Disukai
1
Dilihat
16
Lautner!
Aksi

Lautner terpaksa pulang telat akibat hujan yang turun saat ia sedang ekstrakurikuler. Lautner terpaksa harus diam di ruang fotografi untuk menunggu hujan reda. Tetapi begitu ia berjalan ke halte, tidak ada satu pun bus yang datang. Maka ia memilih untuk berjalan kaki daripada harus menunggu cukup lama.

Lautner tidak memiliki sahabat seperti Jude, sahabatnya yang pindah ke Oceanside. Ia dan Jude sudah saling mengenal saat usia mereka 7 tahun. Dan ketika usia mereka sama-sama 10 tahun, Jude pindah ke negara bagian California karena pekerjaan ayahnya. Meskipun begitu, keduanya masih tetap berkomunikasi. Termasuk saat Jude mengirimkan hadiah untuk Lautner dari California, saat ulang tahunnya yang ke 16, dua bulan sebelum masuk SMA.

Karena tidak ada Jude yang selalu menjadi bersamanya sebagai sahabat baik, Lautner tidak banyak membuka pertemanan yang intens dan dalam dengan banyak orang. Ia hanya berteman biasa dan tidak secara terbuka untuk membicarakan banyak hal pribadi dengan mereka. Berbeda dengan Jude yang sudah Lautner kenal sejak mereka masih sekolah dasar.

Gadis itu berjalan sendirian menyusuri sebuah kawasan perumahan yang luas tetapi juga minim cahaya karena banyaknya pohon-pohon berukuran besar. Lautner mengeratkan genggaman tasnya dan berjalan dengan penuh waspada. Ia merasakan atmosfer tidak mengenakan di tempat ini. Biasanya tiap pulang sekolah dengan bis, ia tidak melewati tempat ini karena langsung bis melewati jalan nasional yang besar.

Langkah Lautner semakin cepat ketika ia mendengarkan sebuah kekacauan dari sebuah rumah. Ia tak mau berlari karena takut dikejar. Jadi ia berjalan cepat agar bisa menghindari sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Lautner terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Di pikirannya sekarang adalah ia harus pulang cepat dan segera meninggalkan tempat itu.

Saat sedang berjalan dengan perasaan waspada, tiba-tiba seseorang berteriak dari luar. Lautner semakin terkejut dan terus mempercepat jalannya. Tetapi teriakan itu semakin kencang dan membuat Lautner yang tak dapat mengendalikan rasa penasarannya, menoleh sedikit. Dalam hatinya ia mengatakan bahwa ia akan segera berlari jika apa yang ia lihat adalah sesuatu yang buruk.

Teriakan itu semakin kencang. Seorang perempuan keluar dari sebuah rumah yang mengalami kekacauan. Beberapa benda nampak dilemparkan ke luar rumah, seperti ember, kursi, payung, bahkan pot bunga. Perempuan itu terus berteriak seakan ia dikejar oleh monster besar yang bisa kapan saja memakannya dalam sekali telan. Ia berlari dengan kencang berusaha menghindar.

Lautner yang melihat itu terkejut. Ia melaksanakan apa yang ia pikirkan tadi. Gadis itu langsung kabur dan berlari secepat yang ia bisa untuk menghindari kekacauan itu. Tetapi tiba-tiba, tangannya sudah dicengkeram oleh perempuan tadi. Terlihat dari wajahnya yang penuh luka dan sembab akibat menangis, ia menahan Lautner dalam diam.

"Tolong... Tolong aku.." ucapnya dengan nada ketakutan.

Perempuan itu sangat berantakan. Lautner menghela nafasnya. Ia memegang tangan perempuan itu. Dingin. Ia dan perempuan itu berjalan tertatih pelan, sebelum seorang pria tiba-tiba keluar dari rumah tadi dan berteriak ke arah mereka. Perempuan itu berteriak histeris dan menarik tangan Lautner untuk lari bersamanya.

Keduanya berlari secepat mungkin untuk mengindari pria tersebut. Ia terlihat mengejar mereka berdua seperti kesetanan. Perempuan itu masih terus histeris sambil menarik tangan Lautner. Ia tidak mempedulikan kakinya yang menginjak banyak kerikil tajam. Lautner memperhatikan kaki dan wajah perempuan itu. Ia juga melihat pria tersebut yang semakin cepat mengejar mereka.

Air muka Lautner penuh karena ia juga takut. Ia tak pernah membayangkan bahwa ia dikejar oleh seorang pria kesetanan yang ingin menyiksa seorang perempuan muda. Perempuan itu sudah tertatih dan terjatuh. Lautner menarik tangannya dan kemudian bergantian jadi yang menarik tangan perempuan itu untuk berlari. Keduanya terus berusaha berlari di kawasan perumahan yang begitu luas ini.

"Sebentar lagi kita sampai gerbang depan, bertahanlah sebentar lagi, nona," ucap Lautner yang kini menarik tangan perempuan itu.

Keduanya terus berusaha berlari sekuat yang mereka bisa. Tetapi tenaga laki-laki mengalahkan tenaga perempuan. Apalagi perempuan yang sedang lemah. Pria tersebut menarik tangan Lautner dan mendorongnya ke belakang. Karena jarak si pria semakin dekat, Lautner mengarahkan tangannya untuk mendorong perempuan itu ke depan. Sehingga tangannya yang ditarik oleh pria tersebut.

Lautner terjatuh dan terjerembab ke tumpukan daun kering di bawah sebuah pohon besar. Kakinya meronta karena ia berusaha untuk berdiri. Tetapi pria itu menahan Lautner sambil mencari batu di sekitarnya. Perempuan itu yang tidak ingin Lautner terluka, langsung menyerang pria tersebut dan mendorongnya ke samping hingga terjatuh. Ia kemudian mengulurkan tangannya pada Lautner, dan mengajak gadis itu kembali berlari.

Pria tersebut berteriak. Ia kembali bangkit dan mengejar keduanya. Tangan Lautner kembali ditahan dan didorong kembali ke tumpukan daun kering. Pria itu mengambil sebuah balok kayu yang ada di sekitar dan mengarahkannya pada Lautner. Begitu kayu hendak dilayangkan, perempuan itu menarik tangannya dan memegang kayu dengan kuat.

Mereka berebut kayu dengan kuat. Lautner langsung berlari ke belakang perempuan itu untuk ikut merebut kayu. Tetapi tenaga mereka kurang dan kayu berhasil dikuasai kembali oleh pria itu. Ia memukulkan kayu tersebut ke pundak perempuan itu dan membuatnya oleng. Wajahnya yang memerah menambah kesan kesetanan yang ia bawa. Pria itu mendekat ke arah si perempuan untuk memukulnya kembali.

Tak ingin perempuan itu mati, Lautner dengan sigap mengambil kayu tersebut. Pegangan kayu yang tidak kuat membuat kayu itu berhasil Lautner ambil. Pria itu mengerang kesal. Ia berbalik ke arah Lautner dan mengambil sebuah batu besar. Perempuan itu yang masih setengah sadar, menahan kaki si pria dan meminta Lautner untuk segera kabur.

Pria itu kesal. Ia berbalik ke arah si perempuan dan menginjak kakinya. Perempuan itu berteriak hebat karena rasa sakitnya. Pria tersebut mengarahkan batu besar yang ia ambil ke arah si perempuan. Ia hendak memukulnya dengan batu setelah kayu yang ia pakai tadi diambil oleh Lautner. Tatapannya penuh amarah, dan perempuan itu menangis kesakitan.

Begitu batu tersebut diarahkan ke kepala si perempuan, Lautner yang takut dan tidak ingin melihat perempuan itu mati, dengan terpaksa memukul kepala pria itu dengan balok kayu di tangannya. Lautner tidak memukul dengan sekuat tenaga, tetapi pria itu langsung oleng. Perempuan itu langsung berdiri dan menghindar lalu memeluk Lautner.

Pria itu oleng sambil memegangi kepalanya. Batu yang ia pegang terjatuh, dan ia pun tersungkur di bawah pohon. Lautner menarik nafasnya dengan memburu. Bukan marah, tetapi karena takut. Matanya membulat. Ia melihat ada darah keluar dari kepala pria itu. Tidak ada suara dan tubuhnya pun tidak bergerak. Pria itu, tewas.

Lautner melirik ke arah perempuan itu. Ia menggelengkan kepalanya seolah mengatakan bahwa ia tidak berani untuk menghampiri pria itu, dan memastikan apakah ia mati atau tidak. Perempuan itu menghela nafasnya. Ia berjalan menghampiri pria tersebut, dan melihat dari jarak dekat. Perempuan itu langsung menutup mulutnya terkejut.

"Dia.. tewas," ucap perempuan itu lirih.

Lautner melepas cengkeraman kayunya. Kayu tersebut terjatuh tepat di samping Lautner. Gadis itu berjongkok. Menarik nafasnya dalam-dalam. Ia mengalami syok berat. Bukan karena pria tersebut tewas, tetapi karena ia yang menyebabkan pria tersebut menuju kematiannya. Ia menatap tangannya sambil menangis.

Perempuan itu menghampiri Lautner. Ia memeluk Lautner yang berjongkok dan berusaha menenangkan gadis itu. Ia mengelus rambut Lautner dan berusaha menciptakan efek tenang untuknya. Perempuan itu juga menyingkirkan kayu dari sekitar Lautner. Ia terus memeluk Lautner selama beberapa menit.

"Sekarang kita kabur dari sini, kita harus pergi," ucap perempuan itu setelah pelukan dilepas.

Lautner mengusap air matanya. "Kabur? Tapi dia sudah terbunuh, nona, bagaimana bisa kita kabur?" jawab Lautner dengan suara parau.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Kita harus cepat-cepat pergi dari sini, nak. Aku akan ke rumah orang tuaku. Aku juga akan membawamu agar bisa merasa tenang," balasnya.

Lautner sedikit menjauh dari perempuan itu. Ia menatapnya dengan curiga. "Kenapa kau begitu tenang sekali, nona? Padahal kau yang disiksa," ucap Lautner. "Apa karena pada akhirnya dia sudah tewas, tetapi bukan di tanganmu, maka dari itu kau merasa tenang?" lanjutnya bertanya dengan bingung.

Perempuan itu terdiam. Ia menarik tangan Lautner dan menutup matanya dengan tangan. Ia tak ingin Lautner melihat secara dekat, apa yang terjadi dengan pria itu. Keduanya berjalan dalam keheningan menuju rumah si perempuan yang sudah kacau. Banyak barang-barang berserakan dan membuat kesan bahwa rumah itu seolah habis dikunjungi badai topan.

"Kau tidak membereskan tempat ini dulu, nona?" tanya Lautner yang terus-terusan memperhatikan barang-barang tersebut.

Perempuan itu keluar dari rumahnya. Ia membawa kunci mobil dan mengajak Lautner untuk naik ke mobilnya. Mobil yang tidak beratap itu, membawa keduanya menuju rumah orang tua si perempuan. Sepanjang perjalanan, Lautner terus melamun dengan tangan tangan yang terlipat di atas pintu mobil. Angin menerpa rambut dan membuatnya berterbangan.

"Apa kau benar-benar memikirkan itu, gadis cantik?" tanya si perempuan.

Lautner mengangguk. "Ya, itu terasa nyata. Karena memang itu nyata," jawab Lautner dengan tatapan kosong.

Gadis itu mengalami guncangan psikologis yang hebat. Ia hanya ingin pulang sekolah dan menghindari rumah yang kacau dengan waspada. Tetapi ia tiba-tiba terseret ke dalam kekacauan itu dengan sangat halus. Saking halusnya, ia bahkan tidak menyangka bisa membunuh seseorang yang tenaga dan ukuran tubuhnya berbeda jauh dengannya.

Perjalanan mereka dari East Montgomery berhenti di Southwest Montgomery. Tepatnya di sebuah daerah suburban yang sedikit terpencil bernama Le Grand. Nama daerah tempat tinggal itu adalah Willow Harper Hill. Butuh waktu sekitar 35 sampai 45 menit untuk sampai ke tempat yang lumayan terpencil itu.

Lautner dan perempuan itu turun dari mobil. Gadis itu memperhatikan si perempuan dengan tatapan waspada. Mereka berhenti di sebuah lahan sepi. Lautner khawatir ini adalah sebuah pola pembunuhan dari kelompok psikopat. Awalnya Lautner dibuat seakan terlibat dalam kekacauan rumah tangga yang sebenarnya adalah kekacauan yang disengaja oleh dua orang psikopat lalu ketika Lautner berhasil membunuh salah seorang psikopat, ia dibawa ke tempat terpencil untuk giliran dibunuh.

Perempuan itu tak mengajak Lautner. Ia berjalan sendirian menuju sebuah rumah besar yang megah di daerah terpencil tersebut. Lautner menyusul si perempuan sambil menghela nafasnya. Ia berjalan mengikuti perempuan itu perlahan. Dalam pikirannya, ia merasa tidak harus menolak jika ia benar-benar dibunuh. Karena Lautner sudah merasa dirinya mengotori dirinya sendiri dengan pembunuhan yang tidak disengaja itu. Maka jika ia mati, ia tidak harus hidup dengan tangannya yang sudah terasa penuh darah.

Dua orang pasangan tua terlihat duduk di beranda rumah besar nan mewah mereka. Perempuan itu menghampiri mereka dan memeluknya. Itu adalah orang tua si perempuan. Nampak mereka saling mengecek keadaan perempuan itu untuk memastikan apakah ada banyak luka yang dialami oleh putrinya. Lautner hanya mengamati mereka dari jauh.

"Hei, gadis cantik. Kemarilah," panggil perempuan itu. Ia mengangkat tangannya, meminta Lautner mendatanginya.

Gadis itu berjalan. Ia menganggukkan kepalanya pada orang tua si perempuan. Mereka meminta Lautner untuk duduk bersama mereka. Ibu perempuan itu mengambil tangan Lautner, dan mengelusnya dengan lembut sambil tersenyum.

"Nak, terima kasih sudah menyelamatkan putriku. Dia begitu berharga, dan kami berdua sangat menyayanginya. Terima kasih sudah melepaskan dia dari iblis itu," ucap ibu tua itu.

Lautner membalas senyuman itu. "Aku sedikit senang jika itu membantu," ucapnya datar. Orang tua itu saling bertatapan.

"Apakah ada yang membuatmu tidak senang, gadis muda?" kini giliran ayah perempuan itu yang bertanya.

Lautner menggelengkan kepalanya lemas. "Tidak, bukannya aku tidak senang, hanya saja, aku penasaran dengan ini semua, tuan dan nyonya," jawab Lautner. "Kalau memang dia adalah iblis, kenapa kalian mengizinkan putri kalian bersamanya?" lanjut Lautner, bertanya.

Kedua orang tua terdiam. Perempuan itu juga terdiam. Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka. Hanya keheningan yang terjadi. Seolah semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, berusaha mencari jawaban dari pertanyaan Lautner. Terdengar sederhana, tapi perlu jawaban yang tepat.

Sore itu berlalu dengan kehampaan. Lautner hanya ditenangkan oleh suasana sepi dan angin menjadi tamu bayangan di rumah besar yang terpencil. Lautner yang sudah mengabari orang tuanya bahwa ia akan pulang sangat telat, diantar pulang oleh perempuan itu kembali ke rumahnya.

—END—

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)