Third Party
3. Bab 2: Joshua

Sudah belasan tahun aku mengenal Joshua. Tapi baru benar-benar dekat sekarang. Kenapa ya? Mungkin karena sejak SD aku jarang, hampir tak pernah bermain bersama kaum laki-laki. Masih terngiang-ngiang ketika ayah kandungku pergi. Kurasa kami berdua pernah sekelas, tetapi mungkin aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri sehingga benar-benar menyadari keadaannya pun tak pernah. Sekarang, tiba-tiba lelaki manis yang dahulu cukup gempal dan pendek, jadi lebih tinggi kira-kira 5 cm dariku dan berkat main basket bersama Mika, tubuhnya perlahan terbentuk. Walaupun kacamata bulat dengan frame hitam diatas lesung pipinya masih saja ada.

Turun dari lantai tiga selesai kelas, aku berpamitan dengan Aretha untuk pergi ke ruang OSIS, tepat di seberang gedung SMA. Membawa-bawa tas ransel berat dan folder file kugendong ditangan, melewati lorong kantin dan menuju lapangan tengah sekolah. Sebelum akhirnya aku berhenti dibalik tiang beton berwarna putih, melihat Joshua mengobrol dengan beberapa perempuan di depannya. Mereka tertawa geli dengan tangan menutup mulut malu-malu. Tentu saja, tangan Joshua di saku menjaga sikap misterius tapi ‘playboy’-nya. Ketika berpamitan, tangan Joshua meraih rambutnya dan mengelus-elus dengan jemarinya. Tipikal. Berputar, sekarang ia mengahadapku bersandar di tembok, tangan melipat sambil memangku folder, dan satu alisku naik.

“Apa?”

“Itu tadi apaan?”

“Cuman matematika mereka minta diajarin,”

Aku menaikkan kedua alisku sekarang. Pikirnya aku tak sadar ia berusaha menyembunyikan fakta bahwa aku jelas tahu tadi itu tidak ada hubungannya dengan matematika. Hanya tipikal Joshua tebar pesona agar bisa mendapatkan contekan jawaban matematika. Pipinya memerah dan semakin gugup, tangannya kembali mengelus rambutnya. Menunduk melihatku semakin tak percaya dengan gerak-geriknya. 

“Apaan?” 

Nadanya melengking, kesal aku masih memasang muka menilai. 

“Kurang kerjaan banget sih lo mainin hati cewe… Anak orang tau,”

Aku lanjut berjalan kedepan, daguku naik sedikit angkuh melihatnya menggoda perempuan yang tak sadar bahwa Joshua hanya menggunakan mereka. Merasa dituduh, ia berjalan disamping langkahku menyangkal bahwa aku salah, dan merasa dirinya tak salah karena memang dari genetik, dia tampan. Tak ada yang bisa menyaingi fakta itu. Jijik, aku mempertanyakan apakah dia yakin dia telah melihat di kaca yang benar dan bukan tipuan. Sampai di tengah lapangan, sekolah lama-lama semakin sepi dan semua anak rata-rata sudah ke kantin, hall utama atau pulang. Rambut coklat kehitaman-ku berayun dari kanan ke kiri serempak dengan langkah kakiku. 

“Oke, kalaupun emang dari dimensi lain lu ganteng, ga bener aja lu gunain cewe buat jadi… cewe lu?”

“Ngaco. Mana ada gw mau sama mereka. Tipe gue mah kek gengnya Bianca tau,”

“Kalo lu ngejer Bianca ngapain godain mereka tolol?”

“Ya kalo gue keliatan baik ama cewe gitu, siapa tau mereka mau kenalan gitu,”

Terkejut, aku berhenti dan menatapnya. Baru saja sampai di gedung seberang diantara dua tiang beton penyangga gedung, alisku kembali mengkerut dengan mulutku terbuka. Sungguh, kurang ajar ya Joshua. Jadi dia menggunakan mereka bukan cuman demi nilai, tapi pansos dan demi mendapatkan gengnya Bianca? Aku mengerti, satu geng perempuan Bianca, anak angkatan kami isinya cantik-cantik dan bisa dibilang lebih cukup hidupnya. Bianca sendiri ‘blasteran’ bagaimana tidak pada naksir? 

“Ya kalo bisa kenapa ga?”

Aku menjewer telinganya dan tanpa basa basi aku menyeretnya ke ruang OSIS. 

“Dasar lu playboy!”

“Iya, okay sorii…”

Ia merintih pelan ketika aku memukulnya menggunakan lembaran kertas proposal yang digulung ke kepalanya. Masih saja bersikeras ia tak bersalah karena banyak yang melihatnya tampan. Kubilang, kita mungkin ada yang dilahirkan fisiknya berbeda, tetapi tergantung kita mau digunakan untuk apa. Hal yang positif atau negatif. Tentu, menggunakan adik-adik kelas perempuan tadi siang dan anak-anak angkatan kami pun bukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan. Cari jalan pintas itu namanya, dan jujur kawan tidak bermartabat. 

Esok harinya, turun dari tangga yang sama, menyusuri kantin, kembali aku melihat Joshua bersandar di tembok. Untungnya, tak ada lagi adik-adik kelas sasaran Joshua kemarin. Senyum kecil terpampang di pipiku, sembari aku berjalan riang menuju arah Joshua. Terhenti langkahku ketika alangkah kagetnya aku melihat Bianca dan anak-anak gengnya menghampiri Joshua. Dari raut muka Bianca, dan caranya melipat tangannya di dada, feeling ku tidak enak. Benar saja, dalam hitungan detik aku melihat raut muka mereka berubah pesat lalu kemudian tertawa ketika Bianca menampar pipi Joshua dan berjalan menjauh. Tahu aku masih harus melewati Joshua, aku mempercepat jalanku sebelum akhirnya disusul Joshua yang masih mengelus-elus pipinya. 

“Lu bilang langsung straight to the point aja!”

“Ya kalo lu masih tetep kurang ajar ya salah lah!”

Dibalik nafas kami berdua ia masih menggerutu. Berkali-kali kubalas, kalau mau mendekati perempuan masih harus tahu batasan dan sopan santun. 

“Emang lu bilang apa ke dia?” 

“Gw gombalin lah! Gw bilang muka dia persis kayak bulan… malah DITAMPAR!” 

Sambil berjalan, aku melihat ke arahnya, memberikan tatapan kotor, tak percaya ia baru saja mengatakan itu. Persis seperti bulan?!

“Yaiyalah ditampar, persis kek bulan tuh, mukanya ga mulus dodol!”

Tak heran Bianca merasa tersindir ketika dibilang ‘persis seperti bulan’ oleh Joshua. Anak IPA atau bahkan orang awam saja pun tahu permukaan bulan tidak mulus seperti permukaan meja kayu jati yang baru saja dipoles. Apalagi akhir-akhir ini, mungkin karena stress beban tugas sekolah dan hormon kondisi kulitnya sedang parah. Atau bahasa gaulnya, breakout. Akhirnya, melihat Joshua begitu menyedihkan, aku mengundangnya untuk menonton di rumahku sepulang sekolah. 

Duduk di depan televisi dengan selimut di pangkuan dan semangkuk jagung berondong penuh di mulut, kami berdua fokus melihat dan mendengarkan percakapan dari film-film romcom yang kami tonton. Ditengah-tengah nonton film ketiga, tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan suara kaki Mika kembali terdengar berjalan menuju pintu depan rumah. 

“Ngapain kalian?” 

Tanyanya singkat, masih sambil melepas sepatu di depan pintu. Terlalu dalam sudah kami menyelam kedalam plot film bahkan tak mendengar ia menyapa kami berdua. Joshua bahkan yang tadinya tak tertarik ikut menonton, matanya tak berkutik untuk melihat sekilas atau bahkan mengedip. 

“Woi!”

“Lagi ngajarin Joshua buat jadi cowo yang baik dan dapet cewe gimana. Udah sekarang diem, lagi nonton.”

Balasku cepat tanpa melihat ke arahnya. Aku hendak memasukkan sekepal jagung berondong ke mulutku ketika Mika meloncat ke sofa dan jagung menyebar kemana-mana. Pandanganku teralihkan dan cemberut ke arahnya, ketika ia ikutan duduk di sofa di bawah selimut dan mencomot jagung dari mangkukku. Akhirnya hingga mama dan Om Kasa pulang, kami bertiga masih berlindung selimut duduk di depan televisi. Mangkuk-mangkuk es krim, popcorn, kentang dan tusuk sate bekas corndog berserakan di meja kopi depan televisi. 

“Joshua, kamu sekalian makan disini aja sebelom pulang ya… Besok juga libur kan?”

“Oh iya makasih tante,”

Seusai Mbak Rani menyajikan makanan yang terakhir, aku membantu mengambil alas-alas piring dan gelas untuk ditaruh di meja. Mama menyiapkan garpu dan sendok, sementara Om Kasa membawa bakul beras ke meja makan. Mika menarik kursi untukku dan Joshua, lalu mengambil botol air dan mengisi gelas-gelas minum kami. Selama makan, Om Kasa menceritakan betapa bodohnya ia tiba-tiba tidak bisa mengingat rumus segitiga phytagoras. Aku menemukan teka-teki memusingkan yang memaksa mereka berempat untuk berpikir keras mencari taktik jawabannya. Contohnya, Around the World dan Touching, No Touching. Gelak tawa makin keras ketika Mika mulai mengeluarkan jurus recehnya dan mama tak sengaja menyemburkan air karena tertawa keras dari lelucon Mika. 

“Enak juga ya rame-rame makan bareng di meja makan,” 

Joshua mengemukakan ketika kami beres-beres meja. Aku yang mengelap meja, tersenyum mendengarkan sahutannya. Padahal, ada kalanya kami berempat diam saat makan, atau karena sibuk, waktu makan kami berbeda-beda. 

“Emang dirumah engga pernah, Jo?” tanya mama.

“Wah, engga tante. Di rumah tuh, kalo mau makan, cari sendiri terus nanti di kamar… Kalo engga makan ya… yaudah,” 

Aku hanya bertukar pandang dengan mama sebelum mama mengatakan pada Joshua, bahwa ia diperbolehkan makan disini kapanpun. 

Usai makan malam, masih ada sisa waktu sebelum Joshua harus pulang kerumahnya. Kami bertiga melanjutkan dengan bermain Monopoli sambil kembali membahas film-film tadi. Setidaknya sekarang, Joshua bisa mulai melihat dari berbagai perspektif, bahwa tindakannya mungkin saja menyakiti orang lain. Walaupun baginya, hanya sekadar iseng atau lelucon.

“Kenapa dah tadi si cowonya ga mutusin aja? Padahal cewenya udah punya temen cowo lain, mereka jadi jarang ngobrol. Putus kan gampang,”

Aku dan Mika saling bertukar pandang.

“Jo, kalo pacaran beneran tulus, kalo ada masalah tuh jalannya bukan putus, tapi dibenerin, diselesain masalahnya.” 

“Tapi kan gaenak kalo pacaran berantem mulu. Pacaran kan setau gua baik-baik aja tuh,”

Mika berusaha menahan tawa mendengar jawaban Joshua. 

“Pfftt… Jo, lu pikir orangtua lu walopun udah nikah kadang ga beda pendapat? Wajar tau couple pada berantem ato beda pendapat. Di depan aja kelihatan baik-baik, tapi gw yakin couple yang langgeng ampe sekarang pernah berantem lebih dari sekali dua kali,”

Aku melanjutkan, “Berantem tapi ga yang tiap hari yaa… kalo tiap hari mah ada yang ga bener itu. Beda pendapat tuh kek step buat nyelesain masalah bareng-bareng. Kan hubungan kalian kalian jalanin berdua, bukan salah satu.”

Menunggu Joshua memproses opini kami berdua, muncul rasa penasaran padaku menanyakan pada Mika, dia tahu begitu banyak tentang pacaran darimana. Kalau aku, jelas karena terlalu banyak menonton film-film romcom. Dan kurasa secara diam-diam melihat-lihat quotes di Instagram-ku. Tapi kalau Mika…

“Lu kira gue belom pernah pacaran?” 

Ia melanjutkan ceritanya betapa naik turun berada dalam sebuah hubungan dengan seseorang dan cukup susah untuk menjaganya. Banyak cobaan yang harus dilewati bersama dan pentingnya komunikasi dan percaya. Walaupun ujungnya tidak berjalan dengan baik dan baru pertama kali dimana Mika benar-benar terpukul ketika hubungan mereka putus. Setidaknya ia mendapatkan suatu pelajaran yang penting dari menjaga sebuah relasi.

“Intinya komunikasi sih… Kalo ada apa-apa ngomong. Jangan disimpen terus nunggu meledak diakhir kek gunung berapi. Terus harus inget kalo pacaran tuh kalian berdua masih punya ruang hidup kalian sendiri. Engga semuanya harus dikasih atau dibuka. Kek sharing password IG tuh gaperlu. Eh kecuali kalo ada simpenan ya... itu beda cerita,” 

Mendengar kalimat terakhir Mika, pikiranku mulai banjir dengan ingatan masa lalu. Suara Mika dan Joshua mengobrol mulai memudar ketika kembali memori masa kecil mulai terulang dalam benakku. Aku teringat raut muka mama ketika melihat Om Adit berjalan menjauh menggeret koper dan kardus-kardus berisi barang-barang Om Adit. Untuk anak umur sekitar 9-10 tahun, aku tahu perasaan mama campur aduk. Marah, sedih, lega, bingung mau bagaimana. Melihat mama sendiri dalam posisi terburuk, percayalah kalian tidak ingin merasakannya. Hingga sekarang aku masih bertanya-tanya mengapa ayahku dulu tega menggunakan mama seperti itu. Semakin besar aku sudah tidak bisa menganggapnya sebagai ayahku sendiri. Bagaimana bisa? Kalaupun aku berusaha melupakan atau memaafkannya, ujung-ujungnya segala sesuatu akan kembali mengarah ke masa lalu. Sejauh apapun aku menghindar. Seperti saat ini, membicarakan tentang orang ketiga. Seandainya Om Adit tahu rasanya berada dalam posisiku, apa yang terjadi? Atau apakah yang ada di pikiran Om Adit waktu itu sih? Mungkinkah kurang komunikasi, atau rasa percaya? Apakah hanya sekadar bosan, atau ayah dulu hanya peduli soal uang? Atau semuanya? Mungkin kalau…

“Heh! Melamun lagi kan… Hobi banget. Mikirin apa sih lu?”

Aku hanya nyengir. Untuk saat ini. Aku simpan sendiri saja pemikiran itu. Aku belum siap menerima kenyataan keluargaku bermasalah dahulu.  Mika atau Joshua tidak perlu tahu soal ayah yang di luar sana mungkin masih ada. Hidup bahagia dengan keluarganya sendiri. Yang lebih ia sukai, yang ia idamkan, yang lebih baik. Ah, sudah lebih baik membantu Joshua agar tidak kembali memainkan hati anak-anak orang lain.

“Jo, lu kan playboy nih-

“Heh!”

“Dengerin dulu! Cuman karena lu pacaran bukan berarti segala sesuatu yang dia punya itu juga punya lu yaa… Dan maksud gue apa ajah. Ya karier dia lah, pilihan hidup dia lah… Mungkin sesekali dia nanya tapi lu paling disitu buat ngasih opini tapi karena lu pacarnya bukan berarti lu bisa kontrol hidup dia. Dia ke lu juga gitu. Gaada yang berhak halangin lu dari mimpi lu,” 

Mengangguk-angguk dengan alisnya yang berkerut, akhirnya ia setidaknya menyadari sedikit bahwa persepsinya sedikit melenceng. Setidaknya aku dan Mika di situ membantunya memahami betapa bodohnya ia memilih untuk memainkan hati perempuan.

“Eh, Jo. Udah jam 9. Lu ga dicariin nyokap lu?”

Mika menanyakan pertanyaan yang sepele sebenarnya. Tetapi bagi seorang Joshua, dilupakan ketika diluar dan belum pulang sudah hal yang biasa. Tapi intuisiku mengatakan, mungkin diluar Joshua sudah terbiasa tetapi dari dalam rasanya tidak enak dilupakan atau tidak diberi banyak atensi dirumah.

“Ga kok gua mah santai ampe jam berapa pun,” 

Aku yang tahu cerita dibalik senyum Joshua, diam dan tak berani menatap mata Joshua. Tentu saja, Mika yang memperhatikan gerak gerikku harus bertanya dan tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Berusaha menahan Joshua untuk menjawab dan Mika untuk bertanya lebih dari ‘kenapa?’ Joshua memutuskan, jika ia bisa percaya padaku, maka ia bisa percaya juga pada Mika.

“Ortu gua sering kerja keluar kota. Kalo masih di dalem kota pulangnya malem banget terus berangkatnya juga pagi banget. Kakak-kakak gue uda pada gede jadi kerja semua. Gue biasa di rumah sama mbak, hal terbaik yang mereka kasih cuman diisiin aja uang jajannya,” 

Suaranya bergetar sedikit di akhir. Walaupun aku sudah tahu jalan cerita struktur kehidupan rumah Joshua, ketika menyadari kurangnya atensi di rumah, sekarang lebih jelas lagi kenapa ia mencari atensi dari orang-orang yang tentu dengan sukarela akan menghiraukannya. Tanganku memegang tangannya yang mengepal. Disaat rumah kosong, biasanya mama akan menawarkan diri untuk menjaga Joshua hingga akhirnya orangtua atau salah satu kakak Joshua pulang. Berada di sebelahnya, menjadi teman dan sahabatnya di saat ia lengah sudah menjadi bagian dari rutinitasku. Iya benar, saat itu aku dan mama juga sedang dalam kondisi yang tidak baik tapi kami tak bisa begitu saja melupakan Joshua. Mama sendiri yang bilang, jika ada apa-apa di rumah, datanglah kesini dan ia akan disambut seperti sanak saudara sendiri. Hal mulia yang bisa dilakukan mama, karena mungkin rasa tak dianggap pernah kami alami. “Gue percaya sama lu kok Mik. Dan gw beneran udah biasa. Capek sih, tapi setidaknya gue punya kalian,” 

Mika tersenyum dan menepuk pundak Joshua secara perlahan. Terkadang, perilaku seseorang ada hubungannya dengan masa lalu mereka. Sebuah kejadian atau trauma, yang mengakibatkan mereka kehilangan dan haus akan suatu rasa, sehingga berusaha mencari cara merasakannya lagi.

Beberapa hari kemudian, kembali lagi kami duduk di kantin. Aku menulis catatan di buku sambil menggariskan mana yang penting dari buku modul. Mika duduk di seberangku, juga membaca buku pelajaran, di sebelah Joshua yang bermain Instagram. Sekilas kulihat, foto seorang perempuan yang kukenal muncul di layar gawainya. 

“Bianca sih cakep yak, tapi sayang banget gedenya pengen jadi pebisnis. Kenapa ga jadi model aja dah...Kan gampang yak. Terus badan bagus, cakep. Gue jadi cowo dia sih mending bujuk jadi model,”

Aku kembali tertawa kecil. Lagi-lagi Joshua the Playboy masih saja belum terbuka seluas yang kuharapkan. Mika akhirnya meladeni komentar Joshua.

“Emang lu kira karena lu pacarnya, lu bisa ngatur hidup dia?” 

“Ya tapi kan gue bisa minta dia buat gitu biar makin bangga gitu,” 

“Heh jangan jadi kurang ajar kek gengnya Gilang luu…”

Joshua terdiam. Bingung apa yang begitu kontra keluar dari mulutnya sampai Mika mengatakan untuk tidak meniru geng Kak Gilang. Geng yang sungguh dibenci Joshua. Mendengarnya saja aku sudah bisa melihat muka jijik di Joshua.

“Bahkan kalo lu pacarnya Jo, lu ga punya hak buat ngekang ato ngatur dia. Kek yang kemaren kita bahas dodol. Harus saling mengerti, harus saling support,”

Muka Joshua memelas setelah aku meluruskan poin Mika. Mika yang tadinya masih lanjut membaca pun berhenti untuk mendongak dan melihat Joshua. Raut mukanya tidak jelas. Kosong tapi juga memikirkan sesuatu. Seperti jika saat aku memutuskan untuk mengingat masa lalu. 

“Jatohnya kayak keluarga ya?” 

Aku dan Mika saling bertatap muka. Mengangguk karena tak ingin mengusap garam diatas luka lagi. Mika tak menjawab apa-apa di tengah kesunyian canggung diantara kami, walaupun kurasa Joshua juga tidak terlalu peduli karena ia kembali menatap layarnya.

“Lu selalu punya kita kok, Jo. Kan mama gue uda bilang, lu selalu disambut kalo kerumah kita,” 

Matanya yang tadi berkaca-kaca dan rautnya yang murung. Perlahan kulihat senyuman lega kembali terlukis di bibirnya.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar