, aku mencuci piring yang tekah ku gunakan, hal ini menjadi kebiasaan kami di rumah agar cucian piring tidak menumpuk.

Ketika aku menuju ke kamar, ku lihat sekilas ibu sedang tertidur pulas, nampaknya ia begitu kelelahan hari ini. Aku bergegas menuju kamar dan mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh dosen-dosen hari ini.

Ketika malam tiba, aku tak sadar ternyata sedang tertidur di atas tumpukan buku mata kuliah bersama dengan tugas-tugas yang hampir selesai ku buat.

Sembari aku membereskan kamar dari buku yang berantakan, terdengar suara makian dari kamar ibu, suara itu seperti suara bapak. Aku hanya terdiam dan lanjut merapikan semuanya.

Tak lama kemudian, ibu memanggilku untuk makan malam.

“Bang, sudah makankah? Jangan lambat makan, nanti mag.” Teriaknya dari balik pintu kamar.

“Iya, bentar.” Sahutku.

“Makan aja yang dulu yah, belum gajian.” Sahutnya lagi dengan nada sedikit tertawa.

“Iya.” Sahutku dari dalam kamar.

Setelah semua selesai, aku berjalan menuju dapur. Ku lihat ibu sedang makan malam juga sembari malamjun. Begitu ia sadar aku berada di belakangnya, ia pun sedikit bercerita kepadaku.

“Kuliah yang betu yah, jangan kasi malu orang tua.” Ucapnya dengan nada pelan yang membuatku bertanya-tanya di kepala.

“Iya.” Sahutku dengan nada sedikit keheranan.

“Nanti kalau sudah dapat kerja bagus, ibu berhenti sudah kerja. Kau nanti yang biayain adikmu sekolah sampai kuliah ya. Nanti kau yang kasi ibu uang lagi.” Ucapnya kembali dengan nada sedikit terisak.

Aku semakin bingung sebenarnya apa yang sedang terjadi di rumah ini. Aku tak menjawab perkataan ibu tadi, aku hanya melanjutkan makanku, walaupun di kepala ini penuh denga pertanyaan apa yang sedang terjadi.

Ibu beranjak dari meja, makannya telah selesai. Ia tak mencuci piringnya, ibu langsung meninggalkan piring itu di pencucian piring. Ia beranjak menuju kamar dan berbaring di kasur tipisnya, ia tidak tidur di ranjang karena kurang nyaman dengan ranjang itu.

Usai makan malam, aku mencuci piringku dan piringnya, tak merasa terbebani. Hanya saja aku sedikit heran pada situasi rumah yang berubah secara tiba-tiba.

Setelah semua selesai aku lakukan, aku masuk kembali ke dalam kamar. Sudah tak sempat lagi untukku mandi sore karena tak ingin membiasakan diri mandi malam hari.

Aku berbaring sambil bermain hp yang tidak seberapa canggih itu. Akan tetapi, di dalam kepalaku masih bertanya-tanya. Aku berusaha untuk berpikir tenang.

“Paling juga kelelahan, kan nanti bangun lagi jam tiga subuh seperti biasanya menyiapkan sarapan.” Gumamku dalam hati dengan sedikit menenangkan pikiran yang terus bergejolak.

Sementara aku asik bermain hp, tiba-tiba terdengar suara pukulan ke dinding begitu keras. Aku terkejut, tetapi tidak langsung keluar kamar. Berusaha memastikan dari dalam kamar suara apa itu.

Tidak lama kemudian, terdengar suara laki-laki memaki dengan nada tinggi.

“Asu semua orang di rumah ini. Ku bunuh kamu semua lama-lama.” Ucapnya dengan nada tinggi dan penuh kebencian.

“Bunuh. Bunuhlah kami semua.” Teriak seorang wanita dengan nada bergetar.

Tak menunggu lama, aku pun bergegas keluar dari kamar untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Begitu pintu kamar ku buka, aku terkejut melihat ibu sudah terduduk di lantai sambil meneteskan air mata.

Tanpa sadar aku pun membentak seisi ruang keluarga.

“Bisakah kalian sehari aja tenang. Capek aku dengan kalian tiap hari ribut aja.” Bentak ku dengan keras membuat semuanya terdiam.

Di ruangan itu ada dua saudari perempuanku yang ikut menyaksikan pertikaian itu.

Karena muak melihat kejadian itu, aku pun kembali menutup pintu kamar dan berusaha untuk terlelap dalam tidur. Tetapi hati tak bisa berbohong. Sesak napas dan derai air mata menusuk dengan perlahan sampai aku tertidur dengan pulas.

Dalam keheningan malam terdengar suara yang membuatku terbangun. Begitu ku lihat jam, ternyata masih pukul tiga subuh. Tidak lain dan bukan itu adalah ibu yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk kedua anaknya yang harus bangun pagi-pagi dan menempuh pendidikan.

Tak seperti biasanya aku melanjutkan tidurku, aku mengambil kembali hp dan memastikan jam masih menunjukkan pukul tiga subuh. Setelah itu aku malah bermain hp sampai pagi.

“Bang, tidak kuliah kah? Ini sudah pagi.” Terik ibu dari balik pintu kamar membangunkanku.

“Iya sudah bangun.” Sahutku.

Tanpa berlama-lama aku bergegas menuju kamar mandi.

Seperti biasa, ia juga membangunkan saudariku. Sudah menjadi kebiasaan, setiap si bungsu dibangunkan ia selalu membentak dan merengut kepada ibu. Aku yang tiap pagi melihat hal itu pun ikut geram dibuatnya. Tapi aku tetap melanjutkan diri untuk bersiap-siap.

Setelah aku sudah siap, aku pun menuju meja makan untuk sarapan sebelum berangkat kuliah.

Tak selang berapa lama, bapak lewat dari meja makan dan memaki sendirian. Entah siapa yang sedang ia maki.

“Mau ku tinggal saja semua. Goblok.” Ucapnya dengan nada pelan namun penuh penekanan.

Aku yang mendengarkan kalimat itu seolah-olah tak mendengarnya dan tetap melanjutkan sarapan.

Seusainya sarapan aku langsung berpamitan dengan ibu dan bergegas menuju kampus berbarengan aku mengantar si bungsu ke sekolah.

Tidak seperti hari sebelumnya, aku tidak begitu buru-buru karena tidak bangun terlambat. Mata kuliah hari ini juga hanya ada dua, pagi dan siang hari.

Pulangku lebih cepat hari ini, ke kendarai motor dengan tenang sembari menikmati perjalanan pulang.

Setibanya di rumah, tidak ada hal aneh yang terjadi. Ku lepas sepatu dan bergegas menuju kamar karena tubuh sudah tak sabar ingin di peluk erat oleh mimpi.

Tak sadar aku terlelap dalam mimpi, terdengar suara seorang wanita dari arah luar rumah berteriak memanggil nama bapak.

“Yudi, Yud. Kamu di dalam kah?” Teriaknya memanggil nama bapak.

“Siapa?” Sahut ibu terburu-buru keluar dari kamar.

Dengan tergesa-gesa ibu membukakan pintu.

“Ini rumahnya Pak Yudi kan?” Tanya wanita itu.

“Oh iya benar bu. Ada apa ya bu?” Tanya ibu keheranan.

“Pak Yudinya mana?” Tanya wanita itu dengan nada tinggi.

“Pak Yudinya sedang keluar bu. Saya juga kurang tau beliau kemana.” Sahut ibu dangan nada sedikit ketakutan.

“Kamu kan istrinya. Masa tidak tahu dia pergi kemana.” Bentaknya kepada ibu.

“Maaf bu, saya benar tidak tahu kemana perginya.” Sahut ibu gemetar.

Aku bergegas keluar dari kamar untuk melerai keributan itu.

“Kenapa ya bu?” Tanyaku pada ibu untuk memperjelas apa yang sedang terjadi.

“Ada orang cari bapakmu.” Sahutnya.

“Coba kau hubungi dulu bapakmu dimana.” Perintahnya kepadaku.

Aku pun mengambil hp untuk menghubungi bapak. Tak lama ku bernajak ke kamar, si wanita itu menerobos masuk dan menggeledah seisi rumah sambil berteriak memanggil nama bapak. Aku yang melihat kejadian itu pun memanas, ditambah pula aku melihat ibu ketakukan.

Ku tarik paksa ibu itu keluar, ku katakan padanya untuk mencari bapak di tempat lain. Aku sudah sangat muyak melihat wajah wanita penuh make up itu.

“Bu, ibu sudah menerobos masuk ke rumah saya dan membuat keributan. Lebih baik anda keluar dan mencari laki-laki kurang ajar itu ke tempat lain. Kami tidak tahu dimana dia sekarang.” Bentak ku padanya sambil menutup pintu.

Ketika aku membalikkan badan, tiba-tiba tangan ibu melayang ke wajahku. Aku pun terkejut.

“Kenapa ngomong begitu?” Tegasnya padaku.

Tampaknya ia begitu kesal ketika aku mengucapkan kalimat laki-laki kurang ajar itu. Jelas saja dia murka, karena ibu tidak pernah mengajarkan berbicara seperti itu. Hanya saja aku sudah terlalu muyak dengan wanita itu. Ditambah lagi aku mengingat perlakuan bapak kepada ibu malam itu.

Tak berpikir panjang aku hanya menjawab ketus dan pergi masuk kamar. Aku tak memegang sakitnya pipi bekas tamparan itu, karena rasanya tidak sesakit melihat tebiat buruk bapak.

Tak lama aku di dalam kamar, terdengar suara motor masuk ke halaman parkir. Benar saja, itu adalah suara motor bapak. Ibu menyambut dengan penuh rasa penasaran.

“Tadi ada wanita datang ke rumah marah-marah, katanya cari bapak.” Ucap ibu menyambut bapak di depan teras.

Aku pun bergegas keluar dari kamar karena mulai merasakan kejanggalan.

“Tidak tahu. Memang aku perduli. Aku capek mau tidur, awas.” Bentaknya kepada ibu dan mendorongnya hingga terjatuh.

Aku yang melihat kejadian itu pun kembali emosi dan membentak bapak.

“Pak, kalau memang sudah tidak mau tinggal sama kita bilang aja pak. Jangan kaya gini nyakitin orang rumah terus.” Bentakku padanya.

“Abang.” Teriak ibu padaku dengan nada kesal.

“Kamu tahu apa? Cuma nambah beban pikiranku saja.” Bentaknya kembali padaku.

Ibu berdiri menuju ke arahku sambil menenangkan emosi yang membara antara kami berdua.

Bapak terlihat sangat murka, ia berjalan menuju arah dapur dan mengambil senjata tajam yang ia simpan di bawah lemari piring. Ia menodongkan parang panjang itu ke arahku. Sontak ibu mengamuk dan berteriak sejadi-jadinya.

“Kau mau apakan anakku? Ma kau apakan anakku?” Teriak ibu sambil menangis.

Aku hanya berdiam dan mengendalikan amarah yang membabi buta di dalam diriku.

Tiba-tiba si bungsu keluar dari kamar dengan ketakutan dan berlari menjauh dari bapak.

Ibu semakin memanas diiringi tangis kebencian.

“Kau mau bunuh anakku? Urusanmu sama aku. Kau tidak ada hak atas kehidupan anakku. Aku yang berjuang menghidupkan dia, aku yang sekolahkan dia, aku cari nafkah buat dia dan kau. Kau bisa apa di rumah ini?” Teriak ibu semakin murka bingga wajahnya mulai memerah.

Suara teriakan ibu terdengar oleh para tetangga, sampai beberapa tetangga datang ke rumah untuk melihat situasi yang sedang terjadi.

Si bungsu mulai ketakukan dan menangis histeris.

Bapak tetap menodongkan parang panjang itu ke arahku dan ibu.

Tak lama para tetangga berusaha menenangkan bapak, wanita yang tadi datang ke rumah kembali lagi dengan membawa seorang anak kecil.

“Yudi, kamu dari mana? Sudah berapa minggu kamu tidak menjenguk kami Yud.” Teriak wanita itu kepada bapak sambil menangis.

Entah hal apa yang ditangisi oleh wanita ini.

Aku pun mulai merasakan kejanggalan bahwa wanita ini merupakan selingkuhan lelaki tidak tahu diri ini.

“Kamu ngapain kesini?” Bentak bapak padanya.

Ibu mulai kebingungan dan merasakan hal yang sama aku raskaan. Si bungsu mulai memanas dan melemparkan vas bunga di sampingya ke arah anak kecil yang digendong oleh wanita itu.

“Tante orang gila. Perusak rumah tangga orang. Mati aja kau mati.” Teriak si bungsu setelah melemparkan vas bunga itu.

Vas bunga itu tepat mengenai anak dari wanita itu dan mengakibatkan pendarahan. Wanita itu pun murka dan menghampiri adikku. Ia menarik rambutnya dan melemparkannya ke dinding.

Ibu yang melihat perlakukan wanita itu pun semakin murka. Ia menghampirinya dengan penuh amarah. Tak segan ibu pun memberikan pukulan terkuatnya ke arah wanita itu, hingga ia tak sadarkan diri.

Dengan sadar aku pun terkejut ternyata parang panjang bapak mengarah ke arah tubuhku. Akupun menghindar, tetapi tetap terkena tebasannya. Aku berlari menghndar dengan peniuh darah.

Warga yang melihat kejadian itu pun ketakukan karena mereka tak berani melerai. Apalagi bapak menggunakan senjata tajam.

Si bungsu menangis di pelukan ibu sambil berteriak melampiaskan rasa sakit hatinya.

Aku sudah mulai kehilangan kendali karena pendarahan. Ibu memelukku dan meinta warga untuk memanggil ambulan. Warga berusaha menghubungi ambulan terdekat dengan rasa panik.

Anak yang di bawa wanita itu menjerit membuat kebisingan, aku yang benci akan kebisingan semakin memanas dibuatnya. Ku tampar anak itu dan ku seret keluar dari rumah. Ku paksa tubuh lemah ini untuk berdiri melampiaskan rasa benciku.

Tak sadar bapak mulai mendekati ibu. Firasatku mulai mengetahui apa yang ia lakukan. Tapi tubuhku semakin melemah, salah satu pemuda merangkulku agar tidak terjatuh.

Ibu berusaha melindungi si bungsu dari kejahatan bapak. Dengan rasa panik ia berteriak histeris. Warga yang berusaha meleraipun semakin ketakutan oleh ulah bapak.

“Jangan kau sentuh anak-anakku. Dia darah dagingku dan darah dagingmu. Tapi kelakuanmu lebih busuk dari pembunuh.” Teriak ibu histeris sambil memeluk si bungsu.

“Kalian Cuma bisa bikin stres, lebih baik kalian mati. Kalian semua. Orang-orang tidak berguna. Keparat.” Bentaknya kepada semua orang yang menyaksikan kejadian itu.

Saat ia akan melayangkan parang panjang itu ke arah warga dan ibu yang sedang memeluk si bungsu. Ada seorang wanita yang datang dari arah belakang dan langsung memukul kepala bapak dengan palu hingga mengakitban pendarahan yang fatal. Bapak tidak sadarkan diri. Ia tergeletak di lantai dengan penuh darah.

Wanita dengan penuh emosi itu merupakan saudari tertuaku. Ia sudah mengetahui tebiat busuk bapak selama hidupnya.

“Wanita tua ini adalah selingkuuhannya, anak itu adalah hasil perselingkkuhannya. Bawa mereka semua ke kantor polisi.” Ucap saudariku.

Tanpa rasa takut saudariku menghubungi kantor polisi terdekat sambil memegang palu yang berlumuran darah itu.

Tak perlu menunggu waktu lama, polisi tiba dengan ambulan. Semua lokasi diamankan termasuk saudariku.

Saudariku di tahan atas tindakan pembunuhan. Tapi ia tidak merasa bersalah, karena ia telah membalaskan dendamnya. Kami selalu mendoakan yang terbaik untuknya.

Sebulan berlalu.

Saudariku dibebaskan dan kembali berkumpul di rumah. Ia dibebaskan karena memiliki bukti bahwa penjahat sesungguhnya adalah bapak. Tetapi ia sengaja tidak ingin bebas lebih awal, dikarenakan ingin menenangkan diri.

Setibanya di rumah, emosi saudariku kembali memuncak melihat ternyata bapak masih ada di rumah dan di rawat oleh ibu. Tetapi ibu selalu berhasil menenangkan anak-anaknya.

“Sudahlah, tak mengapa. Jika bukan kita, siapa yang akan merawat bapakmu.” Ucap ibu sambil menenangkan saudariku.

“Tidak sudi.” Sahut saudariku.

“Kak, jangan berbicara seperti itu. Ibu tidak pernah mengajarkan kalian untuk menaruh dendam di hati kalian. Walaupun begini, dia juga orang tua kalian.” Bentak ibu pada kami.

Kebaikan hati seorang ibu tidak akan pernah ada tandingannya. Ia bagaikan seorang pahlawan untuk anak-anaknya dan seorang malaikat untuk seorang lelaki bejat.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi