Disukai
42
Dilihat
2,111
Gretta Si Nenek Sihir
Drama

 “Saya?”

Wanita berusia sekitar 45 tahun itu mengangguk cepat dengan tersenyum. Memandangku beberapa saat sebelum kemudian mengangguk lagi. Tangannya bergerak, diisapnya rokok dalam-dalam, dua sesap sebelum kemudian diletakkan batang rokok itu ke asbak.

“Iya kamu. Aku butuh orang yang bisa aku andalkan untuk memperkuat timku,” ujarnya dengan suara berat. Wanita ini memang perokok berat, suaranya pun kupikir dari hari ke hari semakin berat saja. Cocok dengan citranya sebagai karakter bos yang banyak ditakuti anak buahnya di radio.

Aku terdiam. Ini tawaran yang menurutku menarik mengingat selama ini aku bukanlah penyiar dan pegawai yang berprestasi di stasiun radio tempatkku bekerja. Tidak jelek sih kinerjaku, tapi juga bukan yang menonjol dan berprestasi. Satu sisi aku bingung kenapa dia memilih aku, di sisi lain aku merasa tersanjung karena dia memilih aku.

Gretta, nama wanita itu. Saat dia datang ke stasiun radioku, posisinya bukanlah bosku secara langsung. Jadi stasiun radio tempat aku bekerja berada di bawah jaringan perusahaan pemilik puluhan radio di Jawa. Di setiap stasiun radio itu ditempatkanlah seorang manager yang incharge. Nah, di stasiun radio di mana aku bekerja, managernya adalah Mbak Widuri.

Aku cukup dekat dengan Mbak Widuri karena menurutku Mbak Widuri ini orangnya baik. Dia rajin beribadah, tutur katanya lembut dan tertata bagus, jarang marah, tapi di sisi lain cukup tegas dengan caranya sendiri. Dia mengajariku banyak hal tentang dunia broadcast.

Pernah ada saat di mana aku membuat kesalahan fatal, ada penyiar senior yang cuti dan aku harus menggantikannya dalam satu program siaran. Jadwal sudah disusun sepekan sebelum si senior cuti. Pas hari H di mana aku harus menggantikan siaran, alamaaaak ... aku lupa! Alhasil penyiar sebelumnya kelabakan. Mana aku dihubungi nggak bisa lagi. Itu parah banget!

Besoknya aku dipanggil. Aku sudah pasrah saja saat Mbak Widuri menyidangku. Aku akui aku salah dan lupa kalau harus siaran. Dengan santainya Mbak Widuri bilang, “Yah gimana lagi ya? Namanya juga orang lupa. Mau dibagaimanakan juga lupa. Ya sudah, SP 1 ya?” kata dia santai. Hah? Aku pikir aku akan diskorsing langsung, tapi ternyata hanya Surat Peringatan (SP) 1 yang menurutku sangat ringan.

Mbak Widuri dan Gretta ibarat langit dan bumi, air dan minyak, atau mungkin Najwa Shihab dan Nikita Mirzani. Yap, yang terakhir ini kayaknya lebih tepat!

Gretta, sudah dengar namanya sejak lama. Karena dia awalnya memang bekerja di kantor pusat, yang kerap mendapatkan tugas berkeliling dari satu stasiun radio ke stasiun radio lain, inspeksi, cari masalah atau apapun istilahnya. Hingga suatu ketika dia ditugas menjadi semacam manager area yang memonitor seluruh radio satu jaringan di kotaku, termasuk stasiun radio di mana aku bekerja. Tidak seperti halnya kepada Mbak Widuri, kru-kru di radioku tidak menyematkan "Mbak" atau "Bu" di depan nama Gretta. Hanya saat ketemu langsung mereka gunakan itu. Ketahuan kan dia tidak disukai?

Banyak kasak-kusuk tentang dia. Dari yang serem, galak, tukang cari masalah, tukang jilat bos besar, sampai soal “simpanan bos”. Aku sendiri nggak terlalu ngerti dan nggak peduli, mengingat aku hanya penyiar yang “tidak yunior-yunior amat” tapi juga belum pantas disebut senior. Asal kerjaanku beres saja sudah senang. Tapi meskipun sering jadi bahan gunjingan, kalau pas Gretta inspeksi ke radio kami, semua karyawan mendadak muanisssssnya.

“Selamat siang, Mbak Gretta ... makin cantik aja.”

“Mbak Gretta mau makan siang apa biar disiapin?”

Bla bla bla ... semua berlomba bersikap manis dan sepertinya pengen menyelamatkan diri. Lalu apa yang di-monitoring Gretta? Mulai dari program siaran, ketertiban log iklan, siaran per penyiar, hingga persoalan remeh temeh seperti jangan makan di ruang siaran dan lain sebagainya. Jangan salah, sebelum Gretta tiba di stasiun radio yang akan diinspeksi, dia sudah memantau siaran radio dari mobilnya selama perjalanan untuk mengumpulkan amunisi. Ibaratnya, sampai di stasiun radio tinggal keluarin aja taringnya, gebrak meja, kelar sudah.

“Kamu tahu nggak, program kamu itu Memory Song, kenapa bisa ada Maroon 5? Kamu pikir aku nggak tahu kamu nyelipin itu? Emak-emak dan babe-babe mana ngerti Maroon 5? Aku yakin kamu pasti sering nyuri lagu kayak gini? Lalu apa gunanya ada Mas Bayu sebagai music director? Kami lho di pusat memilah-milah dengan susah payah untuk membuat daftar lagu, untuk apa? Hanya buat kamu obrak-abrik begini? Kamu masih mau kerja di sini?”

Pfiuuuh. Pengen ngelap keringat di jidat nggak sih rasanya kalau denger orang dimarahi begitu? Di depan orang banyak lagi. Si Ado lagi sial hari itu karena ketahuan obrak-abrik daftar lagu.

Peggy alias Inul pernah kena semprot tak kalah parahnya. Gara-gara hari Minggu dia gelondor lima lagu tanpa ada DJ comment apapun. Dipikir kan hari Minggu, nggak bakal ada bos ngecek atau memantau.

Eh, kok ya sialnya, Seninnya ada inspeksi Gretta ke stasiun radio kami. Habis deh Inul dimakan sama Gretta sampai ke sumsum tulangnya.

“Kamu siapa?”

“Peggy ...,” jawab Inul takut-takut.

“Nggak nanya nama kamu. Kamu siapa?” gertak Gretta mengulang.

“Saya ... uhmm ... saya, Peggy atau teman-teman memanggil saya Inul, Bu Gretta,” Inul menjawab lagi. Wajahnya mulai beralih dari warna pukis matang menjadi udang rebus. Mau pucat tak bisa karena memang kulitnya sawo matang, akhirnya malah merah padam. Kami yang berada di meeting dadakan itu hanya bisa sesekali melirik ke arah Inul dan merasa iba.

“Aku nggak nanya siapa kamu. Kamu pikir aku pikun? Bolak-balik ke radio ini tidak pernah hapal nama kamu?”

Inul terdiam.

“Kamu di sini siapa?”

Tiba-tiba mata Inul berkerjap. Seperti peneliti menemukan formula yang tepat untuk penelitiannya. Eureka!!

“Saya penyiar, Bu Gretta.”

“Nah ... itu. Sekarang aku tanya, tugas penyiar itu apa? Siaran kan? Ngomong kan? Memandu program acara kan? Bagaimana bisa kamu siaran tapi nggak ngomong sama sekali? Kamu penyiar atau operator?” kejar Gretta.

Inul celingukan. Dia memproses kalimat Gretta agak lama, sebelum kemudian mangut-mangut dan membuka suara.

“Bagaimana Bu Gretta tahu?”

“Nah, jadi bener kan? Tidak penting bagaimana aku tahu. Sekarang kamu tahu kan kesalahanmu?”

Di luar dugaan, Inul menggeleng tidak tahu! Mampus.

“Hah?! Sudah nanya bagaimana aku tahu, ternyata kamu tak tahu kesalahanmu?”

Inul menoleh ke teman-teman satu persatu, “Apa gara-gara saya lupa bersihkan toilet?”

Gretta memejamkan mata cepat. Seperti sudah tidak mampu menghadapi Inul. Aku nyaris nyembur tertawa dengan apa yang diucapkan Inul. Sebenarnya Inul ini tidak bego-bego amat, cuma kadang lemot mencerna sesuatu. Mungkin dia gugup karena dicecar pertanyaan begitu.

“Oh iya, Bu Gretta! Saya tahu ... saya minta maaf. Jadi kemarin itu saya kena diare. Sehari bisa lima kali ke toilet. Sudah minum Entrostop juga nggak mempan, Bu. Nah, pas saya siaran, perut saya mules, akhirnya saya gelondor tuh lima lagu berturut-turut karena harus bolak-balik ke toilet. Nggak lucu kan, Bu kalau saya siaran tiba-tiba terdengar kentut ... maaf,” ucap Inul seperti tak berdosa.

“Kamu kan bisa minta tolong manager untuk mencarikan pengganti? Merusak program acara bukan solusi, tau?”

“Saya pikir nggak ada bos yang mendengarkan, Bu.”

Bangkeeee!! Nyaris ngakak mendengar kalimat Inul terakhir. Ngapain juga kayak gitu disampaikan dengan jujur. Udah salah, ya udah minta maaf dan diam. Terima hukuman habis perkara! Batinku.

“Jadi kalau bos nggak dengerin kamu bisa siaran seenaknya?”

“Maaf, bukan begitu maksud saya, Bu Gretta.”

Inul terselamatkan karena alasannya masuk akal, yaitu sakit. Tetapi dia tetap kena Surat Peringatan 1, yang relatif cukup ringan. Sebenarnya soal-soal begini nggak harus Gretta urusi, karena sudah ada manager yang incharge yaitu Mbak Widuri. Gretta mengurusi manajemen secara general bukan hal teknis macam begini. Tetapi kadang-kadang ya begitu, kayaknya pengen cari masalah biar kelihatan kerja. Atau ada yang bilang gila kuasa, entahlah. Oya, hanya Inul yang memanggilnya “Bu Gretta”. Yang lain memanggilnya “Mbak Gretta” saat berada di depan wanita itu. Sekali lagi kalau dibelakang ya cuma "Grat Gret Grat Gret" doang.

Selasa itu aku dipanggil Gretta.

Oya, Gretta ini sebenarnya tidak punya kantor khusus. Dia hanya keliling-keliling saja dari satu radio ke radio lain di wilayah kerjanya. Tetapi dia lebih sering ngantor di stasiun radio saudara kami yang masih satu kota. Jadi, sebut saja stasiun radio tempatku bekerja adalah Angin Ribut FM di mana target market kami adalah menengah ke bawah dan kami menyiarkan 70% lagu-lagu dari campursari, ndangndut, sisanya 30% adalah pop hingga lagu barat. Saudara kami sebut saja Twister FM adalah radio anak muda, dan di sinilah Gretta sering ngendon. Konon karena managernya adalah bestie-nya saat pertama kali masuk di perusahaan induk. Bila kami bertemu dengan penyiar-penyiar Twister FM, kami kerap bercanda, “Tabahkan hatimu ya. Percayalah kata Chrisye, Badai Pasti Berlalu”.

Keberadaan Gretta di Twister FM tentu membuat penyiar-penyiar dan staf di sana tak berkutik. Kata Andhika penyiar di sana, macam siaran dengan pistol nempel di jidat! Tegang mulu!

Balik lagi ke Selasa itu, saat aku dipanggil Gretta.

“Jadi perusahaan akan mendirikan satu lagi stasiun radio di kota ini. Radio yang berformat bisnis, dengan targetnya para pebisnis dan tentu eksekutif muda. Kamu menjadi kandidatku untuk mendampingiku babat alas. Gimana? Kalau kamu setuju, langsung kuproses ke pusat.”

Babat alas, adalah istilah memulai suatu pekerjaan besar dari nol. Selayaknya kita membuka hutan dan mendirikan peradaban baru di atas lahan bekas hutan itu. Dan peradaban yang ingin dibangun oleh perusahaan ini atau Gretta adalah peradaban yang dihuni oleh para eksekutif muda.

“Kenapa saya?” Aku tersanjung, tapi pura-pura tak percaya diri.

“Karena kulihat secara umum kinerjamu baik. Administrasi dan manajemen oke, meskipun siaranmu ya ... biasa saja. Tapi nanti aku lebih banyak mengandalkanmu di manajemen. Bagaimana?”

Aku terdiam. Ditinggalkan Gretta dengan diberi waktu untuk berpikir.

Tapi sejak itu, Mbak Widuri yang merupakan bosku langsung, uring-uringan. Dia merasa anak buahnya dibajak Gretta tanpa mengajak dia berdiskusi. Mbak Widuri mati-matian mempertahankanku, sementara Gretta dengan kuasanya terlihat arogan dan percaya diri bahwa aku akan menerima tawarannya.

“Cari penyiar penggantimu mudah. Tapi jangan begini juga dia bisa seenaknya mencomot penyiarku, yang udah aku didik dengan baik dan lama. Enak aja dia langsung pilih mana yang akan dia pakai. Egois.” Itu curhat Mbak Widuri di depanku, sambil nangis.

Aku bingung, tapi di sisi lain aku tersanjung.

 

***

 Aku akhirnya memenuhi ajakan Gretta untuk pindah ke stasiun radio baru yang akan didirikan. Iming-imingnya: gaji naik, jabatan asisten manager, juga dapat fasilitas kendaraan yang bila sudah 5 tahun bisa menjadi hak milik. Siapa coba ya bisa nolak? Setelah sejak semester 3 kuliah aku siaran di Angin Ribut FM, hingga lulus dan lebih dari 3 tahun setelahnya bertahan, tak ada kemajuan yang kualami. Ya begini-begini saja. Ini tiba-tiba dapat tawaran yang menggiurkan. Untuk aku yang cuma lulusan S1 dan hidup di kota kecil, tawaran itu tentu menggiurkan.

Aku membusungkan dada. Melupakan tangisan Mbak Widuri. Mengepak ransel dan berangkat menuju medan perang mengikuti Gretta sebagai bos baruku. Tapi kadang terlintas keheranan juga, kenapa Gretta tak mengambil tenaga dan penyiar dari radio lain yang ya setidaknya formatnya bukan ndangdut tapi mungkin yang anak muda, mendekati format stasiun radio yang akan kami bangun.

Tapi kemudian pikiran-pikiran itu hilang seiring dengan semakin sibuknya kami. Gretta yang di mataku dulu sosok yang menakutkan, sekarang berubah menjadi sosok yang menyenangkan, bahkan menjadi teman. Teman-temanku ada yang memandang sikap Gretta kepadaku ini kemudian aneh.

“Kamu nggak ngerasa dia creepy? Tiba-tiba saja kamu berteman baik dengan dia? Public enemy di perusahaan ini?”

“Nggak. Hubungan kami tetap bos dan anak buah. Dia baik sama aku,” dalihku.

Long story short, aku sekarang resmi menjadi senior. Tepat di bawah manager stasiun radio langsung yaitu Gretta, serta punya kuasa terhadap anak-anak baru yang kami rekrut. Sebut saja radio yang kami dirikan ini adalah Topan Badai FM.

Di Topan Badai FM, mayoritas penyiar kami cewek. Setahun setelah beroperasi, hadir sosok Naomi, perempuan cantik mantan jebolan ajang putri-putrian daerah, lulusan komunikasi di Fisip sebuah universitas negeri, supel, suara bagus, dan lain sebagainya – dan lain sebagainya yang kalau dijabarkan kiprah dan prestasinya sederet panjang. Sejak kehadiran Naomi, Gretta berubah sikap terhadapku.

Naomi di-plot menjadi orang yang mengambil alih posisiku. Aku merasakan hal itu. Beberapa pekerajaan yang biasanya menjadi tanggung jawabku, tiba-tiba dilimpahkan ke Naomi. Aku juga tidak mengerti kenapa, tapi sikap Gretta mulai berubah. Awalnya ini hanya perasaanku saja, kupikir.

“Naomi ini aset penting karena kamu tahu kita berhadapan dengan calon client potensial untuk iklan di radio ini. Kebanyakan mereka adalah bos-bos yang yah ... kamu tahulah, akan tertarik dengan Naomi,” ucap Gretta.

Kalau sudah begitu, sudah jelaslah aku nggak mungkin bersaing mengingat aku cowok. Naomi jadi pemikat untuk menjangkau client bos-bos. Logika ini masih bisa kuterima, jadi ya sudahlah.

Oya, setahun di Topan Badai FM, aku juga nggak ngerti kapan kendaraan yang dijanjikan untukku akan datang. Kalau soal gaji, memang lebih tinggi daripada saat aku di Angin Ribut FM, tetapi kenaikannya hanya sekitar 40% saja.

“Soal gaji, kamu jangan ngomong ke siapa-siapa. Gajimu di sini paling tinggi,” bisik Gretta.

Kalau sudah dibisikin gitu, bangga dong aku. Nah, soal gaji ini memang parameternya rada aneh. Manager bisa mengusulkan berapa gaji yang harus diterima anak buahnya, dengan menggunakan parameter performa kinerjanya. Itu yang terlihat di atas kertas. Tetapi pada pelaksanaannya, faktor suka dan tidak suka juga kerap jadi pertimbangan.

Untuk beberapa saat soal Naomi tidak terlalu menggangguku. Cuma kadang aku rada aneh saja melihat Naomi dan Gretta semakin dekat. Makan bareng, ngobrol lama di ruang kerja Gretta, kadang senyum kode-kodean. Instingku berkata, posisiku tidak aman. Tapi aku berusaha tidak mempermasalahkan selama Gretta masih bersikap baik kepadaku.

Hingga suatu sore saat weekly meeting ...

“Oya, teman-teman semua. Sebelum aku tutup weekly meeting kali ini, aku mau sampaikan, per hari ini semua urusan yang selama ini ditangani asisten manager lama, akan ditangani oleh asisten manager baru, yaitu Naomi. Paham ya?” ucap Gretta dengan santai tapi tegas. Pandangannya tak menatap ke mataku sama sekali. Dia tersenyum ke arah Naomi yang sumringah mengangguk-angguk sambil mengedarkan pandangan ke arah peserta meeting.

Anjriit! Kok bisa ya mencopoti jabatan seseorang tanpa mengajak bicara dulu? Tahu-tahu di meeting diumumkan? Apa salahku? Kalau kayak gini kan nginjek-injek aku banget. Aku terdiam di tengah peserta meeting menyalami Naomi. Kulirik Gretta, dia tak ingin memandangku sama sekali.

Semua yang kulakukan selama ini seperti sia-sia. Kalau Gretta mau ngaku, nyaris semua pekerjaannya, laporan-laporan yang harus dikirim ke pusat, monitoring radio yang masih menjadi tanggung jawabnya, akulah yang mengerjakan semua dan itu seabrek. Kadang aku lembur yang tidak pernah dihitung lembur. Aku mengerjakan dari administrasi hingga siaran. Semua kulakukan karena loyalitasku. Tapi ternyata begini ya balasannya.

Sejak saat itu aku seperti jobless. Tugasku seperti penyiar lainnya, anak-anak kemarin sore yang kurekrut. Kadang siaran, kadang jadi produser. Kalaupun siaran, aku selalu ditaruh malam, di mana aku hanya seperti jadi backup saja. Hingga satu titik, aku mulai ya sudahlah. Ambil enaknya saja, bahwa sekarang aku punya banyak waktu luang untuk menikmati hidupku. Yang penting gaji tak berkurang.

Karena kerap di­-plot sore hingga malam, maka aku dan Gretta semakin jauh berjarak. Kami nyaris tak pernah berkomunikasi lagi. Sekali aku pernah dipanggil dan disidang. Gara-garanya ada yang melaporkan aku bahwa aku kalau malam siaran hanya pakai sendal. Aturan perusahaan harus bersepatu.

Okelah, mulai ada yang rewel sepertinya. Aku sedikit demi sedikit mulai disingkirkan Gretta. Dia lupa, siapa yang membantunya selama ini membangun Topan Badai FM hingga berdiri seperti sekarang ini? Aku. Iya, hanya ada aku waktu itu sebelum kemudian kami merekrut orang baru.

Aku mencoba bertahan semampuku. Gretta, meskipun dia posisinya sebagai bosku, tapi sepertinya dia tidak berani bersikap keras terhadapku. Mungkin sungkan karena dia tahu siapa yang membantunya selama ini. Jadi akhirnya yang bisa dia lakukan adalah menerapkan semacam “silent treatment” ke aku. Ya sekadar aku ada aja, terima gaji, sudah. Tidak pernah memerintah bila tidak sangat penting, tak juga memarahi atau memuji. Tidak ada apresiasi dan sepertinya lupa akan pemenuhan hak-hakku yang dia janjikan. Ini yang justru membuatku marah.

Pelan-pelan aku menjadi duri dalam daging bagi dia. Aku tidak melakukan pergerakan yang mencolok, hanya aku berkumpul dan kadang ngompori orang-orang yang sakit hati kepada Gretta di kantor itu. Kami sering curhat. Sayangnya, sepertinya ada double agent di lingkaran ini. Beberapa orang yang masih dalam circle ini mendapatkan masalah setelah sesi curhat.

Di sisi lain, Gretta mulai resah. Dia obrak-abrik jadwal, sehingga yang satu shift denganku, yaitu shift malam, adalah orang-orang baru. Sayangnya, lebih banyak orang yang tidak suka Gretta daripada yang suka. Bahkan orang yang dia tempatkan sebagai mata-mata di shift malam pun ternyata berkhianat kepada Gretta.

“Aku dipindah ke siaran malam. Katanya biar aku bisa ngawasi kamu, Mas. Gretta khawatir kamu akan merusak program atau apapun di komputer kantor. Semua password komputer kantor sudah diganti, hanya komputer bersama yang masih menggunakan password lama,” tutur Dandy, operator yang baru 5 bulan gabung di Topan Badai FM. Aku kaget. Seberbahaya itu rupanya aku di mata Gretta?

“Maaf, aku dulu yang melaporkan ke Bos Gretta kalau kamu siaran malam sering cuma pakai sendal,” lanjut Dandy.

Aku ngakak!

Entah apa maksud Dandy menyampaikan pengakuan seperti itu. Aku tidak berekasi lebih lanjut, karena khawatir itu hanya jebakan saja. Jangan-jangan ini anak juga double agent. Berharap aku akan meluapkan semua uneg-unegku tentang Gretta ke dia, Aku tidak terpancing. Tapi di sisi lain, kadang aku percaya Dandy ini jujur.

Sejak saat itu semangatku untuk berkarya dan membesarkan Topan Badai FM meredup. Aku menyadari tidak mungkin menabuh genderang perang dengan Gretta karena aku ini siapa. Koneksi ke pusat pun aku tak ada. Ya sudah, pelan-pelan aku mulai menyusun langkah untuk keluar dari Topan Badai FM.

Di saat seperti itu, gairahku untuk menekuni dunia baru kembali muncul. Sejak lama aku ingin menekuni dunia jurnalistik. Sepertinya semesta berpihak kepadaku. Suatu hari aku mendapatkan informasi lowongan pekerjaan di sebuah perusahaan media besar. Aku pun melamar. Thank God, aku ditempatkan di shift malam oleh Gretta, karena proses rekruitment dilakukan secara marathon dan memakan banyak waktu, dari pagi hingga sore, selama beberapa hari. Tapi kulakukan itu dengan senang hati, atas nama dendam dan sakit hatiku pada Gretta dan Topan Badai FM.

Proses pengumuman kandidat jurnalis yang dilakukan secara bertahap dan diumumkan di media membuatku agak waswas, bahwa ini akan merusak rencanaku. Yang diambil perusahaan media itu adalah 10 kandidat dan akan diumumkan di koran.

“Ini apa?”

Gretta memandangku dengan tanpa ekspresi, melemparkan koran di depanku. Kulihat koran itu. Dilipat sedemikian rupa hingga bagian pengumuman 10 kandidat tampak jelas. Ada namaku di sana dan memang aku sudah tahu sebelumnya.

“Ya, saya melamar di sana, Mbak.”

“Terus?” kejar Gretta dengan ketus.

“Hari ini saya akan mengajukan surat pengunduran diri,” kataku mantap tanpa mau banyak bacot. Padahal sebenarnya aku belum yakin apakah 10 kandidat itu akan otomatis diterima oleh perusahaan media itu atau melalui penyaringan lagi. Tapi kupikir, buat apa sih bertahan di kantor penuh toxic seperti di Topan Badai FM ini? Wajah Gretta agak kaget saat aku menyatakan dengan tegas akan segera mengundurkan diri. Seperti tidak memberikan ruang baginya untuk berdiskusi. Aku tahu pasti, mencari penyiar itu mudah tak mudah. Dia pasti akan kelabakan mencari penggantiku untuk siaran malam.

One month notice. Kamu baru bisa pergi setelah satu bulan.”

Aku diam. Tapi di aturan perusahaan memang begitu. One month notice juga akan digunakan untuk mencairkan pesangon satu bulan gaji. Baiklah, aku akan memenuhinya. Datang dan pergi dengan terhormat.

Sebulan terakhir bekerja di Topan Badai FM adalah awkward banget. Aku benar-benar hanya datang dan pulang menyelesaikan kewajiban, tidak ada komunikasi dengan Gretta sebagai bos, situasi dengan kru radio lain juga aneh. Entah perasaanku sendiri atau memang benar adanya, tapi aku merasa mereka takut mendekat ke arahku karena sudah tahu perseteruanku dengan Gretta. Alhasil, aku pun nyaris tidak berkomunikasi dengan kru lain.

Hari terakhir berlalu tanpa ada yang berkesan. Tidak ada acara perpisahan atau hadiah kue, makan bersama, dan sebagainya seperti saat kru lain resign. Benar-benar situasi aneh dan hari terakhirku adalah siaran malam. Ada dua orang kru yang datang malam itu, sepertinya bertugas mengawasiku supaya tidak ada barang yang hilang hahaha.

Hingga aku keluar dari Topan Badai FM, banyak hakku tak dipenuhi. Setannya lagi, tidak ada pesangon yang cair! Bangke kan? Tahu begitu ngapain aku pakai one month notice? Mending dulu aku langsung cabut aja. Biadab benar. Mungkin ini karmaku karena tidak setia pada Mbak Widuri.

***

 Aku sudah move on dari Topan Badai FM dan mulai bekerja di media. Suatu hari saat jalan-jalan, aku bertemu dengan Denita, salah satu penyiar cewek andalan Topan Badai FM. Denita ini adalah angkatan awal di Topan Badai FM, yang dulu aku rekrut. Kami baik, cuma jarang bertemu di kantor, karena dia di-plot pagi – siang, sementara aku sore-malam.

“Gimana kabarmu?”

“Baik. Masih betah di sana?”

“Hahaha ... ya dibetah-betahin meskipun itu nenek sihir makin cerewet,” cetus Denita sambil tertawa. Sebagian anak-anak radio menyebut Gretta memang nenek sihir. Aku tertawa dan mendadak ingat wajah antagonisnya Gretta.

“Ya, kerja sewajarnya aja. Yang penting gaji nggak turun,” saranku.

“Eh, aku penasaran nih ... terakhir kamu bekerja gajinya berapa, Mas?” Denita tiba-tiba nyeplos. Aku agak kaget, tapi kemudian tersenyum. Aku teringat dulu Gretta berpesan agar aku tidak membocorkan gajiku. Tapi ya udah, terus terang aja ya, kan memang sudah nggak di sana lagi.

“Aku dibisikin si nenek sihir supaya nggak ngomong-ngomong ke kru lain, karena katanya gajiku paling tinggi. Tapi ya sudahlah ya, toh aku sudah nggak di sana,” lalu kusebutkan gajiku. Denita tiba-tiba membuka mulutnya. Memasang wajah kaget.

“Ya Tuhaaaan ... serius, Mas?”

“Iya, masak aku bohong. Kenapa memangnya?”

“Massss ... aku tuh yuniormu lho. Kamu yang ngrekut aku, ngajarin aku kerja. Masak iya, sih?” ucap Denita. Aku nggak ngerti dengan reaksi Denita.

“Maksudmu?”

“Kamu tahu nggak, Mas? Gajiku itu dua kali lipat gajimu, Mas!”

Hah?! Aku seperti tak terpecaya dengan yang aku dengar. Masak iya, Denita yang dulu anak buahku gajinya malah dua kali lipat gajiku? Nggak deh, kayaknya Denita bohong.

“Serius?” aku coba tenang meskipun gedek banget sumpah dengernya.

“Serius, Mas. Sumpah. Si nenek sihir juga berpesan hal sama kayak yang dibisikin ke kamu. Dia bilang gini, ‘Denita, kamu di sini gajinya paling tinggi lho. Tapi jangan bilang-bilang ya, ini buat kamu sendiri saja,’ gitu kata dia,” terang Denita.

Denita meneruskan ceritanya, bahwa si nenek sihir memintanya bekerja dengan giat dan nurut dengan apa yang ditugaskan. “Intinya, aku merasa dianakemaskan hahaha. Padahal sejujurnya, aku juga gak suka sama dia,” tambah Denita.

Aku tertawa kecut. Memang bener-bener ini si nenek sihir. Jangan-jangan dia melakukan itu ke semua anak buahnya. Aku dan Denita hanya tertawa. Denita sudah merasa pasti dirinya bukan pemilik gaji tertinggi seperti kata Gretta. Pasti ada yang gajinya lebih tinggi lagi darinya. Misalnya Naomi yang masuk belakangan.

“Tapi kayaknya Naomi juga kena tipu juga deh. Sama kayak aku,” kataku ngakak.

 *****

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@semangat123 : terima kasih kak
Bagus cerpennya👍👍
@rahajeng1645 : kayaknya memang di setiap kantor ada yg begini ya. Tapi biasanya yg cewek lebih kejem gak sih?
Dikantorku ada yg macm gretta...dan memang toxic
@sammysabs : Hahaha ada. Uang dan jabatan bisa dgn mudah nunjukin watak asli orang.
Ada ya orang kayak si gretta gtu... Untung kantorku suasannya adem ayem..
@johansianipar : Yes, daripada muak kan ya. Kerja itu harusnya bahagia. Terima kasih sudah mampir baca.
gw resign krn gw jg sdh muak dgn politik kantor. Related bgt dgn cerita ini, walaupun beda mslh. Resign bkn kalah, tp memang bentuk gmn kita menghargai diri kita.
@edotamala : Iya, hiburannya ya cuma lagu2 itu hahaha. Makasih sudah mampir.
Dunia radio yg keliatannya seru dan hepi ternyata bs bikin stress juga ya. Tp setdknya kalo lagi setres gak harus ngadepin excel atau angka2 ya. Bs dengerin lagu2 kesukaan heehehe
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi