Joker

“Kamu tahu apa yang kusuka ketika bermain kartu 41 bersama kalian?” seorang teman bertanya kepadaku dan dua orang di pos ronda malam itu. Aku menggeleng. Begitu juga dua orang lainnya.

“Aku gantian dapat Joker.” Ia memperlihatkan kartu Joker. Lalu mengambil satu kartu dari genggaman tangannya. Kemudian membalikan kartu itu di atas tikar.

Semua kartu miliknya lantas diperlihatkan. Ini kekalahan keempatku berturut-turut. Dan keempat kalinya pula aku tidak pernah dapat Joker. Kekeecewaan terpancar jelas dari wajahku.

“Hampir saja aku nutup, eh keduluan kamu.” selorohku. Dua orang yang lain langsung membanting kartunya ke atas tikar.

“Gara-gara ada Joker.” gerutu keduanya hampir bersamaan. Aku mengangguk setuju.

“Sebagai orang yang kalah empat kali berturut-turut, kamu tahu kan konsekuensinya.” Aku mengangguk pelan.

“Kalau begitu, kami berttiga pulang dulu.”

“Selamat jaga pos ronda sampai dini hari nanti.” Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa mencegah ketiganya untuk pulang lebih dulu.

Kini aku sendirian di pos ronda. Ditemani empat gelas kopi yang di dalamnya tersisa ampas kopi dan sebuah piring kosong. Aku merenungi nasib sialku malam ini.

“Joker pembawa kekalahan. Andai tidak ada Joker, aku mungkin menang.” Hati ini masih terasa sakit ketika memikirkan kekalahan permainan kartu tadi.

“Serahkan ponselmu!!” gertakan seseorang membuatku kaget. Lalu bangun. Kulihat seseorang mengenakan penutup kepala, menodongkan pisau ke arahku.

“Aku tidak mau.” Kujawab tidak kalah keras. Tanpa banyak bicara, ia menyerangku. Tapi bisa kuhindari. Kulancarkan serangan balik. Pisaunya berhasil kutendang jatuh. Kemudian kusingkap penutup kepalanya.

Aku kaget melihat wajah orang yang menodongku. Ia kukenal sebagai orang yang baik di kampung, selalu siap membantu ketika dibutuhkan atau tidak.

“Kenapa kamu menodongku? Kamu kan orang baik.” Ia hanya diam menunduk. Lama tak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Hanya terdengar isak tangisnya pelan.

“Saya sakit hati tidak pernah dapat bantuan apapun, padahal keluarga saya tak mampu. Saya baru dipecat sementara istri sedang sakit-sakitan.” katanya di sela isak tangis. Aku trenyuh mendengarnya.

Kuambil dompet di saku celana belakang. Lalu mengelurkan dua lembar uang kertas berwarna merah.

“Ini mungkin tak seberapa.” kataku sambil memberikan uang itu kepadanya. Ia senang menerimanya.

Tanganku berkali-kali diciuminya.

“Maafkan saya tadi.” Aku mengangguk.

“Terima kasih.” Ia mengucapkannya dengan bibir tergetar.

“Tetaplah jadi orang baik dan carilah kerja yang halal.” pesanku kepadanya. Ia mengangguk kemudian bergegas pergi.

Aku pun kembali teringat salah satu perkataan Joker di filmnya yang baru beberapa hari lalu kutonton, “Orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti.” Tapi aku tidak seruju. Bagiku, mau jadi baik atau jahat itu pilihan. Dan pilihan itu bukan hanya didasari rasa tersakiti, faktor-faktor lain juga mempengaruhi. Lagipula tidak semua orang baik yang tersakiti berubah jadi jahat. Contohnya aku.

Yogyakarta, 2021

Heru Prasetyo

12 disukai 1 komentar 6.7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Saran Flash Fiction