Disukai
2
Dilihat
1407
Bukan Pelangi Terakhir
Slice of Life

“Assalamualaikum, semuanya.” Sapa seorang wanita dengan lembut sembari berjalan menuju meja guru di ruang kelas.

Sontak aku tertegun dan bertanya-tanya, siapa wanita paruh baya dengan senyum semanis gula itu. Saat kembali memperhatikan jadwal mata pelajaran, sepertinya benar. Bahasa Indonesia, judul buku yang sedang ia genggam dengan erat takut buku itu terlepas dari pelukannya.

Aku yang asik memainkan pulpen di atas meja pun terdiam. Mataku tersihir oleh auranya yang begitu positif. Setiap gerakannya tak lepas dari pengamatan mataku. Suasana ramai berubah menjadi tenang dan damai.

 “Maaf yah sebelumnya, pasti kalian bingung yah ibu ini siapa?” Ucapnya sambil tersenyum tipis-tipis.

“Iya bu.” Serentak kami menjawab berharap ia akan memperkenalkan dirinya.

“Jadi, perkenalkan nama Saya Warniati. Panggil saja ibu Warni.” Jawabnya dengan nada lembut.

“Ibu sudah lama di sekolah ini?” celetup seorang siswa yang berada di kursi paling depan.

“Benar. Jadi saya di sini sudah cukup lama, kira-kira sudah ada lebih dari sepuluh tahun lamanya.” Jawabnya.

“Saya sempat cuti selama lebih dari setahun, maka dari itu mungkin kalian asing melihat saya. Kita baru berjumpa di kelas tiga ini kan.” Lanjutnya.

Jawaban singkat beliau cukup membuat kami terdiam kagum. Di usia kami yang muda melihat seorang wanita paruh baya bekerja menjadi seorang guru selama lebih dari sepuluh tahun merupakan hal yang sangat luar biasa. Terlebih lagi, menjadi seorang guru bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani. Setiap harinya harus menghadapi berbagai karakter siswa.

“Kalian pasti sudah tahu saya mengajar mata pelajaran kan?” Tanyanya pada kami.

“Bahasa Indonesia, bu.” Jawab kami serentak.

“Alhamdulillah. Anak-anak cerdas calon pemimpin bangsa semua.” Ucapnya.

“Aamiin.” Serentak pula kami mengaminkan.

Seketika ia membawa kursi yang berada di meja guru ke tengah ruangan tepat berada di depan kelas. Lalu ia duduk dengan perlahan.

“Kalian tahu, arti dari nama saya apa?”

“Warna-warni bu.” Sahut seorang siswa yang berada paling belakang.

“Iya, betul sekali.” Sahutnya.

“Jadi, Warniati itu artinya berbagai macam warna, seperti pelangi dengan berbagai macam warnanya yang indah. Jadi, ibu akan selalu menebar keindahan kepada siswa-siswa ibu, seperti kalian.” Ucapnya sambil tersenyum.

Hari itu waktu terasa berjalan begitu cepat, sampai pada akhirnya senda gurau itu harus berakhir ketika bel pulang dibunyikan.

Pertemuan pertama itu cukup membekas dalam ingatanku, seperti ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padanya. Sejuta pertanyaan terus melayang di ingatanku. Ku ingat baik-baik setiap kalimat yang ia ucapkan begitu lembut menenangkan hati. Besar harapku kami akan kembali bertemu di waktu berikutnya.

Pertemuan berikutnya tiba, doaku tak terkabulkan. Hampir habis waktu jam pelajaran, tak sedikitpun senyumnya terlihat hari itu. Aku siap menunggu ceritanya hari ini. Tetapi apa daya Tuhan berkata lain, mungkin keesokan harinnya kita akan menjadi pelangi yang sempurna.

Hampir sebulan lamanya kami tak pernah berjumpa, saat kami asik dengan kesibukan masing-masing, terdengar suara merdu menyapa dengan lembut dari balik pintu.

“Assalamualaikum, halo semuanya.” Merdu terdengar sapaan itu.

Kami terkejut, orang yang lama tak ada kabar akhirnya muncul saat kami sudah mulai merasakan kebosanan. Kami siap mendengarkan cerita dari beliau hari ini. Sebelum ia menceritakan pengalamannya, ia sempat memberikan tugas lebih dulu.

“Apa kabar semuanya? Semoga sehat selalu yah.” Sapanya dengan hangat.

“Alhamdulillah baik bu.” Sahut kami serentak.

“Hari ini saya ada tugas untuk kalian, tugasnya tidak susah. Sesuai dengan materi pelajarannya, yaitu esai. Saya ingin kalian membuat esai mengenai isu yang paling kalian pahami.” Tegasnya kepada kami.

“Baik bu.” Sahut kami serentak.

“Ibu, kemarin ibu kemana? Kok tidak ada masuk kelas?” Lantang suara terdengar yang entah dari mana sumber suara itu berasal, tapi sepertinya aku mengenalnya.

“Wah, sepertinya kalian rindu yah sama ibu?” Tanyanya tersipu malu.

Kami pun saling bertatap-tatapan satu sama lain sambil tersenyum kecil menandakan bahwa kami menginginkan sebuah cerita darinya.

“Jadi kemarin saya harus kontrol ke rumah sakit, saya harus menjalani proses cuci darah. Setelah cuci darah, saya harus beristirahat lagi selama sebulan. Sebenarnya saya tidak betah berdiam di rumah, saya rindu dengan kalian, canda kalian, tawa kalian, aura positif dari kalian bisa membuat saya jadi lebih kuat.” Jelasnya kepada kami tentang apa yang membuatnya tak dapat hadir selama sebulan di sekolah.

“Oh iya, untuk tugasnya nanti yang esainya bagus akan saya berikan hadiah. Kalian semua suka cokelatkan.” Lanjutnya.

“Suka bu.” Sahut kami kembali serentak.

Saat suara penanda pulang itu berbunyi, sesi berbagi cerita kami pun harus berakhir lagi.

Ada sesuatu hal yang mengganjal hatiku, setiap kali kami ingin bersalaman dengan beliau, ia selalu menolak. Tapi kami selalu memaksa, pada akhirnya ia harus menerima paksaan itu.

Rasa penasaran selalu menggebu tentang apa yang membuat ia tak ingin disentuh oleh siswa-siswanya, sedangkan ia sangat ramah, baik, dan murah senyum. Semua terjawab di pertemuan berikutnya.

“Assalamualaikum, anak-anakku tercinta.” Ucap sosok wanita yang selalu kami harapkan kehadirannya.

Hari itu terasa begitu hangat menyentuh kalbu. Seperti akan ada tawa yang berubah menjadi luka. Semua itu terjadi saat ia mulai menceritakan siapa dia sebenarnya, apa yang sedang ia alami, dan mengapa ia begitu takut untuk bersalaman dengan siswa. Benakku teriak bahwa akan terjawablah semua pertanyaan kami selama ini.

“Bagaimana kabar kalian hari ini? Sehat-sehat yah.” Tanyanya dengan begitu halus.

“Alhamdulillah baik bu.” Jawab kami serentak.

“Ternyata, kalian belum sepenuhnya tau siapa saya yah?” Tanyanya kembali.

Kami hanya bisa cengengesan karena pertanyaan itu seperti sebuah lelucon, bagaimana kami bisa tidak mengenal seorang guru yang sangat kami cintai.

“Sebelumnya, tugasnya dikumpulkan terlebih dahulu yah.” Perintahnya.

“Baik ibu.” Serentak kami dan langsung mengumpulkan tugas itu.

“Baiklah. Semuanya sudah mengumpulkan tugasnya. Untuk hadiahnya dipertemuan selanjutnya yah.” Perjelasnya kembali.

“Saya mau sedikit bercerita. Kalian cukup dengarkan saja. Warniati, diartikan sebagai kumpulan warna atau warna-warni, indah seperti pelangi. Pasti kalian bertanya-tanya, kemapa yah ibu tidak mau bersalaman? Kenapa yah ibu pakai kerudung besar sekali? Kenapa yah ibu kalau jalan lambat sekali? Tidak apa, kalian tidak perlu takut untuk pemikiran baik kalian tentang seseorang. Jadi, saya malu dan takut disentuh oleh siswa karena saya tidak mau siswa-siswa saya mencium aroma tidak sedap dari tubuh saya, mengapa demikian? Karena tubuh saya sudah mengeluarkan aroma yang tidak sedap, seperti daging busuk. Kerudung besar ini untuk menutup tangan saya dari pandangan siswa. Kan tidak enak jika siswa melihat lukanya, apa lagi jika siswa itu sementara menyantap makanan. Jalan saya juga lambat, karena tenaga saya sudah mulai menipis.” Perjelasnya kepada kami tentang hidupnya.

“Kenapa semua itu bisa terjadi? Karena semua itu atas kehendak Allah. Ini ujian untuk saya selama lebih dari 10 tahun. Saya berjuang melawan rasa sakitnya, datang ke sekolah untuk bertemu dengan siswa-siswa saya yang luar biasa, saya membawa motor sendiri tanpa perlu di jemput. Padahal jika melihat orang-orang yang sama dengan saya, mereka hanya bisa terbaring di rumah sakit, tidak mampu untuk berjalan, tapi atas izin Allah saya bisa untuk bertemu dengan kalian semua. Saya sangat senang sekali.” Tambahnya.

“Jadi, kalian jika dihadapkan sebuah ujian, jangan mudah untuk menyerah, ingat masih banyak orang yang ujiannya lebih berat tapi dia masih mampu untuk terus berjalan walaupun harusnya merayap dengan kedua tangannya. Hidup itu tidak selamanya tentang mencari kebahagiaan, tapi bagaimana kita menciptakan kebahagiaan itu dari diri kita untuk orang lain.” Perjelasnya lagi kepada kami.

Cerita itu membuat kami tertegun, mata berkaca-kaca, dan hati mungil kami jadi serapuh permen kapas. Berusaha sekuat mungkin untuk membendung air mata agar tidak terjun bebas.

Saat pertemuan berikutnya ia masuk sembari membawa tulisan esai kami minggu lalu. Aku terpilih dengan tulisan terbaik, ia juga sempat menyampaikan bahwa aku lebih cocok menjadi seorang penulis buku. Aku hanya bisa tersipu malu ditatap manis oleh teman-teman kelas. Tetapi ada sedikit rasa kecewa, cokelat yang ia siapkan ternyata telah dimakan oleh cucunya. Tapi tak apa, ia menjanjikan lagi cokelat itu akan ia berikan keesokan harinya.

Keesokan hari ini menjadi lima tahun lamanya cokelat itu tak kunjung ku dapatkan. Aku mulai melupakan sejenak, tapi aku teringat kembali setiap kali aku melihat ibu Warniati sehabis hujan yang begitu lebat. Tepat setelah satu tahun kelulusan kami, beliau berpulang ke pangkuan yang maha kuasa. Masih tergambar jelas wajahnya yang menghitam, lengannya yang mengeluarkan cairan putih kental kekuning-kuningan, serta senyumnya yang begitu tulus. Tak terbayang perjuangannya lebih dari sepuluh tahun melewati itu semua, dan menunaikan kewajibannya mendidik siswa.

Jika aku sudah mulai lelah dengan beratnya ujian hidup ini, aku selalu teringat akan kalimat beliau agar tidak mudah menyerah, masih banyak yang ujiannya lebih berat dari kita. Ujian ini ada atss izin Allah, dan Ia tahu bahwa kita mampu untuk melewatinya.

Masih terasa heran bagiku, bagaimana bisa pasien kanker payudara stadium empat ini bisa bertahan selama lebih dari sepuluh untuk menjalani hidupnya seperti orang-orang pada umumya. Saat tahu ia telah berpulang ke Rahmatullah, begitu terpukulnya kami dengan berita itu. Ia berhasil berjuang menunaikan kewajibannya sebagai pendidik, sampai Allah akhirnya memanggilnya untuk pulang.

Pelangi yang aku temui hari itu bukanlah pelangi terakhir, ia akan ada disetiap derasnya masalah menghujani hidupku. Ia akan bersinar melekuk indah tepat di depan mataku, itu fakta.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi