Third Party
12. Bab 11: Bintang Berbaris

“Jadi, aku harus apa buat memastikan ke Mika aku menyesal dan mau baikan dengannya lagi? Karena jujur, didiemin Mika gaenak rasanya,” 

Duduk diatas meja dengan pensil ditangan, kertas binder berserakan diatas meja kopi ruang keluarga. Om Kasa duduk di lantai, bersandar di sofa. Aku diseberangnya. Sudah hampir sejam kami membahas cara terbaik untukku meminta maaf pada Mika. Sudah berminggu-minggu kami tak berbicara, dan aku bertekad untuk membenarkan persahabatan dan relasi kami sebagai kakak adik.

“Kamu udah pernah nyoba ke kamarnya?”

Aku mengangguk. Mengingat-ingat kembali, ketika aku mengetuk kamar pintunya tidak ada balasan sama sekali. Rasanya seperti berbincang dengan tembok. Ia berpura-pura tidak dikamar, padahal jelas-jelas suara game di komputernya terdengar sampai luar. Tidak mendapat jawaban, aku pun meninggalkan pintu kamarnya.

“Ummm… kalo nulis surat minta maaf terus diselipin kebawah kamarnya?”

“Om gabakal percaya berapa banyak surat yang udah aku kasih,”

Om Kasa menggigit bibir. Bingung sekaligus kasihan ketika aku mengatakan sudah cukup banyak surat yang kuberikan pada Mika. Pensilnya ia ayunkan diantara jemarinya. 

“Kalo bikinin dia kue? Kan kamu sering tuh bikin kukis,”

Aku mengangguk lagi. Tanganku menopang dagu, penasaran ide apa lagi yang akan keluar dari pikiran Om Kasa yang sudah aku lakukan. Aku bahkan bikin satu toples penuh isinya kukis coklat untuk Mika. Tiga hari kemudian, toples itu sudah kosong. 

Aku mengembalikkan pandanganku ke arah Om Kasa, dan di kertasnya sudah penuh coretan diatas tulisannya. Kulihat sekilas judul pada coretannya, daftar ‘Cara Minta Maaf Ke Mika’. Sudah segala hal kucoba, tetapi tetap saja tak ada yang berhasil bagiku untuk mendapatkan permintaan maaf Mika. Mungkin karena aku adiknya sekaligus sahabatnya, rasanya dikhianati lebih sakit daripada disakiti teman atau orang lain. 

“Om udah ngomong lagi sama Mika?”

Ia tak langsung menjawab. Ia berpikir sebentar bagaimana akan menjawabnya. Melihatnya begitu gelisah, aku membenarkan posisi dudukku. Akhirnya setelah mengeluarkan desahan kecil, ia menatapku. 

“Udah sih… Dia ga ngomong banyak tapi waktu itu. Kayaknya dia masih butuh waktu,”

Aku tersenyum kecil, menghargai usaha Om Kasa. Lagipula ini bukan tanggung jawab maupun masalahnya. Aku yang harus menyelesaikannya sendiri. Om Kasa melanjutkan ketika melihatku mulai putus asa. 

“Mika bukan tipe orang yang bisa langsung maafin kamu. Dia ga akan langsung buka pintu gelar karpet setelah kamu nyakitin dia. Kamu yang harus ketok pintu dulu,”

Mendengarkan kata-kata Om Kasa, aku berpikir kembali. Bukankah yang kulakukan selama ini yang bergerak duluan. Aku yang minta maaf duluan tapi tak kunjung dia balas. Kalau dalam bahasa Om Kasa, aku sudah berkali-kali mengetuk pintu tetapi tak kunjung dibukakan oleh Mika. Melihatku masih bingung, ia melanjutkan,

“Bener sih, kamu udah ketok pintu… tapi kamu udah ngasih tau belom dari balik pintu kamu siapa?,”

Aku mengernyit tak mengerti sambil menggeleng. 

“Maksudnya, kamu harus dapetin kepercayaannya dulu. Baru dia bakal buka pintunya,”

Kurasa itu masuk akal. Selama ini aku hanya memberikannya hadiah tanpa benar-benar minta maaf. Dan kurasa butuh waktu untuk kembali mempercayai seseorang yang merusak hari ulang tahunnya. Walaupun tidak sengaja. 

Sudah waktunya aku kembali ke sekolah setelah izin tiga hari karena ‘sakit’. Ketika kembali ke sekolah rutinitas kami sungguh amat berbeda. Ketika aku bangun siang, Mika sudah bangun lebih pagi untuk mandi dan kesekolah. Ketika aku bangun pagi, ia akan tiba disekolah cukup telat. Kami semakin menghindari satu sama lain, walaupun keinginanku untuk mengejeknya dan memintanya untuk membelikanku minuman sungguh amat besar. 

Di sekolah, sadar aku harus bertemu teman-temanku, dan tak yakin mereka akan membalas apa. Apakah mereka tetap mau berteman denganku atau tidak. Saat melamun, entah mengapa kakiku membawaku ke kantin dan di sanalah mereka. Pagi-pagi duduk di meja kantin. Aku melambaikan tanganku dan untungnya mereka balas. Aku berdiri diam di depan meja sebelum akhirnya Aretha bertanya,

"Um Dine...Mika ngabarin lu gitu ga?"

"Engga. Lu?" 

Aretha menggeleng dan gawai kami, dimasukkan lagi ke dalam tas. Kesunyian kembali melanda di antara kami. Aku tak tahu harus berbuat apa setelah apa yang terjadi dari kemarin.

"Dine, gue bilang sekarang aja deh. Maaf ya kemaren kita gak tau,"

"Iya Dine, maaf ya berantakin rumah,

Kata maaf setelah maaf setelah maaf dan maaf. 

"Kalian gak usah minta maaf. Kan bukan masalah kalian juga bukan...?"

Joshua berubah posisi dan melihat ke arahku.

"Waktu itu lu pernah bilang, ke gue kalo masalah salah satu dari kita, itu masalah kita semua,"

Aku tak ingat aku pernah mengatakan seperti itu tapi baiklah, cukup bijak. Aku tersenyum ketika tampaknya kami baik-baik saja. Masih sedikit terguncang dan membiasakan diri dari kejadian kemarin. Tapi tetap saja aku masih merasa bersalah mereka harus mengarungi lautan perasaan dan masa lalu keluargaku, yang seharusnya tak perlu mereka dengar atau bahkan pedulikan. Ini bukan salah mereka sekalipun. Aku merusak akhir pekan mereka dan waktu mereka untuk merayakan ulang tahun Mika. Aku mengacaukan semuanya.

"Jadi...kita masih gapapa kan?”

Yang lain mengangguk serempak. Sedikit beban lega terlepas dari hatiku. Kembali kami berlima berdempetan duduk di meja kantin hampir seperti dahulu lagi. Hanya saja satu bagian dari kami hilang dan mungkin karenanya masih ada rasa kehilangan dalam diriku. Duduk di kursi aku tak bisa menahan diri melihat Retta tak kunjung membalikkan gawainya. Menyentuhnya sedari tadi pun tidak. Biasanya layar gawai akan menghadap atas dan ia akan menunggu balasan notifikasi dari Mika. Sadar aku memperhatikan gawainya dari tadi,  Aretha menekan tombol pada gawai untuk menunjukkan padaku tak ada pesan apapun dari Mika. 

“Gw uda nyoba Dine dari kemaren. Gw coba bujuk dia buat maafin lu, tapi ujung-ujungnya dia marah ke gue karena menurutnya gue dukung lu bukan dia,”

Muka Aretha berubah murung. Aku tak percaya Aretha rela kehilangan seorang teman sekaligus orang yang ia sukai demi membantuku. Hubungan mereka mulai runtuh sejak terakhir Aretha berbincang dengan Mika. Demi aku. Tidak, aku tak bisa membiarkan sejarah terulang lagi. Sudah terjadi pada mama dan aku tak akan membiarkannya terjadi pada Mika maupun Aretha. Bodohnya aku membiarkan ini terjadi. Aku meminta maaf padanya dan semakin besar rasa bersalahku. Walaupun yang lain termasuk Aretha bilang tak apa. Tetap saja, ini tidak akan terjadi jika bukan karena aku. Aku menahan air mata menetes dari mataku, dan kulihat Aretha juga menahan air mata. Sungguh kehilangan seseorang yang sangat kau pedulikan rasa sakitnya bukan main. Bayu merangkul Aretha dan tangan Devan di pundak Aretha, memberikan semangat. Joshua menepuk punggungku, kurasa ia sadar tak hanya Aretha yang merasa begitu sakit. Aku tak bisa membiarkan sejarah terulang lagi. Sudah pernah aku merusak hubungan seseorang, aku tak mau mengulanginya lagi. 

“Eh Dine! Jangan lupa pidato lu ya nanti pas pesta dansanya,”

Seorang perempuan dengan suara riang tiba-tiba menghampiriku. Terkejut, memproses apa yang baru saja ia katakan butuh waktu. Cukup baginya untuk harus kupanggil lagi dan bertanya pidato apa. 

“Kan lu ketua acara tahun ini. Disuruh Ibu Devi buat pidato. Bilang aja terimakasih udah dateng ato apa kek,”

Raut mukaku berubah cemas sembari anak itu pergi pamit meninggalkan kami di kantin. Acaranya dalam seminggu dan belum semua dekorasi siap, makanan dan band penghibur belum mencapai kesepakatan. Hubunganku dengan Mika belum baik padahal awal tahun kami waktu itu pernah berjanji akan pergi bersama dan semuanya akan berjalan melebihi ekspektasi karena aku ingin menyambut Mika. Kurasa juga sebagai perpisahan baginya dan teman angkatannya, tak lupa untuk kami berenam juga. Aku harus apa?

"Eh..EH DINE!"

Terbangun dari lamunanku, aku tersentak dan mataku yang tadinya berat kembali terbuka. Aku meminta Aretha untuk mengulang idenya karena aku hampir tertidur separuh jalan saat, ternyata ia menjelaskan. 

“Kalo lu minta maaf pas pidato gimana?”

“Lu gila apa? Dia bakal makin dipermaluin lagi di depan sekolah,”

“Ya jangan sebut namanya lah!”

Joshua menoyor pundakku pelan ketika menyelesaikan kalimatnya. Terganggu aku menatapnya kesal. Yang lain merasa itu adalah ide yang bagus tapi aku tak begitu yakin. Bertengkar di depan dua angkatan di rumah sendiri saja rasanya sudah bukan main. Apalagi depan satu sekolah, termasuk guru karyawan, adik kelas SMP. Tapi jujur saja, saat ini tak ada banyak pilihan. Selagi aku menimbang-nimbang ide tersebut, yang lain memutuskan untuk segera menyelesaikan proyek kami. Koreksi, memulai projek kami. Deadline tinggal seminggu dan kami belum mendapatkan apa-apa? Yang benar saja. 

Pulang sekolah kami memutuskan untuk bertemu dan mulai membicarakan projek akhir kami. Berharap akan mendapatkan sesuatu yang berguna atau menginspirasi projek akhir kami. Hampir setengah perpustakaan sudah kami bongkar buku-bukunya, dan masih saja belum menemukan apapun. Joshua yang mulai lelah tiduran di sofa perpustakaan. Tak sadar bahwa kepalanya sekarang bertengger pada Devan yang jengkel karena tidak ada dari kami yang membantunya keluar dari situasi tersebut. 

“Kalian cari apa?”

Suara lembut muncul di belakang kami. Seorang guru perpustakaan tua dengan kacamata bulat dan kardigan wool-nya berdiri membelakangi jendela. Rupanya, ia memperhatikan kami dari tadi keliling perpustakaan membuka-buka buku tanpa tujuan. Merasa kami mengganggu, awalnya aku ingin mengajak yang lain keluar perpustakaan saja karena merasa tak enak dengannya. Namun, langkahku berhenti ketika ia tahu apa tujuan kita disini.

“Banyak dari kemarin anak angkatan kalian kesini tauu… Ya masa ibu ga tau projek akhir kalian,”

Kami tertawa kecil. Ketika ia kembali bertanya projek apa yang hendak kami lakukan, serentak kami menggeleng. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan kami masih belum dapat apa-apa. Terlebih Joshua harus kami angkat kerumah karena tertidur.

“Kalian cari aja yang simpel, mudah. Kayak taneman tuh, ga banyak tau yang bikin. Karena menurut mereka udah mainstream. Saya gatau tuh artinya apa.”

Ia berbalik menghadap bunga mataharinya. Matahari sudah turun dari tahta tertingginya, sekarang perlahan mulai tenggelam ke barat. Kemanapun matahari pergi, kepala bunga matahari selalu mengikuti. 

“Tapi tau ga kalo taneman dimanapun, mereka akan selalu mencari sinar matahari. Lihat deh taneman di pot yang itu. Bengkok kan?”

Kami semua menoleh, mengikuti arah jemarinya. Melihat sebuah tanaman dalam pot kecil di sebelah jendela kaca, mengulurkan rantingnya mendekati jendela, tempat matahari bertengger di baliknya. 

“Mirip gitu sama kalian kan? Yang satu hilang bakal tetep dicari?”

Bagaimana ibu perpustakaan bisa tahu, kan dia tak hadir dalam acara ulang tahun gagal waktu itu? Ketika aku mendongak dia sudah tak ada dalam jarak pandangku. 

Kurasa setelah sekian lama aku mempelajari tentang tanaman, tak pernah aku melihatnya dari sisi itu. Bayu pun keliling perpustakaan lagi dan mencari buku-buku yang sekiranya berguna. Aku mengikuti di belakang tapi pikiranku kosong. Mungkin karena saking lelahnya dan banyak yang ada dalam pikiran kami. Akhirnya, setelah mengelilingi perpustakaan 3 kali, kami memutuskan dalam satu projek. Tidak luar biasa memang tapi aku punya ide.

Malam ini tadinya, aku akan pergi bersama Mika. Berhubung dia sudah punya SIM, dia bisa menjadi supir pribadiku. Namun, tampaknya sejak pertengkaran kami kemarin, semua berubah. Memasang anting emas terakhir, mama memanggil dari bawah, mengingatkan Joshua dan Bayu sudah menungguku. Aku menampakkan diri dari tangga mengenakan gaun panjang berwarna hijau permata berlengan pendek. Bagian bawah roknya hampir menyentuh lantai dengan bentuknya seperti kelopak bunga. Sepatu hak berwarna emas mengikat kakiku, senada dengan anting yang kupakai. Mama dan Om Kasa melambaikan tangan mereka selagi mobil Joshua menjauh dari rumahku. 

Suara alunan musik terdengar dari dalam dan sejauh ini segala sesuatu yang kulihat sesuai ekspektasiku. Hiasan bergantung di langit-langit menjuntai ke bawah, dan lampu kerlap kerlip menjuntai dari atas kepala, menempel di dinding, diantara daun-daun palsu. Sungguh, rasanya seperti masuk ke dalam sebuah hutan ajaib. Berjalan sekeliling kami bertiga terkagum-kagum melihat gedung olahraga dipenuhi murid-murid berdansa dan mengobrol di setiap sudut. Dari kejauhan, Joshua melambaikan tangannya pada Devan yang berdiri membawa gelas plastik berisi jus bersama Kiera dan Aretha. Rupanya dari tadi Aretha menjadi orang ketiga ketika menungguku. Ketika aku mendekat ia segera berjalan ke arahku dan tidak melepaskan aku dari jarak pandangnya. 

“Dine, gue suka banget sama tema tahun ini!”

Kiera menghampiriku dan meloncat kegirangan. Lalu pergi ke deretan meja penuh minuman, menghangatkan tenggorokannya dengan teh panas, sebelum tampil nanti bersama Devan. Dibelakangku bisa kudengar Joshua dan Bayu berteriak ke arahnya dan membentaknya perlahan dengan tujuan menyemangatinya agar Devan tidak lagi gugup ketika berada disekitar Kiera. Ini kesempatan kedua kalinya mereka bisa tampil lagi bersama. 

Aku duduk sendiri di ujung ruangan, di atas meja bundar dengan kain putih dan hiasan bunga di tengah meja. Kiera dan Devan meloncat-loncat dan menari di lantai dansa, mengikuti alunan musik. Bayu dan Aretha mengantri mengambil makanan di sisi lain ruang olahraga. Joshua entah hilang kemana. Tangan ku gemetar semakin lama aku memperhatikan kertas yang sudah tak keruan bentuknya. Sungguh aku tak punya waktu untuk menyelesaikan pidato ini dari kemarin, dan waktu tinggal 15 menit sebelum aku dipanggil maju ke atas panggung. 

“Andine! Inget ya pidato nanti usahain 5 menitan yaaa,”

Sebuah tangan menempel di pundakku mengagetkanku. Dengan muka bodoh dan linglung, aku menatapnya dan asal mengangguk. Ia ketua OSIS kami dan kali ini tak pernah aku berharap ia yang maju untuk memberikan pidatonya, bukan aku. Walaupun suara dia memang terkadang menggelegar tak terkontrol. Ketika melamun, aku melihat Mika di kejauhan, memakai jasnya yang berwarna khaki, senada dengan celananya, dan daleman desain leher kura-kura putih lengan panjang. Ia datang sendiri dan semakin banyak langkah yang ia ambil, semakin banyak juga yang melirik sekilas. Tertekan, aku menenggelamkan kepala ke meja. 

“Stress? Ga apalah cuman Mika, demi Mika. Dia pasti maafin lu,”

“Iyalah stress! Kalo gue salah ngomong gimana?! Kan ga kek lu harus ngabisin waktu seharian sama orang yang benci lu di rumah yang sama?”

“Itu Mika… Dia pasti udah maafin kamu. Cuman butuh dorongan lebih dikit aja buat bener-bener maafin lu. Orang-orang butuh waktu buat sembuh, ga semuanya bisa kembali kayak biasanya, Dine”

Joshua benar juga. Dia butuh waktu yang cukup banyak untuk kembali membiasakan diri. Begitu juga aku. Masih berusaha menenangkan diriku di ujung meja, tiba-tiba aku mendengar suara ku dari kejauhan dipanggil untuk naik ke atas panggung dan memberi pidato selamat tinggal bagi angkatan lulus SMA dan motivasi bagi kami adik kelasnya yang lain. Melihat kembali kertasku yang sudah lecek dan tidak ada coretan apapun, aku membuangnya karena kurasa aku improvisa saja. Lagian tidak ada apa-apa dalam kertasku. 

“Hai! Eh...Uhm...Gue Andine dari kelas 11, ketua panitia acara tahun ini, selamat datang!

Dan basa-basi berlanjut. Aku berterima kasih pada semua orang yang sudah datang, semua yang ikut memeriahkan, semua yang bekerja dibalik layar dan di dalam elektronik digital, semua guru yang rela pulang sore demi menjaga kami hingga pulang, semua karyawan yang telah membantu memasang hiasan, band dan masih banyak lagi. Hingga akhirnya tiba saat aku harus memberi motivasi. 

“Sekali lagi, congrats buat kakak-kakak kelas 12 kalian akhirnya berhasil melewati masa-masa SMA dan beralih ke jenjang berikutnya. Selamat juga untuk kita kelas 10 11 udah berhasil nyelesain tugas, pr dan ulangan yang ga keruan,”

Satu ruangan tertawa kecil mengiyakanku. Setidaknya diatas sini aku berhasil menghibur murid-murid dan  aku tidak membosankan. Pembawa acara tahun ini, kedua kakak kelasku kembali keatas panggung dan meminta tepuk tangan penonton untukku. Kami berbincang sedikit lalu ia melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya. 

“Jelasin dong, Andine. Kenapa tahun ini milih temanya hutan?”

Aku menelan ludah. Sebenarnya tidak ada cerita menarik dibalik OSIS memilih tema hutan. Hanya untuk berterima kasih pada sponsor kami tahun ini. Aku juga tidak bisa menemukan hubungan apapun tema tahun ini dengan yang telah terjadi padaku tahun ini. Aku tersenyum, tetapi dalam hati aku tahu jantungku berdetak kencang karena aku harus improvisasi mencari jawaban yang masuk akal dan indah didengar.

“Umm… Pastinya kita semua tau kalo tahun ini kita dapet sponsor dari organisasi konservasi alam tingkat dunia milik Kak Teresa dan keluarganya, sekali lagi terimakasih kak,”

Tanganku memanjang menunjuk tempat Kak Teresa dan timnya berdiri didepan booth sumbangan mereka. Ketika guru-guru dan para murid menengok kebelakang dan memberi tepuk tangan, aku setidaknya mendapat waktu berpikir apa alasan lain aku memilihnya, dan mencari cara agar aku bisa meminta maaf pada Mika. Entah apa hubungannya. Ketika aku melihat ke arah Bayu, Joshua, Aretha dan Devan, aku tersadar.

“Kemaren aku ngobrol sama Kak Teresa. Dulunya keluarganya punya usaha bikin perabot rumah tangga dari kayu. Tapi begitu tau kalo ada global warming dan sebagainya, Kak Teresa berusaha ngubah cara hidupnya, dan dia berhasil bikin usaha lain yang sama menguntungkannya buat dia, pas Kak Teresa masih megang usaha keluarganya bikin perabotan kayu. Kata Kak Teresa, bikin konservasi ini adalah bentuk usaha kecil untuk membayar segala kerusakan pada alam yang dia dan keluarganya sempet lakuin dulu,” 

Aku menarik nafas. Semoga saja ini masuk akal dan menginspirasi adik kelas dan kakak kelasku. Aku hanya bisa berharap.

“Dulu seseorang pernah ngomong ke aku, ini bukan soal apa yang telah kamu perbuat. Tapi soal apa yang bisa kamu lakukan untuk memperbaikinya. Kak Teresa aja bisa memutar balikkan kehidupan dia dan keluarganya dari usaha kayu mereka yang udah sukses demi bumi kita. Masa kita gak? Masalah kita jauh lebih sepele. Jauh lebih simpel. Ya berantem sama temen, sama orangtua. Gue rasa, kalian mungkin minta maaf. Atau mungkin juga ada yang gak, tapi kadang minta maaf aja gak cukup. Harus ada aksinya juga buat nunjukkin kalo kita bener-bener peduli. Kalo Kak Teresa aja bisa buktiin ke keluarganya dan bisa dibilang dalam tanda kutip menjatuhkan usaha keluarganya sendiri buat yang lebih baik, kita kenapa gak? Itu sih yang aku bisa dapet dari tema tahun ini.”

Kedua kakak kelas pembawa acara kembali berdiri di sebelahku sambil meminta sorak-sorai dari guru dan para murid. Tepuk tangan memeriahkan satu ruangan kami. Turun dari panggung aku melihat Joshua, Aretha, Bayu dan Devan bertepuk tangan. Sesekali meneriakkan namaku bersamaan dengan anggota OSIS yang lain. Ketika berjalan ke arah mereka, aku menabrak seseorang.

“Andine?”

“Yaa? Eh, Kak Gilang?”

Ia mengangguk. Aku hendak tersenyum memberi isyarat bahwa ‘aku hendak pergi’, ketika Kak Gilang memegang tanganku.

“Uhm.. jadi gue mau minta maaf  kalo gue akhir-akhir ya gitulah. Maaf ya ganggu okayy….”

Aku mengangguk, tanda aku menerima permintaan maaf Kak Gilang. 

“Nari yuk!”

Mataku melotot menanggapi ajakannya yang begitu frontal. Aku menghargai kerja keras dan permohonan maafnya. Tetapi tiba-tiba dia mengajakku menari di tengah lantai, di mana aku tak terlalu mengenalnya. Bagaimana cara aku menghindar dari sini. Kebetulan saja, lagu No ciptaan Meghan Trainor, muncul sebagai penguat wanita bahwa kita boleh mengatakan tidak. 

“Gil, terimakasih sebelumnya, tapi gue ga mau nari. Gue gamau tangan lu megang beberapa bagian tubuhku,”

Ia menatapku kaget, seolah tak percaya aku masih berani mengatakan tidak padanya. 

“Kalo gue mau cowo, tar gue cari cowo sendiri. Tapi itu bukan prioritas gue. Maaf yaa…”

Telapak tanganku menepuk pundaknya, semoga ia bersabar menghadapiku yang juga sekarang entah bagaimana, sudah lebih berani menyatakan pendapat dan suaraku. 

Joshua dan Bayu melihatku dari jauh dan berusaha menahan tawa. Melihat Kak Gilang baru saja dihancurkan egonya olehku adalah hal paling lucu sepanjang tahun ini. Joshua memberikanku segelas jus dan Bayu menepuk pundakku. Mendengarnya bangga padaku menenangkan detak jantungku ketika harus improvisasi tadi di panggung. Tapi untuk pertama kalinya Bayu mengerti bahwa apa yang baru saja aku katakan di panggung, semuanya aku karang ditempat. 

“Sekarang mari kita umumkan projek kelas 11 yang akan menjadi pameran pada open house tahun ini…”

Kami berlima sudah berkumpul. Tak berharap banyak dari hasil projek kami, kami hanya duduk di belakang sambil mencomot kentang goreng dari piring. Aretha ternyata juga menebak bahwa yang baru saja dipidatokan olehku di panggung tadi, hasil improvisasi. Kami mengobrol kecil dibelakang sambil memberikan tepuk tangan pada mereka yang dipanggil nama kelompoknya. 

“Dan yang terakhir… kelompok Joshua, Andien, Aretha, Bayu dan Devan! Silahkan maju kedepan!”

Kaget, kami hanya melihat dengan tatapan kosong kedepan. Ketika akhirnya satu ruangan melihat ke arah kami, tersadar kami terlihat bodoh, kami akhirnya memukul satu sama lain dan berjalan maju kedepan. Kain gaun dan suara tapak sepatu terseret di belakang kami. Sampai dipanggung hasil projek kami ditaruh diatas podium, dan mikrofon diberikan pada Aretha untuk menjelaskan projek kami.

“Silahkan, kita sambut perwakilan untuk menjelaskan projek mereka!”

Aretha kami dorong ke depan menjadi perwakilan kami. Pasrah, ia pun maju kedepan memegang mikrofon sambil berdiri disebelah projek kami. Sebuah drone putih dengan box kecil menempel di bagian bawah drone berdiri diatas podium di sebelah Aretha. Gaun hijau mudanya melambai di sekitarnya. 

“Oke… jadi, projek kami tujuannya adalah membantu Kak Teresa dan timnya melanjutkan karyanya untuk menjaga bumi kita ini. Pada bagian bawah drone ini, kami menginstal sebuah box berisi dispenser bibit tanaman, air dan pupuk. Drone ini akan membantu pekerjaan Kak Teresa dalam menanam lebih banyak tanaman di bumi kita. Dengan drone ini akan lebih cepat prosesnya dan lebih banyak daerah yang terjangkau. Lebih efisien juga! Dispenser ini bisa diubah isi tabung dispensernya, dan untuk alatnya bisa diatur dengan remote control ini,”

Dari jauh Kak Teresa bersorak dan berterimakasih atas usaha kami berusaha membantu konservasi mereka. Butuh kami kira-kira seminggu penuh untuk merakit mesin kecil ini. Cukup sederhana sebenarnya. Untung ada Joshua yang sering merakit komputer dirumahnya. Kami memutuskan memanggil Kak Teresa keatas dan memberikannya. Sebelumnya sudah kami coba di halaman rumah Aretha dan sejauh ini berhasil. Kami rasa di dalam tanah benih itu perlahan tumbuh. 

Tak terduga bahwa akan dipilih menjadi bagian dari open house, kami turun dari panggung membawa piagam dan medali sambil turun dengan girang. Masih tak percaya bahwa kelompok kami dipilih, berjalan menuju meja kami dibelakang masih saja membicarakannya dengan kagum. Langkahku berhenti ketika seseorang dalam jas cokelat, rambut berantakan dan kacamata di ujung hidungnya. 

“Projek lu tadi bagus juga,”

Yang lain mundur kebelakang dan berjalan menjauhi Mika dan aku, menuju meja. Kurasa pengalaman terakhir mereka ketika aku dan Mika bertatap mata satu sama lain, kami bertengkar. 

“Pidato lu juga… coba gue tebak. Mama yang ngomong kek gitu ke lu?”

Aku mengangguk dan tak kusadari, aku mengeluarkan senyum kecil. Sungguh mendengar suara Mika berbincang denganku lagi, menenangkan. Kesunyian melanda kami selama beberapa detik, hingga akhirnya kami berdua menyebutkan kata maaf bersamaaan. 

“Maaf Mik. Gue make masa lalu buat jadi tameng gue dan sebenernya ga perlu. Gue juga jadi adek yang ga baik buat lu,”

“Engga, gue juga salah. Maaf gue harusnya ga bongkar rahasia lu juga,”

Ia mengulurkan tangannya mengajukan permintaan maaf dan damai. Melihatnya, aku tersenyum lebar dan segera memeluknya. Untungnya ia membalas pelukanku, jika tidak malunya kan tidak keruan. Akhirnya setelah berminggu-minggu tidak saling menyapa satu sama lain, kami kembali seperti dahulu.

Joshua kembali ke meja makanan dan memenuhi piring mereka dengan makanan. Devan dan Kiera berdansa di tengah ruangan dengan murid-murid yang lain. Bayu tengah mengobrol dengan Aretha melihat murid-murid yang sedang berdansa, sambil tertawa. Aku melirik Joshua dan kulihat matanya menatap Aretha dari jauh, lalu kembali membuang pandangan ke arah gawainya. Jika aku tahu apapun tentang laki-laki, aku tahu tatapan itu. Dia masih menaruh perasaan pada Aretha, hanya saja sejak pertengkaran terakhir kami, semua berubah drastis. 

“Lu belum ngobrol apa-apa lagi sama Aretha?” 

“Ahah… riwet,”

Aku tak bisa membiarkan tahun terakhir di SMA kakakku berakhir dengan ia tak berdansa di pesta dansa bersama pacarnya sendiri. Ini waktunya untuk membenarkan salahku. Seperti apa yang mama katakan waktu itu, apa yang baru saja kukatakan ketika pidato tadi. Aku berdiri tegak dari kursi dan tanganku meraih tangan Mika, sambil menyeretnya ke lantai dansa. Kebetulan, Bayu dan Aretha tengah menari di ruang dansa. Bingung ia bertanya-tanya apa yang hendak kulakukan. Pura-pura tak merencanakan sesuatu aku hanya berbohong dan bilang padanya aku tidak ingin kakakku menghabiskan hari-hari terakhir SMA-nya duduk di meja begitu menyedihkan. Ketika lagu selesai, Bayu sudah berdiri di sebelahku dengan Aretha. Mika dan Aretha terpaku menatap satu sama lain ketika kami berempat berdiri di tengah-tengah ruangan.

“Bay, gue denger Joshua nemu puding cokelat mau nyoba ga kayaknya enak!”

Aku menggertak. Berharap Bayu mengerti bahwa aku berusaha memperbaiki hubungan Mika dan Aretha. Perlahan aku mengajak Bayu mundur. Kumohon Bayu, pecahkan kode sarkasme.

“Hah tapi Dine, kan kita udah makan puddingnya tadi?”

Aku menarik tangan Bayu dan menjauh dari Aretha dan Mika. Menuju meja dimana Joshua menarik kursi dan duduk melahap makanannya, aku menggerutu pada Bayu bahwa ia tak bisa mengerti kodenya. Menjauh, aku masih bisa mendengar Aretha dan Mika menyapa satu sama lain dibelakang. 

“Huh… permainan yang bagus, Dine” Joshua mengomentari sambil memenuhi mulutnya dengan ayam panggang. 

“Kan gue udah bilang… mak comblang.” Balasku dengan jari telunjuk mengarah padaku. 

Sudah kubilang, aku menceritakan kisah cinta. Hanya bukan kisah cinta yang terjadi pada hatiku. Cinta tak selalu berarti pada pacar, atau suami. Cinta ada diantara keluarga, saudara, sahabat. Kita yang terkadang melupakan bahwa cinta adalah sesuatu yang terus mendorong kita untuk menjalani sehari-hari. Cinta yang mendorong kita untuk berkorban demi orang lain. Walaupun perih lukanya, kau akan tetap melakukannya karena kasih sayang yang sudah tinggal bertengger di hati mereka yang begitu kau pedulikan. Tak ada yang pernah mengatakan kasih sayang atau cinta adalah hal yang mudah. Ini bukan soal siapa yang paling banyak memberikan hadiah, atau siapa yang paling banyak salah. Cinta, soal memperbaiki kesalahan kita di masa lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menempel kembali bagian piring yang terpecah menjadi satu dengan lem yang lebih kuat tiap kalinya. Ini sesuatu yang simpel, tapi kurasa, hal terkecil seringkali kita lupakan karena kita lebih sering melihat mereka yang lebih besar.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar