Third Party
6. Bab 5: Aretha

Tak terlihat sebutir kapas di langit biru dan matahari gersang menembus kaca lab biologi sekolah. Aku meraih tasku dan tersentak, betapa panasnya tasku sekarang setelah berjemur dibawah mentari. Hampir saja aku terlempar ke belakang ketika refleks, tanganku meraih kemeja Joshua, yang duduk disebelahku. Tak sadar setelah aku akhirnya seimbang, Joshua sudah tergeletak di lantai. 

“Lu ngapain di lantai, Jos?” 

“Ya, lu kira ngapain an-” 

Sebelum sempat mengutarakan amarahnya kepadaku, Pak Agus, yang hari ini kebetulan menggantikan Ibu Angela, menyuruh Joshua diam, dan balik duduk keatas. Ketika Pak Agus kembali menjelaskan, menghadap murid lain, Joshua mendengus kesal dan dibawah nafasnya mengeluh. Ketika kami berempat tertawa kecil, pintu diketuk ringan dan Pak Agus menghentikan ocehannya. Pintu coklat dari jati dengan pegangan besi terbuka dan sosok perempuan dengan rambut keriting kuncir satu dan kulit manis melangkah masuk. Seluruh mata tertuju padanya, penasaran dengan siapakah dia dan kenapa dia disini. Badannya kecil imut tidak terlihat seperti anak kelas 11 tetapi ternyata ia murid pindahan yang waktu itu dibilang Ibu Angela.

“Kamu Aretha? Pindahan dari BSD kan ya? Ibu Angela bilang pada saya akan ada yang telat hari ini,” Pak Agus memandang Aretha sombong dari balik rangka kacamatanya. Kami yang awalnya tertarik pada kehadirannya, lalu membuang muka dan tertawa kecil karena tentu, apapun alasanmu jika telat di pelajaran yang memiliki hubungannya dengan Pak Agus, hukuman akan segera datang menghujani harimu. 

“Oke, silahkan perkenalkan dirimu di depan teman-teman… lalu saya ada tugas untukmu,” Raut muka bingung muncul di ekspresi Aretha. Bingung dengan kenapa murid-murid sekelasnya tertawa, dan mengapa pada hari pertamanya ia langsung diberi tugas pribadi. 

“Halo teman-teman, perkenalkan saya Aurelia Brigitta Narapati, biasa dipanggil Aretha. Saya pindah dari BSD baru beberapa bulan yang lalu. Saya anak terakhir dari tiga bersaudara. Umm… semoga saya bisa mengenal kalian lebih baik lagi. Terimakasih!” 

Aretha dipersilahkan duduk di meja kami oleh Pak Agus dan segera setelah Aretha duduk, tumpukan buku tebal menimpa meja kami. Beberapa anak yang belum terbangun di pojok tersentak mendengar suara gendang yang memekakkan telinga. Puas melihat wajah Aretha yang melongo bingung apa yang telah terjadi padanya ia berjalan angkuh menuju papan tulis di depan kelas.

“Anak-anak buka buku cetak kalian halaman 57! Aretha, besok kamu sudah harus menghapus segala bentuk coretan di buku-buku tersebut!”

Mukanya benar-benar bingung, kesal juga karena baru saja masuk sekolah, ia sudah diberi beban berat menghapus coretan pensil di buku-buku latihan soal dari kelas 11 tahun lalu. Dan semua tahu, buku-buku latihan soal dari Pak Agus pasti penuh coretan. Entah itu karena bosan atau usaha mencatat segala cerita dan dongeng yang disampaikan Pak Agus selama pelajaran. 

“Dia emang selalu galak gini? Gue bahkan baru masuk!”

Kami berlima tertawa melihat Aretha memasang muka cemberut selagi membuka-buka lembaran buku yang penuh coretan. Ruang kelas dipenuhi dengan suara resleting tas dibuka, sampul buku menyentuh meja. Lalu suara kertas dibolak-balik. 

“Mungkin karena lu telat masuk kali. Walaupun lu anak baru atau abis dari toilet gara-gara panggilan alam, intinya kalo telat di kelas Pak Agus ya telat. Ga ada pengecualian.”

Telunjuknya mengarahkan ke sosok Pak Agus yang tengah menyuruh seorang murid lain di ujung kelas untuk membacakan materi hari ini. Tanganku rendah dibawah. Badan Joshua yang membelakangi Pak Agus menghadap meja percobaan kami, menutupi gerak-gerik tak sopanku dari guru bermata elang itu. Bibir Aretha semakin maju. Perlahan meletakkan tasnya di bawah, dan membuka lembaran buku latihan soal satu persatu. Sungguh, penuh coretan yang tidak karuan. 

“Mau dibantuin gak?” tawar Bayu diujung meja membelakangi jendela. Serentak kami melihat ke arah Aretha, menawarkan bantuan kami. Walaupun awalnya Joshua memberikan raut muka jengkel pada Bayu karena telat menawarkan bantuan kami, akhirnya ia menyerah ikut membantu setelah kuinjak kakinya agar menurut si daging baru. Wajah Aretha bersinar seketika dan senyum lebar terbentuk di wajahnya. Dengan kami menawarkan bantuan, tak hanya beban tugasnya lebih ringan, ia juga mendapatkan kelompok teman baru. Kasihan dia jika harus berkeliling sekolah mencari kelas-kelas tak tahu arah. Berkeringat dingin karena bertemu guru-guru killer dan ‘unik’ di sekolah. 

Selesai dari ruang laboratorium waktunya pindah ke kelas lain, mengikuti pelajaran baru hari itu. Menjadi kesempatan juga bagi Aretha untuk mengingat ruang kelas disini agar ia tak hilang arah nanti. Melewati lorong-lorong kelas yang semi-outdoor. Dengan balkon menghadap ke lapangan rumput tepat di tengah bangunan 4 lantai sekolah kami ini, dan kaki terseret dengan sepatu hitam murid-murid di ubin berwarna abu-abu. Sekilas bisa kudengar canda tawa dan pembahasan adik kelas dan kakak kelas, bahkan teman-teman seangkatanku. Ada yang berbisik ada yang terang-terangan membicarakan tentang tugas guru yang tak masuk akal. Perkumpulan anak laki-laki yang sering terlibat dalam masalah tengah duduk di anak tangga dengan dasi di kepala dan dilepas, kemeja putih lusuh dan celana abu-abu kebiruan yang menggantung di mata kaki. 

Begitu tahu akan melewati mereka karena harus naik ke lantai empat, bola mataku berputar. Malas harus melewati segerombolan anak kelas 12 yang merasa dirinya memiliki kuasa karena paling tua dan memecahkan rekor surat peringatan. Masih heran sampai sekarang kenapa mereka masih saja ada di sekolah ini. Dan tentunya, para perempuan mengincar mereka karena nakal dan dianggap keren. Akan kuakui mereka tampan, tapi sikap mereka sungguh sudah terlalu rendah bagiku. Aretha melihatku berubah tegang dan tatapanku lebih sinis dari sebelumnya. Sadar akan apa yang akan kita hadapi ia pun mundur ke belakangku. Lantas Joshua dengan badannya yang lebih tinggi maju ke depanku. Berjaga-jaga jika mereka membuat ulah. 

“Dine, masih single aja lu. Ga bosen?” 

Sudah terlalu sering Kak Nathan, salah satu anggota geng, menggunakan kalimat itu untuk menakut-nakutiku. Entah apa tujuannya tetapi tentu sungguh mengusikku. Biasanya kubiarkan saja mereka mengejek dan menggoda sepuas hati. Aku malas berhadapan dengan sekumpulan lelaki yang tak tahu sopan santun dan setidaknya sedikit hormat pada perempuan, termasuk adik kelas. Aku melihat tangan Joshua mengepal, aku hanya memberikan tatapan dingin pada mereka dan mulai menapakkan kaki pada anak tangga. 

“Sopan banget sih kalian gamau jawab kakel” 

Kak Gilang, ketua geng mereka yang duduk di anak tangga dengan gaya preman, menarik tali sepatuku hingga lepas. Hampir saja aku tersandung. Sungguh aku tak mengerti mengapa mereka tak bisa untuk tidak menghiraukanku saja.

“Woi, boleh ga sih ga usah ganggu? Cuman mau lewat doang, juga,” 

Tampak amarah dalam nada Joshua. Sebelumnya tak pernah aku melihatnya begitu terpengaruh dengan usikkan mereka. Ia sekarang tatap menatap dengan Kak Gilang yang masih duduk santai dibawah. Untungnya, badanku menghindari kontak diantara keduanya sehingga tak terjadi keributan pagi-pagi di lorong sekolah. Badan Nathan yang jelas lebih tinggi dariku, sekarang berdiri di depan Gilang yang sekarang bersandar pada pegangan tangga.  Kerumunan murid yang tadinya berlalu-lalang di lantai dua sekarang berhenti untuk melihat situasi. Aretha berdiri dibelakang Bayu menunduk. 

“Oh… ada siapa nih disini. Anak baru ya?”

Rupanya pandangan Kak Gilang sudah mengunci pada Aretha di belakang Bayu. Walaupun Bayu sudah berdiri tegak, tetap saja sosok mungil Aretha masih dalam jarak pandang Kak Gilang. Biasanya geng mereka suka mengincar anak-anak baru. Entah dibully, dipalak, atau digangguin. Dengan cara-cara mereka yang sungguh sebenarnya tidak perlu. Hampir satu angkatan kami kena ulah mereka kecuali aku. Banyak yang gara-gara mereka jadi trauma bertemu kakak kelas, menunduk tak berani menatap mereka. Bahkan banyak yang menyembunyikan dompet di dalam seluk beluk loker dan tas ransel masing-masing agar jika tiba-tiba dicegat geng preman ini, setidaknya sudah berusaha menyembunyikannya.

Tetapi entah mengapa sejak dahulu mereka tak pernah berani mendekatiku. Mungkin sesekali melihatku dari jauh dengan tatapan dingin, berbisik dan sekali-sekali menyapa dingin tapi menjadi korban palak atau bully mereka, aku masih selamat. Mungkin karena aku tak menunduk atau aku sering membalas tatapan mereka lebih ganas lagi. Sehingga mereka tak berani menantangku dengan tatapan bagaikan singa yang menatap lurus mangsanya. 

“Heh, biarin dia aja napa? Udah banyak yang jadi korban lu” sahutku.

“Terus? Emang lu bisa apa?”

Badan Kak Gilang maju mendekatiku. Jalannya angkuh, berjalan dari sisi ke sisi. Kepalanya menunduk rendah menatapku. Aku berani menatapnya tetapi semakin dekat kakiku membawaku mundur kebelakang. Aku tahu jika aku menyakitinya sekalipun, badanku akan jauh lebih babak belur darinya dan biasanya aku yang akan kena masalah. Tapi setidaknya aku berani menatapnya, yakan? 

“Cewe, gausah sok jagoan,”

Nadanya makin angkuh semakin dekat wajahnya dengan wajahku. Aku bisa merasakan dengus nafasnya dan keinginanku untuk mundur dan mengalihkan pandanganku semakin besar. Sebelum akhirnya aku mendengar suara lelaki yang sangat familiar. 

“Lu ngapain, Gil?”

“Eyy...Mika, liat deh ada adkel yang kurang ajar mau di-”

“Terus?”

Belum pernah kulihat muka Mika dari yang ceria berubah dingin dan ganas. Nada suaranya membuat kulitku bergidik. Belum juga seumur hidupku, aku melihat Gilang panik dan ada rasa cemas dari gerak-geriknya. Ketiga teman Kak Gilang ikutan mundur dan salah satu dari mereka hampir saja jatuh berguling ke dasar tangga. Mataku terpaku mengikuti Mika yang turun dari tangga. Tas selempangnya berayun mengikuti langkah kakinya menuruni tangga. Aretha yang tadinya menunduk perlahan menatap ke atas melihat Mika yang semakin mendekat dan sekarang bertukar pandang dengan Kak Gilang. 

“Ayolah Mik, sekali-kali buktiin lu tu orangnya seru gitu…”

Senyuman Kak Gilang melebar licik. Mataku menyipit, alisku berkerut sungguh tanganku yang mengepal di samping kanan kiri siap kapan pun memukul hidungnya di depan banyak orang. Aku tak tahan menatap senyum angkuhnya. 

“Gue gaperlu buktiin apa-apa ke lu,”

“Ugh… elah. Yaudah, setidaknya have fun gitu?”

Kepala Mika miring sedikit. Tinggi mereka sama sekarang dan aku bisa merasakan tangan Mika meraba mencari tanganku, mungkin dalam benaknya jika sesuatu terjadi, ia bisa segera membawaku kabur. Dikira aku diculik kali ya? Badanku tegang, begitu juga teman-temanku yang lain. Kami hanya bisa menatap terpaku pada Mika dan Gilang. Mata Mika semakin lama semakin ganas, aku sendiri takut walaupun aku berada di belakangnya. Mungkin Gilang sudah terbiasa tatap muka dengan orang lain. Tapi tatap muka dengan seorang kakak yang beberapa bulan lalu mendapatkan keluarga baru dan memiliki adik perempuan tiri, kurasa baru sekali ini. 

“Gue bisa seneng-seneng, tanpa harus ngancurin hidup orang,” 

Selesai mengatakannya, Mika mundur dan tanganku ia genggam erat. Ia menggeretku ke atas dan teman-temanku yang tadinya melamun, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi, bergegas menyadarkan diri dan ikut naik ke atas. Di atas anak tangga, Mika berhenti sejenak dan kemudian berbalik. Di bawah, Kak Gilang kembali bersandar di pegangan tangga dan keempat ‘pelayan’ -nya berusaha meningkatkan egonya lagi, sebelum benar-benar hancur ketika Mika membuka mulut dan mengatakan, 

“Apalagi ngancurin hidup adek perempuan gw,”

Raut muka Kak Gilang berubah seketika. Mukanya pucat pasi menyadari aku adik tiri Mika. Kak Nathan bolak balik bertukar pandang dengan dua anggota geng lainnya. Aku tak mengerti mengapa raut muka mereka begitu tegang dan terpaku diam. Mika kembali menyeretku ke atas. Yang lain mengikuti tak jauh dibelakang. Ikut terdiam, kurasa bingung dan terguncang melihat Mika pertama kali begitu dingin dengan yang lain. Masih berjalan menyusuri koridor, Mika membawa kami jauh dari tangga mendekati sudut lorong yang menghadap lapangan dalam gedung SMP SMA. 

Thanks, Mik. Tadi hampir aja gue-”

“Lu pikir lu siapa bisa baku hantam sama Gilang sama Nathan?!”

Suaranya kencang, nadanya tinggi. Mukanya merah dan tatapannya tajam melihatku. Aku tak mengerti mengapa ia tiba-tiba membentakku, padahal jelas-jelas, Gilang yang memulai duluan. 

“Lu udah lama disini harusnya lu tau buat jauh-jauh kan? Kenapa malah lu deketin?!”

“Yakan ga gw sengajain ketemu dia! Lagian ngapain lu urusin sih?”

“Uda banyak anak cewe kelas gue digodain sama dia dan gw takut lu kena. Buktinya bener kan, lu kena!”

“Mereka uda sering kayak gitu Mik, sama cewe angkatan mereka sama angkatan bawah. Baru kali ini mereka bener-bener berani face-to-face ama gua. Udalah biarin aja,”

Kesal terus menerus dibentak Mika aku berjalan menjauh menuju kelas. Melewati badannya yang tegak di depanku. Teman-temanku yang lain melihat dari jauh tak berani berkutik, tak berani mengeluarkan sepatah kata. 

“Ya jangan dibiarin lah,”

“Terus lu mau gw apain? Tuduh? Laporin ke guru? Udah berkali-kali Mik dan mereka selalu berhasil lolos karena gaada bukti. Kepsek juga disogok ama ortu mereka,”

Mika tahu ia tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Yang kubilang ada benarnya dan aku sebagai adik kelas pun juga tak bisa apa-apa. Ia menghela nafas dan perlahan raut muka dinginnya kembali menghangat. Seperti api dari kebakaran baru saja dipadamkan oleh busa-busa sabun dan air. 

“Ugh… setidaknya janji sama gue kalo ketemu mereka lagi panggil gue. Ato jangan macem-macem sama mereka,”

“Gue tau cara jaga diri, Mik”

Ia memohon. Matanya sayu menatapku berharap aku tak menolaknya. Tangannya bertengger di pundakku. Aku membuang muka, menatap ke bawah dan mengangguk. Ketika ia berjalan pergi, badannya masih tegang dan dingin. Aretha dan yang lain menunduk, tak berani menatapnya. Ketika ia melewati beberapa anak-anak lain ada beberapa yang sekadar mengagumi dari jauh, ada pula yang tak berani menatap mata dinginnya setelah tadi.

“Sumpah sekolah kalian kenapasi? Ada-ada aja kejadian,” tanya Aretha ketika kami sudah duduk di meja kantin langganan kami. Ia menyedot es tehnya sembari menunggu jawaban dari kami. 

“Kan udah sekolah lu juga,” Bayu mencibir. Iyasih, dia anak baru tapi ini juga udah sekolah dia juga sekarang.

“Met dateng,” Joshua menambahkan.

Aretha merengut. Ia kembali menyeruput minumnya sambil menggerakkan lengan menghapus bekas coretan dari buku-buku latihan soal yang diberikan tadi pagi. 

“Eh Dine, Mika pernah marah kek gitu ke lu?”tanya Bayu ditengah-tengah suara gesekan penghapus dan kertas. 

“Engga sih. Baru kali ini,” 

“Jadi mikir gua, kenapa dia kek bener-bener marah gitu ya?”

Devan yang baru saja mengambil pesanan soto dan bakso malang dari kounter kembali ke meja dan duduk di sebelahku. Aku tak sadar sedari tadi, ia mengikuti pembicaraan kami dari jauh. 

“Mungkin karena sekarang lu adeknya,”

“Iya tapikan dia ga wajib gitu,” 

“Dine, kalo adek gue digituin sih… reaksi gue juga paling sama,” 

Aku baru sadar Devan juga punya adik perempuan, kira-kira 3 tahun bedanya. 

“Terus lu cewe juga kan,”

Aku mengangguk. Devan ada benarnya sih. Walaupun kami tidak satu darah tapi statusnya aku adik perempuan Mika. Selesai makan siang, kami berjalan pulang kerumahku untuk membantu Aretha menyelesaikan tugasnya. Baru kali ini aku mengundang teman yang baru kukenal kerumahku. Eh, keenam kalinya. Bayu, Joshua, dan Devan baru berkenalan denganku dan kami sudah sangat dekat, terasa seperti sudah mengenal 20 tahun lamanya. Sebelum lahir bahkan. 

Suara samar-samar dari luar rumah terdengar. Dua lelaki berbincang dan nampaknya mengucap perpisahan jika dilihat dari lambaian tangan mereka. Sepatu kets hitam milik Mika terdengar di halaman depan rumah. Pintu terbuka dan batang hidungnya muncul dari balik pintu. Aku memalingkan pandangan kembali ke buku-buku dan lembaran kertas. Tetapi ketika aku melihat ke atas, aku sadar bukan hanya diriku yang memperhatikan Mika dari tadi.

“Apa?” 

Aretha menyadari aku memperhatikannya mengagumi Mika daritadi. Seolah ia tak melakukan apa-apa. Aku hanya tersenyum iseng dan kembali menghapus coretan buku. Tak lama tangan besar Mika menoyor kepalaku. Kesal aku menjulurkan lidah padanya yang meloncat duduk di sofa, sambil bertanya kami sedang apa. Lalu tertawa. Sungguh, hari ini kenapa dia sangat menyebalkan. 

“Eh gue belom pernah liat lu. Anak baru kan ya?” Mika melihat sekilas dari sudut pandangannya, handphonenya menggantung di tangannya. Aretha melongok ke atas dan sekilas aku melihat raut panik pada wajahnya. 

“Peka banget lu, Mik baru nyadar,” Joshua berbisik sembari menghapus sisa coretan. Mendengar bisikannya, Mika hanya memutar bola mata. 

“Kenalin, Mika.” 

Dan kepala kami serentak menoleh seolah ditarik oleh uluran tangan Mika. Sebelomnya, Mika kalau kenalan harus ada perantara. Ketika berkenalan dengan Devan, Joshua dan Bayu, ada aku sebagai ‘moderator’. Tapi dengan Aretha… langsung gerak dong!

“Aretha,” 

Aretha membalas uluran tangan Mika di antara kepala kami yang menatap sebuah kejadian langka Mika mau berkenalan dengan seorang perempuan selain diriku. 

Langit berubah cepat memunculkan warna jingga ketika matahari bersiap tidur. Lambaian tangan terakhirku di udara melihat Bayu yang terakhir naik GoJek. Waktu masuk, Mika sudah duduk di depan televisi dan semangkuk bubur Cina buatan Mbak Rani sudah di tangannya, dan satu lagi di meja. Aku menghampirinya sambil meracik buburku sendiri.

“Lu kesambet apaan hari ini?” tanyaku. Sendok sambil mengaduk bubur, kwetiaw dan telur pitan.

“Gapapa. Kenapa?” Matanya masih mengunci di layar bergerak sebesar 48 inchi yang terpampang ditembok putih. 

Mulutku membentuk huruf ‘O’ bereaksi padanya yang menjawab begitu singkat dan merasa tak ada yang salah. Aku membenarkan posisiku menghadapnya, mangkuk bubur dipangkuanku masih hangat. 

“Oke pertama, lu tadi di sekolah tiba-tiba dingin banget pas ngeliat gue sama Kak Gilang. Dua, tadi sama Aretha apaan?!” 

Ia ikut bergeser dan menghadapku sekarang. Reaksinya tak sebesar reaksiku, masih tenang memegang mangkuk buburnya. 

“Pertama, lu adek gua. Kedua, namanya itu kenalan.” 

“Oh, jadi lu sekarang udah ngincer gebetan sama anak baru yang baru aja jadi temen gue gitu?” 

“Engga…”

Ia lanjut menjelaskan betapa ia hanya bersikap ramah pada Aretha dan ingin kenalan. Aku tak percaya hanya sekadar itu jawabannya. Semakin kupancing pengakuan darinya. Terusik ia hanya membalas menurut dia, Aretha cantik. Menunggu mama dan Om Kasa pulang di bawah sudah seperti kebiasaan kami. Mbak Rani biasanya di belakang menonton televisi di kamarnya atau menelpon anak-anaknya. Aku dan Mika seringkali tertidur di sofa menunggu mama atau Om Kasa pulang larut malam. Dalam keadaan setengah terjaga kami naik ke atas tempat tidur dan kembali tertidur, menunggu kembalinya hari esok.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar