Third Party
5. Bab 4: Bayu

Suara derap kaki balapan dengan suara bola yang dipantulkan sepanjang lapangan memenuhi lapangan basket siang itu. Aku, Mika, Aretha dan Devan berdiri disamping melihat Bayu sebagai tim kapten basket putra memantulkan bola menuju ring lawan. Suara teriakan dan sorakan dimana-mana. Ketika sekitar Bayu dijaga ketat, Joshua berlari ke samping dan bola dioper ke Joshua. Tim lawan dari sekolah lain langsung berpindah dan mengejar Joshua ketika dengan cekatan bola dipantulkan ke bawah oleh Joshua, tepat ke tangan Bayu dan dari lingkaran terluar ring basket bola ia lemparkan dan masuk kedalam ring dengan sempurna!

“Kak Bayu! Bayu!”

Suara anak-anak perempuan berkerumun untuk bertemu dengan idola sekolah kami, Bayu. Tumpukan cokelat dan bunga di samping kursi pinggir lapangan. Dari jauh aku melihat Bayu bingung hendak diapakan kerumunan orang ini dan bingung harus apa. Joshua, segera maju dan menyuruh para penggemar kaum hawa berbaris rapi kebelakang menunggu giliran bertemu Bayu.

“Temen lu selebgram nih, ceritanya?”

Celoteh Mika disampingku. Kami berteduh dibawah pohon sambil menunggu Joshua dan Bayu berpamitan dengan timnya. Rencananya kami akan makan-makan bersama merayakan kemenangan tim basket sekolah kami. Teman-teman Bayu mendorong dan menggoda Bayu dengan pelan selagi adik-adik kelas maju dan memberikan cokelatnya ke Bayu. Karena sudah terlalu banyak cokelat yang menumpuk, Bayu memberikan cokelat pemberian anak sebelumnya ke yang sekarang. Tanpa ia sadari, anak-anak perempuan itu merasa spesial diberi Bayu cokelat. Padahal setengah sekolah diperlakukan sama persis seperti itu. 

Ketika lapangan mulai sepi dan tim basket sudah mulai perlahan bubar, aku mendekati Bayu dan membantunya beres-beres lapangan ketika yang lain akan menunggu di mobil. Sekalian karena hendak pergi, aku menemani Bayu ke kamar ganti untuk ganti baju. Dan aku sebagai hanger manusia pribadinya. 

“Taugasi itu mereka ngasih, tuh karena suka terus pengen deket ama lu tau…”

Aku menceletuk.

“Haiya?! Gue kira disuruh guru-guru,”

“Dodol! Ngapain sebanyak itu kalo dari sekolah,”

Bayu mengeluarkan tawa kecil merasa bodoh. Sudah kubilang. Bayu ganteng, tinggi, bertalenta, badan bagus, ramah dan baik. Tapi terkadang, atau hampir setiap kali, ia terlalu dongo atau tidak sadar dengan sekelilingnya. Ia salah satu yang paling polos dan sering ketinggalan percakapan kami. Kadang pun seorang Bayu yang sehari-hari tak banyak berbicara, menjaga sikap dan martabat, jalannya cool di depan kaum perempuan tuh apalagi, bisa tiba-tiba berubah petakilan dan pecicilan seperti lele di atas ubin tanpa air ketika bersama kami berlima. 

“Tapikan gue ga deket sama mereka Dine”

Aduh, Ya Tuhan…

“Ya itu tujuan tolol! Biar deket!” 

Akhirnya setelah Bayu mengelap setiap bulir keringat dari tubuhnya, dan tidak lagi basah kuyup atau bau matahari, ia keluar dan kami berdua berjalan menuju parkiran. Dimana yang lain menunggu di mobil baru Mika untuk berjalan mencari tempat makan, siap merayakan kemenangan tim sekolah kami. 

“Lu ga nyari cewe Bay?”

Sesaat, ia diam sejenak. Melihat keatas memikirkan jawaban untuk pertanyaannya. Sebelum akhirnya tertawa kecil.

“Yakali ada yang mau sama gue, Dine. Dongo gini...”

“Emm… agak tinggal milih sih, ya mas..”

Masih saja mempertanyakan jika ada yang mau dengannya. Buktinya tadi sudah ada barikade dan barisan calon-calon pilihan yang bisa menjadi pacarnya dan mau dekat dan menjadi pacarnya. Tapi kurasa, tak ada dari mereka yang menarik baginya.

“Hehehe...tetep aja tapi Dine. Mereka kan gatau gue orangnya sedongo apa. Paling ga betah sama betapa dongo dan friknya gue.”

Bener-bener deh kenapasi kalian kaum laki-laki hobinya munculin pikiran negatif padahal kalian tuh punya kelebihan masing-masing yang bisa jadi idaman kaum hawa diluar sana tau. Eh, sama deng sama perempuan juga sering gitu, hehehe…

“Bay, kalo doi beneran suka ama lu, dia bakal nerima lu apa adanya. Kalo dia gabisa nerima Bayu, ya babai. Rugi di dianya. Kek geng kita tau, kita nerima lu dan sisi freak lu apa adanya,” 

“Makasih loh..”

Kami berdua terkekeh. Masih berjalan menyusuri jalan batu keluar dari lapangan menuju mobil Mika. Kami melanjutkan obrolan kami; kenapa dari dulu kami tak pernah dekat, dan betapa jahatnya aku tak pernah sadar sejak SD kelas 1, ia sudah sekolah disini. 

“Taugasi gue pernah dibully?”

Kaget, aku menggelengkan kepala. Membujuknya untuk terus bercerita karena tak percaya, seorang Bayu pernah dibully.

“Iya gegara ya sikap gue ini. Dulu tuh gue jauh lebih freak deh sumpah. Terus gue malah jadi dijauhin gitu. Tadinya ama cewe doang kan, malah nular ke cowo. Yaudah dari situ gue kek belajar buat keep calm and stay cool, asekk…”

Aku tertawa ketika ia mengatakan kalimat terakhir dengan cara yang sungguh membuatku tak berhenti tertawa. Aku sangat menyukai Bayu sebagai sahabatku. Tanpa dia sadari, ia bisa menjadi komedian yang sungguh amat lucu. Setelah akhirnya menenangkan diri, aku menjawab.

“Justru Bay, kita suka temenan ama lu tu gegara freak lu ini sama dongo lu tau. Jadi jangan berubah lah cuman karena lu kesannya ‘berbeda’. Ngakak dah sumpa,”

Aku terus menyemangati Bayu untuk semakin berani menjadi dirinya sendiri ketika bersama kami. Dia juga mengakui betapa rindu ia menjadi dirinya sendiri dan bisa berekspresi sesuai yang ia mau dan ia tidak akan dipandang aneh karenanya. Kenapa? Mudah jawabannya. Karena kelima temannya yang lain sama kacaunya dengan dirinya.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar