Disukai
16
Dilihat
1184
Pukulan Telak
Drama

     Warga kota bersiap menyambut harga bensin yang akan naik. Pom bensin, SPBU penuh sepeda motor, mobil, bus hingga angkot yang hendak mengisi bahan bakarnya. Orang-orang membawa jerigen juga mengantri. Semua mereka lakukan demi mendapat bensin sebelum harga naik pada tengah malam nanti. 

     Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Bisa jadi mereka takut tidak kebagian stok pasokan bensin. Bisa jadi mereka ingin membeli bensin sebelum harga masih belum naik, jadi tidak perlu keluar uang lebih. Mereka lantas menyerbu pom bensin dan SPBU. Atau bisa jadi sebagai bentuk protes kekecewaan karena harga bensin akan naik. 

     Aku juga salah satu dari mereka yang tidak senang harga bensin naik. Karena aku tidak punya pekerjaan tetap. Aku khawatir kenaikan harga bensin akan mempengaruhi kenaikan harga kebutuhan pokok. Dan itu mau tidak mau pasti terjadi. Ya bisa dikatakan kenaikan harga bensin menjadi pukulan telak kedua bagiku.

***

    Pandemi dua tahun lalu yang belum berakhir jadi pukulan telak pertama bagiku. Aku yang hanya bekerja serabutan kelimpungan mencari makan dan biaya hidup sehari-hari. Bantuan pemerintah dan dermawan menjadi pahlawan bagiku yang membutuhkan bantuan untuk menghidupi anak istriku. Tanpa prosedur berbelit.

    Karena itulah, aku berharap ada bantuan bantuan lagi sebagai dampak kenaikan hatga bensin. Aku khawatir akan kelaparan, kesulitan mencari makan Lalu aku harus mencari sumber penghidupan dari mana? Mengandalkan bantuan dari Pemerintah dan dermawan? Jelas tidaklah cukup seiring harga kebutuhan pokok, minyak goreng, telur, cabai, bakal merangkak naik pasca kenaikan harga bensin. 

    Aku dan istriku sudah mulai berhemat. Masing-masing sepakat menyisihkan uang dari hasil bekerja serabutan untuk disimpan di dalam celengan ayam jago. Nantinya uang itu sebagai modal hidup hingga beberapa hari ke depan. 

***

     Sebelum tengah malam, aku pergi menuju pom bensin. Hendak membeli bensin untuk sepeda motorku. Menaklukan hawa dingin berhembus pelan nan pasti. Sejenak kulihat di langit, mendung sedang menggelantung.

     “Panjang amat antriannya." Lalu aku memutuskan pergi mencari kios penjual bensin eceran. Tapi tidak mudah menemukannya. Rata-rata sudah habis terjual. Aku terus berusaha mencari bensin. 

     Aku yang sedang terburu-buru membeli bensin lalu bertanya pada seorang warga yang baru jajan di warung pinggir jalan; “Mas, kalau cari bensin dimana ya? Sudah pada habis.”

“Ditunggu saja, nanti juga datang.” jawabnya. Aku percaya saja lalu menunggu.

     Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya yang kutunggu datang. Tapi aku kaget ketika melihat yang datang ternyata penjual bakmi keliling.

     “Lho Mas, bukan ini yang saya tunggu.”

“Lho tadi katanya cari bensin ya ini kan maksudnya, mau makan buat isi tenaga.” sahutnya.

“Bukan itu, yang saya maksud itu bensin untuk motor saya bukan buat pulihkan tenaga.”

“Mbok ya tadi itu bicaranya yang lengkap jadi kan gak salah pengertian begini.” ia ngeyel. Aku jadi kesal lalu kembali melanjutkan perjalanan mencari bensin.

     Di tengah perjalanan, aku malah bertemu Ani, mantan pacarku waktu SMA,

“Mau kemana, Mas?” Ani bertanya dengan nada semesra ketika kami berdua masih pacaran dulu.

“Cari bensin.” aku menjawab singkat. Ani manggut-manggut lalu mengambil uang dalam dompetnya. 

     Aku senang karena mengira akan ditaktir. Tapi ternyata bukan.

“Kalau mau cari bensin, sekalian belikan sabun cuci ya.” kata Ani sambil menyerahkan uang lima ribu. Aku garuk-garuk rambut kepala yang tidak gatal.

“Itu kan ada warung, siapa tahu jual bensin di sana.” Ani menunjuk sebuah warung di ujung jalan. Aku langsung menggeleng lalu bergegas pergi menaiki sepeda motor.

     Di tengah perjalanan, aku bertemu Ari teman masa kecilku, ia mengendarai sepeda motor keluaran terbaru. Aku kagum melihatnya. 

     "Mau kemana?" Aku bertanya. 

"Cari bensin. Di mana-mana penuh antrian." Ari menjawab. 

"Iya, sama. Aku juga." 

"Ya sudah kita cari sama-sama." Aku mengangguk tapi entah kenapa aku tiba-tiba terasa ingin buang air kecil.

     “Tahu WC umum gak?” Ari menggeleng. Aku lantas mengetuk salah satu pintu rumah. Meminta izin untuk memakai kamar mandinya. Beruntung, pemilik rumah mengizinkan.

     Setelah selesai, aku berterima kasih. Lalu berangkatlah aku bersama Ari mencari bensin. 

     Di pinggir jalan, aku menghentikan sepeda motorku. Melihat kios bensin eceran langgananku tutup.

“Tapi kok tutup ya.”

“Terus gimana?” Ari juga menghentikan sepeda motornya.

“Ya, kita cari lagi.” aku kaget ketika menyadari dompetku tidak ada di saku belakang celana panjang

“Ada apa, Wan?”

“Dompetku gak ada.” Ari tertular kagetku.

     Aku dan Ari lalu mencari dompetku yang kemungkinan saja jatuh di tengah jalan. Tapi di sepanjang perjalanan, tidak menemukan dompetku.

     Sampai di tempat awal bertemu, aku teringat tadi buang kecil di kamar mandi salah satu rumah. Aku lantas mengetuk pintu rumahnya. Memberitahu kalau mungkin dompetku tertinggal di kamar mandi. Sang pemilik rumah lalu pergi ke kamar mandi. Dan ketika kembali membawa dompetku. Aku jadi ingat tadi waktu mau buang air kecil, dompet ditaruh di pinggir bak mandi dan lupa mengambilnya.

     “Terima kasih.” aku berterima kasih.

“O ya, Bapak punya bensin. Saya butuh banget. Kalau ada, saya mau beli?”

“Ada, itu di jeriken.” ia menunjuk dua jeriken besar di pojokan rumah tertutupi terpal biru.

"Saya beli satu."

"Gak bisa, Mas. Itu pun anak saya bukan punya saya."

"Sekarang anaknya kemana?"

"Baru beli bahan buat bikin kios kecil, rencananya sih mau buka kios bensin eceran." Aku manggut-manggut lalu pamit pergi.

     Setelah berkeliling mencari bensin, akhirnya aku dan Ari berpisah jalan. Ari terus mencari bensin hingga keluar kota. Sedangkan aku kembali ke pom bensin yang diawal aku ke sana antriannya panjang.

***

    “Besok harga bensin naik. Apa yang harus kita lakukan, Suamiku?" Istriku berkata setiba aku di rumah sebelum aku sempat berganti pakaian. Karena kakiku kecapekan mengantri bensin di pom bensin, aku tidak lantas menjawab pertanyaannya. Kusandarkan tubuh di sofa butut ruang tamu. Kuhela nafas sebelum menyahut perkataan istriku tadi, “Iya, tapi mau bagaimana lagi? Semoga bantuan dari pemerintah cepat turun.” istriku mengangguk sedih. 

    “Apapun yang terjadi, kita bersyukur masih diberi umur panjang dan juga kesehatan.” lanjutku. 

“Iya, suamiku. Tapi biaya hidup ke depan semakin berat. Belum lagi biaya anak masuk TK sebentar lagi. Uang sewa kontrakan ini juga bakal naik." Aku mengangguk paham. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing memikirkan perkataan istriku yang seolah bisa memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi nanti.

     "Suamiku kan hebat dan pintar, pasti kepikiran cari tambahan uang selain dari kerja serabutan dan andalkan bantuan pemerintah.” Aku tidak menjawab. Sibuk memijat kepala dengan kedua tangan. Pusing yang tadi kurasakan mulai agak sedikit mereda. Mataku memandang kosong ke depan. Di benakku kini terlintas pikiran menjadi peminta-peminta. Salah satu pekerjaan yang cepat mendapatkan uang. Tinggal duduk di pinggir jalan, memakai pakaian terjelek yang kupunya. Memasang wajah sedih. Mengharapkan keikhlasan orang-orang yang melintas untuk mengisi tangan kananku yang menengadah. 

     Tapi aku tidak tega mengatakannya kepada istriku. Aku tidak mau membuatnya malu, mengetahui berita aku dikejar-kejar satpol PP di televisi. Lalu menjemputku di dinas sosial. 

     Tidak, aku putuskan tidak mau menjadi peminta-peminta. Aku memikirkan pekerjaan lain tapi apa pekerjaan yang cocok untukku yang tamatan SMA. Kepalaku kembali pusing.

"Bensin… Bensin kenapa harus naik sih?" keluhku dalam hati.

     Keheningan suasana belum juga mau beringsut di antara aku dan istriku. Entah sampai kapan.

Yogyakarta, 18 Oktober 2022

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi