Disukai
1
Dilihat
888
Mulut Mu Adalah Harimau Mu
Drama

Informasi terakhir yang diperolehnya, di kota kecil inilah kawan baiknya berdomisili. Semenjak di pecat dari LSM tempat mereka bekerja, dia pulang ke kota ini. Sementara Robert berangkat study ke Hawaii sampai meraih gelar Ph.D. Robert perlu sobatnya ini, karena sangat ahli mendengarkan nuansa bahasa daerah. Bahkan dia digelari bertelinga emas, karena sering menambah acuan baru bagi International Phonetics Alphabet.

Setelah bertanya ke sana-kemari tentang alamat kawannya, akhirnya Robert tahu akan keberadaannya. Dia lalu menitipkan mobilnya di Wisma Prona dan naik Ojek kurang lebih 15 menit dan setelah itu si pengendara Ojek yang kebetulan sangat mengenal Jonathan kawannya itu, mengantarnya berjalan kaki lagi selama 45 menit ke arah tepian hutan.

 “Mimpi apa kamu jauh-jauh datang ke pondok ku ini?” tanya Jonathan, seraya mengulurkan tangannya menyalami Robert. Kedua kawan karib yang sudah sepuluh tahun tak pernah bertemu ini berjabatan tangan begitu erat sampai bergoyang-goyang,

Pada saat itu seorang wanita paruh baya keluar dan melemparkan senyum ke arah tamu Jonathan. “Wah, kami kedatangan tamu agung rupanya. “Pasti S-3 nya sudah selesai, ya?” celetuk istri Jonathan.

“Aah. Itu hanya gelar doang. Tapi kawan saya ini biarpun cuma S- 1 tetapi otaknya melebihi yang S-3,”  seloroh Robert merendah.

Jonathan hanya tersenyum saja mendengar percakapan istrinya dan kawannya. “Mau duduk di luar atau di dalam?” tawar Jonathan.

“Aku mau masuk saja…,” jawab Robert. “Delapan jam menjalani bekas perang dunia kedua, cukup capek juga rasanya.”

Jonathan hanya tersenyum saja. Sikap kawannya ini membuat Robert keheranan, karena itu bukan kebiasaannya. Biasanya dia langsung berkomentar dengan keras dan melontarkan kritikan di sana-sini. 

Robert juga semakin keheranan, karena di setiap sisi dinding rumah kawannya terdapat tulisan; “Jaga mulutmu. Mulutmu adalah harimaumu!”

“Tulisan itu bukan untuk tamu…!” jelas Jonathan tanpa di tanya, ketika melihat kawannya terpaku di situ. “Aku berani menulisnya di dinding, karena hampir tak ada tamu ke sini.”

Istri Jonathan segera menyiapkan teh hangat untuk mereka dan sekaleng kue kering. Cukup lama mereka ngalur ngidul sana-sini, akhirnya percakapan mereka terfokus pada tulisan di dinding.

“Mengapa begitu banyak tulisan “Jaga Mulutmu. Mulutmu adalah harimaumu!” Jikalau boleh tahu?” pancing Robert sedikit bersiasat untuk mengorek keterangan dari kawannya ini.

Jonathan tersenyum lebar. Dia lalu memandang istrinya, sepertinya minta persetujuan. Istrinya mengangguk sebagai tanda setuju bagi Jonathan untuk menceritakannya.

“Sebenarnya tulisan itu untuk diriku sendiri,” jelas Jonathan.

”Lho?” celetuk Robert keheranan.

Jonathan kembali tersenyum. Sikapnya banyak berubah sejak terakhir pertemuan mereka. Sekarang dia lebih banyak tersenyum dan kelihatan sekali jika wajahnya sangat sabar.

“Ceritanya cukup panjang. Tapi ku ringkas saja ya,” kata Jonathan melanjutkan.

Robert hanya diam melihat sikap serius kawannya. Pastilah sangat menarik. Kalau tidak, mana mungkin kawan karibnya yang dia kenal sangat vokal ini sampai mau mengasingkan diri di tempat pertapaan seperti ini.

“Dulunya aku tidak bisa diam jika melihat hal yang tidak lurus di masyarakat. Dan saya yakin kamu masih ingat akan hal itu,” kata Jonathan memulai ceritanya.

Robert hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Tetapi setelah puluhan tahun dan terlebih ketika aku sudah punya anak, hal-hal yang aku lakukan itu sepertinya sangat sedikit manfaatnya. Malahan sangat berbahaya bagiku dan terutama sekali keselamatan bagi anak istriku.”

“Kok bisa?” celetuk Robert tak tahan tidak bertanya.

Jonathan menarik nafas panjang, seperti sejuta beban menghimpit dadanya. “Kamu bayangkanlah,” tukas Jonathan sambil menggelengkan kepala. “Sewaktu di perusahaan Plywood dan Perkebunan sawit. Aku pernah mengkritik keras para manajemen dan pemilik perusahaan, karena karyawan hanya di gaji maksimal lima ratusan ribu rupiah sementara para teknisi dari Singapura, Malaysia dan Filipina di bayar minimal enam puluhan juta sebulan belum lagi mereka dapat tambahan berbagai tunjangan. Padahal beban kerja dan keterampilan kurang lebih sama. Aku rasa hal itu sungguh tidak adil dan merupakan pelecehan terhadap kita warga negara Indonesia.”

“Kamu tahu apa akibatnya? Aku dimutasikan ke hutan dan ditempatkan di bagian di mana aku hidup segan mati pun tak mau. Lalu ketika kita sama-sama di LSM kemarin, kamu ingatkan ketika ditugaskan untuk meneliti ke pedalaman dengan dana hibah milyaran rupiah dari luar negeri?” tanya Jonathan sambil menatap Robert.

“Masih ingat?” jawab Robert sambil mengangguk ringan.

“Nah. Waktu itu kita hanya mendapat uang gaji saja, sementara ongkos perjalanan dan fasilitas pun kita harus bertengkar untuk memintanya. Setelah setahun meneliti keluar masuk hutan, kita pulang dan kamu masuk rumah sakit sementara saya terkena malaria. Lalu apa yang diperoleh mereka yang hanya duduk di kantor? Masing-masing mereka mampu membeli mobil dan bahkan direktur kita mampu mendirikan rumah dengan budget miliaran rupiah. Aku mengkritik keras. Dan kamu tahu akibatnya? Aku diberhentikan tidak dengan hormat, dengan alasan kita kelebihan orang sementara volume kerja sedikit.”

Robert mangut-mangut. Dia juga ingat betul bagaimana kerasnya kritikan Jonathan waktu itu. Tetapi mereka semua tidak ada yang berani mendukungnya, karena mereka takut kehilangan pekerjaan.

Tidak ada mereka yang berani menjadi pahlawan kesiangan. Sehingga Jonathan berjuang sendiri, padahal apa yang dia sampaikan sesungguhnya aspirasi mereka semua. Ada terlintas rasa bersalah dalam benak Robert, tapi toh semuanya sudah jadi bubur.

“Lalu aku pulang ke sini, ke kota tempat pertama kali aku mengenal mantan pacarku ini,” kata Jonathan seraya melirik istrinya. “Aku memulai hidup di sini, tanpa tabungan, tanpa pekerjaan, tanpa harta benda. Sementara istriku sedang berbadan dua. Untungnya aku masih punya sebuah sepeda motor, meskipun masih kreditan. Aku lalu keluar masuk kampung di sekitar sini, mengumpulkan karet, menjual bawang putih dan bahkan terkadang sebagai pengojek, hanya untuk sekedar menyambung hidup.”

“Tapi yang pentingkan semuanya sudah lewat,” celetuk Robert terharu. Tak disangkanya begitu berat derita dan perjuangan kawannya ini.

Jonathan tersenyum, sepertinya rasa sedihnya yang sempat muncul ke permukaan tadi sudah menguap. “Untuk sekarang ya. Tapi sampai ke situasi sekarang ini, sangat panjang jalan yang kulalui.”

“Oh, ya?”

“Betul. Bahkan cukup menyakitkan. Banyak cerita, tapi kutambahkan beberapa saja,” lanjut Jonathan. “Waktu itu pernah saya ikut diundang menghadiri rapat tentang minyak tanah yang sering lenyap dari pasaran. Kalaupun ada maka harganya bisa dua puluh kali lipat.”

“Lalu bagaimana hasilnya?”

“Saya adalah yang paling keras berbicara. Kebetulan ada beberapa anggota dewan juga yang menghadirinya. Sebagai rakyat yang mengharapkan mereka menyerap aspirasi kita, saya berbicara habis-habisan. Kamu bisa menduga apa yang terjadi?” tanya Jonathan sambil menjemput beberapa potong kue kering. Robert hanya menggelengkan kepalanya.

“Satu tahun sejak itu saya tidak bisa membeli minyak tanah, jawabannya minyak tanah kosong. Jadi selama setahun itu saya terpaksa memasak dengan kayu bakar.”

“Walah-walah. Mengapa sampai begitu?”

“Rupanya sembilan puluh persen anggota Dewan kabupaten ini berjualan BBM, meskipun banyak yang bukan atas nama mereka,” jelas Jonathan sambil tertawa.

“Tapi bagaimana para pekerja kios BBM itu bisa tahu jika kamu yang mengkritik keras?”

“Ini kan kota kecil kawan, tinggal mereka tempel saja foto saya di kios mereka,” jelas Jonathan sambil tertawa.

Robert pun ikut tertawa. “Lucu juga, ya. Tapi kamu tidak sakit hati?”

“Sakit hati? Jelas dong. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Saya seorang diri, mana mungkin saya melawan tirani itu sendirian?”

Robert kembali menggeleng-gelengkan kepala. Dia heran juga sepertinya semua kemalangan harus dihadapi oleh kawannya ini.

“Sebenarnya, aku baru enam tahun pindah ke sini. Dulunya aku tinggal di pusat kota kecil ini,” sambung Jonathan lagi membuyarkan lamunan Robert.

“Oh ya. Lalu rumah itu masih di sana?”

“Masih. Tapi pemiliknya sudah orang lain?”

“Ya?” desah Robert menunggu lanjutannya.

“Kujual murah. Bahkan sangat murah. Ceritanya, ketika itu di sekitar tempat tinggal kami banyak yang memelihara babi dan ayam ras. Para tetangga pada komplain dengan baunya. Akhirnya kami sepakat untuk melaporkan hal itu kepada pemerintah. Dan lagi-lagi saya yang dipercayakan untuk memimpin.”

“Lalu?”

“Kami menghadap pemerintah. Tapi tak ada hasilnya.”

“Kok bisa begitu? Memangnya mereka tidak peduli?”

“Ternyata para peternak itu punya keluarga di pemerintahan. Pejabat teras lagi.”

“Jadi sia-sialah kedatangan kalian itu?”

“Bukan hanya sia-sia,” tukas Jonathan sedih. “Beberapa hari kemudian. Beberapa preman mengunjungi rumahku. Hasilnya tulang igaku sebelah kiri ini patah.”

“Waduh. Sampai separah itu. Apa tidak lapor polisi?”

“Setelah sembuh aku melaporkannya. Tapi para pelaku itu dibebaskan.”

“Masa?” komentar Robert hampir tak percaya. “Jadi polisi tidak memprosesnya?”

“Tak cukup bukti dan saksi. Malahan aku dituntut karena merusak nama baik. Hasilnya aku terkena kurungan lima bulan.”

“Wah. Wah. Wah,” desah Robert sambil terus menggelengkan kepalanya.

“Itulah,” kata Jonathan. “Keluar dari tembok penjara, aku berdiskusi dengan istriku. Dia memberikan masukan, agar aku jangan lagi terlalu vokal. Lebih baik aku mengurusi keluarga saja. Toh lebih dari dua puluh tahun melakukan kegiatan sosial, tidak ada hasilnya. Selain secara ekonomi kami morat-marit, harta benda tak punya, tabungan tak punya sementara anak sudah mulai sekolah, dan aku juga hampir kehilangan nyawa.”

“Jadi itu yang membuat kamu menyembunyikan diri di sini?” tanya Robert meyakinkan dirinya.

“Betul. Akhirnya aku berjanji untuk menjaga mulutku. Karena mulutku adalah harimauku. Bahkan tiga bulan pertama, mulutku ini ku plester, hanya dibuka ketika makan dan minum saja. Setelah agak bisa menahan bicara, barulah tidak ku plester lagi.”

Robert menarik nafas panjang sambil terus menggeleng-gelengkan kepala. Lama keduanya terdiam. “Kamu lahir di tempat yang salah dan di jaman yang salah,” desis Robert akhirnya. Lalu keduanya membisu lagi.

“Oh ya,” kata Jonathan memecahkan kebisuan mereka. Dari tadi aku terus yang memborong pembicaraan. Tentunya ada kepentingan khusus sampai jauh-jauh datang kemari?”

Robert tersenyum. “Dugaanmu memang tidak salah!”

“Jadi?”

“Aku menawarkan suatu kerja sama.”

“Ah, yang benar saja,” tukas Jonathan. “Usiaku sudah hampir kepala lima. Tak ada energi lagi untuk melakukan pekerjaan berat.”

“Hahaha,”  tawa Robert meledak. “Mana mungkin aku mengajakmu keluar masuk hutan seperti dulu. Sekarang aku sudah mendirikan NGO sendiri dan sewaktu di Hawaii aku bertemu sebuah lembaga donor yang mau mendukung penelitian tentang linguistik. Kami deal, dan dananya lebih satu miliar. Aku perlu telinga emasmu itu.”

“Tapi aku tak mungkin meninggalkan kota ini.”

“Tak perlu meninggalkan kota ini kawan. Bahannya beserta apa yang harus kamu lakukan kukirimkan kesini. Bagaimana?”

“Bagaimana ya?” Desah Jonathan masih ragu.

“Jangan khawatirkan bayarannya. Tanda tangani perjanjiannya, dan dua ratus juta untukmu. Bagaimana?”

Jonathan terdiam. Dia bekerja tanpa meninggalkan kotanya. Dan bayarannya dua ratus juta. Dari mana dapat uang sebesar itu? Lebih dari cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat SLTA dan bahkan untuk kuliah di universitas negeri dengan jurusan yang murah meriah.

“OK lah. Asalkan bukan angin surga saja,” desisnya lemah. Karena tawaran itu sungguh menarik.

“Ha. Ha. Ha. Itu baru kawan,” seru Robert seraya mengulurkan tangan menyalami kawannya ini. “Persekot sepuluh persen bisa kuberikan sekarang,” katanya seraya meraih tas hitam yang dibawanya tadi. Dia lalu mengeluarkan dua kelompok uang angka seratusan ribu rupiah dan beberapa lembar kertas bertulis.

“Dua puluh juta kamu terima dulu. Baca perjanjiannya dan kalau OK, tanda tangani itu dan juga kuitansinya,” kata Robert seraya menyerahkan lembaran-lembaran kertas perjanjian, kuitansi dan dua tumpuk uang nominal dua puluh juta rupiah di atas meja.

Jonathan lalu membaca Surat Perjanjiannya. Aman. Lalu menanda tanganinya serta kuitansinya. Uang itu di hitung dan lalu menyerahkannya kepada istrinya. Robert memasukkan surat-surat dan kuitansi yang sudah ditanda oleh Jonathan dan dicopy dengan ponsel dan diberikan kepada Jonathan.

“Saya harus pulang malam ini juga,” jelas Robert. “Nih, Notebook ini kupinjamkan. Apakah masih ingat cara memakainya?” goda Robert sambil menyerahkan sebuah Notebook Acer Ferrari kepada Jonathan.

“Sialan kamu,” balas Jonathan seraya menggelitik kawannya.

“Oh, ya. Aku pulang malam ini juga.”

“Wah, tidak bermalam atau paling tidak makan malam dulu di sini?”

“Tak usah repot-repot. Besok saya ada pertemuan dengan perwakilan lembaga donor dan lusa harus berada di Chicago ke kantor pusat lembaga itu,” jelas Robert.

Ketika Robert sudah pulang, Jonathan memandang istrinya. “Akhirnya ada juga yang menghargai profesionalismemu,” tukas istrinya.

Oleh Yovinus

 

Nanga Pinoh, Februari 2007

 tags

mulutmu,

harimaumu,

mulutmu harimaumu. 

#cerpen

#ceritapendek

#ceritapendekviral

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@carsun18106 : terima kasih masukannya, nanti akan aku lihat lagi ya. Salam hangat.
Tapi apa persisnya yg harus dikerjakan oleh Jonathan?
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi