Third Party
10. Bab 9: Belah Jiwa

Pulang dari bermain bowling, kami berenam pulang kerumahku dan Mika untuk merayakan pesta kecil-kecilan Mika. Tas kertas berisi kue dan tas ransel yang penuh dengan hadiah-hadiah kami untuk Mika. Aku berjalan tepat di belakang Aretha dan Mika yang berduaan tak seberapa jauh dariku, Joshua dan Bayu, berbisik-bisik menggoda keduanya. Sopir taksi kami tak dapat masuk ke dalam kompleks, jadi berjalan-jalan di bawah langit sore menjadi bagian dari agenda kami. Derap kaki kami semakin terdengar jelas ketika langit sore semakin gelap dan mulai mendekati halaman rumahku dan Mika. Aku tertawa terbahak-bahak bersama Joshua dan Bayu, namun terhenti ketika serempak kami disambut tanpa aba-aba oleh sekumpulan orang di dalam rumahku. 

“SURPRISE!”

Bingung, tak ada dari kami yang mengerti mengapa ada setidaknya 20 orang berdiri di ruang keluarga rumahku dan Mika. Balon warna-warni dipasang di setiap sudut. Meja penuh makanan ringan dan gelas-gelas plastik minuman di sebelah meja dapur berwarna hitam mebel. Balon emas mengeja nama ‘Mika’ di atas jendela ruang televisi. Konfeti warna-warni berserakan dimana-mana dan bantal-bantal sofa berantakan di lantai kayu. Di tengah segala keramaian corak warna, pandanganku fokus ke Mella seorang anak dari angkatan kami, menopang kue coklat dengan tulisan ‘HBD Mik!’ berwarna merah muda diatasnya. 

Ketika Mella maju kedepan membawa kue yang sekarang seperbagian permukaannya tertutup lilin yang menetes, perlahan tapi pasti meleleh karena api tak kunjung ditiup Mika. Mukanya masih linglung, kaget, karena ini bukan bagian dari rencana kami merayakan ulang tahun Mika. Aretha mundur kebelakang. Jemarinya yang tadinya bersentuhan dengan Mika perlahan mundur kebelakangnya. Tepat disebelahku. Aku memalingkan pandanganku ke Bayu ketika akhirnya Mika tersenyum paksa dan meniup lilin ulang tahunnya. Sorak sorai memenuhi ruangan, namun kami hanya bisa diam di tempat bingung, apa yang baru saja terjadi. Tepat detik ini, aku tahu suasana hati Mika akan berubah menjadi sangat buruk. 

Aku mengambil segelas air putih dari lemari dan mengisinya dengan air putih. Melihat sekeliling sembari memastikan tidak ada yang memecahkan barang-barang berharga di dalam rumah. Suara alunan musik pop memenuhi satu rumah dan kupingku semakin risih mendengar bass dari speaker yang dibawa anak-anak band. Beberapa orang menari, bukan menari sih, lebih ke meloncat-loncat sesuai irama di ruang kerja mama dan Om Kasa. Mejanya mereka pinggirkan memastikan agar tidak merusak barang apapun yang berharga. Setidaknya mereka masih tahu batasan? 

Aretha duduk tegak di sofa putih menghadap televisiku. Badannya tegang dan pandangannya kosong ke bawah. Tangannya kaku diatas pangkuannya. Aku menyodorkannya air putih, berharap ia tak terlalu memikirkan apapun yang terlintas dalam benaknya. Aku berusaha mencari Mika di sela-sela banyaknya orang dan batang hidungnya pun tak kelihatan dimana-mana. Kami berenam hanya duduk menatap meja kopi warna coklat tua didepan. Tak tahu harus bagaimana. Aku tidak menyukai kehadiran orang-orang ini di rumahku, begitu juga dengan yang lain. Tapi kami tak tahu harus bagaimana kami bisa membawa mereka keluar dengan cara yang halus, tanpa menyakiti hati. Tentunya hiasan ini tak mudah disiapkan. Aku tak tahu harus bilang apa ke Om Kasa dan mama. Ada kemungkinan mereka akan frustasi melihat rumah begitu berantakan dan dipenuhi satu kelas murid-murid tetapi jika aku memberitahu mereka sekarang ketika masih kerja, bayangkan betapa sulitnya bagi mereka untuk fokus. 

Masih menunduk kebawah, aku bisa mendengar tawa kencang Kak Gilang dan gengnya. Makin lama makin dekat ke sofa depan televisi tempat kami duduk dalam sunyi. Merasa bingung dan kesal karena ada banyaknya orang disini yang sedari tadi berusaha kuusir saja sudah melelahkan, apalagi harus berhadapan dengan geng mereka yang tak ada habisnya mencari masalah. Seolah-olah itu adalah asupan gizi mereka sehari-hari.

“Seru juga pestanya, Dine. Ga nyesel gua,” 

Aku terdiam. Malas menjawabnya dan sungguh tidak dalam mood untuk berdebat. Lagian kenapa ada dia disini sih? Siapa yang membocorkan ulang tahun Mika? Adik kelas yang terobsesi dengan Mika atau siapa? Ngapain dibocorin sampai ke geng Kak Gilang.

“Sopan ya gamau jawab. Ck..ck..ck..” 

Mereka masih saja berusaha memancing amarah kami. Sudahlah, kami lelah kami tak ingin berdebat, tak bisakah mereka membaca sinyal. Hilang kesabaran mereka menunggu kami membalas mereka, tangan Kak Nathan menggenggam kencang kemeja lengan pendek Bayu. Melihat Bayu tiba-tiba diangkat dan diancam Nathan, aku segera meloncat dari sofa dan mereka berhasil memancing atensi dan amarahku keluar.

“Masalah lu apasih?”

Aku memberanikan diri berdiri dan menatapnya tajam. Aku tak peduli jika teman-teman angkatanku tak lagi mau berteman denganku karena begitu sensitif dan protektif atas kakak angkatku. Tetapi melihat mukanya kecewa karena tak bisa merayakan ulang tahunnya dengan sahabat-sahabatnya, dan malah berada dalam skenario mimpi buruk menjadi kenyataan tentu memberikan kesan ulang tahun pertamanya bersamaku bukan ulang tahunnya yang terbaik. Alunan musik mengecil ketika anak-anak band mendengar suara dinginku menusuk suasana di dalam ruangan. Semua tatapan beralih kepadaku dan Kak Gilang di tengah-tengah ruang keluarga. Berusaha mendengarkan segala detail percakapan, agar menjadi bahan pembicaraan mereka nanti di sekolah. 

“Berani ngomong balik nih, sekarang? Kakak lu mana?” 

Nada Kak Gilang mengejek. Anggota gengnya ikut tertawa mencemooh mendengar kalimat akhirnya.

“Lu ngapain sih disini? Gaada yang ngundang lu pada kan disini? Seenak jidat main masuk-masuk!” 

Rasa lelah, kesal, kecewa mulai muncul ke permukaan. Disaat-saat seperti ini sudah sulit untuk tetap memasang filter, menjaga omonganku agar tidak dalam masalah. 

“Lu gainget, di kantin lu yang ngomong sendiri? Lu ngumumin kayak toa masjid!”

“Kan itu lu yang nanya bodoh! Jadi gua yang salah…”

“Ya ngapain lu jawab…”

Sosok Mika muncul dibalik kerumunan. Ia sepertinya mendengar percakapan kami dari kejauhan. Walaupun baru sekarang ia menunjukkan batang hidungnya diantara kerumunan orang.

“Dine? Bener gitu?” 

Mika maju dari barisan kerumunan orang dibelakang Kak Gilang. Matanya kecewa, siap meledak. Semua orang menahan nafas menunggu balasanku pada Mika. Nafasku terikat di ujung tenggorokkan, mataku berair tidak percaya aku mengkhianati kakakku sendiri. 

“Lu cuman disuruh jaga rahasia dan gabisa?” 

Nadanya semakin naik. Pipinya merah dan matanya mulai berkaca-kaca dibawah sinar lampu ruang tengah.

“Gue ga bermaksud-”

“Lu tau bener ini ulang tahun pertama gue bareng lu, bareng kalian. Dan jelas kita pernah bahas kalo gw ga suka ulang tahun gue rame-rame. Gak bisa apa lu bilang itu ke dia?” 

Telunjuk Mika tegas mengarah pada Kak Gilang. Senyum licik Kak Gilang terlukis di bibirnya selagi ia mundur dari antara kami berdua dan sekarang aku bertatap mata dengan Mika. Badanku lemas, panas. Ingin rasanya aku pingsan saat itu juga. Bibirku merah bekas gigitan karena aku menahan tangis. Nada Mika semakin tinggi. Mendengar kalimatnya yang terakhir, aku kesal karena seketika semua ini salahku.

“Sekarang lu nyalahin gue?”

“Siapa lagi?! Setidaknya kalo gue dengerin dia, hari ulang tahun saudara gue gabakal ancur!”

“Lu lebih baik dengerin dia daripada percaya sama adek lu sendiri?!”

“Kalo lu beneran adek gue semua ini gabakal terjadi,”

Mulutku ternganga. Tak percaya apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Orang-orang di sekelilingku diam tak berkutik. Beberapa mengeluarkan gawainya entah mereka atau memotret kejadian ini. Aku mendengar bisikan suara Joshua dan Bayu memanggil namaku. Berusaha menenangkanku. Aretha mengeluarkan isakan kecil, entah kenapa, mungkin menangis. Di sudut mataku aku melihat cahaya terang lampu mobil perlahan mendekat ke garasi rumah. Tak lama suara tapak kaki sepatu hak mama dan pantofel hitam milik Om Kasa mulai terdengar. 

“Kenapa ini? Kalian ngapain disini ayo keluar semua keluar,”

Suara Om Kasa tenang namun tegas. Melihatku dan Mika mengunci pandangan satu sama lain di tengah ruangan, kurasa jika ia ikutan marah suasananya akan semakin buruk. Pelan-pelan suara derap kaki anak-anak angkatanku berjalan menuju pintu, sambil sesekali menengok kebelakang, menunggu apa yang akan terjadi.

“Ya oke mungkin gue suka ceplas ceplos kalo ngomong, tapi kenapa sih, susah banget ngehargain usaha adeknya nyiapin kejutan di hari ulang tahun kakaknya?!”

Balasku dibalik isakan dan nafasku yang menggigil. Genangan air mata mulai membuyarkan pandanganku. 

“Karna lu gatau sakitnya ditinggal sama nyokap dan adek dua tahun berturut-turut, di hari ulang tahun lu! 

Awalnya suaranya hanya tajam menusuk, sekarang di akhir kalimat ia teriak didepanku. Langkahnya mendekatiku dan matanya galak melihatku, marah, menyimpan dendam dan beban lama yang selama ini ia pikul, akhirnya ia luapkan semuanya padaku. Tangannya naik sekarang di depan mukaku. Jemarinya rapat dan hanya telunjuknya berdiri kuat di depan muka kami.

“Lu kira lu doang yang tau rasanya ditinggal? Setidaknya mereka ga milih untuk ninggalin lu!”

Mendengar kalimat terakhir itu keluar dari mulutku, air mata mulai menetes perlahan ke pipi. Satu ruangan sekarang sunyi. Suara gesekan kaki memudar. Om Kasa yang tadinya dengan halus mengusir anak-anak keluar, terhenti mendengar kalimat tersebut keluar dari mulutku. Mama yang dibelakang Om Kasa mulai berkaca-kaca.

Aku mendengar gerak gerik Devan yang tadinya duduk menenangkan Aretha, tersentak mendengar balasanku pada Mika. Aku melihat mama berdiri di ambang pintu berkaca-kaca. Om Kasa bingung melihatku lalu balik melihat mama, dan Mika… tak lagi berdiri tegap dan jari telunjuknya perlahan turun bersamaan dengan wajahnya yang perlahan berubah.

“Milih? Lu bilang ayah lu meninggal karena kecelakaan mobil…”

“Kalo lu jadi gue, mending boong ato jujur ke keluarga baru lu, kalo ayah lu sendiri ninggalin dengan sengaja dan lu alesan utama dia pergi?!”

Hidungku kembang kempis, air mataku mulai menetes di pipiku. Bibirku gemetar dan badanku semakin lemas berdiri ditengah-tengah ruangan dilihat beberapa orang yang masih diam melihat pertengkaranku dan Mika. 

“Mama lu mungkin udah meninggal tapi lu tau dia masih mencintai lu,” Aku menarik nafas kencang sebelum melanjutkan. Isakanku terdengar di antara tarika nafasku.

“Ayah gue masih ada diluar sana tapi dia ga pernah seumur hidup sayang sama gue,”

Om Kasa perlahan berjalan mendekatiku dan Mika yang sekarang tak lagi berdiri kuat. Badannya lemas mendengar setiap kata yang keluar dari mulutku yang gemetar dibawah nafasku. Hidungku merah dan mulai tersumbat oleh lendir. Aku hampir tak bisa melihat apa-apa karena genangan air mata tak kunjung aku seka. Hatiku benar-benar sakit harus mengingat kembali kejadian ini. Padahal aku sudah berjanji pada mama untuk tidak membukanya pada siapapun. Tangisanku makin deras ketika sadar aku melanggar dua janji malam ini. 

“Dia juga pergi di hari ulang tahun gue tau,” 

Mika melangkah sekali ke arahku, tebakku ingin meminta maaf, tetapi tak sanggup aku menghadapinya setelah ia menyakitiku seperti itu. Karenanya aku terpaksa mengingat kembali masa laluku. Tak kuat lagi menahan tangis, tanganku menutup muka dan aku terisak kencang dibaliknya. Langkah kakiku membawaku ke atas menuju kamar tidur, tempat dimana aku  bisa melepaskan topeng dan menjadi diriku sendiri. Menangis berjam-jam di tumpukan bantal tanpa suara, atau menatap kosong cermin memaki-maki diriku sendiri. Aku mendengar mama meneriakkan namaku ketika aku ke atas. Sekilas aku melihat bayangan orang-orang melihatku berjalan ke atas tangga, dengan tangan gemetar mencengkeram besi hitam pegangan tangga. 

Aku mendorong pintu, menutupnya dengan kencang. Ketika bersandar di belakang pintu, aku bisa melihat bayangan diriku yang menangis di cermin. Benci melihat bayanganku sendiri, aku lari ke atas tempat tidur dan menangis tersedu-sedu di atas tumpukan bantal-bantal empuk yang kian lama kian basah karena tetes air mata.  

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar