Flash Fiction
Disukai
6
Dilihat
6,769
Peristirahatan Terakhir
Drama

Siang ini begitu macet, mobil-mobil enggak bergerak sama sekali. Aku mencoba menyalip, dari arah kiri yang sama saja dipenuhi kendaraan beroda dua. Suara sirine ambulan terdengar nyaring di telinga, ambulan itu melaju di tengah kami yang bergerak seperti siput.

Aku lelah, setelah hampir satu jam terjebak macet di siang yang begitu panas. Aku pun berjalan masuk ke dalam kafe, mencari Sinta. 

“Nara, lama kali kamu datangnya, ini udah kelewatan banget ngaretnya, Nar.”

“Hehe maaf-maaf. Aku tadi kejebak macet, kata orang-orang sih karna ada kecelakaan.”

“Kecelakaan?”

Aku hanya mengganggukkan kepalaku, rasanya sebentar lagi aku akan stres. Aku butuh minuman dingin, untuk pereda panas di kepala. Kecelakaan tadi pasti sangat parah, sampai-sampai mengakibatkan macet yang rumayan panjang, aku jadi kepikiran terus.Tiba-tiba suara telpon berdering nyaring, membuatku tersentak kaget. Memandang handphoneku, bingung.

“Apa... enggak mungkin. Enggak mungkin, ayahku masih sehat, baru dua jam yang lalu aku bertemu ayah dalam keadaan sehat bugar.”

Aku kembali dibuat kaget, suara Sinta begitu nyaring, ia menjerit berbicara dengan orang di telpon. Air mata Sinta mulai keluar, lama kelamaan deras begitu deras. Ia berkata lirih, ‘Kecelakaan?’

“Ayah, Ayah, jangan tinggalin Sinta.” Sinta menangis meraung-raung. Membuatku langsung memeluknya erat. Ya tuhan, ada apa sebenarnya.

“Nara, antarkan aku ke rumah sakit sekarang, ayok, ayokk.”

Aku membantu Sinta berdiri, yang dari tadi aku hanya diam, enggak tahu harus berbicara apa. Aku melajukan motorku dengan perasaan panik, Sinta yang masih saja menangis di belakangku, kepalaku yang tiba-tiba pusing teringat suara sirine siang tadi. Apa yang kecelakaan tadi ayah Sinta. 

Keadaan rumah duka begitu sesak dipenuhi kesedihan di setiap sudut rumah. Aku duduk mencoba fokus membaca surah yasin di tanganku dengan air mata yang gak terasa sudah jatuh menyentuh pipi. Sinta menangis pas di samping ayahnya yang sudah berpulang. Semua orang termasuk diriku pasti akan ke sana, hanya menunggu waktu saja.

Di depanku Sinta berkata lirih ketika aku memegang bahunya pelan. “Nara, ini semua mimpi, kan?”

“Enggak ada firasat apapun yang kurasakan, Nar. Sakit, sesak, aku enggak siap ditinggalkan ayah.”

Air mataku keluar memeluk Sinta. Siapa yang siap ditinggal oleh orang terkasih? Aku juga enggak siap, sangat enggak siap. Pikiranku melayang mengingat orangtuaku, adik-adikku di rumah. Hanya mereka yang kupunya untuk pulang di dunia ini. Ternyata kehilangan dan ditinggalkan adalah hal pasti, dan aku enggak siap.

Di pemakaman, kuburan yang digali sudah kembali tertutup. Pertama kalainya aku mengantarkan jenazah sampai ke tempat peristirahatan terkahir. Ya, di dalam sana adalah tempat pulang kita akhirnya, kuburan. Aku mengusap-usap punggung Sinta, yang masih terdiam di samping kuburan Pak Wanto, pria yang hangat begitu hangat. Hanya tinggal kami berdua di sini, terduduk beralas tanah dengan dedaunan yang berguguran tertiup angin.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi