Kau sering mengucap,
“Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa” (Dharmapada. 49)
Darimana kau tahu sebuah ayat dari dalam kitab suci Dharmapada, padahal kau bukan penganut Budha, Eyang?
Mereka, masyarakat pinggir gunung ini memanggilmu Eyang. Panggilan terhormat. Meskipun di belakangnya, mereka menyematkan kata gendeng. Kau dipanggil Eyang Gendeng. Sebab kau tak pernah sekalipun menyebutkan siapa namamu kepada mereka. Kau bilang kau adalah pengembara. Pengembara tak perlu meninggalkan nama. Tapi Eyang, jika bukan sebuah nama, lalu apa yang tersisa dari seorang pengembara?
“Saya menanam. Meninggalkan air, menciptakan udara dan menyisakan kehidupan.”
Itulah mengapa mereka kemudian menyematkan kata gendeng padamu, Eyang. Perkataanmu sering membuat mereka tak mengerti. Tapi setidaknya mereka mulai paham dengan tindakanmu alih-alih perkataanmu. Kau bilang itulah yang terpenting.
Kau datang kemari ketika langit September mengikat butiran air hujan untuk tetap berada di langit. Angin bersekongkol pula, berhembus kencang-kencang menyapu awan dan menciptakan terang. Hujan jadi tak pernah datang. Permukaan bumi kian pecah. Sawah-sawah menjadi gemeletak, kering tak bernyawa. Itulah September. Selalu begitu.
Orang-orang desa mengeluh panjang, bahkan sejak Juli. Mereka baru setengah menjadi orang desa, sebab dahulu kala mereka masih orang gunung. Tapi gunung kian hari kian kurus dan bogel. Tubuhnya digerogoti ladang-ladang. Ladang menjadi desa, sebelum kemudian menjadi kota.
Kau datang dan mendirikan gubuk tepat di ladang terakhir area gunung ini. Kau menyebutnya rumah, tapi orang -orang menyebutnya gubuk. Mereka biasa mendirikan gubuk di ladang atau di tanah calon ladang. Kau sendiri yang menamai lahan dimana orang-orang telah bersiap untuk menebang pohon-pohonnya dengan sebutan calon ladang.
Tapi ada yang aneh. Kedatanganmu tidak sama seperti orang-orang itu. Mereka menebang, sementara kau menanam. Mereka membuat gunung ini kian kurus, tapi kau mau menggemukkannya. Untuk apa Eyang?
Setelah gubukmu sempurna, setidaknya menurut pandangamu sendiri, kau mulai berkeliling. Tiap pagi menjelajah sekitar. Kau tidak hanya bercengkrama dengan siapa saja, tetapi dengan apa saja. Burung, ulat, nyamuk, bapak pucung, ngengat, tanah, kodok, batu, bahkan denganku!
Gubukmu hanya beberapa langkah dari tubuhku. Kau sering duduk di akarku, mendongak ke atas untuk mengamatiku, lalu mulai mengajakku bicara. “Terimakasih, wahai beringin,” ucapmu untukku pada interaksi pertama kita.
Pada hari-hari berikutnya, kau mulai menebar benih, menancapkan tunas, menyetek dan merawat bibit. Lajur tanammu membentuk pola, seolah sedang mendirikan pagar. Pagar berupa pepohonan. Pagar untuk menandai bahwa area ladang tidak seharusnya naik ke atas lagi.
Mereka semua melakukan kegiatan yang sama denganmu, hanya saja jenis tanaman dan polanya berbeda. Kau menanam pepohonan sementara mereka menanam makanan. Sesekali kau bercengkrama, tapi berdebat pada akhirnya. Duh, Eyang. Andai saja kau tidak bicara soal keserakahan, tentu mereka tak akan memakimu. Jika petani dan pekebun kau bilang serakah, lalu bagaimana dengan yang lain, yang tinggal di gedung-gedung tinggi berlapis baja dan kaca?
Petani itu tentu saja kesal jika kau bilang tak seharusnya orang-orang menjual apa yang mereka tanam. Tidak semua orang sepertimu, eyang. Kau hanya menanam apa yang mau kau makan dan mengunyah apa yang sekiranya muat di dalam perutmu. Memperluas lahan untuk menumbuhkan lebih banyak makanan adalah dosa besar bagimu. “Tidak seharusnya manusia hidup dengan cara demikian. Semakin banyak makanan, semakin banyak lahan, semakin banyak peliharaan, maka akan semakin banyak manusia. Semakin banyak manusia, maka semakin banyak lagi kebutuhan akan makanan, kebutuhan akan lahan. Pada akhirnya, manusia akan menelan segalanya, termasuk dirinya sendiri.”
“Eyang Gendeng jangan didengarkan, Dir! Ikut gendeng nanti kamu.” Kodir si petani cabe kena sindir mang Engkus. Sementara Eyang terus berbicara meskipun mereka tak lagi mendengar. Ah, lagi-lagi kau menumpahkannya padaku jika tak ada lagi yang mau mendengar.
Kian hari, kian bulan, kian tahun dan kini telah satu dekade kau tinggal di perbatasan hutan dan ladang pada gunung ini. Pagar yang kau buat telah terlihat nyata dan sukar ditembus. Pohon-pohon yang kau tanam telah berdiri kokoh meski masih seusia remaja. Sebab, usia kami tentu tak sama dengan manusia. Kami bisa hidup hingga ratusan tahun, sementara manusia sungguh sering mati muda.
Kau bilang lereng gunung ini mungkin akan menjadi tempat terakhir pengembaraanmu. Tubuhmu kian kisut, matamu kian sayu, dan jemarimu kian gemetar. Tak sanggup lagi kau menggali tanah untuk menanam. Tak sanggup lagi kau menanjak, mengukur jalan setapak untuk sekedar memetik pakis di pinggir sungai.
Tapi Eyang, sayang seribu sayang. Pada pengembaraan terakhirmu, kau justru dipaksa menerima duka. Sekelompak orang datang, ingin membawamu pergi, ke tempat yang lebih layak, kata mereka. Tapi kau menolak, sebab kau ingin mati di gubukmu, lalu dikubur di bawah tubuhku hingga sari patimu menyatu denganku melalui akar-akarku yang juga mulai renta.
Kau mengendus duka lain saat mereka mulai membicarakan padi gunung. Dalam sakitmu, kau masih berusaha bicara. Tapi lirih suaramu tentu tak mungkin menembus ambisi mereka. Perlahan, saat mereka merawatmu karena kemanusiaan, mereka juga mulai mengukur-ngukur tubuh gunung ini.
Sayang seribu sayang, Eyang. Pagar yang telah kau buat nampaknya menjadi makhluk kasat mata. Ratusan pohon yang telah kau tumbuhkan sebentar lagi menjadi tiada guna, setidaknya di matamu sendiri. Sebab di mata mereka, tentu padi gunung lebih berguna daripada pohon-pohon berakar perkasa. Perut anak cucu mereka membutuhkan makanan, bukan akar-akaran.
Kau mendengar deru mesin senso. Sayup pada awalnya, namun kian menderu tiap harinya. Saat suaranya memekakkan telinga tuamu, saat pagar yang kau tanam selama satu dekade mulai tumbang satu persatu, saat itu lah kau dengan sisa-sia tenagamu mencoba untuk keluar gubuk untuk duduk di bawahku. Tidak ada cerita panjang seperti masa lalu, tidak ada perdebatan sengit antara kau dan satu dua orang petani.
Angin di penghujung siang menghanyutkan ratapan lirih yang keluar dari mulutmu. Kemudian seekor lebah turun dari salah satu rantingku untuk hinggap di pundakmu. Dia seolah ingin menemani ujung siangmu sebab kau lah si manusia penumbuh bunga bagi mereka. Kau pernah berkata bahwa lebah membantu kaum bunga dengan penyerbukan, bukan hanya menyesap habis madunya. Begitu juga sebaliknya. Untuk siapa lagi bunga-bunga menghasilkan madu jika bukan untuk kaum lebah? Begitu seharusnya mengunakan sumber daya milik alam semesta. Sementara manusia memilih jalan celaka. Mendurhakai ibu alam, memelihara keserakahan dan meniti karma.
Deru mesin kini bercampur dengan bunyi retakan kayu yang tumbang ke tanah. Burung meraung terbang tak terarah, monyet-monyet lari menuju ke pucuk, dan kau membayangkan ulat-ulat tergencet diantara patah ranting-ranting.
Eyang, kau tak sanggup lagi menyaksikannya. Lalu kau masuk dan berbaring saja di atas dipanmu yang lapuk. Sementara siang telah hilang saat sayup kudengar kau merapalkan mantra sebelum malaikat maut menuntun jiwamu untuk menuju tempat peristirahatan yang kekal.
“Duduk dan tunggu. Manusia meniti karma, alam menuju murka.”
Kudos, keren! 👏👏👏