Layaknya pertunjukan dabus, Tia menari di atas matras yang membara. Peluh meluncur bagai lahar, demikian ia mencapai puncak, meledak seperti Gunung Manua Loa, tetapi tak satupun dari letupan erupsi itu yang mampu meluluhkan kebekuan jiwanya.
Tia menyukai setiap kedipan dari asing di pojokan bar, juga obrolan singkat bersama penjaga perpustakaan. Lahap menelan semua afeksi mereka seperti orang tidak makan sebulan. Perhatian demi perhatian, hadiah demi hadiah, cumbuan demi cumbuan.
Namun, mungkin memang hatinya sudah mati, tenggalam di dasar lautan Antartika. Semua itu hanya bertahan beberapa saat. Kemudian dia berpikir, kalau ia hanya mampu mempertahakan cinta tak lebih lama dari semangkuk mie instan seduh, kenapa tak memanfaatkannya untuk menghidupi kehidupannya yang menyedihkan?
Akhir pekan di mana semua berlibur, tidak demikian dengan Tia. Dia bekerja, dari hotel ke hotel, motel ke motel. Menjajakan kenikmatan sesaat. Ini tidak buruk pikirnya. Mereka sama-sama mendapatkan apa yang dibutuhkan.
Hari ini mungkin sedikit berbeda. Sosok yang duduk di tepi ranjang itu mengenakan rok, rambut dikucir ikat organdi hitam, serta giwang bulat perak sederhana menghias telinga. Air mukanya lusuh, sekitar kelopak hitam, bibir pucat. Andai saja perempuan itu mau memolesnya sedikit saja Tia pasti akan mengakui bahwa dia cantik.
Setelah beberapa detik bertanya-tanya, halus Tia menolak, “Aku tidak menerima tamu perempuan.”
“Apa kau yang bernama Kresentia?” Tia membelalak.
“Bagaimana kau bisa– “ Tia menampar mulutnya sendiri. Hampir saja ia mengakui bahwa benar itu nama aslinya.
Perempuan itu berdiri. Punggung lurus, dada membusung, berjalan anggun seperti merak. Mata sayunya menatap angkuh dan Tia bisa merasakan lava mendidih yang selama ini disembunyikan sikap tenang dari netra hazelnya.
“Aku ingin tahu bagaimana kau memuaskan klienmu,” ucapnya sedingin es.
“Nenek tua apa maumu?”
“Tidak ada. Aku hanya belajar sesuatu darimu.”
“Sudah kubilang, aku tidak menerima klien prempuan!”
“Oh.” Perempuan itu menunduk, merapatkan mata.
“Jadi, benar. Kau hanya mau dengan lelaki yang beristri.”
“Dasar gila, aku pergi!” seru Tia. Namun, pintu itu terkunci. Tia menggoyang-goyang gagangnya kuat-kuat.
“Buka!”
“Bodyguard-ku berjaga di depan. Kau tidak bisa keluar sampai memuaskanku di sini.”
“Sudah aku bilang aku tidak menerima perempuan!”
“Ya. Kau hanya menerima lelaki yang beristri.” Perempuan itu mendekati Tia yang tersudut, tangan meraih dinding dan gagang pintu.
“Dulu kau mencintai seseorang yang seharusnya tak pernah kau cintai...”
“Sialan! Diam!”
“Kemudian kau menjalin hubungan dengannya atas dasar saling menguntungkan...”
“Diam! Diam!”
“Tapi, pada akhirnya kau dicampakkan olehnya. Kemudian kau sendirian, mengisi dahagamu dengan asmara-asmara sesaat dari lelaki hidung belang. Kau punya kriteria khusus, kau hanya menerima lelaki yang memiliki pasangan, karena ... kau mendapat kesenangan setelah merusak hubungan orang.”
“Salah! Itu semua salah!”
“Perempuan sepertimu baiknya dimakan belatung di tempat sampah.”
Perempuan itu belum puas, namun ia merasa harus berhenti sebelum jemari lentiknya mencengkeram leher kecil Tia hingga remuk.
Ia pun pergi, meninggalkan Tia yang meringkuk disertai sesenggukan dan jeritan menyayat jiwa. Mencabuti rambut, menacakar-cakar wajah.
Serupa tempatnya berpijak sekarang, Tia bukanlah sebuah rumah untuk pulang. Tia hanya tempat singgah sementara yang esoknya sudah dilupakan.