Third Party
2. Bab 1: Berempat, Berlima, dan Berenam

3 bulan sudah berlalu, semenjak aku menggelar karpet ‘selamat datang’ pada Mika dan Om Kasa. Minggu depan sekolah membuka gerbangnya lagi, dan waktu bebas tentu berkurang lebih banyak dari sekarang. Mulai banyak teman-teman angkatanku mengunggah rasa antusias mereka ke sosial media, entah untuk menyombong atau sekadar tak sabar bertemu teman sekelas. Beruntunglah aku, kami hanya pindah tak jauh dari rumah lamaku, jadi tak masalah sekolahku pun masih sama. Aku khawatir Mika akan kesusahan beradaptasi nanti di sekolah.

        Sinar mentari menembus tirai putih jendela kamarku di sebelah timur. Bantal-bantal kecil jatuh dari tempat tidurku, entah kapan tapi yang pasti aku tidak bisa tidur diam tadi malam. Warna-warna aksen oranye dan merah berkontras dengan matahari ketika aku membuka jendela kamar. Kubiarkan udara pagi dan burung bernyanyi, menghibur hari-hari terakhir aku bisa bangun siang. Sebelum nanti harus bangun ketika masih subuh, mandi ditusuk-tusuk udara pagi menggigil.

        “Hobi banget sih melamun,”

        Mika sudah berdiri diambang pintu kamarku, membawa gelas air putihnya dan menggunakan sandal rumahnya, bersandar, dan tangan satunya di dalam saku celana.

        “Hobi banget lupa ngetuk pintu,” balasku mengejek. Ia terkekeh kecil.

        “Tadinya mau, tapi nanti ganggu. Papa manggil sarapan”

        Aku mengikutinya ke bawah dan Om Kasa tengah mondar mandir dari dapur ke ruang tamu. Rambut ikalnya sudah mengembang padahal baru disisir. Suara derapan kakinya sudah menjadi alarm seisi rumah.Tubuhnya yang gagah dan jangkung menambah volume suaranya semakin besar. Bisa kulihat sekilas tetesan keringat di pelipisnya.

        “Maaf ya aku harus cepat-cepat bawa desain ke kantor. Omelet dan bubur sudah di meja, ada jus jeruk di kulkas, ehm…”

        Mika menyodorkan jam tangan emas milik papanya. Kusangka itu benda yang sedari tadi membuatnya mondar-mandir panik tak keruan. Ia menghela nafas lega dan buru-buru memasangnya. Ia mencium kening anak lelakinya, dan sebelum kearahku ia tergopoh-gopoh membawa silinder kalkir di pundaknya dan laptop di tangannya, hingga akhirnya sampai dan memelukku erat.

        Kami sudah terbiasa ditinggal dirumah sendirian. Mama sudah pergi rapat dengan kliennya tadi pagi jadi seringkali hanya kami berdua dirumah. Aku sudah bisa menerima Mika sebagai kakakku dan tak kusangka aku sangat menikmati kebersamaanya. Tebakanku karena sebelumnya ia sudah memiliki seorang adik perempuan namun sayangnya, adiknya dipanggil duluan ketika umur adiknya 5 tahun. Aku tak pernah tahu karena apa, aku tak berani menanyakannya. Ia tak pernah terlihat sedih sekalipun. Selalu ada senyum terpampang di wajahnya.

        Namun, lain dengan Om Kasa. Hingga sekarang aku masih belum terbiasa memanggilnya papa. Aku sadar ia bagian dari keluarga kami sekarang namun, memanggilnya papa masih terdengar asing bagiku. Aku tak sedekat dengannya seperti aku dekat dengan mama ataupun Mika. Kalau dari cerita mama, Om Kasa pernah terbangun dari mimpinya, berkeringat basah kuyup karena dalam mimpinya kami bersilang pendapat sampai teriak-teriak melempar ancaman. Entah harus aku apakan cerita itu, senang bahwa ia peduli denganku, atau takut jika itu akan terjadi.

        “Lu disini sejak kapan?”

Tanya Mika tiba-tiba ketika kami berjalan menyusuri lorong sekolah di lantai dua. Memanggul tas kami sambil mengenalkannya dengan lingkungan barunya.

“Emm.. kelas 5 SD seinget gue,”

“Oh… kenapa pindah?”

“Di sekolah lama gue ketinggalan ujian karena jagain mama,”

        Tak lama setelah Papa pergi dari rumah, Mama jatuh stress. Mama tidak kuat untuk bekerja, emosinya terkadang tidak terkontrol. Terkadang aku menemukannya duduk bersandar di dinding, tisu berserakan dimana-mana. Matanya bengkak dan berkantung. Sebagai anak kecil yang baru saja kehilangan papanya, kejadian ini membawa trauma besar bagiku. Aku tak tahan melihat mama begitu menderita, terus-terusan menangis, dan aku tidak bisa melakukan apapun untuknya. Hanya menambah beban. Untungnya, Mbak Rani sudah bekerja disitu sehingga aku tidak harus melaluinya sendiri. Yang pasti, Mella tak bisa mengerti keadaanku.

        “Mama kenapa waktu itu?” Aku belum pernah menceritakan masa laluku pada Mika. Kuyakin mama juga belum pernah menceritakannya pada Om Kasa. Kami berdua sepakat untuk menyembunyikan fakta bahwa Papa memutuskan untuk tinggal bersama keluarga lain dan bukan denganku dan mama. Namun, orang-orang termasuk Om Kasa dan Mika, tahunya bahwa papa meninggal karena kecelakaan mobil. Hanya aku, mama, Mbak Rani dan kakek nenekku yang tahu. Bahkan anggota keluarga besar yang lain pun tidak tahu.

        “Emm…demam tinggi. Belum lama setelah Papa kecelakaan.” Terpaksa aku berbohong padanya. Aku tak kuat jika harus menceritakan semuanya pada Mika. Baru 3 bulan, berkali-kali aku langsung menjatuhkan beban dan cerita masa lalu kami padanya. Aku tak sanggup memikirkan apa tanggapannya nanti jika akhirnya ia tahu. Aku dan Mika berpisah di tangga. Karena ia kelas 12 dan aku baru kelas 11, terpaksa ia harus beradaptasi sendiri, dan aku ditinggal memikirkan berbagai macam hal negatif yang bisa saja terjadi padanya. Sepanjang koridor menuju laboratorium, aku berusaha melepas pikiran negatif dan fokus pada pelajaran nanti. Dia baik-baik saja…. Iya kan?

        “Hari ini kita bagi kelompok yaa… Ada proyek yang akan saya bagikan pada kalian, dan harus dikerjakan bersama-sama. Mulai ya.”

        Ibu Angela mulai membacakan daftar nama kelompoknya dan beberapa anak mulai bergerak ke meja tempat teman-teman sekelompoknya. Aku karena nasib nama jadi urutan nomor satu, tinggal duduk diam menunggu yang lain. Pagi itu langit bergemuruh dan awan mengambang berwarna kelabu tanda hujan akan segera membasahi lapangan. Aku melamun melihat keluar jendela ketika empat laki-laki meletakkan tas punggungnya di lantai dan duduk diatas kursi lab.

        “Cuman berlima?” tanyaku.

        “Oh iya, Andine Miranda Biran! Kelompokmu ada satu murid lagi tapi ia baru akan pindah kesini minggu depan. Jadi berlima dulu ya,” Ibu Angela menyahut dari ujung ruangan. Tidak biasanya aku sekelompok dengan banyak anak lelaki, kurasa tahun ajaran baru, hal baru.

        “Kita disuruh apa tadi? Maaf gue nggak dengerin,”

        “Tumben, Dine gak dengerin. Biasanya itu telinga dipake”

        “Lucu banget, Jos. Padahal tadi gue udah berharap nggak sekelompok sama lu,” Aku membalas ejekannya. Joshua tertawa kecil. Aku sudah mengenal Joshua cukup lama dan kami cukup dekat. Banyak yang menduga kami saling menaruh perasaan, tetapi aku tak pernah bisa melihatnya lebih dari sahabatku. Begitu juga dengannya. Kami pun melanjutkan pembahasan dan mencari ide untuk proyek kami.

        “Anak-anak tolong dengarkan dahulu sebentar,” suara Ibu Angela seketika membisukan ruang laboratorium. Aku yang tadi masih menulis daftar projek bersama Devan, serentak mengangkat kepala. Ibu Angela memanggil nama Bayu, dan Joshua karena masih saja berisik bagaikan itik berlarian mengejar induknya. Walaupun setelah ditegur mereka masih tertawa cekikikan, aku berhasil mendiamkan mereka ketika mataku tajam menatap mereka.

        Di kantin kami duduk di meja paling ujung, dekat stan nasi goreng langganan Bayu. Aku yang tidak terlalu lapar berbagi makanan dengan Joshua, yang juga melahap setengah bagian makanan Devan.

        “Agak gila nggak sih, buat tugas akhir kelas 11 kita disuruh bikin laporan dan projek ini harus dipresentasikan didepan kelas, ditulis laporan prosesnya dari awal sampai akhir, dan ini jadi penentu kelulusan kita? Aneh...” Joshua mengeluh sambil melambai-lambaikan Teh Botolnya di udara.

        “Jjanghan wupah, yang pahling bahgus mashuk madheng,” kalimatnya diselingi dengan suara kunyahan nasi gorengnya. Alisku mengerut melihat Bayu mengunyah seolah ia tak pernah makan. Kami lanjut melahap makan siang sebelum kembali ke kelas berikutnya.

         Pulang sekolah aku memperkenalkan Devan, Bayu, dan Joshua kepada Mika. Untungnya mereka saling menerima dan langsung dekat dengan satu sama lain cukup cepat. Aku tak menyangka Mika begitu mudah beradaptasi. Mungkin karena waktu itu ayahnya banyak berpindah-pindah ketika menjalankan projek pembangunannya di Papua, sehingga Mika sudah terbiasa dengan perkenalan. Namun, aku tak bisa menahan diriku untuk bertanya padanya dan menanyakan harinya.

        “Gimana tadi di kelas? Temen-temennya baik kan? Gurunya oke kan? Lu oke kan?”

        “Sans lah… Gw kan bukan anak bayi...” balasnya dengan senyum jahil di pipinya. Aku menghela nafas. Baru 3 bulan dan Ia sudah sangat mengenalku. Aku berjalan seiringan dengannya sambil melanjutkan obrolan kami. Tak lama Joshua bergabung dan mulai berkenalan dengan Mika. Kami tertawa terbahak-bahak ketika Bayu loncat ke atas punggung Devan yang jangkung, berpura-pura seperti spiderman. Mika bergabung di samping mereka mengiringi dengan suara drum dibuat-buat dan rambutnya dikibas-kibaskan kemana-mana, layaknya pemain rock.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar