Disukai
41
Dilihat
1851
Mukini & Mukidi
Komedi

 Kami tidak pernah bermusuhan. Sekali lagi, kami tidak pernah bermusuhan dan malah sebaliknya, kami tetangga yang (sepertinya) memiliki hubungan baik. Mereka tinggal berseberangan dengan keluarga kami, hanya terpisah gang selebar tak lebih dari tiga meter dari pekarangan rumah kami.

“Berangkat, Mbak Dina? Hati-hati lho di jalan. Oya, Mbak ... itu jilbabnya bagus, beli di mana?”

Dari jilbab, bedak, sampai motor yang habis dicuci tampak kinclong, selalu dikomentari oleh Si Ibu. Aku biasanya hanya diam-diam mengamati saja, seperti saat Si Ibu menyapa Dina, adikku pagi itu. Si Ibu ini memang sangat supel, nyaris cerewet. Kalau orang Jawa bilangnya grapyak, semanak. Tetapi ya itu, yang disapa adalah kakak atau adik perempuanku. Kalau bertemu denganku jarang mau ngobrol dan paling hanya, “Mari Mas ...” dengan pandangan tak berani menatap ke arah mataku.

Jadi begini, kami sekeluarga lebih dulu tinggal di kampung ini, sebut saja Kampung Ludira Inggil (bukan nama sebenarnya), di sudut Kota Solo. Bertahun-tahun kami tinggal, hidup berjalan baik-baik saja. Adalah satu dua tetangga yang reseh dan suka mempergunjingkan kami, tapi tidak pernah kami pikirkan dan kami anggap hal biasa. Semua orang menggunjingkan semua orang adalah konsep hidup di Indonesia sejak lama.

Rumahku ini sebenarnya enak, karena meskipun berada di gang yang tak lebar, tetapi tetangga depan rumahku itu membangun rumah dengan posisi memunggungi rumah kami. Jadi yang berada di depan rumah kami adalah bagian belakang rumah mereka, lengkap dengan pintu belakangnya. Enak, karena tidak terlalu ramai. Mereka memilih bagian depan rumah menghadap ke jalan raya, sip! Tetangga depan rumah ini bagian belakang rumahnya terdapat satu kamar kosong. Kamar yang tepat berada di depan pekarangan rumah kami inilah yang kemudian dikoskan. Hanya satu kamar dengan kamar mandi di dalam.

Datanglah Si Mukidi dan Mukini ini. Sepasang suami istri muda berumur sekitar 30-35an tahun, memiliki satu anak usia sekolah dasar, menyewa kamar itu alias kos. Mereka datang dari kampung kemudian merantau ke Solo.

“Kamar kos kalau dipakai rumah tangga pasti akan kumuh,” aku hanya membatin saat itu. Karena berharap apa dari kamar ukuran 3x4 meter yang akan diisi tiga jiwa manusia dengan bawaan segambreng-gambreng?

Tapi Mukidi dan Mukini ini seem nice, lho. Waktu pindah pertama kali, mereka keliling kampung dari satu rumah ke rumah, memperkenalkan diri sambil ber-hahahihi. Kadang aku heran, bagaimana bisa orang yang baru saja tiba, tidak dikenal sebelumnya, mendadak bisa ngobrol seperti teman lama dan tertawa-tawa. Aku tidak tahu apakah tetanggaku berpikir hal sama bahwa mereka rada aneh, atau hanya keluargaku (aku?). Sepulang dari rumahku, keluarga kami membahasnya.

“Wah ... sangat supel ya ... hahaha.” Itu kesimpulan dari seluruh bahasan di keluargaku.

Belakangan ketahuan kalau Mukini adalah seorang tukang pijat bayi, sementara Mukidi sang suami adalah seorang petugas keamanan sebuah supermarket. Itu yang aku tahu. Sebagai seorang tukang pijat bayi, Mukini terbilang laris. Hampir setiap pagi, bahkan kadang aku belum bangun, motor-motor berjejer di depan kosnya. Mereka adalah orangtua bayi yang ingin memijatkan anaknya.

Tiga bulan pertama semua tampak berjalan baik-baik saja, hubungan bertetangga kami cukup baik dan masing-masing sibuk dengan urusannya.

Oya, pekarangan rumahku tidak berpagar kayu, tetapi memiliki pagar hidup. Ini adalah tanaman-tanaman yang merupakan “warisan” dari almarhumah Ibu. Mendiang Ibuku dulu suka berkebun dan di bagian terluar pekarangan kami ditanami pohon-pohon Kamboja berjajar. Ditata sedemikian rupa, sehingga menyerupai pagar. Selain pohon kamboja, juga ditaruh beberapa pot kecil berisi tanaman-tanaman bunga untuk mempertegas fungsinya sebagai pagar hidup.

Sejak Ibu meninggal, kami anak-anaknya yang merawat, memangkas bila sudah terlalu rimbun, serta menyiraminya sore atau pagi hari. Dibanding dengan pekarangan tetangga lain, rumah kami memang terlihat lebih hijau. Pokoknya enak dipandang dan sweeejuuuk!

Hingga suatu pagi yang indah, kulihat sesuatu yang janggal ...

“Diiiin! Sudah kubilang jangan naruh jemuran di depan kayak gitu!” seruku. Kulihat jemuran yang berbentuk lingkaran dengan jari-jari banyak sebagai tempat untuk mencantolkan baju. Kerangka jemuran itu dicantolkan di salah satu dahan pohon Kamboja yang besar.

Aku paling tidak suka melihat jemuran di depan rumah. Mengangganggu pemandangan, apalagi segala celana dalam dan beha berkibar-kibar begitu. Haissssh!! Rusak ini mata.

“Nggak malu apa ya celana dalammu diliatin orang yang lalu-lalang?” seruku masih ke arah Dina yang berada di dapur. Dengan tergopoh-gopoh Dina mendatangiku. Matanya mendelik mendengar aku pagi-pagi sudah teriak-teriak.

“Kamu tuh ngapain, Mas? Teriak-teriak kayak kesurupan!” ujar Dina sewot.

“Ituuu ... !”

“Yeee ... emang punya siapa?”

“Bukannya celana dalammu?” kejarku.

“Yee ... kagak! Lagian ada sempak cowok juga!” sergah Dina.

Lha? Iya, ya ... kok ada sempak cowok juga. Lha punya siapa? Kulirik ke arah Dina. Adikku itu menjulurkan lidah, “Siapa lagi kalau bukan punya Mukini dan Mukidi ... yeee!” Dina beringsut meninggalkanku sendiri.

Aku hanya terdiam. Setelah empat bulan tinggal di sini, mulai deh ketahuan aslinya. Bener, itu pasti punya Mukini dan Mukidi. Ya kali adikku Dina yang langsing celana dalamnya segede itu, pikirku.

Perkara pakaian dalam Mukini dan Mukidi yang berkibar-kibar di depan rumah, di tengah indahnya bunga-bunga Kamboja yang bermekaran dan kurawat dengan penuh kasih sayang itu, membuatku tak jenak bekerja. Enak saja naruh jemuran pakaian dalam di pekarangan rumah tanpa minta izin! Mana ban karet celana dalamnya sudah molor-molor. Setan alas! Ini bener-bener polusi mata banget!

Dina sudah wanti-wanti agar aku menahan diri dan tidak mudah terbakar emosi, “Mungkin cuma hari ini, Mas. Lagian kan sebelumnya juga belum pernah. Udah, biarin aja. Semoga besok tidak diulangi. Malu juga kalau harus berantem sama tetangga gara-gara jemuran,” kata Dina sok bijak.

“Jemuran celana dalam!” tegasku sebagai bentuk keberatan.

“Iya, iya ... jemuran celana dalam,” Dina merevisi dengan memonyongkan bibirnya.

“Awas ya, kalau besok lagi!” ujarku geram lalu menyalakan mesin motor dan bergegas berangkat kerja. Selama kerja, mood-ku tak juga bagus. Aku masih tak habis pikir bagaimana seseorang bisa merusak pemandangan indah penuh bunga-bunga dengan menaruh jemuran celana dalam di antaranya? Atau bahkan dia tidak menyadari bahwa itu merusak pemandangan? Emang ada orang sebebal itu? Tapi kenyataannya ada.

Sorenya sepulang kerja aku sudah berniat untuk menegur Mukidi, si suami, agar tidak mengulangi hal sama. Tetapi saat aku pulang, jemuran itu sudah tak ada, yang tersisa adalah bunga-bunga Kamboja warna magenta. Pfiuuuhh ... lega. Setidaknya setelah pulang kerja aku tidak disambut pemandangan seperti pagi tadi. Niat untuk menegur Mukidi pun mendadak hilang.

“Diambil kapan tadi?” tanyaku kepada Dina.

“Siang udah nggak ada. Dipindah di depan pintu kostnya,” jawab Dina.

“Lha itu, bisa juga buat naruh jemuran.”

“Iya, tapi kalau pagi kan kurang dapet cahaya Matahari.”

 

***

Pagi sekitar jam 7, aku bangun. Tumben kulihat di meja makan ada sepiring pisang goreng. Aku mendekat dan mengambil satu. Hmm ... masih panas dan sepertinya enak buat teman kopi. Aku segera beranjak membuat kopi, kemudian balik lagi ke meja makan menikmati pisang goreng dan secangkir kopi. Beberapa gigit pisang goreng dan beberapa seruputan kopi kunikmati, hingga Dina menghampiriku. Dina tersenyum sambil melet-melet seperti menggodaku.

“Apa?” Aku mendelik.

“Nggak apa-apa. Enak kan?”

“Ya, enaklah! Pagi-pagi ngopi ditemani pisang goreng. Oya, tumben kamu bisa bikin pisang goreng enak. Atau beli?” tuduhku.

“Enggaaak. Ngapain juga bikin, apalagi beliin kamu.”

“Trus?”

“Iya, tadi Bu Mukini datang. ‘Mbak Dina ... ini lho saya bikin pisang goreng banyak. Monggo dicicipi’ hahahaha. Kayaknya Bu Mukini tahu lho kesukaanmu, Mas,” goda Dina.

Spontan kuletakkan pisang goreng yang masih separuh kupegang. Lalu buru-buru kuseruput kopiku, kemudian beranjak ke depan rumah. Dina mengikutiku dari belakang, seperti khawatir aku akan melakukan sesuatu di luar kontrol.

“Setaaaan! Dia jemur celana dalam lagi!”

“Udah, Mas ... udah. Nanti dibicarakan baik-baik,” Dina memegang tanganku.

Tampak pemandangan yang hampir sama seperti kemarin pagi. Di antara dahan-dahan pohon Kamboja yang bunganya bermekaran, dengan pot-pot kecil berisi tanaman bunga lainnya, menyeruak satu jemuran lingkaran dengan jari-jarinya tersampir aneka celana dalam, baik celana dalam cewek maupun cowok. Bikin pedih mata!

“Dasar kampungan!! Nggak ada otak!! Ini kalau kita kedatangan tamu kan malu,” aku mengumpat. Berbalik cepat masuk ke dalam ruang tamu, kuhempaskan tubuhku di kursi ruang tamu.

“Husssh ... jangan keras-keras, Mas. Nanti kedengeran! Berantem nanti,” Dina memasang wajah khawatir.

“Din, kamu tahu nggak? Kalau almarhumah Ibu tahu tentang ini juga bakal kecewa. Kamu tahu bagaimana Ibu dulu menanam pohon-pohon itu? menata pekarangan supaya terlihat rapi dan indah, sekarang tiba-tiba ada orang dengan seenaknya memasang jemuran begitu di tanaman-tanaman yang dirawat ibu. Kamu rela?” aku nyerocos dengan penuh emosi.

Dina terdiam.

“Balikin pisang gorengnya!”

“Mas ... jangan. Jangan emosilah. Nggak enak dong balikin pisang gorengnya. Lagian udah Mas makan dua biji ini,” ujar Dina dengan agak takut.

Aku terdiam. Iya, juga ya. Sudah kumakan dua biji.

“Pokoknya aku nggak mau tahu, nanti kamu harus ngomong ke Bu Mukini, supaya tidak menjemur lagi di depan rumah kita. Kalau kamu nggak berani ngomong, aku yang akan ngomong. Paham?”

Dina mengangguk.

***

Hari ketiga hidupku aman dan tentram. Tak ada teror jemuran celana dalam yang tercantol di dahan pohon Kamboja. Mungkin Dina sudah menegur Bu Mukini seperti yang kuperintahkan. Aku bangun agak telat hari ini, karena memang kebetulan bisa kerja agak siang. Dina sejak pukul 07.30 WIB sudah keluar rumah, katanya mau mengambil nomor antrean untuk periksa gigi di Puskemas.

Kalau mau sarapan, ada telur balado di meja makan.”

Itu Whatsapp dari Dina beberapa saat setelah aku bangun dari tidur. Seperti biasa, aku menikmati kopi pagi ini, di teras sambil memandang tanaman bunga. Kalau begini kan enak ya, tanaman-tanaman hijau terhampar, beberapa sudah berbunga. Merawat tanaman menjadi salah satu cara healing yang baik lho. Seneng banget kalau pulang kerja melihat tanaman hijau dan warna-warni bunga.

Oya, jadi jarak antara teras rumahku dengan kos di depan cukup lumayan. Gambarannya begini, setelah teras ada pekarangan sekitar 4 meter jaraknya dari teras, lalu ditambah gang 3 meter, baru pintu kost Bu Mukini dan Pak Mukidi. Sebelum kos ini diisi orang, jalan di depan rumahku rapi dan bersih. Tapi sekarang mulai terlihat sumpek.

Seperti dugaanku, pasangan suami istri itu sudah mulai “membangun sarang”. Kalau orang Jawa bilang “nyusuh”. Terlihat kumuh di depan kostnya, dengan banyak barang-barang yang tidak bisa masuk ke dalam kos. Di samping kanan tampak rak sepatu dan sandal. Di samping kiri ada ember entah berisi apa. Di sampingnya lagi tergantung beberapa kandang burung kosong, tapi ada satu yang isi.

Nah ini, sudah tahu tidak punya rumah dan lahan, masih juga sok-sokan menyalurkan hobi memelihara burung. Daripada buat nyantolin kandang burung, lha mending buat nyantolin kerangka jemuran yang biasa dicantolin di pohon Kambojaku kan ya? Nggak ngerti deh bagaimana jalan pikiran mereka.

Sekarang di depan juga penuh parkiran motor pelanggan mereka yang mau memijatkan anaknya. Meskipun sudah dipepet-pepetkan, tetap saja bikin penuh secara lebar gang cuma 3 meter. Pusing pokoknya kalau mikirin si Mukini dan Mukidi ini. Daripada pusing, mending ditinggal sarapan saja.

Aku masuk ke rumah, lalu menyantap dengan lahap nasi telur balado. Hidup harusnya seenak ini, sarapan dengan telur balado dan secangkir kopi. Bukan mikir ini itu tentang Mukini dan Mukidi.

Belum beberapa suap aku makan, Dina datang dengan motornya. Masuk ke rumah lalu memandangku dengan senyam-senyum.

“Apa?”

“Nggak apa-apa,” sambarnya masih senyum.

“Kok pulang?”

“Nggak dapat antrean. Hari ini pasien gigi penuh. Jadi lebih baik aku balik lagi ke Puskesmas besok saja.”

“Itu ... Si Mukini dan Mukidi gimana ceritanya kok nggak naruh jemuran lagi di depan? Kamu negur dia?” tanyakku.

Dina menggeleng cepat.

“Terus?”

“Yeee ... mana aku tahu, Mas. Lagian dua hari berturut-turut jemur pakaian dalam sebanyak itu emang masih akan jemur lagi? Emang sehari ganti pakaian dalam berapa kali?” Dina berteori.

Aku mangut-mangut. Bener juga. Kalau dilihat banyaknya pakaian dalam yang dijemur dua hari berturut-turut kemarin, pasti paling nggak cukup buat dua mingguan kali ya.

“Tapi kok mereka nggak jemur pakaian biasa ya?” tanyaku heran.

“Pakaian biasa di-laundry, Mas. Aku pernah ketemu Bu Mukini di tukang laundry. Nah, kalau pakaian dalam, si tukang laundry nggak mau,’ terang Dina. Aku mangut-mangut.

“Jadi masih ada kemungkinan mereka akan jemur pakaian dalam lagi di depan?”

“Bisa jadi,” sahut Dina santai.

“Cilaka!” seruku cepat.

“Udahlah, Mas ... biarin. Lama-lama juga capek sendiri. Atau kalau kamu nggak rela, ya udah potong aja pohon-pohon Kambojanya. Biar pakai pot-pot tanaman kecil aja buat pagar hidupnya. Lagian, kamu ini ... nggak suka sama orangnya, tapi mau telur baladonya,’ ujar Dina sambil ngeloyor pergi.

Heh?!

Spontan kuberhenti mengunyah. Jadi telur balado ini pemberian Bu Mukini? Rajin bener sekarang kasih makanan? Mau nyuap ya? Nggak bakal bisa. Nggak bakal! Awas ya, besok kalau masih juga ada jemuran pakaian dalam tergantung di pohon Kamboja, kusamperin itu Mukini dan Mukidi! Bakal kukasih pelajaran!

 

***

Pada akhirnya perang Baratayudha itu tak pernah terjadi. Hingga bulan keempat hingga bulan ketujuh pun Mukini dan Mukidi masih juga memasang jemuran di depan rumahku. Di antara dahan-dahan kokoh, hijaunya dedauan, mekarnya bunga-bunga Kambojaku.

Tiga bulan aku seperti diteror rasa tidak nyaman yang tak berkesudahan. Bagaimana keluargaku? Entahlah. Dina sepertinya biasa saja meskipun juga tidak suka. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam benaknya. Demikian juga kakak perempuanku yang tinggal serumah denganku dan Dina, dia lebih banyak diam. Mungkin mereka memilih untuk mengalah daripada harus ribut dengan tetangga.

Lha bagaimana dengan aku? Apa kabar rencanaku mau memberi pelajaran? Dina mencegahku untuk melakukan konfrontasi ke Mukini dan Mukidi. Tapi lebih dari itu, aku ngeper juga karena Mukidi konon jago beladiri. Dari mana aku tahu? Tetangga sebelah yang cerita. Make sense, sih. Kerjaannya aja sekuriti kan? Bisa jadi ayam geprek aku kalau mau melawannya.

Parahnya, sekarang tak hanya pakaian dalam yang dijemur di depan rumah. Malah seminggu lalu Mukidi menanam tiang, memasang kawat yang menghubungkan antara tiang dengan dahan Kamboja. Alhasil, tak hanya pakaian dalam yang dijemurnya. Keset basah, handuk, sampai gombal-gombal segala rupa dia jemur di situ. Tak cukup hanya itu mereka menterorku. Jemuran-jemuran itu bahkan sekarang menginap! Iya, menginap! Nyuci sore, dibiarkan semalaman di sana besok baru diangkat. Alhasil, nyaris 24 jam pemandangan rumahku adalah jemuran milik Mukini dan Mukidi!

“Kalau kamu nggak berani negur, lapor RT saja. Kalau kamu biarkan begini terus, kamu yang bakal stress sendiri. Ini bukan persoalan sepele lho. Bisa gila kamu!” ujar Joko, temanku. Joko bisa saja benar. Kalau begini terus bisa gila aku!

Ini bukan hanya persoalan jemuran. Ini persoalan menjaga "marwah" keluargaku, menjaga "marwah" almarhumah Ibuku. Indahnya pohon-pohon dan tanaman di pekarangan rumahku adalah legacy dari Ibuku yang harus dijaga. Bener nggak sih? Nggak tahu deh, pokoknya aku sedang berusaha menyusun alasan-alasan pembenaran atas kebenaran yang kuyakini.

Jadi apakah aku harus belajar beladiri? Sebelah barat rumah Joko sepertinya ada sekolah taekwondo.

“Kira-kira berapa ya biayanya?”

“Goblok! Itu sekolah taekwondo untuk bocah SD!” sergah Joko.

***

 Minggu pagi aku terbangung oleh suara orang memukul-mukul seng di depan rumah. Kuintip dari jendela kamarku yang berada di lantai 2, ternyata Mukidi sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Tampak dia sudah membuat semacam kerangka kayu di samping kiri pintu kostnya. Sepertinya dia tengah membangun ruangan kecil memakan badang jalan gang.

Hmmm ... mulai ... mulai ...

Bener kan apa yang kupikirkan dulu? Kalau kos diisi orang yang sudah berkeluarga bakal kumuh. Mulai menambah ini itu, banyak barang di luar dan lain sebagainya. Sekarang sejoli Mukidi dan Mukini tengah membuat ruangan kecil di samping pintu kosnya. Perasaan ini orang aneh-aneh aja hidupnya.

Tapi sayangnya, meskipun aneh, tetangga lain nggak pernah merasakan terganggu. Setidaknya tidak pernah muncul gunjingan soal mereka. Mau tahu kenapa? Ya karena Mukini ini orang yang sangat supel. Kalau sore, bisa lama banget ngobrol ngumpul bareng Ibu-Ibu. Bukan soal ngumpulnya lama, tapi soal dia selalu bawa makanan buat dibagi. Kan bikin kesel ya? Dia seperti selalu menyuap orang agar terlihat baik.

Lha apa dia orang jahat?

Kalau ada yang nanya begini, jatuhnya aku merasa yang bersalah dan menjadi penjahatnya. Iya, aku akui kalau Mukini dan Mukidi ini bukan orang jahat. Sering bergaul dengan tetangga, ramah dan lain sebagainya. Tapi kalau tidak jahat kan bukan berarti tidak punya kemampuan mengganggu orang kan? Bisa saja mereka tidak sadar menganggu orang. Tapi bagi “korban”-nya, itu tetap menjadi siksaan lho. Aku contohnya.

Balik lagi ke kesibukan Mukidi, hingga siang akhirnya terlihat apa yang sedang dia kerjakan. Dia ternyata membuat semacam ruang dengan lebar sekitar 50 cm dan panjang 2 meter nempel di dinding kosnya. Ruangan ini ditutup seng dengan pintu tepat di samping pintu kosnya.

“Bikin apa dia?”

“Katanya sih bikin tempat untuk kandang-kandang burungnya. Mau jualan burung,” Dina memberikan informasi. Adikku memang selama ini yang aku andalkan sebagai mata-mata terkait aktivitas Mukini dan Mukidi. Mukini entah bagaimana ujung pangkalnya, suka banget memberikan makanan ke keluarga kami lewat adikku. Dia seperti tahu kapan adikku beraktivitas keluar, atau pulang dari kegiatan di luar. Begitu motor hampir masuk pekarangan, Mukini dengan sigap memanggil adikku.

“Mbak Dinaaaa ... wah, sudah pulang. Mbak, aku bikin jamu beras kencur lho ... mau ya? Tak ambilkan segelas. Biar nggak capek habis aktivitas. Josss pokoknya,” ujar Mukini.

Cuih! Menyuap lagi!

Lagian Dina mau aja dikasih jamu. Dia kan bukan tipe cewek yang suka minum jamu. Orang makanan ada rasa kencurnya dikit aja dia langsung muntah-muntah. Tapi ya begitulah cewek, tahu nggak doyan tetap saja diterima dengan alasan “Nggak enak, dikasih ini.”

Balik lagi ke kandang-kandang burung. Sore ini Pak RT tampak mendatangi kosan Mukidi dan Mukini. Hmmm ... sepertinya ada sesuatu yang akan terjadi. Pak RT tampak bertemu dengan Mukidi, ngobrol panjang lebar meskipun tak terdengar apa yang diobrolkannya. Aku hanya mengamati dari teras dengan pura-pura sedang membaca majalah. Kupingku serasa melebar selayaknya kuping gajah, radarku kukuatkan, hanya supaya aku bisa mendengar sedikit saja apa yang mereka bicarakan. Kepo? Biarin. Ini soal peperangan yang membutuhkan strategi. Jadi informasi sekecil apapun harus tahu.

Sayangnya hingga Pak RT pulang, itu sekitar 20 menitan mereka ngobrol, aku tak berhasil memperoleh informasi apapun. Tapi masih ada cara lain untuk memperoleh informasi itu. Malam nanti, adalah jadwal ronda Pak RT ... dan ada Singgih, bestie-ku di kampung ini. Jatah rondaku masih dua hari lagi, tapi aku akan minta tukar dengan jadwalnya Singgih.

“Tumben minta tuker. Biasanya paling ogah kalau ronda Sabtu atau Minggu,” Singgih sudah nyolot pada kesempatan pertama aku minta tukar jadwal.

“Selasa aku ada acara. Udahlah, sekali ini tuker. Please?”

“Oke. Tapi Selasa aku dijatah Samsu ya?” Singgih mencoba memeraskku dengan rokok kesukaannya. Aku cepat mengangguk demi peperangan yang harus aku menangkan.

Long story short, malam itu aku ronda bareng Pak RT dan dua orang bapak-bapak lainnya. Kesempatan itu kugunakan untuk mengorek informasi tentang apa yang diobrolkan Pak RT dengan Mukidi tadi siang. Rada susah karena harus melipir-melipir lama supaya nggak terlihat terlalu kepo. Kubuka dengan obrolan soal tren burung Love Bird, merepet ke soal hobi burung, hingga kemudian ke tujuan utama, “Eh, Pak Mukidi saya dengar mau jualan burung juga ya, Pak RT?”

Lalu meluncurlah semua informasi itu. Dalam hal mengorek informasi, aku merasa bangga pada diriku. Skill-ku luar biasa soal beginian.

Lha itu kan jadi masalah. Wong dia tahu dia ini nggak punya pekarangan. Tinggal di kos sempit buat bertiga, motornya aja kalau malam diletakkan di luar, benar-benar nggak ada ruang, eh malah mau jualan burung. Terus membangun ruangan emplek-emplek semi permanen begitu tanpa lapor RT. Ya saya tegur tadi. Tahu kan peristiwa Pak Rahmat yang mau bikin kandang ayam tapi makan jalan gang? Itu kan sempet ramai dan akhirnya di bongkar. Lha ini kok malah diulangi,” Pak RT cerita panjang lebar kali tinggi.

“Nggak tahu kali, Pak. Dulu kan pas kasus Pak Rahmat, mereka belum di sini,” celetukku.

“Ya setidaknya lapor RT. Itu sudah makan jalan.”

“Apalagi kalau pagi, Pak ... jalan habis dimakan motor-motor yang parkir mau pijat,” komporku mulai kunyalakan.

“Nah ... itu sudah kita biarkan. Tapi lama-lama ngelunjak. Sumpek lihatnya!”

“Ya dimaklumi aja, Pak. Mungkin mereka kepepet,” Pak Sunarto nimbrung sok bijak.

“Coba Pak Narto tinggal di depan mereka, sumpek Pak lihatnya. Pak RT sudah bener,” kataku.

“Itu tadi dia nggak mau bongkar. Besok saya lapor ke kelurahan, biar nanti ditegur orang kelurahan. Nanti yang ditegur nggak hanya dia, tapi pemilik kos juga bakal kena kalau persoalan ini sampai kelurahan,” kata Pak RT.

“Iya, nggak apa-apa, Pak. Namanya orang hidup kan ada aturannya. Apalagi mereka orang baru. Pemilik rumah juga harus tahu kalau orang yang kos di rumah mereka sudah mulai menyalahi aturan,” aku berapi-api mengompori Pak RT. Kalau kata-kataku tadi adalah api, ini sudah bisa membumihanguskan satu desa saking bersemangatnya.

“Tenang aja, Mas ... besok saya akan bereskan,” tegas Pak RT.

Aku terdiam. Lho kok jadi semudah ini ya? Hihihihi.

***

 

Selasa pagi, Mukidi sudah membongkar ruangan tempat kandang burungnya yang memakan badan jalan gang. Pemilik rumah sudah kena tegur kelurahan. Setelah kena tegur kelurahan, pemilik rumah pun meminta Mukidi mulai merapikan segala barang yang tampak kumuh di sekitar depan kos itu. Mampus dah!

Sayangnya, kedatangan pemilik rumah tidak bertepatan dengan saat Mukidi dan Mukini menjemur pakaian dan segala gombal. Hari itu tidak ada jemuran! Sial. Pasti Mukidi dan Mukini sudah tahu bakal ada inspeksi mendadak dari pemilik rumah. Berbeda dari sebelumnya, hari ini aku berharap mereka mengotori lagi Kambojaku dengan jemuran mereka. Tapi sayangnya tidak.

Hari Rabu pagi. Jemuran-jemuran itu kembali!

Lebih banyak malah. Keset-keset sisa kena hujan semalam juga dipasang berjajar. Hey, Mukini dan Mukidi ... masak kau tidak pernah mendengar penderitaan kami? Setiap pagi saat kami membuka pintu rumah, kau beri kami pemandangan kancut-kancut kalian! Kau butakan mata kami dengan keset-keset dan gombal-gombal kalian! Sampai kapan kau akan menyiksa kami?

Enough is enough!

Aku sudah muak. Kuhubungi Joko.

“Nanti malam kita ketemu ya? Aku butuh bantuanmu,” pintaku.

“Bantuan apa?”

“Ada, nanti deh.”

“Alaaaah ... paling soal Mukini Mukidi ... hahahaha!”

Aku diam. Kok Joko tahu?

 ***

Sudah seminggu berlalu. Selasa malam giliranku ronda lagi. Saat aku tiba di pos ronda, bapak-bapak ramai kasak-kusuk. Beberapa tampak ngakak. Kepolah aku.

“Lho kamu belum tahu tho, Mas? Lha padahal depan rumah,” ujar Pak Hendro.

“Apa ya, Pak?”

“Semalem Pak Mukidi mendatangi bapak-bapak yang ronda. Cerita kalau pakaian-pakaian dalam mereka hilang. Bahkan keset-keset juga hilang,” cerita Pak Hendro.

“Hilang maksudnya? Ada maling?” tanyaku.

“Hahaha ... lha itu anehnya, Mas. Masak iya pakaian dalam basah ada yang mau nyuri? Buat apa? Terus keset-keset itu juga buat apa ya? Mas nggak tahu soal ini?” Pak Hendro memandangku. Aku menggeleng cepat.

“Nggak tahu tuh, Pak. Padahal jemuran saya di samping rumah sering nggak diangkat semalaman juga aman lho, Pak,” kataku.

“Wah, ada kolor ijo nih ... bahaya,” sambar Pak Wahyu merujuk ke maling pakaian dalam yang dulu sempat menggegerkan.

“Ya salah sendiri sih. Posisi jemuran kan memang dipinggir jalan, meskipun cuma gang, Lha kalau disambar orang kan mudah. Beda kalau di pekarangan rumah, di samping rumah kayak tempatmu, Mas.”

Aku mengangguk.

“Terus rencananya mau lapor polisi kalau kancutnya dan kesetnya hilang?” tanya Pak Wahyu dengan cekikikan.

“Nggak kok. Kemarin katanya cuma nanya, siapa tahu ada yang lihat siapa yang ambil jemuran Pak Mukidi. Karena kan memang setiap hari ada yang ronda, jadi mungkin dipikirnya aman.”

Aku terdiam, tak lagi menanggapi gosipan tentang jemuran yang hilang itu. Malam itu ronda seperti berlalu begitu cepat karena ada bumbu sedap gosipan. Pulang jam 2 dini hari, aku langsung cabut dan bergegas tidur.

Besok adalah awal baru yang indah. Hore!

 ***

“Sial kamu, aku deg-degan tahu nggak. Pas Pak Hendro bertanya masak aku nggak tahu soal hilangnya kancut itu, aku sudah deg-degan. Jangan-jangan mereka tahu apa yang sudah kita lakukan.”

“Aku lebih deg-degan. Itu aku minta bantuan Pelo buat ambil jemuran. Aku bilang ambil aja keset-keset dan gombalnya, jangan jemurannya yang bagus. Tapi kata Pelo, ah tanggung! Akhirnya diambil semua. Kalau ketahuan, mati dikeroyok warga!”

Pelo adalah tetangga Joko yang biasa kami sebut “Laki-laki kurang setengah ons”. Pelo hidupnya di jalan, kadang ngamen, kadang malak rokok ke orang. Orangnya nurut asalkan ada sebungkus rokok Lodji. Tidak mau duit, tidak juga rokok Samsu yang lebih mahal. Itulah kenapa kami menyebutnya “kurang setengah ons”.

“Emang jam berapa ambilnya?”

“Sebelum Subuh kata si Pelo. Seperti yang kamu bilang, Ronda biasanya pulang jam 2 atau 3 dinihari, nah ada jeda sekitar satu jam di mana depan rumahmu itu sepi. Pelo naik sepeda pas ambil itu.”

“Edan ... kok kita bisa segila ini ya?” ujarku dengan masih agak deg-degan.

“Kita? Kamu yang gilaak !!”

“Terus Pelo buang jemuran dan kesetnya kemana?”

“Ke Sungai Bengawan Solo. Buang sial kata dia.”

“Aku sebenarnya kasihan juga ... tapi ya gimana, harus dikasih pelajaran juga supaya mereka ngerti,” gumamku agak menyesal.

“Tenang aja, jemurannya cuma tiga kancut dan baju dalam satu. Lainnya cuma keset dan gombal-gombal nggak jelas. Jangan terlalu merasa bersalah. Mereka lho sudah bikin kamu stress berbulan-bulan, masak kau masih kasihan juga?”

Bener juga sih kata Joko ini.

Sejak peristiwa hilangnya jemuran itu, Mukidi dan Mukini tak lagi menjemur di depan rumah kami. Tapi berita sedihnya, pemilik rumah meminta Mukidi dan Mukini pindah dari kos mereka bulan depan. Aku sendiri tidak tahu apa alasannya, tetapi dari obrolan dengan bapak-bapak, ada yang bercerita bahwa teguran kelurahan membuat pemilik rumah tidak mau memperpanjang kos. Ada lagi yang cerita, Mukidi dan Mukini sudah menunggak kos beberapa bulan. Lalu ada yang mengaitkan dengan hilangnya jemuran.

Tetapi mata-mata terbaik tetaplah Dina, adik perempuanku. Pagi tadi kulihat Dina sambil menyapu pekarangan tampak asyik ngobrol dengan Mukini. Entah apa yang diobrolkan, tetapi kayaknya sih seru.

“Apa?” Dina sudah mendelik begitu masuk rumah mendapatiku menatapnya. Dia tahu, aku berharap dia akan bercerita kepadaku.

“Iya ... iya. Bulan depan mereka pindah. Bukan diusir, tapi memang sudah mendapatkan tempat baru yang lebih luas untuk kandang burung. Pak Mukidi mau serius nyambi jualan burung. Kalau di sini nggak bisa, buat parkir pijat saja penuh,” kata Dina.

“Jadi bukan karena jemurannya hilang?”

Dina terdiam. Lalu menatapku tajam seperti curiga.

“Aku ... eh ... aku mandi dulu, mau kerja!” Aku langsung ngacir balik arah ke kamar mandi.

Hati lega. Begini ya rasanya menang perang.

*****

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@biranti : terima kasih kak
Permulaannya saja sudah menarik❤️
@ariyyy Mukidi ada juga di KPW. Ya nama itu sekadar lewat saja sih di KPW. 😁😀 Artinya ini ada di sekitar pengalaman Anda, Bro @ariyyy?
@keranjinganbercerita : Karena mau pake nama aslinya khawatir kena masalah hehehe. Aku suka saja nama "Mukidi". Kayak ada efek "segar dan lucu". Dan secara rima akan pas dengan nama "Mukini" (lagi-lagi nggak berani nyebut nama asli). Terima kasih sudah mampir.
Gue penasaran, kenapa tokohnya diberi nama "Mukidi"?
Pengembangan cerita soal kancut di cerita ini bikin gue mesam-mesem kadang ngakak. ^_^
@rohmah21 : terima kasih sudah mampir baca ya kak
Aku terhibur sekali membacanya... 😂😂
@sammysabs : Di kampung emanh enaknya buat liburan saja Mas. Apalagi utk yg introvert, mending tinggal di kota. Banyak repotnya kalo tinggal di kampung hihihi.
Hahahha...pengalaman di kampung mesti banyak yang lucu2 ya... Saya yang baca juga gemes dhewe....
@johansianipar : Hahahha. Bener banget. Bermobil tapi gak punya garasi memang menyebalkan.
Rekomendasi