Disukai
1
Dilihat
10
Checkmate!
Aksi

Ruangan interogasi sunyi. Hanya ada seorang tersangka yang berhadapan dengan seorang penyidik. Ruangan itu dilengkapi kamera untuk merekam apa yang terjadi. Si tersangka melambaikan tangannya ke arah kamera. Menyapa pria dibalik monitor yang bisa terlihat lewat kaca yang memisahkan ruang antar mereka. Selama 3 menit, ruangan itu seolah dibiarkan untuk mengobservasi sebelum penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.

Bibir si penyidik mengkerut. Ia mengernyit heran sebelum akhirnya menutup berkas perkara yang sedang ia baca. Matanya menelisik tajam ke arah si tersangka. Tatapan itu dibalas dengan santai. Bola mata berwarna coklat seperti kacang hazelnut muda yang belum matang. Tersangka itu, adalah seorang pria muda berusia 18 tahun. Tatapannya sayu, namun dalam dan mengintimidasi.

"Sekarang jelaskan tentang ini," ucap penyidik itu, menyodorkan sebuah foto seorang pria yang terlihat sepantaran dengan tersangka.

"Aku tidak mengenalnya," jawab tersangka.

Penyidik itu menghela nafasnya. Ia mengulurkan tangannya. Mengajak pemuda itu untuk saling berjabat tangan. Penyidik berniat untuk memperkenalkan dirinya terlebih dahulu agar si tersangka tidak merasa tegang. Penyidik cukup tahu, bahwa pria muda tidak semudah itu untuk mengungkapkan hal-hal besar.

"Artha Mahesrasha," ucap penyidik memperkenalkan dirinya.

Pemuda itu membalas uluran tangan si penyidik. Ia menyeringai kecil. "Arsha Lingga," jawabnya balas memperkenalkan diri.

Artha kembali menarik foto yang ia sodorkan. Kini ia memegang foto itu sejajar dengan telinganya. Menunjuk wajah tersenyum yang ada di dalam foto. Arsha menyipitkan matanya. Ia menganggukkan kepalanya berkali-kali dan kemudian berdecak malas. Pemuda itu menggulung lengan jaketnya.

"Kau ingin aku menjawab bahwa aku mengenalnya?" tanya Arsha dengan tangan yang jarinya saling mengapit di atas meja.

Artha menyimpan foto itu. "Jika memang itu benar, maka katakanlah, nak," jawab Artha sambil mengetukkan jarinya di samping foto.

Arsha menyandarkan tubuhnya. Ia meregangkan lehernya dan kembali ke posisi sebelumnya. "Kenapa aku harus mengaku kalau aku mengenal orang ini?"

"Karena kamu dijadikan tersangka atas pembunuhannya," jawab Artha. Ia kembali menunjuk ke wajah di foto.

Arsha menggaruk pangkal hidungnya. Wajahnya tidak menunjukkan bahwa ia merasa tegang atau ketakutan dalam ruang interogasi ini. Perkenalan Artha yang berniat agar pemuda itu tidak tegang, sepertinya gagal. Arsha terlihat tidak menikmati interogasi ini. Karena memang seharusnya tidak perlu dinikmati. Tetapi ia harus tetap berada di tempat ini untuk sebuah pengakuan besar di usianya.

Arsha Lingga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan seorang pemuda berusia 18 tahun yang mayatnya ditemukan di lapangan sekolah. Hal tersebut membuat satu sekolah gempar. Pemandangan mayat di pagi hari bukanlah hal yang seharusnya murid bahkan guru untuk melihatnya. Polisi langsung memasang garis kuning dan persekolahan hari itu pun diliburkan. Murid-murid diminta belajar di rumah dan diminta untuk tutup mulut agar kasus ini tidak menyebar luas di luar sekolah.

Polisi melakukan penyelidikan. Mereka menelusuri siapa seseorang yang terakhir kali bertemu dengan korban. Polisi menanyai setiap murid yang dekat dengan korban. Dan setelah satu persatu keterangan dikumpulkan, polisi berhasil mengetahui bahwa korban terakhir kali bertemu dengan Arsha. Seorang siswa yang kelasnya ada di sebelah kelas korban.

Saat itu, Arsha belum datang ke sekolah. Dan bisa dipastikan ia juga tidak mengetahui apa yang terjadi pagi itu. Polisi kemudian meminta foto Arsha untuk identifikasi dan berjaga di depan gerbang sekolah. Setiap murid selain Arsha yang datang diminta untuk pulang. Banyak yang bertanya alasannya, namun pihak sekolah hanya menjawab: belajar di rumah, dan jangan bilang siapapun.

Setelah menunggu lama dan meminta puluhan murid yang datang untuk kembali pulang, polisi berhasil mengamankan Arsha. Pemuda itu datang dengan jaket hoodie hitam-biru dengan wajah mengantuk. Polisi, dibantu oleh wali kelas Arsha dan juga kepala sekolah, membawa Arsha ke ruang bimbingan konseling untuk pemeriksaan awal. Polisi membiarkan guru bimbingan konseling yang bertanya terlebih dahulu pada Arsha, sebelum akhirnya ia dibawa ke kantor polisi.

"Boleh aku tahu namanya?" tanya Arsha setelah beberapa saat berurusan dengan hidungnya.

Artha tersenyum getir. "Tak mungkin kau tidak mengenal namanya," jawab penyidik itu pelan.

Artha berdiri dari duduknya. Ia berjalan mengelilingi meja sambil membawa foto korban. Arsha memandanginya dengan senyum. Ketika Artha menunjukkan foto itu tepat di depan wajah Arsha, pemuda tersebut mengambil foto itu. Ia memandangi foto tersebut selama beberapa detik.

"Dengar! Aku tidak ingin bermain-main dengan seorang anak kecil. Tujuan utama kau dibawa ke kantor polisi adalah untuk memberikan keterangan. Kami sudah menetapkan mu sebagai tersangka, tapi kami juga harus mengetahui apa yang terjadi langsung dari mulutmu sendiri!" kata Artha dengan tegas.

Arsha mendesis kecil. Ia melempar foto yang dipegangnya ke ujung meja. "Polisi... Polisi... Siapa yang bisa percaya dengan polisi?" ujar Arsha membalas perkataan Artha.

"Aku tak pernah menghadapi perkara hukum, pak. Dan aku juga tidak tahu bahwa ada proses interogasi kepada tersangka. Ku kira yang di interogasi adalah terdakwa," jawab Arsha setelahnya.

Artha berdiri di tembok samping. Ia melipat tangannya. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu, nak?"

Arsha terkekeh geli. "Semua masyarakat tahu, pekerjaan kalian hanya akan dikerjakan jika sesuatu sudah menguap ke publik. Kalian juga bisa menetapkan seseorang secara tiba-tiba sebagai tersangka. Terkadang ada proses hukum, terkadang juga tidak," jawab Arsha. Ia memainkan kukunya sambil ditiup-tiup.

Artha menghela nafasnya panjang. "Jadi sekarang kau hanya ingin beropini saja?" tanya Artha membalas jawaban pemuda itu.

Arsha menggeleng cepat. "Tidak. Tentu saja tidak. Itu bukan opini, pak polisi. Dan sayang sekali jawabanmu seperti itu. Memperlihatkan bahwa anda tidak tahu bagaimana masyarakat memandang institusi ini."

Artha memajukan bibir bawahnya. Ia menunduk sebentar dengan mata yang memerah. Sepersekian detik setelahnya, ia menggerakkan tangannya ke meja dan menatap Arsha dengan tajam. Nafasnya memburu seolah menahan emosi yang sudah lama ia hentikan di dadanya. Ketika emosi itu tak bisa lagi bertahan, ia mengeluarkannya lewat gebrakan meja. Arsha hanya memandangi Artha dengan tenang.

"Sekarang, cukup jawab pertanyaan ini. Apakah kau yang membunuh korban?" tanya Artha penuh penekanan.

Arsha terdiam. Ia masih memandangi Artha dengan mata sayu dan tatapan yang tenang. Artha yang tidak kunjung mendapat jawaban, langsung mendorong keluar kursi Arsha, dan menarik kerah jaket hoodie pemuda itu. Artha kembali menatap dengan mata yang memerah. Penuh amarah.

"Kau tahu? Ini yang membuatku malas mengurus kenakalan remaja. Mereka bebal, sok benar, berisik, merasa dirinya intelektual, kotor, penuh kebohongan, menjijikkan, menyebalkan, dan tidak masuk logika. Apakah remaja sepertimu tidak pernah diajari ibumu tentang apa itu jawaban yang benar?!" Artha berteriak kencang dan mendorong Arsha ke tembok.

Arsha mengangkat kedua tangannya sejajar telinga. Ia mengarahkan tatapan matanya ke tangan Artha, meminta sang penyidik untuk melepaskan cengkraman tangannya. Artha kemudian melepas tangannya, dan mendorong Arsha ke samping. Pemuda itu mengusap-usap jaketnya, dan kembali duduk di tempat sebelumnya.

"Jadi seperti itukah cara seorang polisi berbicara pada pemuda? Ku pikir citra kalian pada orang muda adalah ramah tamah," ucap Arsha setelah duduk.

Artha juga kembali duduk. Ia menahan kepalanya dan kemudian membuka kembali berkas perkara yang ada di hadapannya. Artha kembali menutup berkas itu dan memandang Arsha serius sambil mengatur nafasnya.

"Nak, apakah kau sering menonton film?" tanya Artha dengan tenang.

Arsha menggelengkan kepalanya. "Jika film yang anda maksud adalah film seperti Cinderella atau putri salju, ya, aku menontonnya. Kenapa?"

Artha menutup mulutnya dengan tangan terkepal. "Terkadang film bisa mempengaruhi mu tentang bagaimana kau melihat seseorang. Jika kamu menonton film tentang pembunuhan atau psikopat, kamu bisa terpengaruh dengan bagaimana para pembunuh memainkan pisau mereka untuk memotong nadi dan membuat wajahnya terkena cipratan darah. Anak muda, apalagi yang masih labil, bisa terpengaruh se begitu kuatnya. Ku pikir kau adalah penonton film seperti itu, nak," ucap Artha sambil memandangi bola mata Arsha yang sedang menopang dagu dan turut memandanginya.

"Wah aku seperti mendengar dongeng, pak polisi," balas Arsha yang juga memandangi bola mata Artha dengan intens.

"Kau tahu. Aku tak pernah mengurusi kasus pembunuhan yang pelakunya adalah seorang remaja. Di negara ini hal tersebut adalah tabu. Terlebih lagi seseorang di usiamu. Belum dewasa," balas Artha.

"Tapi aku sudah di atas 17 tahun, pak polisi. Dan hukum mengatakan bahwa seseorang yang berusia 17 tahun adalah legal. Dan aku satu tahun lebih tua dari usia legal. Dengan kata lain, aku sudah melewati tahun legal pertama ku," balas Arsha santai.

Artha kembali menghela nafasnya. "Apa mata pelajaran favorit mu, nak? Sepertinya kau pandai beretorika. Kau senang bermain-main dengan kata?"

Arsha bersiul kecil. "Aku suka matematika, tetapi di materi menghitung bunga. Aku suka fisika jika membahas hukum Newton. Aku suka biologi jika berbicara soal pengolahan sampah. Aku bisa menyukai kimia jika membahas tentang tabel periodik. Aku suka bahasa Inggris dan nilainya lebih besar daripada nilai mata pelajaran bahasa Jepang. Dan aku suka bahasa Indonesia, karena aku menggunakan bahasa ini sejak aku bisa berbicara," jawabnya.

Artha mengangguk-angguk. Ia mendengar jawaban Arsha sambil memeriksa berkas perkara itu sekali lagi. Arsha menatapnya dingin. Menyadari tatapan itu, Artha merasa bahwa ia mengabaikan pemuda itu. Ia kemudian kembali menutup berkas perkara dan menopang dagunya untuk melanjutkan pertanyaan. Artha menggerak-gerakkan pulpennya.

"Apa yang ingin kau lakukan saat hari ulang tahunmu?" tanya Artha setelahnya.

Arsha berdeham kecil. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang, dan memasukkan kedua tangannya ke saku jaket yang ada di bagian tengah. Tatapannya masih dingin. Ia tersenyum kecil, lalu memandangi pria di balik kaca. Sekali lagi, ia melambaikan tangannya. Artha hanya memandangi apa yang dilakukan pemuda tersebut sambil menunggu jawaban atas pertanyaannya. Arsha kembali memasukkan satu tangannya ke dalam saku.

"Apakah ini metode interogasi yang dilakukan oleh polisi? Bersikap profesional di awal, mengamuk, kemudian bersikap melunak?" tanya Arsha dengan nada heran.

"Cukup jawab pertanyaannya, nak," balas Artha seolah tak ingin kembali terpancing emosi untuk yang kedua kalinya.

Arsha berdecak. "Jika memang pembunuhan adalah hal yang terlarang, mengapa mereka harus menunggu untuk mati jika memang sudah tidak kuasa?"

Artha mengangkat sebelah alisnya. Ia menatap Arsha serius. Pemuda itu mengambil foto korban dan merobeknya di tengah. Meninggalkan senyum yang terbelah dan foto yang tak lagi sama. Foto itu terbagi menjadi dua bagian besar. Arsha menyimpan sobekan foto itu di tengah-tengah meja.

"Kau tahu? Banyak orang ingin mati. Tetapi kenapa jika ada seseorang membunuh agar membantunya untuk mati, harus diadili? Bukankah ada pengadilan akhirat yang bisa memutuskan apakah itu salah atau benar?" lanjutnya.

Arsha berdiri dari duduknya. Ia berjalan mengitari meja, dan menahan tangan kirinya di sandaran kursi Artha. "Aku bukan remaja 18 tahun biasa, pak polisi. 18 tahun juga bisa punya pikiran terbuka. Stigma, norma, semua itu, masyarakat sangat kolot dan tradisional."

Bulu kuduk Artha berdiri. Ia menelan ludahnya. Sayup terdengar suara helaan nafas Arsha yang diambil dalam-dalam. Pemuda itu menyeringai, mengelus sandaran kursi dengan tangan kirinya. Begitu Artha berbalik, sebuah belati keluar dari saku jaket pemuda itu.

Arsha menancapkan belatinya di leher Artha. Penyidik itu mengerang kesakitan. Pria monitor berlari keluar menuju pintu ruang interogasi. Arsha dengan cepat mengunci ruangan itu dan menyandarkan dirinya di pintu.

"Aku hanya membantunya untuk mati. Dia mengeluh padaku bahwa ia sakit. Jadi, aku membunuhnya," ucap Arsha tenang.

Pemuda itu kemudian menghampiri Artha yang sudah tergeletak dengan leher yang tertancap belati. Degan senyum puas, Arsha mengambil belati itu dan menancapkan belati tersebut dengan membabi buta. Secara liar ia mengarahkan belati itu sampai darah Artha memuncrat ke wajahnya.

Sambil tertawa puas, pintu dan kaca yang terus-terusan digedor, dan Artha yang sudah meregang nyawa, Arsha terus menancapkan belatinya berkali-kali tanpa henti. Tawanya menggema di ruangan interogasi yang kedap suara. Monitor masih merekam suaranya,

dan dengan nada kepuasan seperti berhasil mendapatkan buruan, Arsha berteriak kegirangan.

"CHECKMATE!"

—END—

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)