Third Party
4. Bab 3: Devan

Kembali lagi sepulang sekolah kami duduk di kantin menyantap makan siang sambil menunggu Mika keluar sekolah. Setelah aku kenyang dan memberikan sisa makananku ke Joshua yang telah menunggu  lama aku mengoper makananku, aku sadar Devan memperhatikan seseorang di kejauhan. Aku menoleh dan kulihat sosok Kiera, murid yang juga seangkatan dengan kami. Dilihat dari tatapan Devan yang tak terlepas dari Kiera, kurasa aku tahu apa yang sedang di dalam pikirannya. Tak lama kemudian ia melepas pandangannya dan kembali menggerakkan jemarinya melihat Instagram.

         “Sekarang lu deket sama Kiera?” Tanyaku langsung nyeletuk. Aku tahu seharusnya tidak menyebarkan rahasianya, tapi aku tak bisa menahan diriku. Pipinya merah merona, tersentak aku langsung menanyakan padanya.

         “Oh jadi Kieraa...” 

Joshua memancing Devan untuk bercerita padanya. Aku bisa melihat Devan jengkel menatapku. Aku tertawa jahil melihatnya dirayu Joshua dan Bayu untuk bercerita padanya. Akhirnya mereka menyerah setelah berkali-kali merayu dan tidak mendapat jawaban dari Devan.

Pulang sekolah, kami memutuskan untuk berjalan kaki ke rumahku. Rencananya kami akan mencari ide untuk membuat projek kami. Tapi temanya begitu luas dan bebas sehingga kami bisa saja melakukan apapun. Boleh, riset, percobaan kimia, fisika, biologi apapun itu. Intinya kami harus mampu mengambil kesimpulan dan menarik nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.

Berjam-jam sudah kami lewati menatap kosong kemeja bertumpuk kertas-kertas binder dan coret-coretan. Tak ada ide yang menarik dan unik dari contoh-contoh di mbah gugel. Gelas-gelas berisi es kopi, tersisa sudah genangan es di dasar gelas. Buntu rasanya benak kami, tak kunjung datang ide kami. Bayu memutuskan mencolek Devan dan mendorongnya untuk menceritakan awal mulanya Devan menaruh hati pada Kiera.

“Eh, tadi soal Kiera lu belom cerita,”

    “Emang gaada yang perlu diceritain…”

“Mata lu tuh tadi di kantin perlu diceritain!”

Joshua tanpa saringan di mulutnya, menyeletuk membalas Devan. Mendengar ceplosan Joshua gelak tawa memenuhi ruangan. 

“Jujur gw gainget. Tapi dia baik, jago nyanyi, pinter, cakep… Idaman gue banget pokoknya.”

Makin lama pipinya merona merah, dan dari cara bicaranya saja, perasaannya pada Kiera lebih dari sekadar suka fisik. Aku pernah sekelas dengannya dahulu kelas 7, dan kami tampil di ajang pencarian bakat. Bernyanyi di sebelahnya tentu merasa sangat terbanting, karena suaranya yang khas dan merdu di gendang telinga. Joshua melontarkan berbagai macam nasehat pada Devan yang terdengar konyol bagiku.

         “Mainin aja gitar buat dia,” aku memotong nasehat Joshua yang menyuruhnya membeli parfum dan cokelat  untuk Kiera. Ketiganya, bahkan Bayu yang tadinya menonton televisi menoleh heran padaku.

         “Main gitar? Psshh… kenapa gitar sih itu kan jaman bahala,” Joshua mengejek nasehatku seolah-olah ideku terlalu biasa dan tidak akan berhasil. Aku memutar bola mata dan berdiri mengambil gitar milik mama di sebelah meja kopi. Aku meraihnya dari senderan dan menyodorkannya pada Devan.

         Sambil kembali duduk aku mengambil gawai dan mengusir Bayu dan Joshua dari frame. Awalnya Devan ragu untuk memetik satu senar pun karena gugup menunjukkan bakatnya pada kami. Aku ingat SD dahulu ia pernah juara 1 lomba bermain gitar, kuharap talentanya masih ia pegang erat.

         “Ngapain direkam sih?” tanyanya dengan muka memelas. Bermain gitar didepan kami berempat saja sudah menjadi beban, ditambah mengunggahnya di internet.

         “Kiera follow gue di Instagram, biasanya dia sering reply stori gue. Coba main aja… Percaya sama gue”

         Tombol merah tanda mulai merekam kupencet dan Devan mulai memetik senar satu per satu. Jarinya masih luwes seperti yang kuingat, dan suara gitarnya semerdu kicauan burung di pagi hari. 15 detik sudah terlewati dan aku mengunggahnya ke story. Sambil menunggu munculnya notifikasi dari Kiera kami memutuskan membuat ruang percakapan baru, guna mempermudah komunikasi kami diluar sekolah.

         Suara lonceng kecil terdengar dari gawaiku dan Bayu mengambilnya. Kaget melihat notifikasinya ketika 20 menit setelah Devan semi-pentas, Kiera mengomentari, “Ternyata Devan keren juga.” Aku tersenyum puas melihat Joshua dengan muka asamnya, mengalah aku benar. 

Aku membalas pesan Kiera dengan, “Manggung bareng dong Jumat…”. Sorakan Joshua dan Bayu menggelegar ketika Kiera setuju dan menunggu persetujuan Devan. Alhasil rayuan Joshua dan Bayu kembali beraksi mendorong Devan mengatakan iya untuk tampil dua minggu lagi di Jejak Jumat, sebuah acara sekolah kami. Dimana pulang sekolah setiap Jumat, siapapun diperbolehkan menunjukkan bakatnya di panggung. Berkat posisiku di OSIS, mengatur jadwal dan menyediakan tempat untuk Devan dan Kiera tak sulit.

Suasana kelas yang sunyi dan tenang memungkinkan suara goresan pena dan tipex berputar terdengar ke setiap sudut ruangan. Guru pelajaran kami sedang keluar kelas membantu pengurus OSIS seksi Kesenian memasang panggung dan sound system untuk pertunjukkan Jumat depan. Iya, dimana Kiera dan Devan akan tampil duet di depan satu sekolah. Aku melamun sebentar ketika mengerjakan tugas essay yang diberikan Pak Gilbert pada kami, lalu tersentak karena Devan memanggilku.

“Din, katanya Kiera mau kerumah, dong…. buat latihan. Gimana demi sumpah…” mukanya pucat memelas menatapku. Beberapa orang melihat kami aneh dan risih dengan bisikan Devan yang mengganggu. Untung saja Kiera tidak sekelas. Bisa saja Devan salah tingkah setiap detik.

“Sshh… waktunya bagus banget ya, Dev. Kerjain dulu-“

“Andine, bukankah bapak menginstruksikan tanpa suara mengerjakannya? Devan, kamu ngapain mengganggu Andine?” Omonganku terhenti ketika Pak Gilbert sudah berdiri di sebelah pintu menatap tajam padaku dan Devan.

“Eh… saya nanya… emm itu pak soal,” Devan berusaha mencari-cari alasan.

Pak Gilbert menggeleng-gelengkan kepala dan menahan kami nanti pulang sekolah untuk menambahkan sesuatu pada essay kami.

“Ah Dev, tepat banget ya waktunya,” aku mondar-mandir di dalam ruangan berusaha mencari cara untuk keluar. Aku harus segera ke lapangan untuk membantu briefing acara. Bisa jadi aku kena marah besar ketua OSIS jika tidak sampai pada waktunya.

“Ya maaf gak bermaksud,” aku menoleh padanya dengan raut muka kesal. Tapi setelah kulihat-lihat lagi, ia memang tulus. Tidak bermaksud menjebakku dalam masalah. Selama ini kukira dia bukan tipe yang akan peduli dengan orang lain, tetapi mukanya penuh penyesalan membawaku dengannya ke ruang detensi.

“Oh! Setidaknya sekarang lu bisa bantu gue belajar hukum dan sejarah perasaan Kiera, dan cara lelaki meluluhkan hati perempuan. Oke?” Mukanya kembali segar sekarang dan penuh harapan. Aku memutar mata, sudah kuduga, masih ada keinginan untuk dirinya sendiri tapi tak apalah, aku bisa memaafkannya.

“Yaudah. Pertama, perasaan Kiera gaada yang tau. Yang tau cuman sahabatnya dan itu gaada hukumnya. Tiap orang punya perasaan beda-beda terus punya tipe cowo masing-masing,”

Mukanya kosong, tak mengerti ia harus menjawab apa.

“Oke, jadi gue harus apa?”

Aku mengambil kertas dan pensil mekanik. Menuliskan judul di kertasnya ‘K x D’ dan mulai menulis poin.

“Tugas lu adalah banyak-banyakin kenal sama dia. Lu harus pinter ngechat dan ga nunjukkin kalo lu ngejar dia. Step by step okei… Kalian harus jadi temen deket dulu baru mungkin dari situ mulai saling nunjukin perasaan,”

Devan menatapku lugu, masih sedikit bingung apa saja yang harus ia lakukan agar ia bisa setidaknya menjadi teman dekat Kiera.

“Intinya dalam chatting, JANGAN pernah ngawalin percakapan dengan ‘lagi ngapain’. Ketauan banget lu mau deketin Kiera, kita cewe ga  bodoh. Buat cewe itu udah red flag. Mumpung sekarang kalian harus nyiapin performance kalian nanti hari Jumat, pake sebaik-baiknya. Kalian bahas mau nyanyi apa dan latihan kapan , TAPI jangan cuman bahas performance kalian. Bahas hal-hal gak penting atau ngejokes sama dia. Jokes receh ya bukan jokes yang ngegodain,”

Kertas binder milikku sekarang sudah dipenuhi oleh corat coret Devan menulis apa yang harus diingat ketika akan mengobrol dengan Kiera. Aku tak menyangka dia akan menulisnya begitu detail. Ada sedikit bagian dari ku yang ingin tertawa betapa ia benar-benar tak tahu cara memikat hati seorang murid perempuan idamannya. Selesai menulis kalimat akhirku, ia menatapku menunggu syarat dan peraturan yang harus ia ingat selama bermain dalam lapangan.

“Kalo lu berani, ajak dia main truth or truth, kalau masih ga berani dan ga nekat, curhat aja ke dia. Pas dia curhat lu juga harus dengerin dia dan kasih nasehat. Jadi sahabat dia inget, bukan pacar,”

Mukanya langsung tersentak.

“Lah, kan maunya-”

“Ya sabar dong...lu kira orang pacaran langsung nembak kan engga,”

Devan tertawa malu menyadari kesalahannya. 

“Oh iya jangan lupa lu harus berlagak cool di depan dia. Jangan sampe nunjukin lu emang suka kecuali kalo kalian udah ngechat tiap hari selama satu dua bulan. Kalo dia lagi dapet juga, beliin makanan dan temenin dia. Dengerin komplain dia aja dan sesekali ketawain, tapi jangan ngejek. Walaupun kalo cewe lagi dapet biasanya kayak lagi dibawah alam sadar. Jadi kalaupun dia marah, ga bermaksud. Terakhir, cewe kalo dinyanyiin atau main gitar tanpa dia minta, bro… itu jalan pintas lu.” 

Devan benar-benar menulis semuanya di kertas sembari mengangguk. Sesekali tersenyum, tebakan ku ia membayangkan nanti masa-masa ‘PDKT’. Aku menunggunya selesai, dan ketika ia menyadari aku sudah mengatakan semuanya yang perlu aku beritahu padanya, kepalanya mendongak. Alisnya berkerut menatapku, matanya dingin.

“Lah, terus lu ngapain?” tanyanya.

Punggungku yang tadinya bersandar di tembok, kutarik badanku kedepan menghadapnya. Tanganku yang tadinya bertengger santai di meja dan kepala kursi, sekarang menyilang menghadap Devan. 

“Gampang. Tugas gue adalah mastiin semua orang tau gw deket sama lu. Sebagai teman, bukan sebagai doi.”

Alisnya makin mengerut.

“Hah, gimana? Lu tau kan kalo ada cewe cowo ngobrol bentar berdua auto di-cie ciein. Kalo dia ngeliat kita berdua tar malah mundur,” 

Aku memberikannya senyum jahil, kembali menyender pada tembok. 

“Kalo cara main gw bener, harusnya dia tau gue ga mau jadi pacar lu. Begitu juga orang lain. Gw juga ga boleh deket-deket sama lu kalo kalian lagi berdua. Terakhir, gw harus mastiin ke Kiera kalo gw gak suka sama lu,”

Mulut Devan membentuk huruf ‘O’. Kertas binder hasil coretannya ia lipat rapi dan menyelipkannya dalam map folder kuning dalam tasnya. Rencananya nanti siang aku akan memberikan mereka ruang musik untuk mereka berlatih dan semoga aku bisa keluar dari ruangan agar membiarkan mereka berdua saja. Terdengar agak mustahil tetapi patut dicoba. Aku masih asik mengobrol dengannya ketika Pak Gilbert mendorong pintu kelas hingga mengagetkan kami berdua. 

Ia menatap kami tajam dan jalannya pelan, bagai seekor singa mengintai mangsanya. Kumis tebalnya menggantung di atas bibirnya dan sekali-kali mengelus hidungnya membuatnya bersin. Aku berusaha keras menahan tawa karena tepat sebelum ia masuk kami berdua mengeluh karena Pak Gilbert terlalu berlebihan. Tumpukan bukunya, digebrakkan di atas meja, jalannya ia lebih-lebihkan bagaikan seekor burung merak menunjukkan ekornya. Aku dan Devan bertukar pandang sebentar dengan alis kami yang menekuk dan bibir terbuka sedikit, bingung, tidak mengerti apa drama yang hendak ia persembahkan bagi kami. 

Pak Gilbert maju ke kursi kami di tengah ruangan, lagi-lagi dengan gayanya bagaikan burung merak menyombong. Tangannya dikepal ke belakang. Ia berhenti di depan kami berdua dan menunduk menatap tajam mata kami. Alisku naik satu, berhadapan dengan kekonyolannya. Naik lagi, kacamatanya melorot dari hidungnya karena sisa minyak di hidungnya. Ia berputar dengan tumit kakinya seolah ia seorang balerina. Kemudian kembali ke meja guru dengan jalan sombongnya, sesekali mengelus kepala bulatnya yang berambut keriting tipis. 

Aku dan Devan menatap satu sama lain tersenyum ingin mengejek tetapi berhenti ketika ia sengaja batuk dengan keras, minta perhatian. Kami berdua menatapnya, bingung karena tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kami menunggu aba-abanya tetapi yang ia lakukan hanya menatap kami tajam tanpa berkedip. 

“Pak-”

“Shh!” 

“Loh, pak kita di-” 

“Ssut!” 

Mulut Devan terbuka lebar, kaget saat ia ingin bertanya ia didiamkan. Aku hanya bisa melirik dari Pak Gilbert dan Devan karena tak tahu apa yang terjadi dan apa yang seharusnya kami lakukan. 

“Pak, maaf Dev-” 

“Ssut! Kamu tuh ya jelas-jelas saya mau bicara,”

Ia melanjutkan kalimatnya, memberi perintah bagi kami untuk menulis 100 kali kalimat ‘saya berjanji tidak akan berisik lagi.’ Terdengar sangat konyol bagiku, apalagi saat di ruangan itu hanya ada kami bertiga. Ketika Devan ingin bertanya ia menyuruhnya diam padahal tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Yang ia lakukan hanyalah mondar- mandir dari sudut ruangan ke ruangan yang lain tanpa mengatakan apapun berlagak sombong dan tahu semuanya. Apa sih?

Begitu yang kuceritakan pada Bayu, Mika, dan Joshua di kantin sambil cemberut menyedot es tehku. Sepanjang dongengku Bayu tertawa kencang, Joshua berkali-kali menyebutkan kalimat ‘yah namanya juga Pak Gilbert’. Mika yang bersandar di tembok tertawa kecil melihatku cemberut. Awalnya aku melamun, membayangkan berbagai macam cara untuk tebar amarah kepada Pak Gilbert. Lamunanku langsung buyar ketika aku melihat senyum kecil yang berusaha disembunyikan Devan ketika ia sibuk bermain bersama handphonenya. Tampaknya bukan hanya aku yang melihat, Joshua melihat ke arah yang sama.

“Chat sama siapa tuh?” Senyum jahil terpampang di wajah menyebalkannya. Devan yang menyadari ia terciduk oleh Joshua karena sibuk dengan handphonenya, buru-buru memasukkannya kembali dalam saku. Ia berusaha menyesuaikan ekspresinya kembali normal menghadap aku dan Joshua yang mengunci tatapan kami padanya. Bayu dan Mika yang tadinya asik mengobrol berhenti dan menoleh menunggu jawaban Devan.

“Hah… Ga bukan siapa-siapa. Instagram doang,” 

Kami berlima serentak memasang muka masam tak percaya padanya, saling tumpang tindih mengeluarkan kalimat-kalimat sarkastik seolah-olah gerak gerik Devan tidak mencurigakan. Devan berusaha membela dirinya ketika sosok perempuan berjalan cepat melambaikan tangan ke arahnya.

“Hai Dev! Oh hai gais,” suara Kiera terdengar dari balik badanku. Aku dan tiga lainnya langsung terdiam dan berpura-pura baru saja tidak membicarakan tentang Kiera, walaupun yang kami bicarakan bukan sama sekali hal yang negatif. Bayu dan Mika berdiri dan meninggalkan meja, berpura-pura lupa dimana mereka harus membuang sampah kertas, dan Joshua bertukar pandang denganku. Matanya melotot seolah mengatakan ‘timingnya pas banget!’ padaku. Aku balas melotot menyuruhnya diam, agar kami tak terlihat mencurigakan pada Kiera. Balik dari skenario pura-pura lupa tempat sampah, Mika mencuri pandang dengan Devan yang terpaku tak menjawab sapaan Kiera dan menatapnya tajam, agar segera dijawab Devan.

“Oh um… Hai Ki,” akhirnya ia menjawab walaupun setelah itu ada jeda canggung diantara kita. 

“Emm… lu mau ke ruang musik sekarang? Katanya kita dikasih waktu buat latihan di situ. Ya kan, Dine?” tangannya seketika menopang di punggungku, sekalian menyapa. Aku sempat lupa kalau aku bertanggung jawab atas izin meminjam ruang musik sekolah. Mataku melotot sedikit karena baru saja ingat dan kami bertukar senyum beberapa detik setelah aku kembali menunduk di sebelah Joshua, jijik karena aku benar-benar canggung berhadapan dengannya. Kurasa tidak ada dari kami yang menebak Kiera akan datang dan menyapa kami saat pulang sekolah.

Kepalaku masih menunduk rendah dan tanganku melipat di atas meja karena situasi masih canggung. Joshua, Bayu, dan Mika serentak menatap tajam Devan untuk membalas dan ikut Kiera. Aku melirik ke arah Kiera dan ia mulai curiga dengan gerak-gerik Devan yang membisu tak bergerak. 

“Iya Dev, sekarang aja yuk. Kalian duluan deh gw abisin es teh gue, oke?” Aku akhirnya berdiri dan cepat-cepat memecahkan suasana yang semakin lama semakin canggung, tak ada yang berkutik. Devan hanya mengangguk dan langsung berdiri. Aku cepat-cepat meminum habis es tehku sambil menyuruh Kiera jalan duluan. Devan yang jalan tak jauh di belakangnya langsung mendapat tonjokan dan dorongan ringan dari kami berlima, mengejeknya tanpa suara. Kiera sempat menoleh kebelakang ketika mendengar grasah-grusuh kami. Untungnya kami berhasil berpura-pura kembali seperti tak ada yang terjadi. 

Kiera sudah sering ke ruang musik sehingga ia langsung menyalakan lampu dan stop kontak di sudut belakang ruangan. Aku yang menggendong tas selempangku berjalan dibelakang Devan, sambil membuka hp panik berteriak-teriak dalam benakku sembari membalas pesan dari lima orang lain di obrolan grup kami. 

“Kita bisa pake ruangannya sampe jamber, Din?” tanya Kiera. Devan hanya duduk di lantai karpet hijau mengecek gitar elektrik milik sekolah. Aku gemas melihatnya hanya duduk diam berpura-pura tidak mendengar percakapan kami berdua. 

“Maks sampe jam 4 ya, sekolahnya mau tutup abis itu. Kalo kalian udah selesai call gw aja,” Kiera duduk di sebelah Devan sambil mempresentasikan lagu-lagu yang bisa mereka tampilkan Jumat depan. Sebelum keluar dari ruangan Devan menatapku meminta bantuan untuk tetap tinggal agar ia tak kaku. Aku balas memberinya tatapan tajam agar kesempatannya bisa digunakan untuk mengenal Kiera lebih baik. Jalan ke ruang OSIS, aku mengirim pesan pada Devan untuk bersikap biasa saja dan jangan terlalu memikirkannya. Kusilangkan jariku, berharap Devan bisa mengatasinya. 

Kamarku redup dan penerangan yang ada hanya dari layar laptopku yang menyala membuka dokumen laporan untuk Jejak Jumat minggu depan. Istirahat sebentar aku bersandar di antara bantal dan kepala tempat tidur sambil menggerakkan jemariku melihat sosial media. Pintu kamar terbuka dan sosok Om Kasa muncul di balik pintu. 

“Belum tidur?” tanyanya sambil menahan pegangan pintu. Aku hanya menggeleng dan memberikannya senyuman kecil. Sunyi melanda kami berdua sebentar sebelum akhirnya ia menutup pintu kamarku sepertinya hendak tidur. Aku tahu sudah lama kami secara resmi menjadi keluarga sekarang tetapi ide memiliki seorang ayah saja mengikis kepercayaanku pada sosok seorang ayah. Apalagi Om Kasa yang bukan ayah kandungku sendiri. Entah mengapa lebih mudah menurutku dekat dengan Mika, karena betapa tenang dan santai dia disekitarku. Sejauh ini Om Kasa tidak mencurigakan atau membuat ulah dengan mama. Malahan mama lebih banyak tersenyum dan pikirannya tidak lagi berantakan. Aku senang karena mama mendapatkan suami yang kurasa lebih baik, tetapi untuk saat ini aku masih belum terbuka dengan ide memiliki ayah baru. 

Suara dering kecil keluar dari laptopku dan tampaknya Bayu, Devan dan Joshua sedang dalam panggilan grup, aku pun ikut masuk mendengarkan apa yang sedang mereka bahas. Masuk-masuk isinya hanya Joshua marah pada Devan karena kebodohannya tidak bisa mengajak Kiera berbincang dengannya. Devan yang berusaha membela dirinya memohon bantuan dari Bayu yang menimbang-nimbang siapa yang ia dukung. Aku tertawa mendengar Devan akhirnya menyerah dan mengaku sulit baginya untuk bersikap normal. 

“Dine Dine, kan lu cewe-” 

“Makasi loh , Bay”

“Belom selesai kalimat gue ah. Kan lu cewe kan, jadi kalo cewe tuh kalo lagi dapet gimana dah?” 

Aku bingung menanyakannya. Untuk apa Bayu bertanya padaku kondisi kami kaum Hawa ketika sedang dalam waktu itu dalam sebulan. Mungkin untuk adiknya atau mama atau kakaknya, tapi kalau dipikir-pikir lagi harusnya ia tak harus repot-repot tahu. Dan dia tidak punya adik....

“Maksud lo apaan Bay? Sikapnya ato cara biar amannya ato…?”

“Sikapnya lah Dine. Kalo yang itu mah gw udah tau. Gw ga sedongo itu...”

“Oh… kalo cewe tu biasanya suka marah-marah sendiri tiba-tiba. Yang tadinya happy banget bisa tiba-tiba moodnya drop gitu. Atoga kadang sebelom dapet malahan PMS-nya. Karena hormon dan bisa juga karena lagi ga enak banget badannya jadi ya nyebelin gitu deh…

“Tapi lu jangan balik marah kalo dia marah ama lu. Yang ada dia makin marah, makin badmood dan percaya ama gue dia bakal bete ke semua orang. Kalo cewe marah-marah gajelas tuh sebenernya bukan dia. Kayak, bisa dibilang lagi dirasukin gitu loh jadi dia ga sadar kenapa marah.”

Serempak mereka berempat ber ‘oh’ ria. Akhirnya mengerti pola pikir perempuan ketika sedang datang bulan. Percayalah, tidak ada yang berani membuat marah seseorang yang sedang PMS, dalam sekejap bisa berubah menjadi pembantaian massal. 

“Tumben nanya. Ngapain?” 

“Gw kira lu dapet. Soalnya tadi galak pas sama gengnya Gilang…”

Heh! Baru saja dibicarakan langsung lupa. Terkadang kepolosan, kebodohan Bayu dibadingkan dengan ia bercanda sulit dibedakan. 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar