Disukai
2
Dilihat
16
Lily
Misteri

(Terinspirasi dari lagu berjudul Lily, yang dibawakan oleh Alan Walker)

Prolog

Bête adalah makhluk istimewa, memiliki kelebihan yang tak dimiliki manusia biasa. Ia mampu mengabulkan impian seseorang, menyulap yang mustahil menjadi nyata. Begitulah legenda bercerita. Banyak orang memujanya, meninggikannya, berharap menjadi the chosen one yang dapat berkawan dengannya. Namun, kefanatikan itu membutakan mata hati mereka. Kebenaran sesungguhnya tersembunyi rapi dalam berbagai konspirasi, manipulasi, dan hipnotis.

Lily Walkins, gadis kecil nan murni, hidup dalam kemalangan. Ia tinggal berdua dengan ibu dalam kemiskinan, sedangkan ayahnya telah meninggal akibat kecelakaan. Hingga suatu hari, seseorang mengetuk pintu rumahnya, merubah garis nasib Lily menuju ketenaran. Namun, semua realita semu itu memiliki satu timbal-balik fatal. Mampukah Lily mengelak dari godaan keindahan duniawi yang ditawarkan Bête, atau akankah ia menjadi the next chosen one?

***

Lily at 7yo ....

Tersebutlah seorang gadis kecil polos penuh mimpi bernama Lily. Impiannya sederhana namun begitu murni: menjadi seorang bintang. Ia membayangkan dirinya berdiri di panggung megah, bernyanyi di hadapan ribuan penonton yang ikut bersenandung sepanjang konser. Persis seperti yang kini ia saksikan lewat layar mungil berbentuk kotak di atas meja reyot.

Lily bersenandung pelan mengikuti irama lagu sang idola, tubuh mungilnya bergoyang sambil mendekap erat teddy bear kusam. Sang ibu hanya bisa memandanginya dengan senyum pedih. Ia tahu, mimpi itu nyaris mustahil. Dunia terlalu kejam bagi mereka yang terjebak di bawah garis kemiskinan.

Ayah Lily telah pergi lebih dulu, memenuhi panggilan Tuhan, meninggalkan rumah reyot dan setumpuk hutang. Kini, sang ibu harus memeras tenaga siang malam demi menutup biaya hidup, membayar sekolah, dan sekadar memastikan perut mereka terisi. Tak jarang, setiap malam ia menangis sendirian, meratapi betapa timpangnya hidup yang tak pernah memihak.

Namun Lily tetaplah gadis kecil nan lugu. Yang ia tahu hanyalah bernyanyi, menari dengan mimpinya sendiri, dan meyakini bahwa suatu hari, impian besarnya akan tergapai.

Malam itu, Lily sendirian di rumah. Sang ibu harus bekerja hingga larut, dan Lily tak pernah mempermasalahkannya. Ia gadis kecil yang cukup mandiri. Memanaskan sup wortel buatan ibunya untuk makan malam atau menyiapkan segelas susu hangat sebelum tidur bukanlah hal yang sulit baginya.

Lily juga percaya dirinya pemberani, tak pernah gentar. Ia ingat pesan ibunya berulang kali: jangan sekali pun membukakan pintu bila ada yang mengetuk di malam hari. Ia berjanji tidak akan melanggarnya.

Belakangan, kota kecil mereka memang sedang dirundung keresahan. Kasus anak hilang merebak—anak-anak kecil diajak pergi oleh orang asing yang datang saat gelap, tapi tak pernah kembali esok harinya. Lily cukup paham itu adalah penculikan. Maka, baginya sederhana saja: selama ia menuruti pesan sang ibu, nasibnya tak akan berakhir tragis seperti anak-anak malang itu.

Tok ... tok ... tok!

Tok ... tok ... tok!

Lily tersentak, menoleh ke arah sumber ketukan. Ibunya tak pernah mengetuk saat pulang; ia selalu membawa kunci. Lagi pula, masih terlalu dini untuk sang ibu pulang. Jadi... siapa yang mengetuk?

Seketika Lily teringat pada peringatan keras ibunya. Sebuah bayangan berkelebat di kepalanya—mungkinkah itu si penculik?

Keberaniannya mendadak menguap. Meski selalu merasa dirinya pemberani, kenyataannya ia hanyalah gadis kecil tanpa daya. Bayangan akan bernasib sama seperti anak-anak yang hilang itu menghantui benaknya. Tidak! Ia menggertakkan gigi, mencoba menepis rasa takut. Yang harus ia lakukan hanyalah tetap diam, tidak membuka pintu. Cepat atau lambat, siapa pun di balik pintu itu pasti akan bosan dan pergi.

Tok ... tok ... tok!

Tok ... tok ... tok!

Ketukan itu semakin keras dan menggema hingga memekakkan telinga. Ia buru-buru menutup kedua telinganya.

Tok ... tok ... tok!

Tok ... tok ... tok!

Lily berlari ke kamar dan segera menguncinya dari dalam. Ia meringkuk di atas tempat tidur, menyelimuti tubuh mungilnya sambil memeluk erat teddy bear usang. Namun ketukan itu tidak mereda—justru terdengar semakin dekat, seolah-olah kini berasal dari balik pintu kamarnya.

Tok ... tok ... tok!

Tok ... tok ... tok!

Lily menangis. Rasa takutnya kian memuncak. Ia hanya berharap ibunya segera pulang dan mengusir si pengetuk pintu. Ia tak ingin bernasib sama seperti anak-anak yang hilang, terpisah dari keluarga dan orang yang mereka cintai.

Lily mencintai ibunya lebih dari apa pun. Ia tahu, tanpa ibunya ia tak akan sanggup bertahan hidup. Ibunya adalah segalanya.

“Tidak... kumohon, pergilah. Cari anak lain,” batin Lily.

Tok ... tok ... tok!

Tok ... tok ... tok!

“Lily...”

Ketukan itu kini disertai suara perempuan yang mendayu, lembut sekaligus merdu. Suara itu memanggil namanya.

Lily tertegun. Tunggu ... dari mana dia tahu namaku?

Tok ... tok ... tok!

Tok ... tok ... tok!

“Lily, bukalah pintunya, gadis mungil. Aku ingin mengajakmu ke konser ... kita bisa bernyanyi bersama di panggung besar.”

Selimut yang menutupi tubuhnya perlahan tersingkap. Kata bernyanyi membuat ketakutannya seketika luluh. Bernyanyi di panggung besar adalah impiannya. Haruskah ia menyambutnya sekarang?

“Lily, buka pintunya, manis ...!”

Kali ini suara itu terdengar bagai mantra, merambat masuk ke telinga dan menenangkan hatinya. Tanpa sadar, Lily turun dari kasur dan melangkah perlahan menuju pintu.

Begitu pintu terbuka, cahaya putih menyilaukan matanya. Di ambang pintu, berdiri seorang perempuan cantik berambut panjang dengan senyum teduh. Ia tidak tampak seperti penculik. Justru, penampilannya menyerupai malaikat tanpa sayap—atau peri cantik dari dongeng.

Apakah peri ini datang untuk mengabulkan keinginan terpendam Lily?

Perempuan itu masih tersenyum. Ia berjongkok, berusaha menyamakan tinggi dengan Lily, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk mengelus pipi mungil itu. Sentuhannya terasa sejuk di kulit Lily.

“Namaku Belle, Lily. Salam kenal,” ucap perempuan itu lembut.

Lily tersenyum, masih terpukau oleh parasnya. Dalam benaknya, berbagai pujian mengalir untuk perempuan berwajah laksana dewi itu.

Belle ... namanya secantik rupanya. Mata biru sejernih langit, pipi merona bak apel ranum, hidung mancung, bibir semerah strowberry segar. Ia mengangguk mantap pada dirinya sendiri.

"Dia jelas-jelas bukan penculik. Aku yakin!"

Perempuan itu terkekeh melihat tingkah menggemaskan gadis kecil itu. Sambil membelai lembut rambut Lily, ia berbisik manis, “Aku ingin mengajakmu ke dunia penuh keajaiban. Di sana kau tak perlu lagi makan sup wortel setiap hari. Kau tidak akan sendirian di malam hari, menunggu ibumu yang tak sempat membacakan dongeng sebelum tidur. Dan tebak, Lily ... kau bahkan bisa menukar boneka usangmu dengan boneka yang jauh lebih besar dan indah. Bagaimana?”

Lily menunduk, menatap teddy bear lusuh yang sedari tadi ia peluk. Tidak! Ia tak mungkin menukarnya. Boneka itu adalah kenang-kenangan terakhir dari ayahnya. Ia menggeleng mantap dan berkata lirih,

“Tidak dengan menukar Teddy. Dia teman sejatiku.”

“Oh, baiklah, mungkin kita bisa memolesnya agar terlihat lebih tampan?” Perempuan itu masih mencoba menawar.

Tawaran itu terdengar begitu menggiurkan. Tidak ada lagi sup wortel. Tidak ada lagi malam-malam sepi tanpa dongeng sebelum tidur. Kesempatan bernyanyi di panggung besar. Bahkan Teddy bisa berubah tampan. Sempurna! Benar-benar sempurna.

Namun ....

“Tidak. Bagaimana dengan Ibu?”

Belle menjawab dengan lembut, "Kita hanya pergi sebentar. Setelah kau mampu bernyanyi di panggung megah, kita akan kembali untuk menjemput ibumu, bagaimana?"

Mendengar itu, Lily mengangguk cepat. "Iya... ide yang bagus. Aku menyukainya."

Saat Belle berdiri dan mengulurkan tangan, Lily segera menyambutnya. Genggamannya erat, seolah tak ingin melepaskan. Dengan langkah mantap, ia mengikuti Belle menuju mimpi yang telah lama ia dambakan—berdiri di panggung, bernyanyi, dan disambut riuh sorak penonton.

***

Lily at 26yo ....

Lily menangis. Ia tahu itu percuma. Keputusannya mengikuti Belle sembilan belas tahun silam adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Belle bukanlah malaikat penolong, apalagi peri baik hati dengan tiga permintaan. Ia adalah penyihir jahat, monster buruk rupa. Semua janji manisnya hanyalah kamuflase—perangkap yang kini menjerat Lily tanpa jalan keluar.

Memang, impian Lily terwujud. Namanya terukir di Walk of Fame di usia muda. Penghargaan bergengsi berjejer di lemari kaca berlapis emas. Sepuluh singlenya merajai tangga lagu dunia. Wajahnya dinobatkan sebagai The Most Wanted Girl, terpampang di berbagai media. Ia bernyanyi di atas panggung raksasa, disambut sorak ribuan penggemar.

Namun, semua itu dibayar dengan harga yang teramat mahal: jiwanya. Ia tak akan pernah bisa mencium harum surga kelak, apalagi berkumpul kembali dengan sang ayah yang telah tenang di sana. Tidak—jiwanya telah ia jual pada iblis. Ia hanyalah bahan bakar bagi neraka terkutuk.

Adakah yang bisa menolongnya?

Lily berteriak sekuat tenaga, tapi tak ada yang mendengar. Ia berusaha kabur, tapi tangan, kaki, dan lehernya terbelenggu rantai tak kasat mata. Penyesalan menggigit hatinya. Ia seharusnya mendengarkan peringatan ibunya. Ia seharusnya lebih kuat menolak godaan fana.

Belle—atau nama aslinya, Bête—menunggu Lily beranjak dewasa sebelum menawarinya kontrak kematian. Sewaktu kecil, Bête sudah memperlihatkan sekilas dunia penuh keajaiban yang bisa Lily raih, asalkan ia mau memenuhi satu permintaannya. Lily diberi waktu untuk berpikir.

Dan pada usianya yang ke-18, Lily mengambil keputusan terburuk dalam hidupnya. Ia menyerahkan jiwa sebagai bayaran demi hidup bergelimang kemewahan, demi keluar dari jerat kemiskinan yang membelenggunya sejak lama. Sejak itu, Lily resmi menjadi budak iblis.

“Lily, acara fans meeting akan segera dimulai.”

Suara itu—Bête, atau Belle—manager terkutuk yang membentuknya, memolesnya, sekaligus mengikatnya. Lily segera menyeka air matanya. Ia tak boleh terlihat rapuh di hadapannya. Meski kini statusnya hanya budak neraka, Lily tetap harus menjaga harga diri, tetap berdiri di atas panggung sebagai bintang. Dengan langkah kaku, ia pun berbalik.

“Belle, aku ingin kau mengatur konferensi pers besar di akhir bulan ini!”

Dengan nada angkuh, Lily memerintah Belle. Bagi dunia, Belle hanyalah managernya—tidak lebih. Namun keangkuhan itu tak satupun mempengaruhi Belle. Sebaliknya, ia menyeringai, seringai yang membuat Lily merinding.

“Untuk apa, Lily?” Belle bersandiwara, berpura-pura tidak tahu alasan di balik perintah itu.

“Aku ingin mundur dari dunia hiburan … aku ingin pamit kepada penggemarku,” suara Lily bergetar. Bayangan harus berpisah dengan para penggemar yang selama ini mendukungnya membuat keangkuhannya di hadapan Belle goyah.

Belle tertawa renyah menanggapi permintaan itu. “Kau masih punya waktu satu tahun, Lily. Proses kematianmu adalah keputusanku. Kau tidak bisa membuat aturan sendiri!”

“Tidak … bukan itu. Yang aku inginkan, dari sisa waktuku, aku ingin menghabiskannya dengan ibu.”

Belle tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menyetujui permintaan Lily. Apa salahnya? pikirnya. Toh, setahun lagi, jiwa Lily akan bergabung dengan jiwa-jiwa pendosa lain yang dengan mudah menjual diri demi kesenangan duniawi yang fana.

***

Lily at 27yo

“Lily, kau ingin makan yang lain? Ibu bisa memasakannya untukmu.”

“Tidak, Bu, hari ini Lily hanya ingin sup wortel.”

Lagi, sejak Lily kembali ke rumah setahun yang lalu, tiap pagi ia selalu ingin sarapan sup wortel. Padahal sekarang mereka hidup lebih dari berkecukupan; apapun yang mereka inginkan bisa dibeli.

Kembali ke peristiwa menggemparkan kala itu. Ibu kebingungan ketika pulang hampir tengah malam dan mendapati pintu depan terbuka lebar. Firasa buruk seketika hinggap, tapi ia berusaha menepisnya. Ia meminta pertolongan tetangga, dan bersama mereka mencari Lily ke tempat-tempat yang biasa menjadi tujuan bermainnya.

Belum lama pencarian berlangsung, ibu mendapat kabar bahwa Lily sudah pulang, diantar oleh seorang wanita. Belle, wanita yang ibu anggap berjasa bagi kesejahteraan mereka berdua. Berkat Belle, Lily dapat mewujudkan impiannya, meski ibu tetap menyesalkan keputusan Lily pensiun dari dunia entertainment. Ibu bingung dengan alasan yang diutarakan Lily.

Jika Lily benar-benar ingin memiliki waktu lebih untuk dirinya sendiri, kenapa ia tak memilih mengurangi jadwal kegiatannya?

Atau, jika memang ingin menjauh dari dunia tarik suara, kenapa ada gurat kesedihan yang tetap terpancar dari binarnya?

Berulang kali ibu bertanya, namun Lily selalu menjawab dengan senyum pedih, seolah sedang menghadapi perpisahan abadi. Ah, ibu pun mulai menerka-nerka, merasakan firasat buruk yang menggelayuti hatinya.

Mencoba memberi warna pada kesuraman suasana, ibu bertanya, “Sayang, setelah sarapan, apa Lily mau menemani ibu ke pasar?”

Lily tersenyum samar, tak langsung menjawab. Beberapa saat kemudian, ia baru memberi jawaban, “Maaf, Bu … sepertinya hari ini Lily ingin berbaring saja bersama Teddy. Boleh, kan?”

Meski merasa khawatir dengan jawaban anaknya, ibu tetap mengiyakan.

Usai sarapan, ibu bersiap pergi ke pasar untuk belanja bulanan. Lily mengantarnya sampai depan pintu, masih memeluk Teddy kesayangannya—usang, tapi tetap terawat.

“Ibu berangkat dulu ya, sayang?”

Hanya anggukan yang ibu dapat. Dengan berat hati, ia mulai melangkah. Namun, belum sampai pagar depan, Lily memanggil. Saat ibu berbalik, ia terkejut: putrinya memeluknya erat, menangis tersedu. Tangisan pedih dan menyayat itu membuat ibu terdiam. Di tengah tangisnya, Lily berulang kali berusaha mengatakan betapa ia sangat mencintai ibu.

Ada apa gerangan? Ini bukan lagi firasat buruk, tapi sesuatu yang aneh—benar-benar aneh. Ibu sempat hendak memutuskan untuk tetap tinggal, namun Lily memaksa ibu pergi ke pasar. Alasannya sederhana: ia ingin daging sapi bakar untuk makan malam.

Usai sarapan, si ibu bersiap pergi ke pasar untuk belanja bulanan. Lily mengantarnya sampai depan pintu. Dengan masih membawa Teddy kesayangannya. Usang, tetapi masih terlihat terawat.

"Ibu berangkat dulu ya sayang?"

Karena rengekan putri kesayangannya, akhirnya dengan berat hati ibu pergi, membawa kegundahan di hatinya. Ia berharap keputusan meninggalkan buah hati hari ini bukanlah kesalahan yang sama seperti 20 tahun silam, ketika ia dulu memutuskan menambah shift kerja.

Saat bayangan ibu menghilang, tangis Lily kembali pecah. Lirih kata maaf kembali terucap di keheningan. Ia semakin erat memeluk Teddy saat terdengar suara memanggil namanya—suara mendayu dengan intonasi lembut, seperti dua puluh tahun lalu. Lily pun menyadari, waktunya telah habis.

“Lily…”

Bagaikan sebuah hipnotis, suara itu menuntun Lily masuk ke dalam rumah, berjalan terus menuju kamar. Dan saat pintu kamar tertutup, selembar kertas bertulis telah selesai dibuat. Maka usailah perjalanan hidup Lily. Ia harus membayar hidangan mewah yang selama hampir 20 tahun ia santap … dengan jiwanya.

***

MEMBER BARU CLUB 27, LILY WALKINS

Tajuk berita itu begitu mengguncang hati ibu. Sepulang dari pasar, ibu kembali menemukan pintu rumah terbuka lebar—persis seperti dua puluh tahun silam. Ketika ia masuk ke kamar Lily untuk menengok putrinya, ia menemukan anaknya tergeletak tak bernyawa, dengan mata terbelalak. Bubuk yang dipastikan heroin berserakan di tempat tidur.

Polisi mengonfirmasi bahwa Lily meninggal karena overdosis obat terlarang, tepat pukul 12 siang, pada tanggal 6 Juni 2019, pada usia 27 tahun. Tidak ditemukan luka di tubuh Lily, maupun bekas perlawanan atau pembelaan diri—seandainya saja ada perampok masuk. Hasil autopsi pun hanya menunjukkan kandungan heroin dalam darah.

Di atas meja kerja Lily, ditemukan selembar surat dengan Teddy usang di atasnya sebagai penahan. Surat itu ditujukan untuk ibu, bertuliskan:

“Maafkan Lily, Ibu. Lily sangat mencintai Ibu.”

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi