“Mengapa matahari bisa terbenam, Mbak?”
“Mungkin matahari sudah lelah.”
“Apa matahari bisa lelah, Mbak?”
“Menurut Selina, matahari bisa lelah, nggak?”
“Nggak bisa, Mbak.”
Winda tersenyum dan meremas rambut Selina, gadis tujuh tahun yang dikenalnya selama tujuh bulan ini. Selina yang cerdas, suka bertanya banyak hal, yang membuat Winda betah berlama-lama dengannya.
Bersama Selina, serasa Winda menjadi seorang kakak; satu posisi yang ia rindukan dalam hidup.
“Mbak Winda punya uang?” mata Selina mengerjap, bertanya.
“Punya. Selina ingin makan kerang rebus lagi?”
Selina tersenyum malu-malu.
“Selina lapar, Mbak.”
Winda mengajak Selina ke warung di dekat pantai. Satu porsi kerang rebus dihabiskan Selina dengan lahap. “Enak, ya, jadi orang kaya seperti Mbak Winda?” kata Selina sambil mengusap perutnya yang kenyang.
“Selina ingin jadi orang kaya?”
“Mau, mau,” sahut Selina bersemangat.
“Selina harus rajin belajar, kalau begitu.”
“Selina juga ingin punya mobil bagus seperti Mbak Winda,” sahut Selina, masih bersemangat.
“Bukan hanya mobil, Selina bisa punya apa saja asal rajin belajar agar pandai, dan juga rajin menabung.”
“Ya, Mbak. Selina akan rajin belajar dan menabung.”
Matahari telah ditelan cakrawala, menyisakan pendar keemasan. Angin pantai menerobos melalui pintu warung. Selina menggigil.
“Hiii, dingin ya, Mbak?”
“Pulang, yuk?” ajak Winda.
Winda memapah Selina menuju mobil yang tak jauh dari warung itu. Selina berjalan pincang, karena kaki kananya tak utuh lagi. Sebuah pen tertanam di tulang keringnya, karena kecelakaan tujuh bulan silam.
Winda terenyuh melihat kondisi Selina. Apalagi bila teringat cerita bahwa, sejak kecelakaan itu, Selina tak bisa lagi main petak umpet bersama teman-teman.
Semua bermula tujuh bulan yang lalu. Winda melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, sepulang dari mal membelikan kado ultah untuk sepupunya. Semula Winda meminta Sandro, kekasihnya, untuk mengantarnya ke mal. Tetapi Sandro tak bisa, karena ia ada sesi pemotretan untuk sampul majalah pria dewasa.
Namun, di mal, Winda melihat Sandro berjalan dan berangkulan mesra dengan seorang wanita. Semula Winda mengira itu bagian dari sesi pemotretan, tetapi tak ada fotografer di sana. Jelas, Sandro telah mendustai Winda.
Winda pergi dari mal membawa luka hati. Ia menekan pedal gas Jazz merahnya begitu dalam, tak peduli jalanan padat. Beberapa anak bersarung dan berjilbab tampak keluar dari sebuah masjid. Seorang dari mereka memisahkan diri dan bergegas menyeberang. Winda tersentak tetapi tak sempat menghindar, lalu terjadilah kecelakaan itu.
Winda membawa gadis kecil yang ia tabrak itu ke rumah sakit. Hati Winda terpukul ketika mengetahui tulang kaki kanan gadis itu patah dan perlu disambung dengan pen.
Selina, gadis kecil itu, semula menolak kedatangan Winda. Selina berteriak histeris dan mengusir Winda. Syukurlah, orangtua Selina sabar dan tabah, selalu berusaha membesarkan hati anaknya.
Pada suatu hari, Selina mau menerima kedatangan Winda. Lama-lama mereka pun menjadi karib, apalagi Winda selalu datang membawakan coklat dan mengajak Selina ke pantai.
***
Sore ini Winda akan berkunjung ke rumah Selina. Beberapa batang coklat telah ia persiapkan. Winda membuka pintu garasi, memanaskan mesin Jazz merahnya beberapa menit, lalu bersiap pergi.
Sebuah Avanza silver berhenti di depan pintu pagar, menghalangi mobil Winda. Winda mendengus. Untuk apa Sandro datang?
Winda masih duduk di dalam mobilnya, bahkan kaca pintu ia biarkan tertutup.
Sandro mengetuk beberapa kali kaca pintu mobil Winda. Dengan malas, akhirnya Winda membuka kaca pintu mobilnya.
“Kamu akan pergi?” tanya Sandro.
Winda tidak menjawab, tatapannya lurus ke depan.
“Singkirkan mobilmu!” kata Winda ketus.
Sandro mengeluarkan sesuatu dari kantong jaket kulit coklatnya. “Aku tak mau banyak bicara. Aku hanya ingin memberimu undangan. Lusa aku ulang tahun. Kuharap kau mau datang dan hubungan kita akan kembali seperti dulu.”
“Aku sudah punya kekasih!”
Sandro terhenyak.
“Singkirkan mobilmu, atau aku tabrak!”
Sandro mengalah, ia menyurutkan langkah, menuju mobilnya.
Di perjalanan, Winda menghentikan mobilnya di dekat taman kota. Ia menghela napas lalu menghembuskannya kuat-kuat. Ia pandang sejenak beberapa batang coklat di sampingnya. Dan, undangan pink dari Sandro.
Sepasang mata Winda berkilat, lalu dengan menggebu meremas-remas undangan itu, keluar dari mobil, kemudian membuangnya ke tong sampah di dekat taman kota.
Usai membuang undangan dan masa lalunya, Winda kembali ke mobil. Menyalakan mesin dan terdiam sejenak menenangkan diri. Perlahan, butir-butir harapan menetes di hatinya.
Winda melajukan mobilnya dalam kecepatan rendah. Jalanan padat seperti sore-sore yang lalu. Mobil melaju menuju rumah Selina. Winda akan mengajak Selina ke pantai melihat matahari. Matahari yang tak pernah lelah.
***SELESAI***