Disukai
1
Dilihat
1,187
Awas Kepala Buntung
Horor

Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi awal tahun 2000-an. Tempat, nama tokoh tentu disamarkan. Ada beberapa yang ditambah dan dikurang untuk kepentingan cerita.

***

Kampung ini masih belum terlalu padat penduduk, rumah antar rumahnya pun memiliki jarak, tidak seperti perumahan zaman sekarang. Ada beberapa tempat yang masih berupa lahan kosong dipenuhi semak belukar dan persawahan luas di pinggir jalan. Apalagi penerangan jalan yang seadanya dari rumah masing-masing warga.

Untungnya dunia pendidikan tak segelap wilayahnya. Ada Pondok Pesantren terkenal dengan keunggulannya mendalami kitab kuning, di luar dari pada itu Ponpes ini juga mengadakan kegiatan belajar mengajar ilmu keagamaan khusus bagi anak-anak rentang usia SD sampai SMP yang biasa diadakan mulai jam 2 siang. Banyak orang tua sekitar Ponpes yang memanfaatkan waktu siang anak-anak mereka untuk mengaji disana. Termasuk orang tua Nur yang notabene adalah kakak dari pendiri Ponpes tersebut, suatu ketidakmungkinan apabila Nur tidak mengaji disana.

Langit mendadak cerah, awan mendung seakan bergeser dari tempatnya seolah mengetahui bahwa banyak anak-anak yang akan pulang mengaji sore itu. Termasuk perempuan berbadan mungil yang sedang duduk di atas tembok pembatas setinggi 50 sentimeter di samping gapura besar bertuliskan--Pondok Pesantren Al-Hikmah, tatapannya sibuk memperhatikan lalu lalang anak-anak seumurannya yang baru selesai mengaji. Mereka semua pulang serentak pada pukul 4 sore.

Mata Nur sangat awas, ia menyadari seseorang yang sedari tadi ia tunggu akhirnya terlihat batang hidungnya, perempuan berbadan gempal itu berlari kecil menghampiri Nur sambil memeluk erat tas punggungnya yang terlihat penuh dan menyesakkan dada.

"Gausah lari-lari begitu, Lan, kaya dikejar setan aja." Ucap Nur.

"Aku sudah hafal ayat kursi, Nur." Jawab Wulan lantang sambil mengatur ritme napasnya.

"Pantesan lari-lari, mau pamer ternyata." Ketus Nur sambil mendorong Wulan pelan.

"Kalau aku jatuh, kamu kuat gendong emang?" Wulan menyeimbangkan tubuhnya.

Persahabatan Nur dan Wulan bermula dari SMP kelas 7 semester 2, mereka teman sekelas, tapi tidak sebangku. Kedekatan mereka justru tumbuh saat ngaji bareng. Wulan memiliki background orang tua yang tidak terlalu memperhatikan ilmu agama, alhasil Wulan kena getahnya. Nilai Wulan jeblok pada pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah, ia tidak terlalu unggul dibandingkan siswa-siswi lainnya. Alih-alih minder, justru Wulan mendekati siswi terpintar perihal pelajaran tersebut. Nur.

Sudah setahun lamanya mereka menjalin persahabatan, acapkali Nur menginap di rumah Wulan, pun sebaliknya. Jarak rumah Nur dan Wulan tidak terlalu jauh hanya terhalang 4 rumah.

"Tadi ngapain aja di rumah bibimu?" Tanya Wulan, "enak ya jadi gak ngaji." Tambahnya.

"Bibimu ... Bibimu, sopan dikit Lan, bilang aja Hajjah Nyai. Beliau kan istri pendiri Ponpes."

"Iya, iya."

"Enakkan ngaji sebetulnya, bisa ketemu temen-temen kan." Jelas Nur sambil fokus pada jalan.

Mereka pulang menyusuri pinggiran jalan raya. Ada 2 alternatif jalan pulang yang bisa mereka lalui, jalan pertama, berjalan kaki kurang lebih 1 kilometer dari Ponpes ke arah timur, lalu belok kiri ke arah utara, lanjut berjalan ke arah timur lagi 200 meter, maka rumah Nur yang akan sampai duluan. Sedangkan jalan kedua, lurus terus setelah belokan pertama sejauh 100 meter lalu belok kiri, maka rumah Wulan yang akan sampai duluan. Jika dibayangkan, ini seperti sebuah jalan berbentuk persegi panjang, yang mana rumah Nur dan Wulan berada di satu sudut yang sama.

"Lewat sini aja, Nur!" Ajak Wulan di belokan pertama, "ada yang mau aku ceritain soalnya." Tambahnya.

"Biasanya kita juga lewat sini kan, Lan. Lagian kalau lurus rasa-rasanya kaya jauh."

"Iyalah jauh soalnya kan yang pertama sampai rumah aku dulu."

"Yaelah cuma jarak 4 rumah doang juga."

"Tuh tahu."

"Maksud aku, terasa jauh karena jalan lurusnya terlalu panjang, jadi kaya lama."

Wulan hanya mengangguk pelan, sesekali membenarkan posisi tas yang ada di pelukannya.

"Oh iya, Nur, kalau kita jadi santriwati nanti, berarti pulang jam 9 malam dong ya?" Tanya Wulan.

"Iya. Kenapa emang?"

"Kamu gak takut, Nur, pulang lewat sini malam-malam?"

"Takut kenapa, kan gak ada apa-apa."

Sorot pandang Nur dan Wulan teralih beberapa langkah ke depan pada seorang perempuan berusia kira-kira 55 tahun yang sedang menyapu halaman depan rumahnya, halaman itu menyatu dengan jalanan yang sama-sama tanah. Terlihat tumpukan dedaunan kering yang sudah membentuk gunungan kecil menandakan perempuan berpakaian daster itu sudah dari tadi melakukan aktivitasnya.

"Sore, Bu Harun." Sapa Nur dan Wulan.

"Eh, Neng Nida dan Neng Hera." Saut Bu Harun.

"Saya Nur, Bu, ini Wulan."

"Kalau Nida itu kakaknya Nur, Hera kakak saya, Bu." Tambah Wulan.

"Oh, mirip-mirip wajahnya." Ucap Bu Harun sambil kembali menyapu.

"Mari, Bu."

"Ya, mari."

Belum terlalu jauh dari rumah Bu Harun, Wulan mendadak berdiam diri, tangan kanannya membentang menghalau pergerakan Nur agar memberhentikan langkahnya. Padahal menuju rumah Nur saja masih setengah perjalanan lagi.

"Ngapain sih?" Solot Nur sambil menurunkan tangan Wulan.

"Coba deh lihat sekitar! Ada yang aneh gak?" Bisik Wulan dengan suara seraknya.

Nur dengan mudahnya mengikuti perintah Wulan mengamati keadaan sekitar, matanya berusaha mencari sesuatu yang mungkin ia lewati selama ini, padahal jelas jalan yang berukuran cukup untuk 1 mobil ini adalah jalan utama yang sering Nur lewati ketimbang jalan ke arah rumah Wulan yang terbilang lebih jauh.

"Nemu gak?"

"Nemu apaan sih, di kiri kita cuma ada rumah Pak Cecep, di kanan kita cuma perkebunan yang gak jelas pohonnya apa aja. Ada pohon pisang, pohon nangka, pohon kelapa, pohon sukun, pohon minyak kayu putih, semak belukar ...."

"Pohon kamboja?" Sambung Wulan.

"Pohon Kamboja ...? Mana? Aku gak lihat bunganya." Ucap Nur sambil melanjutkan penyusurannya dengan jari telunjuk.

"Stop! Gak boleh tunjuk-tunjuk, pa-ma-li. Jilat jari telunjuk kamu, Nur!"

"Aku kan gak nunjuk kuburan, Wulan."

"Sini!" Wulan menarik tangan Nur berjalan beberapa langkah menghampiri perkebunan itu. Ada selokan kering selebar 40 sentimeter dengan kedalaman hanya setinggi lutut Nur dan Wulan yang menjadi pembatas antara jalan dan perkebunan. Mereka berdiri di pinggiran jalan menghadap perkebunan yang suasananya cukup teduh, sinar matahari sore tak cukup menembus dedaunan yang rindang, riuh angin yang menggerakan ranting-ranting pohon membuat kebun ini bak hutan di film-film horor, ditambah dedaunan kering yang bergulir lembut di atas tanah mengikuti arah angin.

"Kamu melihat sesuatu yang aneh sekarang?" Tanya Wulan.

"Lihat apa sih, Lan."

"Itu." Wulan menunjuk pakai jempol ke arah bebatuan yang berjajar rapi.

"Batu-batuan?"

"Perhatikan lebih jelas lagi!"

Nur berfokus sejenak.

"Astaghfirullohaladzim ...." Teriak Nur kaget, "kok bisa?"

"Aku juga baru tahu dari Mamah, gak sengaja kemarin malam dengar Mamah dan Kak Hera lagi bahas ini itu, termasuk ..."

"Termasuk bahas kuburan ini?"

Wulan mengangguk pelan. Nur yang sering lewat jalan ini baru mengetahui kalau ada 1 kuburan yang berjarak hanya 5 meter dari jalan. Semak belukar di sepanjang selokan seolah menyembunyikan keberadaan kuburan itu. Ditambah tidak adanya tumpukan tanah layaknya kuburan pada umumnya. Hanya bebatuan yang berjajar membentuk pola persegi panjang kurang lebih 1x3 meter.

"Sepertinya kuburan tua ya, Lan?"

"Kata Mamah sih gitu."

"Terus pohon kambojanya?"

Tak sempat Wulan menjawab, hanya sepersekian detik Nur langsung mengetahui sendiri jawabannya.

"Oalah ... Dahan yang seperti tongkat menancap ke tanah itu pohon kamboja?" Ucap Nur heran, "baru kali ini ada pohon kamboja tanpa daun dan bunga."

"Takut gak?" Tanya Wulan bercanda.

"Ya nggak lah, orang cuma kuburan. Lagian orang mati juga sibuk dengan urusannya sendiri, Lan."

Wulan hanya tersenyum salut dengan jawaban sahabatnya yang pintar PAI ini, tangannya refleks merangkul Nur lembut.

"Ngomong-ngomong, itu kutek cantik banget. Boleh kali nanti malam kuku yang polos ini didandanin." Ucap Wulan sambil memamerkan jemarinya.

"Wah, nanti malam jadi nginep di rumahku?"

Wulan hanya mengangkat kedua alisnya dua kali.

"Langsung ... Atau ...?"

"Hehe, pulang dulu. Mandi."

***

Selepas maghrib, Wulan langsung menuju ke rumah Nur. Ia melewati 4 rumah yang jaraknya tidak saling berdempetan, ada jarak dari satu rumah ke rumah lainnya. Lampu teras mereka sudah cukup menyinari malam yang dingin ini. Entah kenapa hembusan angin tidak seperti biasanya.

Dari arah Wulan datang terlihat samar-samar perkebunan itu, jalan yang lurus dan terbantu sorot lampu dari rumah Bu Harun membuat titik lokasi kuburan tadi seolah memiliki spotlight. Pertanyaan Wulan pada Nur sore itu justru berbalik pada dirinya sendiri--Takut gak?--Dengan langkah pasti Wulan berjalan agak cepat.

"Nur Hidayah ..." Teriak Wulan dari depan rumah Nur, lampu terasnya belum dinyalakan.

"Astaghfirulloh ..., kamu ngapain masih pakai mukena? Putih lagi."

"Lah kamu kenapa gak nyalain lampu teras? Makin kaya kunti dong aku disini."

"Suttt! Mulutnya dijaga, malam jumat lho ini." Ucap Nur, “Aku tadi ketiduran.” Tambah Nur sambil mengucek mata pelan.

Wulan bergegas masuk sebelum dipersilakan oleh Nur, ia mencoba memencet saklar dekat pintu. Jika tidak ada Wulan datang, mungkin lampu teras rumah Nur tidak dinyalakan. Ada 2 lampu teras di rumah Nur, yang sebelah kiri nyala tapi malam ini lampu tersebut kelap-kelip mau mati dan yang sebelah kanan memang sengaja tidak dinyalakan, alasannya karena sudah cukup terbantu oleh lampu teras tetangga yang terang di sebelah kanan.

Belum sempat masuk kamar, Nur mendengar suara yang sangat tidak asing di telinga, suara itu nyaring dan halus didengar.

"Nur ..."

"Iya, Kak." Nur menoleh malas.

"Tadi sore gak lupa kan?"

Nur gelagapan, matanya liar seolah mengingat sesuatu. Wulan yang sore itu bersama Nur ikut berpikir keras barangkali Nur pernah menitip pesan untuk diingatkan. Tapi nihil.

"Tuh kan, kebiasaan suka lupa."

"Nur tadi hampir ingat, Kak Nida, cuma jadi lupa karena Bu Harun nyapa." Ucap Nur membela diri.

Wulan menyikut Nur pelan, ia sadar kalau mereka justru yang menyapa terlebih dahulu. Nur tidak mengindahkan gangguan kecil yang Wulan buat.

"Padahal kan bisa titip ke Bu Harun, Nur." Ucap Nida kesal.

"Ya namanya lupa gimana, Kak."

"Emang apa sih, Nur?" Saut Wulan mencari jawaban.

"Kutek." Jawab Nur singkat.

"Ya ampun, Nur, padahal tadi sore aku kan nyinggung tentang kutek di jari kamu." Jelas Wulan.

"Ya namanya lupa gimana, Lan." Jawab Nur sambil garuk kepala pelan.

"Kakak gak mau tahu ya, pokoknya sekarang kamu balikin kutek itu ke Nela."

"Gak sekalian besok aja, Kak. Kakak kan sekelas sama Nela."

"Kakak udah janji balikin hari ini, Nur Hidayah."

"Yaudah Kakak yang balikin ya."

"Eh ... Enak aja! Tadi siang kamu udah janji." Jelas Nida, "Kak minta kuteknya dikit dong, nanti sore Nur yang balikin deh." Tambahnya sambil menirukan gaya bicara Nur.

Wulan yang sedari tadi menyimak, kini paham titik permasalahannya dimana. Ia tahu betul kalau sahabatnya memang pelupa akut. Wulan melihat jam dinding menunjukkan angka 6, jarum panjangnya tepat di angka 3.

"Ayo, Nur, aku temenin, mumpung belum terlalu malam."

Nur berdiam sejenak, tanpa sepatah kata Nur bergegas mencari tas ngajinya di kamar, ia kembali dengan sebotol kutek kecil di tangan.

"Ayo, Lan!" Ajak Nur, "Nih mau aku balikin." Ucap Nur menatap Nida ringkih.

Belum jauh mereka berjalan, Nur baru menyadari kembali kalau Wulan masih mengenakan kain putih berbahan parasut yang memiliki renda di setiap ujungnya. Ia menarik secuil kain di bagian kepala dengan tiba-tiba.

"Astaghfirulloh ... Nur." Teriak Wulan kaget.

"Mau kemana, Kunti?"

"Mulutnya dijaga, malam jumat lho ini." Ucap Wulan mengulang kalimat Nur sebelumnya.

"Sama aja kaya malam-malam lain." Tegas Nur, "Maaf ya kamu gak jadi pakai kutek cantik ini." Tambahnya.

"Gak masalah, yang penting malam ini aku diizinin sama Bapak nginep di rumah kamu."

Tidak seperti biasanya, rumah Pak Cecep tampak gelap gulita, tidak ada satupun lampu rumahnya yang menyala. Pak Cecep memang terkenal super sibuk, beliau sering bepergian untuk mengisi undangan mengajar qiraat. Mungkin malam ini pergi jauh sampai anak dan istrinya ikut membersamai. Untungnya lampu teras sisi kanan dan lampu teras bagian depan rumah Bu Harun sangat terang, sampai-sampai menerangi hampir setengah lahan perkebunan. Setahu Nur dan Wulan, kebun yang memiliki luas 150 meter persegi ini memang milik keluarga Pak Harun, bukan lain adalah Bapak dari Nela, teman Kak Nida.

"Pak Cecep pasti lagi keluar kota." Ucap Wulan memecah keheningan.

"Gak usah sambil tengok kiri bisa kan, Lan." Ucap Nur saat berada di posisi sejajar dengan kuburan.

"Mastiin siapa tahu udah gak ada."

"Ya kali bisa hilang sendiri."

"Eh, coba nanti sekalian kita tanyain ke Bu Harun tentang kuburan itu. Siapa tahu jawabannya berbeda dengan yang diobrolin Mamah dan Kak Hera." Jelas Wulan. Nur refleks mengangkat bahu.

Samar-samar kepulan asap bekas pembakaran seperti masih terjebak di antara pohon yang rindang, apalagi diperjelas dengan sorot lampu dari arah rumah Bu Harun. Benar saja, gunungan sampah tadi sore yang dikumpulkan Bu Harun masih ada tersisa bunga api, sepertinya pembakaran baru terjadi menjelang maghrib.

Nur dan Wulan berjalan menuju pintu samping kanan rumah Bu Harun yang langsung menghadap kebun, karena memang keluarga Bu Harun memiliki 2 ruang tamu, bisa dibilang hanya tamu malam hari yang masuk dari pintu tersebut. Kalau pun memaksa mengetuk pintu dari depan, pasti ujung-ujungnya akan disuruh masuk lewat pintu samping. Memang, pintu samping langsung menghubungkan antara ruang tamu kecil yang tersedia beberapa kursi dan meja kecil dengan ruang keluarga Bu Harun, mungkin itu alasan paling masuk akal. Ketimbang dari pintu depan.

"Assalamu'alaikum ..." Kompak Nur dan Wulan setelah mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam. Eh Nur dan Wulan." Ucap perempuan berambut sebahu berpiyama.

"Kita mau balikin ini, Kak Nela." Ucap Nur dengan senyum tipisnya menyodorkan kutek.

"Oh dari Nida ya. Makasih ya Nur, Wulan." Ucap Nela, "Mau masuk dulu?"

"Sama-sama, Kak. Gak usah, Kak, kita langsung pulang aja." Ucap Nur kikuk.

"Bu Harunnya ada, Kak?" Saut Wulan.

"Ada, lagi tadarus di kamar."

Nur menyikut Wulan pelan.

"Euh ... Salam buat Bu Harun, Kak, kita pamit ya. Assalamu'alaikum." Sambar Nur.

"Waalaikumsalam." Jawab Nela terheran lalu menutup pintu pelan.

Nur menarik tangan Wulan mengajaknya segera pulang. Namun, Wulan sedikit enggan melangkahkan kakinya, ada raut kecewa yang tidak bisa disembunyikan dari wajah Wulan.

"Bu Harunnya lagi tadarus, besok lagi aja." Ajak Nur.

"Padahal tadi tinggal bilang apa adanya tahu, Nur."

"Kalau bukan tentang kuburan gak apa-apa, Lan."

"Lah, emang kenapa?"

Wulan menatap ke arah kuburan, ia mencoba mengercingkan mata untuk memperjelas pandangannya dari kepulan asap yang mulai memudar. Jarak dari tempat ia berdiri ke kuburan kurang lebih 10 meter. Dedaunan kering terlihat samar berserakan di atas tanah, beberapa menutupi bagian atas kuburan, pohon kamboja yang terlihat seperti tongkat berdiameter 3 senti nampak jelas dari batang hingga ujung atasnya.

"Ayo pulang!" Ajak Nur lagi. Perhatian Wulan teralihkan pada Nur yang mengajaknya pulang. Wulan pasrah dengan ajakan Nur. Baru 2 langkah mereka berjalan, Wulan terkejut saat kembali melihat arah kuburan, samar-samar ia melihat sesuatu yang nangkring di ujung batang pohon kamboja, ukurannya sebesar buah kelapa. Wulan refleks memegang pergelangan tangan kiri Nur kencang.

"Ada apa lagi, Lan?" Ketus Nur sambil menatapnya malas. Tatapan Wulan masih terpaku pada benda yang membuat lututnya lemas. Ia menyadari mulai ada sepasang bola mata yang membelalak dari benda itu, tatapan itu jelas sedang menatapnya balik. Namun, Wulan masih belum bisa menyimpulkannya sendiri.

"Kamu lihat itu gak, Nur?" Tanya Wulan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan pada Nur.

Nur yang melihat Wulan terfokus pada satu titik mengerti apa yang dimaksud--itu--Nur yang memiliki mata awas langsung menemukan sebuah kejanggalan. Ia melihat sebuah kepala, kulit wajahnya pucat pasi, hidungnya tinggal tengkorak, ada beberapa helai rambut putih yang terurai menutupi dahi, dan mata merahnya melotot tajam.

"Itu siapa, Lan? Dia lagi natap kita ya, Lan?" Ucap Nur terbata-bata. Tubuh Nur kaku, wajahnya mulai pucat, cengkraman tangan Wulan semakin terasa kencang di tangan Nur seolah menyadari kalau sesuatu yang ia tatap lebih awal adalah sebuah kepala seseorang yang entah siapa. Namun, hanya kepala.

Sepasang mata merah menyala yang terbelalak itu tak sedetikpun kabur pandangannya dari Nur dan Wulan, mulut yang sudah tidak karuan bentuknya itu perlahan menganga, Nur dan Wulan sekuat tenaga mencoba untuk mengalihkan pandangan, tapi tak bisa, apalagi menutup mata yang semakin dicoba malah semakin melotot dibuatnya. Saat mulutnya semakin menganga terlihat jelas batang pohon seolah menembus dagunya, kini mereka mengetahui dengan jelas kalau itu adalah kepala buntung tanpa badan yang menancap di batang pohon kamboja.

Wulan terlihat komat-kamit membacakan ayat kursi yang sudah ia hafal, kakinya mulai terasa kuat untuk melakukan manuver pelarian. Tanpa pikir panjang ia langsung melakukannya.

"Nur!" Teriak Wulan sejadi-jadinya setelah beberapa langkah melewati Nur.

"Aku lupa ayat kursi, Lan." Jawab Nur lirih.

Wulan menarik tangan Nur sigap, kepala buntung berwujud pria itu masih berada di tempatnya, tatapan mata merah yang sudah tidak ada kelopak itu mengikuti setiap pergerakan mereka, Nur terbangun dari kekakuannya, mereka langsung berlari menuju jalan depan rumah Bu Harun.

"Kita lewat mana, Lan?"

"Kalau lewat depan rumah Pak Cecep masih terlalu dekat dengan kepala buntung itu."

Nur dan Wulan saling tatap seolah bertukar jawaban. Mereka berlari sekencang-kencangnya di jalan yang tadi sore tidak mereka lewati, pemandangan persawahan yang gelap mengisi sepanjang kanan jalan, sebelah kiri ada beberapa rumah yang sudah terlihat sepi entah kemana para penghuninya.

Sesekali Wulan menarik bawahan mukenanya risih, ia tertinggal beberapa meter di belakang Nur yang berlari lebih kencang karena mengenakan celana training, sekilas Nur seperti dikejar-kejar kuntilanak.

"Cek belakang, Lan!" Teriak Nur sambil tetap berlari.

Wulan menoleh ke belakang bagian atas dan bawah memastikan tidak ada kepala buntung yang terbang ataupun menggelinding. Namun, ia kehilangan keseimbangan dan akhirnya tersungkur.

***

"Bangun, Wulan, katanya mau nginep di rumah Nur."

"Iya, Mah."

Wulan terbangun dari tidur ayamnya di atas sajadah lengkap mengenakan mukena putihnya. Ia melihat jam dinding menunjukan pukul 6 lebih 5 menit. Ia lalu bergegas pergi ke rumah Nur.

"Nur ..." Teriak Wulan sambil menggedor pintu rumah Nur, lampu terasnya belum dinyalakan.

"Astaghfirulloh ..., kamu beneran pakai mukena putih?"

Wulan langsung masuk dan menyalakan saklar lampu.

"Ada kutek di tas ngaji kamu yang harus dibalikin kan?" Tanya Wulan.

"Kepala buntung?" Tanya Nur singkat.

Mereka saling tatap seolah memberi jawaban yang sama.

"Nur ..." Panggil Nida dari ruang keluarga.

Nur bergegas ke kamarnya mengambil sebotol kutek kecil. Ia lalu buru-buru menghampiri Nida.

"Ini, Kak. Tadi sore kata Bu Harun, Kak Nela lagi gak ada di rumah." Jelas Nur sambil menyodorkan kutek.

Wulan menyikut Nur pelan.

"Oalah, padahal Kakak janji balikin kutek hari ini."

"Kak Nida gak bilang boleh dititip sih." Ucap Nur, "Yaudah besok aja kali, Kak."

Nida melihat jam dinding menunjukkan angka 6, jarum panjangnya tepat di angka 3.

"Gak apa-apa deh Kakak anterin sekarang aja, mumpung belum terlalu malam."

Nur dan Wulan hanya bisa berdoa setelah Nida melangkahkan kaki pertamanya meninggalkan rumah. Berharap tidak ada kejadian serupa yang kembali menimpa perempuan berusia 25 tahun yang berjalan sendirian menjelang isya mengantarkan sebuah kutek ke rumah temannya. Keinginan untuk sekedar mengingatkan--awas ada kepala buntung--saja hanya bisa terucap dari hati mereka masing-masing.

”Tetap jadi nginep?” Tanya Nur.

“Jadi dong.”

***

Sudah lama sebelum tulisan ini keluar, kepala buntung tanpa badan itu sudah tidak terlihat lagi menampakkan diri. Bahkan sampai kuburan tua itu dipindahkan oleh warga setempat entah kemana.

Perkebunan itu masih sama kondisinya sampai sekarang, hanya beda beberapa pepohonan saja, dan tentu tanpa ada satu pun kuburan.

SELESAI

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Sama2, Kak, semangat! ✊ @adllee
@semangat123 : Terima kasih :)
Seram sekali. Ceritanya menarik👍💕
Rekomendasi dari Horor
Rekomendasi