Third Party
1. Prolog

Jika kamu berharap untuk aku menceritakan kisah cintaku, kau tidak salah sebenarnya. Hanya saja, bukan sepenuhnya kisah cinta itu terjadi langsung padaku. Aku hanya sebagai pihak ketiga. Masuk masa remaja, separuh sekolah mengidamkan rasanya dekat dengan seseorang  yang menjadi pujaan hati. Berlomba-lomba mengejar perhatian, dan lambung berseri-seri melonjak girang berpapasan dengan parasnya. Tenang saja semua ini pasti dialami semua orang pada waktunya. Aku pun juga pernah begitu, tetapi sekarang sedikit berbeda. Hatiku tidak hanya bertengger pada satu orang, tetapi pada dua.

Suara lonceng gereja berdentang ketika dua sejoli menapakkan kaki di karpet beludru merah menuju singgasana mereka. Melambaikan tangan diatas sorak sorai dan seruan selamat, tepuk tangan dan tebaran kelopak bunga dimana-dimana. Dua remaja muda berjalan seiringan tak jauh dibelakang pengantin baru itu, sesekali mengucap terimakasih atas kedatangan tamu mereka.

“Mari kita beri tepuk tangan untuk pengantin kita hari ini… Angkasa dan Jennye!”

Para tamu sudah tak lagi berkerumun, pelbagai bincang sana sini terkait kerja, keluarga, uang. Meja berselimut kain putih gading dengan tumpukan gelas menjulang tinggi, perlahan diambil orang sana sini. Rentetan makanan tersebar di setiap sisi ruangan. Sesekali aku mencomot puding coklat dari nampan putih mengkilap sambil melihat sekeliling gala. Di kejauhan kulihat Mama dan Om Kasa berjabat tangan menyambut tamu dan berterimakasih atas kedatangan mereka. Melihat betapa bahagianya Mama, mungkin keluarga baru tidak seburuk yang kukira.

“Melamun aja dari tadi. Mikirin apa?”

Lamunanku buyar, tersentak oleh suara seorang lelaki yang baru saja duduk dibelakangku. Rambut ikalnya tetap mengembang berantakan tak terkendali, bahkan untuk acara yang cukup besar. Kacamata bulat dengan rangka kacamata hitam bertengger apik di batang hidungnya. Di tangannya, piring kecil putih berisi kue-kue kecil beraneka rasa. Ia mencomot satu kue dalam satu lahapan habis, menghadap ke arahku, menunggu jawaban dari pertanyaannya.

“Gapapa. Bukan urusan lu juga kan,” jawabku. Raut wajahku mengkerut, dan tangan menopang dagu, masih ingin tenggelam dalam lamunan.

“Sopan banget jadi adek,” aku tak menjawab. Aku tau ia bercanda dan bermaksud untuk mencairkan suasana. Mungkin sekarang, secara hukum, aku adiknya. Tapi tetap saja, tak kunjung hilang perspektif ku melihat dia sebagai kakakku tiba-tiba yang belum lama kukenal.

“Gue tau ini mungkin susah buat lu terima, anggota keluarga baru. Percaya deh, buat gue juga susah. Tapi, sekarang kita keluarga kan, gue janji bakal dukung lu terus.”

Aku menatapnya sekilas, memberi tatapan remeh padanya. Tak yakin dengan kalimat terakhirnya. Kita bahkan baru kenal setahun itu pun karena merancang acara pernikahan Mama dan Om Kasa. 

“Mungkin ini bagus juga buat kita, bukan cuman mereka doang. Gimana?” Ia menyodorkan tangannya ke arahku. Aku tahu dari mata dan senyumnya, dia peduli padaku. Atau setidaknya mau peduli padaku. Barangkali, apa yang ia bilang benar. Persatuan mama dan Om Kasa, tidak hanya baik untuk mereka tapi bagi kita juga. Memulai bab baru dengan orang-orang baru.

“Baiklah… Salken Mika. Gue Andine.” Senyum tipis terlukis di wajahku ketika aku membalas jabatan tangannya.

“Hai Andine, gue Mika.”

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar