Flash Fiction
Disukai
1
Dilihat
4,075
Lalu Terdengar Suara Parang Ditebaskan
Drama

MEREKA sering ke situ, berdua, ke garis batas antara hutan dan desa. Agak masuk sedikit ke dalam kawasan hutan. Malam itu mereka berada di sana lagi. Dalam suasana yang sama sekali lain. Mereka berdiri di gigir tebing patahan alami itu. Seperti sisa barisan. Memandang ke arah lembah. Lembah yang tak terlalu besar dan tak terlalu dalam.

Sepanjang jalan tadi mereka tak berbicara. Setiap langkah seperti dipertimbangkan benar agar tak terlalu bersuara.

"Aku tak bisa dan tak mau ke mana-mana," kata Warni.

"Aku kira aku tahu kemana kamu harus pergi," kata Zam.

"Bersama kamu?"

"Iya..."

"Itu yang aku tak mau."

"Orang akan semakin menyalahkan aku."

"Bunuhlah aku, Mas. Aku tak punya pilihan kecuali mati. Aku ingin kamu yang membunuhku. Aku ingin mati di tanganmu," kata Warni.

Zam terkesiap. Ia merasakan ngeri yang tak pernah ia rasakan. Ngeri disergap suara Warni yang dingin. Tenang. Berat. Sama sekali tanpa kesedihan.

Gelombang pembantaian datang dari arah barat seperti pasukan kalajengking raksasa. Sesudah pembunuhan para jenderal di Jakarta, pasukan yang dipimpin seorang perwira datang dengan senjata yang seakan ditarget satu nyawa satu peluru. Kekacauan, dendam, pertikaian politik, menjadi bahan bakar. Tentara seperti memberi restu pada siapapun untuk membunuh siapapun, asal dia kiri.

"Mereka sudah membunuh ayahku. Ibuku. Kakak-kakakku, Mas," kata Warni. "Aku sekarang sendiri. Mereka pasti akan membunuhku. Mereka pasti sedang mencari aku..."

Zam terdiam. Zam berpikir keras mencari jalan lain selain apa yang diusulkan Warni.

"Aku tak akan bunuh diri, Mas..."

Lalu terdengar suara parang ditebaskan. Dua kali. Tubuh Zam dan Warni terguling ke bawah lembah itu. Menyusul kepala yang menggelundung lebih dahulu.

"Lho, itukan Gus Zam, anak Kyai Zainul?"

"Mana saya tahu. Gelap...."

"Ya, sudah. Timbun aja. Yang penting anak Pak Wongso, Ketua BTI itu, sudah mati."

"Si Warni? Yang ini?" si penebas yang tadi melompat ke bawah tebing, mengangkat kepala Warni ke arah seseorang yang sepertinya memimpin kelompok pembantai orang-orang kiri itu.

"Iya. Dia. Siapa lagi..." kata seorang yang lain.

 © Habel Rajavani, 2024.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi