Third Party
9. Bab 8: Lempar Balik

Pulang sekolah kali ini sendiri. Setelah berjam-jam menghabiskan waktu di sekolah menyusun dan mempersiapkan untuk acara pesta dansa tahunan, aku bersandar di pintu kelelahan. Pulang dari sekolah pukul 3, sampai rumah pukul setengah 4 lalu karena Mbak Rani sedang pergi, aku diminta untuk mencuci piring, menjemur baju baru dan mengambil jemuran baju lama. Baru sekarang, pukul 5 aku  sampai di kamar. 

Mika sedang pergi dengan Aretha, kencan entah kemana. Bayu dan Joshua sedang latihan basket dan Devan asik latihan band bersama Kiera. Hanya aku sendiri. Aneh, rasanya begitu familiar. Aku berhasil membantu kedua orang yang kusayangi dan ketika berhasil, mereka meninggalkanku. 

Pulang sekolah dan jam menunjukkan pukul 11.50 di dinding. Lembaran-lembaran kartu warna-warni jatuh berserakan dimana-mana. Samar-samar aku bisa mendengar suara teriakan seorang wanita, lalu suara roda dari koper. Suara teriakan lelaki dan suara isakan perempuan. Sebelum akhirnya aku terbangun dengan keringat bercucuran dari pelipisku membasahi tubuhku. Tampaknya, saking kelelahannya, aku tertidur di lantai sebentar. Sambil berdiri aku kembali mengingat-ingat mimpiku tadi. Seperti Deja vu, seolah sudah pernah terjadi. Dan seketika aku sadar. 

“Dine, kamu kan anak papa yang manis… sini bantuin papa bikin kartu yuk, buat mama!”

Aku mengangguk. Sambil membawa peralatan gambarku ke atas meja aku menggambar-gambar bentuk hati dan menulis puisi-puisi indah yang kutemukan di internet. 

“Papa, kok nama mama beda?”

Tanyaku, sadar nama orang yang dituju bukan Jennye.

“Mama kan punya nama tengah,”

Waktu itu Om Adit mengajakku membuat berbagai macam kartu berisi puisi dan lirik-lirik lagu cinta dan keluarga. Aku ingat aku tak sabar ketika nanti melihat mama mendapatkan kartu ini. Seminggu berubah cepat menjadi sebulan, dua bulan, tiga bulan. Kartu itu tak pernah lagi kulihat. 

“Kenapa kamu cuman dapet 90? Kenapa?!”

Aku menunduk mendengar teriakan Om Adit waktu itu. Tetes air mata mengalir deras di pipiku. Untuk anak umur sekitar 7-8 tahun, pikiran seperti, aku kurang cukup, aku tak bisa membahagiakan orang lain seharusnya tidak terlintas. Dalam ulangan Bahasa Indonesia, Om Adit marah karena aku tak bisa dapat seratus. Kertas ulangan dirobek, dilempar, dan dirusak olehnya. Kata-kata caci maki muncul dari mulutnya. 

“Kamu bisanya mengecewakan saja,”

“Mudah loh kenapa kamu gabisa? Nangis aja yaa yang jago!”

“Malu-maluin tau!”

Om Adit tak pernah puas dengan segala macam hal yang kulakukan. Pasti ada suatu hal kecil yang baginya sungguh amat besar dan menjadi faktor utama masalahnya. Bisa berjam-jam aku dihukum menggosok sela-sela lantai dengan busa selama sehari sebagai bentuk hukuman tidak mendapatkan nilai 100 dalam Bahasa Indonesia. Besok paginya, tanganku pegal dan ungu tapi aku berusaha menyembunyikannya dengan menggunakan jaket atau kemeja lengan panjang. 

Berdiri di depan kaca, sekarang aku sudah berganti baju. Tanpa sadar, pipiku penuh dengan genangan air mata. Perlahan kancing kulepas dan aku mengganti bajuku ke baju yang lebih santai. Kembali lagi melamun aku mengingat disaat mama akhirnya mengungkap kebenaran. 

Andine kecil umur 8-9 tahunan menangis melihat ayah kandungku dipukul, dibentak, dan dilempar koper besar berisi baju-baju Om Adit. Aku memohon pada mama untuk jangan marah dan jangan menangis. Melihat ayah pergi dan ketika aku berusaha mengejarnya mama mengangkatku. Mungkin pada saat itu aku belum mengerti adanya cerita orang ketiga di kehidupan Om Adit tapi setidaknya aku merasakan sakitnya ketika kedua orang yang kusayang berpisah di hari ulang tahunku. 

Setahun lebih aku dan Mbak Rani bergiliran merawat mama. Sepulang sekolah aku akan menemukan mama biasanya tergeletak di kamar mandi, menangis. Mata sembab, hidung merah dan terkadang toilet duduk yang terbuka sebagai wadah muntahan mama. Bayangku, seorang anak perempuan berumur 8 tahun, harus melihat mamanya dalam kondisi seperti itu. Tidak menjawab pertanyaanku, tidak bisa diajak mengobrol. Bayangkan disaat itu juga dalam benakku aku terus menerus menyalahkan diriku. Sejak itu aku sudah begitu  keras pada diriku sendiri. Hingga saat ini kurasa aku masih terbiasa untuk  menekan diri sendiri, walaupun tidak baik.

Jika ada sesuatu yang aku pelajari dari masa lalu, itu adalah saat aku memastikan semua orang bahagia, baru melihat diriku sendiri. Aku terbiasa menjaga mama, aku jadi ikut terbiasa menjaga teman-temanku. Aku terbiasa mementingkan orang lain dahulu daripadaku. Aku terbiasa menyembunyikan bekas luka fisik maupun psikis karena mereka hanya bisa mengucapkan minta maaf dan Rest In Peace. Dibalik senyum lebar seseorang, bisa saja mereka sedang mengalami masalah mereka yang berbeda yang mungkin juga lebih parah dari kita. Dibalik seorang yang senyumnya lebar, ada masa lalu yang disembunyikan. Aku rindu ketika aku masih bayi. Tidak ada beban. 

Kuingat kembali ketika aku menjodohkan Mika dan Aretha. Keduanya dekat denganku, sama seperti mama dan Om Adit. Lalu ada magnet lain yang lebih kencang. Dengan bantuanku saat itu, aku menjadi ‘mak comblang’ ayahnya yang kurang ajar. Dan ketika berhasil, aku ditinggal begitu saja. Mirip rasanya, tetapi ada bedanya sedikit. Kenapa aku begitu suka menjodohkan orang lain, karena secara tak sadar aku menghukum diriku sendiri. Apakah aku masih menyalahkan diriku sendiri akan 

Suara ketukan dan samar-samar suara Mika terdengar. Cepat-cepat aku menghapus air mata dan mempersiapkan diri untuk melupakan ini sementara.  

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar