Third Party
11. Bab 10: Angkasa dan Jennye

Angin malam berhembus dan menyisir rambut ikal hitamku diudara. Aku menghela nafas panjang dan tatapanku kosong memandang jejeran rumah-rumah dengan lampu menembus kaca dan gorden jendela. Tupai berlarian dan meloncat dari satu tiang listrik ke yang lain, dan kerlap-kerlip bintang seolah memainkan nada di gelapnya malam. Banyaknya hal yang harus kuselesaikan, beban yang kupikul. Memastikan semua baik-baik saja. Dari ujung susunan genteng aku melihat sosok Om Kasa memanjat keluar dari jendela kamarku. Memegang erat kaki tangga sambil sesekali melihat kebawah, takut tiba-tiba terjatuh kebelakang. Perlahan ia merangkak ke sebelahku. Ia duduk, mengibas-ngibaskan tangannya yang penuh debu. Aku tidak menatapnya sekalipun, dan butiran air mata kembali muncul ke permukaan, siap untuk kembali terjun. Kakinya bersila seperti anak kecil, menghembuskan nafas berusaha menikmati udara malam. Aku meliriknya dari sudut mataku, tahu alasannya naik keatas bukan semata-mata menemaniku melihat bintang. Nyanyian jangkrik mengisi kesunyian jeda diantara kami berdua.

“Bintangnya bagus ya malem ini,”  Tatapanku masih lurus ke depan. Tidak menanggapi komentarnya akan bintang yang jelas bukan sesuatu yang sedang membebani benakku saat ini. Menyadari aku tetap diam dan tak berkutik, senyumnya menipis. Mata cokelat tuanya melepas tatapannya dariku dan melihat jauh ke angkasa. 

“Mika cerita tentang semuanya loh, ke papa… Dia cerita tentang kamu bantuin semua temen kamu dan sebagainya. Awalnya dia takut tau cerita tentang Aretha. Akhirnya cerita sih. Tau gak kalo dia hampir tiap malem cerita ke papa tentang kamu. Dia seneng banget punya adek kayak kamu,”

Aku meliriknya sedikit. Mungkin waktu itu ia bermaksud seperti itu tetapi sekarang mungkin berbeda. Aku sudah mengecewakannya, sama seperti dahulu ketika Om Adit mengelabuiku dan aku mengkhianati mama. Butuh mata yang sembab dan hidung yang merah bagiku untuk menyadari, bahwa aku tidak pernah belajar dari masa lalu. Aku hanya mengulanginya terus menerus, untuk apa? Menyalahkan  diriku lagi dan lagi. Mengingatkan segala sesuatu pasti salahku lagi. Memalukan. 

“Kenapa kalian berdua janji buat ngejaga itu sebagai rahasia kalian berdua? Kan kalo kalian nerima kenyataan, beban kalian berkurang kan?”tanyanya lagi. 

Tak pernah seumur-umur aku menginginkan seseorang untuk hilang dari pandanganku. Aku lelah mendengar suaranya, aku lelah terus menerus menahan tangis dan menahan berbagai macam pikiran negatif dalam benakku. Aku lelah menangis sendu, dan sekarang aku harus menjawab segala macam pertanyaan tak penting Om Kasa. 

Tangisanku semakin deras, dan tenggorokkan semakin kering. Selimut tipis yang membalut sekujur tubuhku, ujungnya basah bekas hapusan air mataku. Amarah yang kembali meluap berhenti di penghujung lidah, ingin teriak memohon waktu sendiri, inginku keluarkan semuanya padanya, namun badanku lemas, kelelahan tak sanggup menopang diri untuk meledak di depannya. Sekali seumur hidup aku merasakan hal yang sama ketika umurku sepuluh tahun. Ketika akhirnya Om Adit memilih meninggalkanku untuk bersatu dengan keluarga yang lain. Aku menarik nafas, tersendat tenggorokanku masih berusaha menahan tangis. 

“Gimana pemikiran Om kalo Om Kasa tahu, dan harus menikahi seorang ibu yang jadi janda bukan karena suaminya meninggal, tapi karena anaknya adalah biang kerok dari kepergian ayahnya, dan karena ulah anaknya masalah keluarga semakin besar?” 

Dari balik bulir-bulir air mataku, aku bisa melihat raut muka Om Kasa masih tertegun. Belum bisa sepenuhnya menerima mama cerai dengan papa dan bukan karena kecelakaan sederhana. Ia masih tak percaya selama berbulan-bulan, kami menyimpannya dari Om Kasa dan Michael, berharap kami bisa melupakan yang lalu dan memulai awal yang baru. Tanpa harus mengingat hari itu menjadi bagian dari hidup kami. 

“Ga semudah itu sih nerimanya tapi, yang namanya cinta, dalam kondisi apapun rela menerima satu sama lain apa adanya. Lagian, bukan salahmu ayahmu pergi meninggalkanmu,”

Aku menggeleng, “Dia bukan ayahku. Kalau ia ayahku ga mungkin dia mengatakan semua hal itu dulu padaku.” 

  “Dia bilang apa memang?”

Aku menarik nafas. Menyiapkan diri mengingat kembali kata-katanya persis ketika ia hendak pergi dari rumah, selamanya pergi meninggalkanku. 

“Kamu itu nyusahin orang aja. Bisanya nangis. Terserah deh kamu mau gimana.

“Dia bilang gitu, tepat sebelum mama banting keluar kopernya dan menutup pintu. Aku bahkan ga sempet pamitan atau apa. Yang aku dapet di hari ulang tahunku, itu mama menangis di lantai, dan ayah yang tak kunjung pulang.” 

Aku menatap tajam Om Kasa. Tatapanku dingin padanya, tak senang karena akhirnya ia tahu segalanya dibalik senyum mama dan mulutku yang seringkali bisu di depannya. Entah apa yang kurasakan dalam hati kecilku, puas karena aku bisa meluapkan segala beban pada seseorang, atau aku harus merasa bersalah karena aku tak kuat memikul hal sepele ini. 

“Kalian mungkin ditinggalkan oleh sosok ibu dan istri, diikuti adik dan anak perempuan, tetapi setidaknya kalian berdua tau mereka mencintai kalian. Mereka selalu ada di hati kalian. Ayah kandungku gak pernah ada untukku. Dia tidak mencintaiku seperti dia mencintai anaknya yang lain. Ayahku disitu cuman untuk uangnya, untuk membesarkan keluarganya yang lain. Kita cuman alat buatnya mencapai kebahagiaannya,” 

Semakin banyak kalimat yang keluar dari mulutku suaraku semakin bergetar. Makin deras tetesan air mata mengalir di pipiku. Hidungku mulai tersumbat, sulit bernafas di tengah hawa malam yang menusuk kulit. 

“Ya kan, bukan salahmu dia pergi. Itu pilihan dia untuk pergi dan ga ada hubungannya sama kamu. Toh, kamu juga masih anak kecil.”

Suara Om Kasa semakin mendesakku, menggali segala memori yang kupunya akan sosok ayah. Betapa kejamnya ia, teganya ia meninggalkanku, menggunakanku untuk dekat dengan keluarga emasnya. Tentu Om Kasa tak tahu apa-apa kan? 

“Bukan salahku? Aku yang bantuin Om Adit siapin kado, kartu ucapan, kejutan buat istrinya yang lain dan dalam benak bodohku, aku kira itu untuk mama. Jadi bodohnya aku membantu Om Adit dalam menjauhkan dirinya dari mama. Gimana aku gak nyalahin diri aku sendiri ketika ayahku melihatku sebagai beban yang hanya bisa menangis. Misalkan aku gaada, aku yakin semua bisa lebih baik,”

Jantungku berdetak kencang, rasanya mataku semakin sembab di tengah hembusan angin malam. Aku bisa melihat raut mukanya terkejut, bingung mencari cara menenangkanku. Suaranya gelagapan, nafasnya berat dan tangannya gemetar. Matanya seolah kasihan padaku, ingin membantu meringankan bebanku tetapi bisa apa jika sudah melekat bertahun-tahun denganku?

“Jangan pernah mikir kayak gitu... ”

“Papa marah besar ke semua orang karena aku. Mama menangis sedu karena aku. Teriakan di sana sini karena aku. Papa pergi karena aku. Mama seminggu gak makan karena aku. Gimana coba om bisa mikir kalo itu bukan salahku?” 

Aku berusaha menatapnya walaupun wajahku sudah tertutup helaian rambut yang menempel di pipi terkena air mataku. Dadaku sesak dan perutku berputar tanpa kendali. Perih rasanya, tetapi bukan pada fisikku. Pusing kepalaku dipenuhi dengan berbagai macam hal dan berkurangnya air mataku sedikit demi sedikit. Om Kasa menyadari berubahnya panggilanku pada Om Adit ke papa. Ia sekarang mengerti, sulit bagiku memanggilnya dengan sebutan ‘papa’ ketika ayah kandungku masih diluar sana. Ayah kandung yang begitu menyakitiku sehingga aku tak sanggup menerima sosok ayah di hidupku lagi. 

“Aku tahu rasa sakitnya-”

Aku mengeluarkan nafas kecil. Bibirku melipat kembali menahan derasnya air mata yang mengalir di atas pipi. Tanganku semakin gemetar namun erat memegang selimut tipis di punggungku. Rasa sakit dalam hatiku terpampang jelas di raut wajahku. 

“Enggak. Kalaupun om berusaha sekeras apapun, Om ga akan bisa ngerti. Kita berdua tau benar kalo Om gak tau rasa sakitnya.”

Om Kasa terbisu. Tak berkutik tak tahu apa yang bisa ia keluarkan untuk membantuku. Aku tahu ia mencoba sekeras mungkin untuk membantuku, menggantikan sosok ayah yang tidak pernah hadir dalam hidupku. Tapi sudah bertahun-tahun aku hidup tanpa seorang ayah, dan kurasa memiliki sosok ayah bukan sesuatu yang kubutuhkan saat ini. 

“Om gatau rasanya dipilih buat di tinggal sama seseorang dari keluarga sendiri. Om gatau rasanya pagi-pagi harus sekolah dan pulangnya nemenin mama nangis di kamar mandi. Om gatau rasanya didiemin sama satu keluarga dan yang bisa diajak ngobrol cuman mbaknya doang. Om gatau perjuangan tidur tengah malem karena nulis ratusan surat minta ayah kandung sendiri balik ke rumah. Om gatau rasanya dilupain, gak dianggep. Gabisa percaya sama orang sejak umur 10 tahun,”

“Om minta maaf…”

Aku tertawa kecil. 

“Bukan salah Om, kok…”

Tentu, rasa kasihan bukan sesuatu yang kubutuhkan saat ini. Makin lama kehadirannya menenangkanku sedikit demi sedikit. Walaupun awalnya ingin aku tak berhadapan dengan siapapun, tetapi kurasa hadirnya Om Kasa bisa meringankan bebanku. Dia masih duduk disitu, berusaha mengerti, mendengarkan tiap kalimat di balik isakanku. Tanganku menyeka tetesan air mata yang menggantung di bawah dagu. 

“Kamu masih merasa bersalah ya? Sampe mengulangnya lagi sama temen-temen kamu?” 

Aku tak sanggup lagi menangis. Pandanganku kosong kedepan sebelum akhirnya beralih ke wajah Om Kasa. Dari matanya aku bisa melihat ia begitu peduli padaku, berusaha berpikir dan masuk dalam benakku. Apa sekiranya yang kulakukan ada hubungannya dengan masa laluku waktu itu. 

“Pas temen-temen kamu mulai fokus sama pacarnya kamu ditinggal lagi sama kayak waktu ayahmu dulu meninggalkanmu.”

“Ga persis tapi sama,” Aku tersedu. Badanku sudah lelah menangis, pusing begitu banyaknya hal yang kupikirkan. Om Kasa melihatku, menunggu jawaban. Kenapa aku tetap melakukannya.

“Aku bisa mengingat lagi apa yang udah kulakukan untuk mama, apa yang kulakukan untuk orang-orang yang kusayangi,”

“Kamu gabisa terus menerus salahin dirimu sendiri, walaupun mungkin kamu dulu agak polos dan tidak tahu tentang skandal rumah tangga,”

Alisku mengernyit menatapnya. Membantu sekali, kawan. Tetapi aku tak bisa begitu saja melupakan apa yang pernah kulakukan waktu itu. Segala hal milikku hancur begitu saja, karena kecerobohanku. Kesunyian kembali melanda kami berdua. Aku mengalihkan pandanganku ke depan, kembali mengunci pandanganku dan pikiranku kosong. Berat tapi kosong. 

“Kalo aku ga sebodoh dulu, mama ga harus melalui semua itu. Papa juga mungkin gaakan pergi,”

“Dine, gimanapun juga kalo ayahmu udah bertekad menggunakan Jennye dan meninggalkan kalian berdua buat orang lain, apapun yang kamu lakukan, pasti ujung-ujungnya kalian tetap ditinggalkan,” 

Om Kasa ada benarnya, tapi separuh dariku ingin menyangkal bahwa ini bukan sepenuhnya salahku. Mungkin jika aku lebih baik, lebih cantik, lebih bertalenta semua ini tak akan terjadi. Mungkin ayah setidaknya bangga memilikiku. 

“Hey, kamu bukan beban siapapun. Jennye gak pernah nyesel punya kamu. Seumur hidup dia berjuang agar hidupmu bisa lebih baik. Kamu ga bodoh, kamu cuman gak beruntung harus berhadapan dengan ayah yang tak layak di separuh hidupmu,”

Aku masih tetap diam membisu. Tak ada yang bisa dikeluarkan lagi. Segalanya sudah terbongkar tak ada lagi yang disembunyikan. Aku hanya bisa berharap diantara Om Kasa dan mama tidak terjadi apa-apa. Setidaknya aku tak menghancurkan hubungan orang lain lagi untuk ketiga kalinya. 

“Kita semua punya sesuatu yang kita sesali. Suatu hal yang hingga sekarang menjadi bawaan dan hanya memberatkan kita. Pilihannya cuman dua, terus membawanya sampai dewasa nanti, atau melepaskannya dan memaafkan segala pihak, termasuk dirimu. Yang sudah berlalu biarkan aja berlalu, kita juga ga bisa apa-apain lagi,”

Telapak tangan hangatnya menepuk pelan pundakku. Senyumannya hangat mengajakku membalas senyumnya walaupun hanya terbentuk garis tipis yang jelas terpaksa. Sadar aku masih ingin di atas, Om Kasa menepiskan debu di celananya dan bergegas merangkak perlahan menuruni tangga hitam besi yang menggantung di tepi dinding putih lantai atas. Sebelum menghilang dari pandangan, Om Kasa berhenti. Aku hanya bisa melihat kepalanya, tubuhnya sudah hilang tertutup tembok dan genting.

“Kamu gadis yang kuat,” 

Ketika aku mendengar suara telapak kaki Om Kasa meninggalkan kamarku, aku terisak. Hatiku perih membayangkan kembali segala macam tragedi yang harus Andine kecil  lalui, melihat betapa buruknya kondisi ibunya sewaktu itu dan menyalahkan dirinya sendiri padahal umurnya belum berkepala satu. Mungkin Om Kasa tak mengatakannya langsung, tetapi senyumnya dan intonasinya mengindikasikan ia bangga melihat perjuanganku sejak kecil, betapa aku memedulikan orang lain di atasku karena kebahagiaan mereka sumber kebahagiaanku. Bertahun-tahun sudah aku tak mendengar seseorang benar-benar bersyukur menjadikan aku bagian dari hidup mereka. 

Pagi-pagi aku bangun dan mataku terasa sangat berat untuk kubuka. Sarung bantalku lembab bekas tangisanku tadi malam. Hidungku mampet sulit bagiku untuk bernafas karena masih tersumbat. Selimutku terlipat kemana-mana diantara kakiku dan bantal-bantal yang lebih kecil tersebar dimana-mana di bawah lantai. Sungguh ingin sekali aku tak sekolah hari ini. Berusaha menenangkan diri dan menonton film seharian mungkin bisa membantuku meningkatkan suasana hatiku dan kembali ke sekolah. Tentu tanpa adanya bengkak di mata. 

Suara ketukan pintu mengagetkanku yang tengah memandang kosong lantai kayu di depanku yang terkena cercahan sinar matahari. Kemudian pintunya terbuka dan aku melihat sosok mama di balik pintu menongolkan kepalanya. 

“Mama udah nelpon sekolah kamu ga masuk hari ini jaga-jaga. Kamu ga bangun soalnya tadi pagi,” 

Aku mengalihkan pandanganku dari lantai dan menatapnya. Aku bisa melihat dari matanya, bukan hanya aku yang kemarin malam meneteskan air mata. Kami bertukar senyum kecil sebelum kembali ditelan kesunyian. 

“Kamu gapapa?”

“Mama ga marah aku melanggar janji kita buat jaga rahasia?”

Matanya melemas. Ia masuk ke dalam kamarku dan perlahan menutup pintu di belakangnya. Ketika duduk di ranjangku ia meraih tanganku dan senyum lebar nan tulus terukir di wajahnya yang apik. 

“Yang lalu udah berlalu, nak. Itu akan selalu jadi masa lalu mama suka ga suka. Tergantung mama mau terus-terusan sedih ato belajar dari masa lalu itu. Semuanya tuh ada alasannya sendiri. Mungkin kita gak dapet sekarang tapi pelan-pelan ketauan juga,” 

Aku melihat kebawah, tak sanggup melihatnya lagi. Aku pura-pura memainkan selimut tapi tentu mama sangat mengenalku. 

“Mama ga marah sama kamu. Kamu ga pernah ngecewain mama. Kamu tumbuh jadi anak yang berani, Dine.” 

Tangannya memelukku hangat dan sudah lama aku tak merasakan kehangatan dalam pelukannya. Aku menenggelamkan kepalaku dalam pelukannya. Jemarinya mengelus kepalaku perlahan, sama seperti waktu dahulu Om Adit tak kunjung pulang dan aku menangis di depan pintu, di dalam pelukan mama. 

“Kamu punya alasanmu sendiri buat akhirnya jujur sama Mika.”

Aku mengelus-elus ujung selimut di atas pangkuanku. Entah aku bisa yakin apakah mama benar-benar tahu aku memiliki alasan tersendiri atau aku hanya terlihat seperti aku mencari alasan. 

“Menurut mama aku punya alasanku sendiri?”

Tanyaku meyakinkan jawabannya, penasaran kenapa ia malah tidak marah padaku karena baru saja membocorkan rahasia terbesar kami berdua.

“Kamu selalu punya alasanmu sendiri,”

“Aku bahkan ga tau kenapa aku make alesan itu buat ngebela diriku sendiri. Itu kemaren egois,”

Bantal kecil sekarang aku peluk di pangkuanku. Menyesal akan pilihan yang kuambil tadi malam. Mungkin ada cara lain untuk menghindari Mika marah padaku tanpa harus menggunakan rahasia mama. Walaupun begitu, Mika pun akan tetap marah padaku. 

“Kalo menurut mama, kamu akhirnya udah mau mengakui kejadian itu sebagai masa lalu kamu,”

Telunjuknya menyentuh hidungku pelan. Senyum hangatnya benar-benar menyatakan ia tak marah padaku. Aku melihat senyum hangatnya, alisku mengernyit masih bingung, apa gerangan yang muncul dalam benak dirinya, sehingga ia tak menyalahkanku.

“Semua orang punya masa lalunya sendiri. Entah itu baik atau buruk, kamu harus belajar dari masa lalu kamu,”

“Kemaren Om Kasa juga ngomong gitu,” aku terkekeh kecil. 

“Berarti mama ga salah milih suami kali ini,”

Kami tertawa mendengar lelucon gelap yang entah sengaja atau tidak keluar dari mulutnya. Ia tidak salah tapi, ya Tuhan, terlalu gelap, ma. 

“Mama udah ngelepasin itu semua di belakang mama. Mungkin salahnya ga semua di mama, di kamu, atau Om Adit. Tapi, cepat atau lambat, orang-orang akan tau. Disaat mereka tau, tergantung kamu mau galau terus, atau nerima dan belajar dari situ,”

“Masa lalu kamu adalah bagian darimu dan akan selalu menjadi bagian dari diri kamu, suka atau ga.”

Aku menarik lepas pandanganku darinya, kembali melihat kebawah. Berpikir, merenungkan. Angin pukul sembilan pagi berembus menimpa kaca jendela. Dari sudut pandangku, aku bisa melihat bayangan seorang remaja tengah menunduk dan seorang wanita paruh baya duduk di tempat tidur dengan sprei krem dan selimut putih. Kakinya yang tertutup jins, menggantung di samping tempat tidur. Tangannya menarik beberapa helaian rambut hitam ikalnya yang ia gerai ke belakang telinga. Yang mama bilang benar, dan aku selama ini tak bisa melihatnya.

“Jadi, mama ga marah?”

Tangannya terbuka lebar mengundangku ke dalam pelukannya. Aku bisa merasakan pipinya mengencang membentuk senyum ketika kepalaku di bawah dagunya. Pelukannya hangat, tidak sesak. Mengundang, tidak terpaksa. 

“Ini bukan soal berapa kali kamu minta maaf. Tapi ini soal apa yang bisa kamu lakukan untuk memperbaikinya,”

Aku membalas pelukannya semakin erat sebelum akhirnya ia berdiri dan siap-siap pergi ke kantor. Seharian aku tak melihat Om Kasa atau Mika dimana-mana. Bertanya-tanya, aku berjalan ke dapur ke arah Mbak Rani. Katanya, mereka pergi jauh sebelum aku bangun. Mungkin, mama dan Om Kasa memutuskan untuk mengobrol dengan kedua anaknya sendiri-sendiri. Strategi yang adil. Mereka sepertinya tahu cara menenangkan kedua banteng ganas di rumah ini. 

Seharian aku berkeliling rumah tanpa arah dan tanpa tujuan. Bayu menanyakan kabarku tak lama setelah mama ke kantor tadi, memastikan aku tak apa-apa. Sungguh, diam di rumah tanpa pekerjaan membosankan juga. Aku terbiasa berada di sekitar teman-temanku, atau setidaknya Mika sehari-hari. Sekarang di saat aku mendapatkan waktu sendiri, aku tak tahu lagi harus apa.

Mentari perlahan mulai turun dari puncaknya, setelah jam makan siang. Popcorn di tangan kananku dan remot tv di tangan kiriku. Hampir 15 menit kuhabiskan memencet tombol yang sama berkali-kali berharap menemukan acara yang menyenangkan. Sesekali angin dari pendingin ruangan di atas jendela berhembus, meniup rambutku menutupi pandangan. Masih mengutak-atik remot tv, aku mendengar suara langkah kaki dari belakangku, menuruni tangga. 

Aku bisa melihatnya dari bayangan televisi, berhenti sebentar di depan tangga, kemudian menghadapku. Awalnya kukira ia akan mengatakan sesuatu. Namun, dugaanku salah ketika ia langsung pergi ke dapur membuka kulkas. Beberapa kali aku melihatnya melirik ke arahku ketika menuangkan segelas susu coklat, meminumnya dari gelas di depan pintu kulkas yang masih terbuka. Kurasa mungkin sudah waktunya aku menghentikan kecanggungan diantara kami berdua. Tetapi tepat saat aku berbalik menghadapnya, ia berjalan cepat menuju tangga dan kembali ke atas. Dalam hitungan detik ia hilang dari pandanganku. Bingung, aku menunggu sebentar menghadap ke belakang, mengintip beberapa kali di bawah bayangan di tangga, mungkin ia hendak turun lagi. Sunyi sepi tak ada gerak-gerik apapun darinya, aku kembali menikmati asal memencet tombol di remot tanpa arah dan tujuan berharap aku akan tersandung dan menemukan acara yang menyenangkan.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar