Pandemi

Pandemi, kata-kata ini begitu asing di telinga, dan sekarang kata pandemi sudah menjadi hal biasa. Seperti hari-hari sebelumnya aku masih saja terkurung di rumah. Menikmati waktu sendiri, bersama keluarga, mengobrol santai, dan kembali sendiri. Pagi ini begitu mendung, ditemani secangkir teh hangat dengan biskuit yang tinggal sedikit.

Aku melihat berita di televisi, yang sedang menyiarkan jumlah pasien positif Covid-19, lalu pentingnya olahraga di masa pandemi seperti sekarang untuk menjaga imunitas. Aku kurang tertarik, dan ya ini sangat membosankan. Aku menguap lebar, mengantuk. Gerimis mulai terdengar merdu dari luar, menjatuhkan dirinya ke tanah dan atap rumahku. 

Siang hari yang masih sama seperti pagi tadi, matahari enggak bersinar cerah seperti biasanya. Aroma masakan ibu yang mulai tercium menggodaku untuk melangkahkan kaki ke dapur.

“Raka, tumben kamu betah di rumah, udah hampir seminggu kamu enggak pernah keluar rumah.”

“Ya kan pandemi, buk. Kerjaan dilakukan dari rumah. Ke kantor hanya untuk keperluan yang penting-penting aja.

“Yee, pandemi udah berbulan- bula kali, Raka. Seminggu yang lalu kamu masih suka keluar-keluar rumah. Padahal enggak ada urusan penting, hanya mau keluar aja, kata kamu.”

“Hehe ibu bisa aja. Emang enggak boleh ya, buk, Raka di rumah terus.”

“Ya boleh la. Ibu heran aja.”

Aku tersenyum sambil berjalan mendekat ke arah ibu, yang sibuk membereskan meja makan. Aku duduk, dan memperhatikan ibu dalam diam. Dan ini adalah momen yang sangat jarang kurasakan dan begitu juga dengan ibunya.

“Aku takut terkena virus corona, buk.”

“Jangan ngomong ngasal, lagi pula tumben kamu takut virus corona.”

“Aku enggak takut, tapi aku takut terkena dan membawa virus itu ke rumah dan menularkannya ke ibu.”

Ibu tersenyum ke arahku, lalu memanggil adik perempuanku untuk makan siang. Ibu duduk tepat di depanku dan mengambil nasi lalu meletakkannya di dekatku.

“Umur enggak ada yang tau, Raka. Lagi pula kamu enggak usah khawatir begitu. Kalau kamu bosan, keluar aja sebentar.”

Aku menganggukkan kepalaku, berbarengan dengan adik perempuanku yang baru saja bergabung.

“Abang, wah masih betah nih, di rumah terus, jangan sampai stres, bang. Ibu tahu, tadi abang kayak orang linglung, mondar mandir di depan televisi.”

Aku enggak menyahut, aku lebih tertarik dengan makanan yang tersaji di meja. Wau, ini begitu lezat. Semur ayam, sup ikan, goreng tempe dan tahu tak lupa sambal cabenya. Tumben. Aku enggak mempertanyakan, langsung saja melahap semua yang tersaji di meja.

Gerimis kembali datang, sangat pas di saat perutku sudah terisi penuh. Aku pun langsung teringat berita tadi pagi. Ahh.. jangan sampai dampak-dampak negatif karna jarang olahraga tertimpa diriku.

Aku melihat ibu dan Nisa lagi tiduran di depan televisi. Aku sedang menjaga jarak dari dunia luar, karna ayah dari temenku positif Covid-19, dan ayahnya sedang berjuang untuk sembuh, karna memiliki penyakit bawaan yaitu diabetes. Dan aku enggak mau membuat kesalahan yang sama seperti temanku yang menularkannya ke ayahnya, dan temanku hanya mengalami gejala ringan saja.

Ya, sebaiknya aku berolahraga.

“Bang, ngapain?”

“Enggak kelihatan, Nis, ini namanya push up, masih nanya.”

“Tumben ya, buk?”

Hari ini aku sudah membuat orang di rumah pada keheranan. Pandemi, pandemi, kau membuat semuanya berubah termasuk diriku.

6 disukai 6.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction