Flash Fiction
Disukai
0
Dilihat
2,943
Bias
Drama

Dengan langkah cepat Anisa meninggalkan sepeda motornya dan masuk ke rumah. Ia tak mampu membendung lagi air matanya dan rasa kecewa setelah melihat kakaknya meneguk minuman keras di gang sempit menuju rumahnya.

"Pak, kenapa sih Abang seperti itu? Kecewa aku dibuatnya, aku bertaruh mati-matian membantunya menempuh pendidikan santri di sana, bahkan aku menjual emasku untuk membantu bertahan hidup disana, tapi kenapa sekembalinya kemari dia hanya bisa memperlihatkan keburukannya bukan kelebihannya selama menempuh pendidikan disana." Sambil menyeka air matanya.

"Memang Abang mu kenapa Ndok?"

"Pak, Abang sangat tega sekali. Meneguk minuman keras didepanku bahkan ia tak memperdulikan ku saat memanggilnya." Tangisannya makin menjadi.

"Bapak gak bisa apa-apa Ndok, dia juga sudah besar dan seharusnya dia tau harus apa dan dia juga mampu memutuskan jalan apa yg dipilihnya."

"Tapi pak, haruskan jalan yang seperti itu?" Anisa berlari meninggalkan ayahnya di ruang tamu.

Beberapa waktu kemudian, Anisa keluar dari kamarnya dan menuju dapur untuk membantu ibunya membuat kue pesanan. Saat itu pun air matanya kembali tumpah setelah mengingat tentang Abangnya.

"Mak tadi aku lihat abang di gang sempit. Abang meneguk minuman keras dan tertawa seakan-akan tak sadarkan diri Mak saat aku panggil abang bahkan tak perduli."

"Mamak ga bisa apa-apa Ndok, Abang mu itu susah kalo dibilangin bahkan setelah ia pulang dari nyantri seakan-akan ia yang lebih tahu dan omongan orang tua tak pernah digubrisnya." Ucap Ibu Anisa sambil menitikkan air mata.

"Seandainya Abang Isal ada disini pasti ini takkan terjadi, karena Bang Azhar hanya takut padanya. Selain itu pasti Bang Isal kasih pengajaran kepada Bang Azhar."

"Mak, aku jadi sangat rindu dengan Bang Isal setelah kecelakaan yang merenggut nyawanya hari-hari ku jadi berbeda. Dulu tanpa keberadaan Bang Azhar disini hal itu tidak terlalu bermasalah karena ada Abang yang selalu mengantarkan ku sekolah, pergi Les, Pergi Latihan Ekskul. Mak, aku berharap Abang Isal bisa Kembali." sambil menyeka air matanya.

Setelah beberapa jam kemudian, pintu depan terdengar seseorang mengetuk pintu dengan segera Anisa membuka pintu.

"Bang, Bang, Bang" Sambil menepuk pipi Abangnya yang tak sadarkan diri.

"Mak, Pak,"

"Kenapa dengan Abang mu Ndok?"

"Kayaknya Abang mabuk berat pak." Menyeka air matanya.

Sesaat setelah dibaringkan di kursi ruang tamu, Bang Azhar pun tersadar dan langsung diterpa amarah dan pertanyaan dari adiknya serta orang tuanya.

"Abang kenapa ngelakuin ini? Apa Abang tidak kasihan kepada Ibu dan Bapak. Mereka membanting tulang untuk menyekolahkan mu Bang bahkan tak perduli siang dan malam, tak perduli dengan kondisi kesehatannya. Apa Abang gak perduli dengan itu semua? Apa hanya bersenang-senang dengan teman-teman Abang aja yg ada dipikiran Abang? Terus asal Abang tahu saat mamak dan Bapak tak ada uang, aku harus menjual emas untuk mengirimkan uang untuk mu dan saat Abang pulang kemari jujur saja aku kecewa Bang." Tangis pun kembali pecah.

"Sepeninggalan Bang Isal, aku cuma punya Bang Azhar dan rupanya begini tingkah laku Abang."

"Ca!!!"

"Ma’afin Abang Ca, Abang hilang arah dan dilema dengan keputusan Abang untuk nyantri. Memang benar kata Bang Isal, harusnya aku masuk SMK dan menetap disini sambil membantu Mamak tapi Abang berkeras kalo disana akan menjadi jalanku menuju kesuksesan, ternyata malah aku hilang arah dan menyia-nyiakan kesempatan dari orang tua dan uangnya."

"Jadi, Apa yang akan kamu lakukan Ndok?" Tanya Bapak

"Aku ingin berhenti Pak, Mak," seru Bang Azhar

"Oh, bagus sekali. Jelas kau membuat kami semua kecewa dan apakah tak kau pikirkan tentang getirnya kami semua mengongkosi biaya hidupmu disana bahkan apakah kau tak pernah kasihan dan menghargai apa yang Bang Isal kumpulkan untuk membiayai hidup dan sekolahmu disana? dan sangat jelas sekali ini memperburuk keadaan kita." Ucap Bapak dengan amarah yang meledak-ledak.

"Lagipula, kau mau kerja di PT, Ijazah mu hanya tingkat SMP" Jelas Ibu dengan berlinang air mata.

Ashar pun terdiam tanpa kata dan mencoba untuk pasrah dengan keadaannya.

"Sudahlah, sekarang semua terserah mu, jalan hidup ada di tangan mu. Tentukan sendiri kemana kau akan melangkah." Ucap Bapak dengan nada tinggi dan meninggalkannya.

Mendengar ucapan bapak yang cukup menyakitinya, Ashar pun berlalu pergi meninggalkan ibu yang masih terisak. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi