🛵 PERJALANAN: JAKTIM KE TANGERANG
BAB 1: Titah Ratu Jaktim & Kaleng Pusaka
Lokasi: Perumnas Klender, Jakarta Timur. Waktu: Sabtu, 10:00 WIB (Matahari lagi lucu-lucunya). Suhu: Neraka bocor halus.
Wisnu (20) lagi nikmatin fase deep sleep paling hakiki. Di alam mimpi, dia lagi jadi pro player E-Sport yang angkat piala. Tapi, realita berkata lain. Sebuah teriakan ultrasonic menembus dinding kamar, menghancurkan mimpi indahnya berkeping-keping.
"WISNUUU! BANGUN GAK LO? MATAHARI UDAH DI ATAS PALA!"
Itu suara Emak. Di dunia persilatan rumah tangga, suara ini setara dengan Mantra Pengekang Kepala (Jin Gu Zhou). Mau se-savage apapun Wisnu di tongkrongan, kalau Emak udah mode sopran, nyalinya langsung ciut jadi seukuran kutu air.
Wisnu nyeret kakinya keluar kamar dengan muka bantal. Di meja makan, Emak udah berdiri tegak dengan aura overpower. Di depannya, ada sebuah benda keramat yang bersinar kena pantulan cahaya jendela:
Kaleng Khong Guan Merah.
"Cuci muka. Minum air. Dengerin titah Emak," kata Emak tanpa ba-bi-bu.
Wisnu duduk, nyawa belum kumpul 100%. "Ada apaan sih, Mak? Tumben amat ada Kong Guan. Lebaran kan masih lama."
"Buka matanya, Jamal!" Emak nepuk pundak Wisnu. "Ini bukan biskuit. Ini Rengginang Super buatan tangan Emak sendiri. Limited edition. Udah dijemur 3 hari 3 malem di genteng, dijagain dari kucing oren tetangga."
Wisnu ngangguk-ngangguk paham. Rengginang Emak emang legendaris di kecamatan. Renyah, gurih, dan rapuhnya ngalahin hati cowok pas diputusin cewek.
"Terus?" tanya Wisnu, mulai ngerasa firasat buruk.
"Om Hendro di Tangerang lagi ngidam ini. Dia barusan telpon, marah-marah katanya kangen masakan kakaknya. Jadi..." Emak menatap Wisnu tajam, tatapan Dewi Kwan Im lagi ngasih tugas negara. "Kamu anterin ini sekarang ke Tangerang."
"HAH?!" Wisnu keselek ludah sendiri. "Tangerang, Mak? Itu far away from home banget! Jaktim ke Tangerang tuh kayak beda zona waktu! Panas, macet, debu woy!"
"Nggak usah banyak alesan!" potong Emak. "Gojek mahal, takut hancur di jalan. Kalau kamu yang bawa, Emak percaya. Inget ya, Nu... Rengginang ini HARUS UTUH. Nggak boleh remuk, nggak boleh jadi serbuk."
Emak mendekatkan wajahnya, mode intimidasi aktif.
"Kalau sampe sana isinya cuma remah-remah... jatah uang bensin bulan ini Emak cut. Motor kamu Emak sita."
Wisnu nelen ludah. Ancamannya real. Om Hendro itu galaknya kayak final boss. Kalau Wisnu dateng bawa rengginang hancur, bisa-bisa dia disuruh pulang jalan kaki lewat tol.
Dengan berat hati, Wisnu ngambil jaket hoodie buluk kesayangannya—zirah perangnya. Dia ngambil kunci motor beat karbu tahun jebot yang parkir di teras. Si Kuda Putih yang udah sering batuk-batuk minta turun mesin.
Wisnu masukin Kaleng Kong Guan itu ke dalam totebag kanvas, terus dia gendong di depan dada kayak bayi. Nggak berani ditaruh di hook motor, guncangannya terlalu bahaya.
"Ati-ati, Nu! Jangan ngebut! Awas lobang!" teriak Emak dari pager.
Wisnu nyalain motor. Brum... prepet prepet...
"Otw, Mak," gumam Wisnu lemes.
Roda motor mulai berputar meninggalkan basecamp Jaktim. Di depan sana, jalanan Kalimalang yang chaos udah nungguin. Misi suci nganter Rengginang dimulai. Tantangan pertama: Panas Jaktim yang nggak ngotak.
Wisnu belum tahu, di perempatan depan, Takdir (dan Toni Botak) sudah menunggu.
BAB 2: Neraka Kalimalang & Siluman Botak
Lokasi: Jl. Raya Kalimalang – Cawang. Waktu: 11:30 WIB (Matahari lagi roasting warga Jaktim). Kondisi: Macet, debu setebal bedak pengantin, dan emosi di ubun-ubun.
Perjalanan baru dapet 15 menit, tapi Wisnu rasanya udah kayak ngejalanin penance stare-nya Ghost Rider. Jalur Kalimalang siang ini bener-bener definisi "Simulasi Padang Mahsyar versi Knalpot Bobokan".
Truk kontainer segede Gaban seliweran di kanan-kiri, bikin angin yang nampar muka Wisnu berasa kayak tamparan realita. Wisnu meluk tas totebag berisi Kong Guan itu erat-erat dengan satu tangan, sementara tangan kanannya ngegas tipis-tipis.
Kreek... kreek...
Suara kaleng beradu pelan dari dalam tas. Jantung Wisnu mau copot.
"Sabar ya, Sayang... Sabar..." bisik Wisnu ke kaleng rengginang. "Jangan remuk dulu. Kita belum sampe Cawang."
Tiba-tiba, HP di saku celana getar panjang.
TING!
Wisnu melirik sekilas pas lampu merah Pangkalan Jati. Notifikasi WA muncul di layar yang retak seribu. Nama kontaknya: Sasha ❤️.
"Nu, dimana? Anak-anak pada ngumpul di Kokas nih. Mampir dong, aku sendirian ga ada tebengan balik nanti... 🥺"
JEGEERRR! Godaan Siluman Cantik menyerang!
Iman Wisnu goyah. Kokas (Kota Kasablanka) itu deket, adem, dan ada Sasha. Wangi parfum Sasha vs Bau knalpot truk Kalimalang? Pilihan yang gampang sebenernya.
"Ah elah, kenapa pas gue lagi bawa misi negara sih?!" rutuk Wisnu.
Otak reptil Wisnu bilang: Belok! Sikat! Rengginang urusan belakangan! Tapi kemudian, bayangan wajah Emak muncul di spion motor, lengkap dengan backsound lagu horor. Dan wajah Om Hendro yang kumisnya setebal aspal jalanan terbayang sedang menunggu di Tangerang.
Wisnu menggeleng keras. "Maaf, Sha. Hari ini gue bukan fuckboy, gue kurir syariah." Wisnu mengabaikan pesan itu. (Godaan 1: Lolos).
Baru aja napas lega, cobaan sebenernya datang.
Dari arah belakang, suara knalpot berisik cempreng membelah kemacetan. TRENG-TENG-TENG-TENG!
Sebuah RX-King butut nyalip Wisnu dari kiri dengan jarak cuma setipis kartu ATM. Si pengendara nengok. Helm half-face, muka berminyak, senyum ngenyek.
Itu Toni Botak. Musuh bebuyutan Wisnu sejak jaman main layangan.
"Woi, Siput!" teriak Toni sambil bleyer gas. "Motor lo keberatan dosa apa keberatan utang? Lemot amat!"
Darah muda Wisnu mendidih. Vibe The Edge King-nya langsung aktif. Gengsi laki-laki Jaktim-nya terinjak-injak.
"Wah, ngajak ribut ni Siluman Banteng," batin Wisnu. Tangan kanannya otomatis mau metot gas dalem-dalem buat ngejar dan ngasih paham siapa penguasa aspal.
VROOOM! Motor Wisnu mulai naik rpm-nya. Dia siap nyalip Toni.
Tapi, saat motor ngebut, ban depan menghajar polisi tidur kecil yang nggak kelihatan.
DUG! KRACAK!
Suara dari dalam totebag terdengar mengerikan. Bunyi renyah sesuatu yang patah.
Wajah Wisnu pucat pasi. Lebih pucat daripada mayat.
"Anjrit... Rengginang gue..."
Wisnu langsung ngerem. Persetan sama Toni Botak yang udah melesat jauh sambil ketawa ngakak. Persetan sama harga diri.
Wisnu menepi ke pinggir jalan yang penuh debu. Dia buka tas dengan tangan gemetar, ngintip ke dalem kaleng lewat celah tutupnya (tanpa buka segel biar ga ketahuan).
Aman. Belum jadi bubuk. Cuma geser posisi doang.
Wisnu ngelus dada. "Hampir aja gue jadi anak durhaka."
Dia sadar sekarang. Perjalanan ke Tangerang ini bukan soal kecepatan. Ini soal Ketenangan Jiwa. Toni Botak adalah ujian kesabaran. Kalau dia kepancing emosi, Rengginang hancur, dan dia bakal dicoret dari Kartu Keluarga.
Wisnu kembali ke jalan dengan mode baru: Mode Zen. Kecepatan 40 km/jam, di lajur kiri, senyum ramah ke sopir angkot.
Di depan sana, gerbang tol dalam kota dan panasnya Slipi sudah menunggu. Tangerang masih jauh, tapi Wisnu sudah belajar satu hal: Jadi pahlawan itu bukan soal siapa yang paling cepet, tapi siapa yang bisa menjaga keutuhan Rengginang.
BAB 3: Judgement Day di Serpong & Kitab Suci yang Utuh
Lokasi: Perumahan di Tangerang Selatan. Waktu: 16:15 WIB (Sore yang kusam, muka Wisnu lebih kusam). Status: Pantat tepos, jiwa raga remuk redam.
Setelah melewati neraka duniawi bernama Tomang dan Kebon Jeruk, serta nyaris nyasar masuk tol Jakarta-Merak karena bengong, Wisnu akhirnya melihat plang suci itu: "Selamat Datang di Tangerang Selatan".
Motor Beat-nya udah ngos-ngosan parah, suaranya udah kayak kakek-kakek batuk berdahak. Wisnu sendiri bentukannya udah nggak karuan. Jaket hoodie-nya berubah warna jadi abu-abu kena debu jalanan, mukanya kucel berminyak kayak gorengan didiamin seminggu.
Tapi di dadanya, Kaleng Kong Guan masih aman dalam pelukan.
Wisnu membelokkan motor ke komplek rumah Om Hendro. Suasana di sini beda banget sama Jaktim. Hening, rapi, jalanannya mulus. Terlalu tenang... mencurigakan.
Sampailah dia di depan gerbang hitam yang tinggi menjulang. Rumah Om Hendro.
Ting tong!
Wisnu memencet bel dengan jari gemetar.
Nggak lama, pintu terbuka. Keluar sosok pria paruh baya pakai kaos kutang putih dan sarung, tapi auranya kayak Dewa Erlang yang siap menghukum siluman. Kumisnya tebal melintang, matanya tajam setajam silet.
Itu Om Hendro.
"Lama amat lo, Nu? Emak lo bilang berangkat dari pagi," sapa Om Hendro datar, tanpa senyum.
Wisnu cengar-cengir kaku. "Biasa, Om. Jaktim ke sini kan simulasi mudik. Macetnya nggak ada obat."
"Mana barangnya?" Om Hendro nggak mau basa-basi.
Wisnu dengan hati-hati—super hati-hati—mengeluarkan Artefak Suci dari dalam totebag-nya. Dia menyerahkan Kaleng Kong Guan itu ke tangan Om Hendro. Rasanya kayak nyerahin nyawa sendiri.
Jantung Wisnu berdegup kencang: Dug... dug... dug...
Om Hendro menerima kaleng itu. Dia mengocoknya pelan. Krusuk... krusuk...
Alis Om Hendro naik sebelah. Wisnu nahan napas. "Mampus. Bunyinya kok kayak pecahan beling?" batin Wisnu panik.
"Masuk," perintah Om Hendro.
Mereka duduk di teras. Ini adalah Momen Penhakiman (The Final Judgement). Om Hendro meletakkan kaleng di meja, lalu pelan-pelan membuka tutupnya.
Cklek. Tutup terbuka.
Wisnu merem. Dia nggak sanggup liat kalau isinya udah jadi bubuk rengginang. Bayangan wajah kecewa Emak dan ancaman potong uang jajan menari-nari di kepalanya.
Hening. Satu detik. Dua detik.
"Huum..." gumam Om Hendro.
Wisnu memberanikan diri buka mata satu.
Di dalam kaleng, tumpukan rengginang itu... MASIH UTUH! Susunannya masih rapi melingkar, warna ketan hitam dan putihnya bersinar indah. Ada sedikit remah di dasar kaleng, tapi itu wajar. 95% kondisi sempurna.
Wisnu langsung lemes saking leganya. Rasanya pengen sujud syukur di lantai teras.
Om Hendro nyomot satu rengginang, gigit. KRIUK! Renyah. Gurih.
Senyum tipis—tipis banget, nyaris nggak kelihatan—muncul di wajah sangar Om Hendro.
"Bagus. Emak lo emang jago bikin ginian. Dan lo..." Om Hendro ngelirik Wisnu, "...lumayan juga bawanya. Nggak hancur kayak waktu sepupu lo bawa nastar tahun lalu. Jadi bubur."
Om Hendro merogoh saku sarungnya, ngeluarin dua lembar uang warna merah. Soekarno-Hatta.
"Nih. Buat bensin sama jajan balik. Bilang Emak, makasih."
Mata Wisnu langsung ijo. Mission Accomplished! Lelah, debu, dan emosi lawan Toni Botak terbayar lunas. Dua ratus ribu di tangan, harga diri terselamatkan.
"Siap, Om! Makasih banyak!" Wisnu Salim dengan takzim.
Wisnu pamit mundur perlahan. Saat dia naik ke motor bututnya lagi, dia merasa bukan lagi sekadar Wisnu si Mageran. Dia adalah The Edge King of Delivery. Dia adalah Kera Sakti yang berhasil ngambil Kitab Suci dan dapet cashback.
Dia nyalain motor. Brum!
Tapi kemudian Wisnu sadar satu hal mengerikan.
Dia masih di Tangerang. Rumahnya di Jaktim. Dan sekarang jam 5 sore. Waktunya macet pulang kantor.
"Ah, elah..." Wisnu nunduk lesu di setang motor.
Perjalanan pulang ke Timur—Journey to the East—bakal jadi neraka babak kedua. Tapi ya udahlah, seenggaknya dompet tebel.
TAMAT.