Disukai
1
Dilihat
1127
Paduka Yang Mulyo
Slice of Life

Gosip adalah garam dalam lingkungan pertetanggaan. Seperti pepatah, bagai sayur tanpa garam, begitu pula kehidupan tanpa bergosip. Mulut ini gatal rasanya kalau tidak digaruk dengan pembicaraan soal Pak Bejo yang jatuh dari kursi karena tertawa terbahak-bahak saat bertugas ronda atau anak RT sebelah yang ketahuan melakukan perundungan kepada teman sekelasnya. Kadang berupa gurauan, lebih banyak sindiran, serta sejumput hinaan sepihak. Semua bisa berupa fakta tapi tak jarang pula hanya gunjingan tanpa kejelasan.

Amanda pun tak luput dari siklus pergosipan tersebut. Sebagai seorang milenial yang sudah stress menghadapi tuntutan tak wajib sebelum usia tiga puluh tahun, Amanda tak ingin terjun terlalu dalam masalah pergosipan tetangga. Ia tak ingin masalah baru muncul hanya karena ia ikut berpendapat.

Bisa berbahaya bila ia menggeleng atau mengangguk. Ia memilih tersenyum simpul saja saat Bu Hasibuan bertanya, "Iya begitu 'kan, Mbak? Masak acara di hotel super mewah cuma menyumbang seratus ribu? Orang sewa gedungnya aja bisa sampai puluhan juta! Emang bisa balik modal kalau tamunya cuma ngasih seratus ribu?"

Lah, acaranya siapa kenapa dia yang bingung bayar biaya sewa? Sudut bibir Amanda terangkan kian tinggi.

"Seenggaknya kan lima ratus puluh ribu gitu atau kayak aku ini satu juta, ohoho," pamernya sambil tertawa dibuat-buat, menutup mulut dengan jemari yang dipenuhi perhiasan emas. Napas Amanda sempat tertahan saat mendengar nominal tersebut. Mengeluarkan setengah gajinya hanya untuk makan dan duduk di hotel mewah? Amanda bisa beli setidaknya tiga puluh bungkus martabak spesial kesukannya, yang berarti sehari satu martabak. Puas pastinya.

Meski Kampung Gunung Asri dihuni oleh paruh baya yang tengah menunggu masa pensiun dan bergelimang harta, sebagian dari mereka bukan orang tua kolot dan sinis seperti di kampung domisili Amanda sebelumnya. Paling tidak, ibu-ibu ini mengerti soal WFH (Work From Home / Bekerja dari Rumah) dan paham kalau jaman sekarang bekerja tidak perlu lagi pergi ke kantor, atau kalau buka usaha tidak pula wajib ada toko fisik. Yah, meskipun Amanda harus menancapkan hatinya kuat-kuat sebelum diterjang badai pamer harta para ibu-ibu ini.

Sore hari adalah waktu yang paling dibenci Amanda. Sudah dipastikan setidaknya ada dua kelompok yang menggerombol di dua tempat yang letaknya jauh berseberangan. Satu di pos kamling RT 10 dan satu lagi di bangku taman bawah pohon rambutan dekat lapangan badminton tempat bermain anak-anak. Nasib Amanda cukup ngenes karena rumahnya berada di depan pos kamling RT 10 tersebut. Tentu saja ia wajib nongol, kalau tidak mau jadi bahan pergunjingan.

"Psst, psst! Bu Daud. Kok aku sering denger si Hafidz nangis-nangis gitu, ya? sampai teriak-teriak keras banget kayak monyet kejepit. Hampir tiap hari lo! Emang diapain?"

"Ya, biasa bu, hafalannya kurang," jawab santai Bu Daud kepada Bu Haryono, seolah itu sudah rahasia umum.

"Hafalan apa emangnya?" Bu Haryono mendekatkan telinga ke arah Bu Daud.

"Hafalan Al-Qur'an, dong. Kalau enggak hafal kan enggak boleh main sama uminya!"

"Masak sampai segitunya?"

"Emang bener! Aku pernah lewat sore gitu Hafidz dah siap bawa bola keluar rumah sama uminya dipanggil, Eh! Eh! Mau ke mana kamu!? Enggak boleh main! Sini belajar dulu! Terus anaknya gulung koming di depan sampai diseret masuk tuh sama uminya!" timpal Bu Nur yang berada di damping Bu Haryono.

"Ya, Allah! Aku Juz Amma aja cuma hafal sepuluh surat, bu!" Bu Haryono berucap sambil tersenyum malu.

"Sebenernya ya bagus ngajarin anak hafalan Qur'an sejak dini, tapi caranya Mbak Afif tu menurutku terlalu disiplin. Kasian banget. Anak segitu harusnya seneng-seneng main sama temennya malah disuruh belajar, belajar, belajar. Wong sekolahnya si Hafidz itu full day school lo, dari jam setengah delapan sampai jam tiga sore, sampai rumah suruh belajar lagi sampai sebelum tidur. Lak yo po ra stress to?" 1 Bu Daud bersungut sambil mengembuskan napasnya bak banteng ngamuk. Logat Jawa Timurnya yang cablak keluar setiap kali dia kesal.

"Yaudah lah, Bu. Urusannya dia, keinginan dia, kita bisa apa. Ya, 'kan?" tanya Bu Haryono sambil meminta persetujuan yang lain. Amanda dan ibu-ibu yang duduk di situ pun hanya bisa kompak mengangguk.

Terkadang terselip sisi kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama di antara gunjingan dan gurauan tersebut. Namun, tak ada yang berani berbuat. Seburuk apapun masalah yang dialami oleh satu keluarga, tak ada satupun yang berani menganggu. Itu urusan pribadi mereka masing-masing, itu jalan hidup yang mereka pilih. Begitulah dinginnya masyarakat modern.

Ketika mata Amanda bergulir ke kiri, ia mendapati sosok yang paling diseganinya di Kampung Gunung Asri. Bukan karena kuasanya, bukan karena hartanya, bukan pula karena kharismanya.

Amanda mengumpat, ah, sial! dalam hati saat sosok cukup tambun itu mendekat. Mengenakan daster obralan yang banyak dijual di Car Free Day tiap minggu pagi, juga serenteng gelang emas yang gemerincing seperti penari India. Amanda memanggilnya, Paduka Yang Mulyo.

Hubungannya dengan Bu Mulyo yang tak lain adalah tetangga sebelahnya pas itu dari luar terlihat baik-baik saja, tapi jauh di lubuk hati masing-masing mereka tak menyukai satu sama lain.

Saat pertama kali menapakkan kaki di rumah kontrakannya yang ke tiga tersebut, Bu Mulyo terlihat sangat ramah dan baik kepada Amanda dan suaminya, Chandra. Berbalas senyum saat pasutri yang pernikahannya baru berumur tiga tahun itu menyapa, bahkan sempat diajak bersantai sore dengan suguhan kacang rebus. Sampai suatu hari Amanda melakukan sesuatu ---secara berulang-ulang--- yang sepertinya tidak berkesan baik bagi wanita yang memiliki tiga anak itu.

Memesan makanan online.

Orang mana yang mau melewatkan martabak spesial seharga sepuluh ribu rupiah atau boba milk tea seharga dua ribu saja? Salah satu teman Amanda mengajarinya cara mencari diskon delivery food. Sejak itu hampir dipasikan setiap akhir pekan Amanda akan memesan makanan secara online. Chandra pun tidak mempermasalahkannya selama masih sesuai selera. Namun, sepertinya itu bukan perkara yang mengenakkan bagi Bu Mulyo.

Awalnya hanya sindiran singkat dengan menirukan panggilan, "Cepat Food!" setiap kali ada motor yang berhenti di depan rumah Amanda. Perlahan berganti dengan sindiran secara terang-terangan, "Kalau gabisa masak itu belajar kan, ya? Masak itu kan kewajiban ibu rumah tangga," ucap Bu Mulyo kala itu bersama si putri bungsunya bernama Priscilla yang wajahnya mirip dengan kucing viral, Grumpy Cat (selalu bersungut seperti semua hal di dunia yang ada di depannya ini menjijikan).

"Saya itu sudah masak sendiri sejak umur delapan. Sejak itu enggak ada yang namanya beli luar. Semua masak sendiri terus. Kalau keluar kita bawa bekal. Lebih hemat dan higienis!"

Apa sih masalah dia? geram Amanda dalam hati.

Emang aku bakal makanan dia apa? Huh, enggak sudi! lanjutnya. Seperti tak ada hal lain yang layak dibanggkakan, Bu Mulyo sering bercerita tentang dirinya berangkat ke pasar setelah subuh lalu menyiapkan masakan dan cemilan untuk keluarga kecilnya.

Ingin mendesah pun Amanda tak enak hati. Ia fokus bermain ponsel, membaca satu dari seratus antrian bacaan di aplikasi novel daring. Sesekali mendengarkan saat Ibu RT yang terkenal galak dan disiplinnya minta ampun membeberkan laporan.

Ada juga satu cerita lagi yang dialami Chandra. Pak Mulyo adalah orang yang memang sedikit kaku tapi masih mau menjawab salam. Chandra mendengar dari sekitar bahwa pekerjaan lelaki yang rambut hitam dan putihnya itu saling berlomba adalah makelar motor. Mungkin itu yang menjawab kenapa beliau selalu memoles motor sampai licin setiap pagi. Ternyata agar siap sedia dijual.

Namun, satu tetangga memberi Chandra petuah, "Tapi, mas. Kalau beli motor jangan minta tolong Pak Mulyo." Itu saran yang aneh karena sebagai tetangga bukankah memang baiknya kita saling membantu? Kalau ada yang punya usaha ya dilarisi, kalau punya hajat ya dibantu. Harusnya sih begitu.

"Memangnya kenapa, pak?"

"Ya, jangan saja. Mending cari di dealer mokas2 aja."

Spekulasi demi spekulasi berputar dalam pikiran Chandra lalu menguap satu menit kemudian.

Mungkin karena Chandra baru belajar bersosialisasi setelah lima tahun mendekam dalam kosan dan keluar hanya untuk makan, gathering, healing, dan pacaran, Chandra melupakan petuah si tetangga lalu iseng menanyakan soal motor ke Pak Mulyo. Kebetulan ia memang ingin motor sport yang suara knalpotnya ngueng ke seluruh penjuru kecamatan.

Maka, suatu sore, terlontarlah pertanyaan basa-basi, "Pak, kalau motor Yamaha R15 berapaan?" yang pada akhirnya membawa Chandra pada petaka yang tak ia sangka.

Pagi, siang, sore, atau dalam kesempatan apaun mereka bertemu, Pak Mulyo selalu menanyakan tentang permintaan Chandra, anggaran, model yang dia suka, warna cat, dan lain sebagainya yang membuat Chandra tidak nyaman.

Jujur, Chandra belum mampu untuk membeli motor tersebut, tapi hari demi hari ia dibanjiri pertanyaan desakan bak santet dari dukun paling ampuh sejagat raya. Pada hari ke dua puluh empat, Chandra memutuskan untuk menolak dengan tegas semua tawaran Pak Mulyo.

"Maaf pak, enggak jadi aja motornya."

"Kalau enggak jadi enggak apa-apa mas, apa mau ganti motor yang lain?"

"Enggak pak, enggak usah dulu. Saya rawat motor yang lama aja."

"Enggak apa-apa lo mas kalau mau dicarikan motor yang lain, atau ini aja? Ini baru keluar tahun kemarin, dua puluh lima juta aja mas."

Chandra mengambil napas. "Enggak pak, belum ada uang. Tawarkan yang lain saja." Wajah Pak Mulyo seketika ketus.

"Oh, ya sudah kalau begitu," jawabnya lalu pulang tanpa berpamitan.

Begitu herannya Chandra mendapati muka masam dan gelap Pak Mulyo saat pamit pergi kerja keesokan paginya, bahkan sapaannya pun tidak digubris. Hal tersebut masih berlanjut sampai detik ini. Jadi, lengkap sudah alasan (konyol) suami istri Mulyo Rahardjo itu untuk membenci Chandra dan istrinya.

Paduka Yang Mulyo ---tentu saja--- duduk menjauh dari Amanda. Tak butuh waktu lama bagi dia membaur, bergunjing tetangga yang lain. Beliau adalah salah satu bigos3 yang mulutnya megap-megap seperti ikan koi yang muncul ke permukaan meminta makanan. Mulai dari semut di sudut kamar sampai tukang jualan ikan keliling yang dagangannya bau tak sedap. Ada saja hal sepele yang mereka perbincangkan.

Suka atau tidak, itulah napas dalam bermasyarakat, dalam bertetangga, dalam berkawan, dalam berkeluarga, dan dalam kehidupan manusia. Bergosip telah menjadi hal yang lumrah dan biasa.

***

Sabtu siang jalan Gang Semeru lengang. Saat itu adalah saat paling tepat bagi Amanda untuk menggulir aplikasi daring warna oranye bertuliskan Cepat Food untuk persiapan makan malam.

Hari itu ada Weekend Discount spesial yang tidak bisa Amanda lewatkan. Beli satu Large Pizza bonus satu Large Pizza dengan harga lima puluh ribu atau satu buah Bucket Spicy Korean Wings isi sepuluh sayap ayam dengan harga tiga puluh ribu.

Gundah gulana menyelimut pikiran Amanda. Ia sudah lama tidak makan pizza, tapi ia pikir akan lebih hemat bila memilih penawaran paket bucket wings. Setidaknya bisa dia simpan untuk lauk sampai besok siang.

"Duh, yang mana ya?" Amanda kebingungan memilih sampai tak mendengar panggilan dari depan.

"Permisi! Bu Chandra!" panggil seorang lelaki. Amanda masih sibuk mencari diskonan lain sampai panggilan yang kedua.

"Permisi! Bu Chandra!"

"Eh! Iya! Sebentar, Pak!"

Amanda bergegas keluar dan begitu sampai di ambang pagar dia baru sadar belum memakai jilbab. Segera berganti haluan, meraih jaket yang ada di rak gantung, merapatkan tudung. Amanda memasang senyum ramah tamah sambil membuka pintu pagar.

"Iya? Ada apa ya, Pak Andi?"

Pak Andi memiliki posisi sebagai humas di Kampung Gunung Asri. Lelaki pendek yang giginya rumpang tengah itu memonopoli usaha gas dan galon satu kampung, jadi tak heran dia hafal siapa saja penghuni Kampung Gunung Asri mulai dari RT 1 sampai RT 11. Tangan kanan Pak Andi menyerahkan satu plastik putih besar.

"Ini, ada syukuran dari Pak Shaheedi."

"Oh, syukuran apa ya?"

"Katanya ulang tahun pernikahan yang ke empat puluh."

"Oh, gitu. Nitip salam, terima kasih banyak bingkisannya."

"Iya, sama-sama, mbak. Mari."

"Iya, mari, Pak. Terima kasih." Mereka berdua saling membungkuk salam. Pak Andi melanjutkan menghantar makanan ke tetangga yang lain. Amanda menutup pintu dan mengintip bingkisan yang ia dapat. Nasi gurih lengkap dengan satu dada ayam goreng besar, lalapan, dan pisang ambon. Satu dus kecil berisi cemilan sosis basah Solo, kue mandarin, puding santan, dan kacang oven.

Amanda berlenggak-lenggok masuk ke dalam rumah, tetapi terdiam ketika mendengar deru mesin motor berhenti di depan rumahnya. Amanda mendongak ke depan. Tidak ada siapapun. Terdengar panggilan.

"Cepat Food!"

Alis Amanda mengernyit. Ia merasa belum memesan apapun. Penasaran, dengan langkah berjinjit ia mengintip dari celah pagar rumah yang tak tertutup lembaran polikarbonat warna biru tua.

Benar saja, ada satu kurir Cepat Food yang parkir di depan rumah Pak Mulyo. Antara si kurir dan Bu Mulyo tampak menggenggam plastik putih. Amanda buru-buru menunduk.

I-ro-nis! gemas Amanda dalam hati. Amanda kembali mengintip dan melihat si kurir tadi sudah tancap gas.

Hati Amanda membuncah! Hari ini ia mendapatkan satu hal yang dapat dijadikan bahan gosip untuk menemani makan malam bersama suaminya. Setelah memeriksa situasi sekali lagi, Amanda masuk ke dalam rumah dengan senyum penuh makna.

***

Begitu Chandra merebahkan diri di atas kasur palembang warna biru yang menjadi tempat favorit mereka bersantai, Amanda merapatkan pundak mereka, mulutnya tak sabar melontarkan apa yang mengganjal dalam hati sejak tadi siang.

"Beb, tahu enggak? Tadi siang Paduka Yang Mulyo pesen delivery food, lo!"

"Masak?" tanya Chandra dengan nada datar, mata tak lepas dari layar ponsel pintar.

"Iya! Tadi kan dapet bingkisan dari Pak Shaheedi- Oh ya, nasi berkatnya di meja makan. Terus ga lama ada Cepat Food dateng."

"Hmmm, tumben banget? lagi males apa sakit mungkin?"

"Kurang tahu juga sih. Tapi ironis banget enggak sih, Beb?"

"Ya, namanya orang kan macem-macem. Sabar aja. BTW4 kamu kapan masuk kantornya?"

"Harusnya minggu depan, soalnya kata Mbak Taniya awal desember renovasinya sudah selesai."

"Oh, yaudah. Berarti harus siapin rute. Kamu enggak apa-apa mulai kerja dari kantor?"

"Ya, enggak apa-apa. Memang kenapa?"

"Jangan kecapekan aja."

Amanda menyeringai. Ia bangkit mengambil jatah bingkisan serta seember sayap ayam goreng yang dipesannya sore tadi sebelum Chandra pulang. Pukul sembilan malam Chandra berangkat untuk mengisi kewajiban ronda. Pukul setengah satu dini hari dia pulang, mendapati istrinya yang masih terjaga, rebahan di atas ranjang sambil membaca novel daring.

"Tadi bapak-bapak ngobrolin soal Pak Mulyo." Mata Amanda melebar dan fokusnya kini teralihkan ke wajah mengantuk Chandra.

"Ada apa emangnya?"

"Kayakanya yang tadi kamu lihat itu bukan Pak Mulyo memesan makanan, tapi nganter pesenan. Tadi Mas Ghoffar cerita, minggu lalu anaknya Pak Mulyo yang namanya Priscilla itu minta diajari cara pakai aplikasi Cepat Food dan cara jualannya."

"Oh. Beliau jualan apa?"

"Kayaknya rice box kekinian gitu."

"Kok ibu-ibu enggak cerita apa-apa kalau Paduka Yang Mulyo buka warung makan online, ya?" Chandra mengangkat bahu.

"Enggak tahu juga kalau itu. Tapi tadi Pak Haryono bilang kalau cucunya punya penyakit langka dan harus beberapa kali operasi."

"Oh, jadi dia nyari tambahan duit?"

"Kayaknya, sih. Enggak yakin juga."

Amanda menyerongkan sudut bibir kiri, menanggapi informasi yang cuma setengah-setengah didapatnya. Setelah cuci muka dan gosok gigi Chandra pamit tidur. Amanda pun menutup ponsel dan menyusul suaminya ke alam mimpi.

Hari pun bergulir dengan rutinitas seperti biasa. Amanda kembali bekerja di kantor setelah sekitar tiga bulan WFH karena tempat kerjanya tengah direnovasi. Lokasinya tak jauh dari Kampung Gunung Asri.

Amanda bekerja sebagai admin toko perabot rumah tangga online. Pekerjaannya bisa dibilang santai, dia hanya perlu memeriksa pesanan masuk, mengambil barang, mencatat logistik, lalu membungkus pesanan. Pada hari Sabtu dan Minggu jatah cuti mereka digilir. Minggu pertama WFO (Work From Office / Bekerja dari Kantor) Amanda kebagian jatah masuk akhir pekan bersama satu rekan kerja yang lain.

"Laper banget, tapi nanggung," keluh Amanda usai membungkus pesanan terakhir di hari Minggu yang kelabu.

"Haha, iya. Satu setengah jam lagi sudah pulang juga," balas rekan kerja Amanda, Dewi.

"Biasanya ada abang-abang batagor apa cilok lewat, kok ga keliatan, ya?"

"Pesan online aja yang murah-murah gitu."

"Mbak Dewi mau?"

"Boleh!"

"Oke!"

Penuh semangat Amanda membuka aplikasi daring Cepat Food. Ada pemberitahuan rekomendasi tempat makan baru. Satu warung korea kekinian, satu roti gembong, dan satu home made rice box. Punggung Amanda tegak saat membaca salah satu warung baru yang buka tersebut. Priscilla Kitchen.

Seketika ia ingat cerita Chandra tentang Bu Mulyo yang membuka warung makan online yang menyajikan rice box untuk tambahan biaya pengobatan cucunya. Amanda menyentuh nama itu. Terdapat tiga menu rice box. Telur sosis, katsu ayam saus teriyaki, dan ceker rica-rica. Semua sudah termasuk satu air minum dalam kemasan. Harganya pun cukup terjangkau.

"Udah tahu mau makan apa?" Pertanyaan Dewi membuat Amanda sedikit melonjak.

"Eh, anu. Ini ada rice box baru mbak, mau coba?"

"Rice box? Enggak, ah. Kalau rice box tu bagian atasnya gampang kering gitu, keras! Kecuali kalau disiram saus."

"Ini ada yang saus teriyaki."

"Owh, boleh deh kalau gitu."

"Bener, mau?"

"Iya, enggak apa-apa."

Dua puluh menit kemudian pesanan mereka datang. Sebuah motor bebek merah yang terlihat familiar membuat Amanda ragu. Kurir tanpa jaket seragam mengangkat kaca helm, memanggil dengan suara agak parau nan lemah.

"Permisi, Cepat Food."

Oh. Amanda mengenal suara itu. Meski hanya siluet, ia juga mengenal perawakan si kurir, kerangka badan atas yang lebar, tinggi, kurus, sedikit membungkuk. Amanda dengan sedikit ragu beranjak dari tempat duduk tak lupa mengambil dompet. Seperti ada lem yang mengganjal langkah Amanda untuk mendekat. Ia berharap bukan orang itu yang mengantar.

"Loh," kaget si kurir begitu mengetahui siapa pemesannya.

"Mbak kerja di sini?" Benar apa yang diragukan Amanda. Suasananya berubah canggung.

"Eh, i-iya. Pak." Nama itu tertahan tak nyaman ibarat batu di kerongkongan Amanda.

Pak Mulyo mengangguk, tak tampak ekspresi apapun karena separuh wajahnya tertutup buff masker hitam. Lelaki itu menyerahkan pesanan.

"Sudah, ya mbak. Terima kasih." Hanya itu yang terucap kemudian dia pamit tanpa sempat Amanda menyelesaikan salamnya, "Iya. terima kasih ba ... nyak." Selesai. Pak Mulyo memacu motor tanpa menoleh ke arah Amanda lagi.

Setelah menyerahkan porsi milik Dewi, Amanda memeriksa paperbox coklat yang menjadi wadah makanannya. Tak ada tulisan apapun selain coretan katsu teriyaki di bagian atas. Ia membukanya.

Wangi saus teriyaki menyentil hidung Amanda, tak begitu semerbak tapi cukup menggugah selera. Tampilannya pun terlihat biasa. Selain katsu ayam saus teriyaki, terdapat sejumput kubis cincang di pojok. Dewi sudah menyuapkan dua sendok rice box ke dalam mulut.

"Enak?" tanya Amanda. Dewi mengangguk.

"Lumayan, ya rata-rata rice box gitu."

Amanda menekan ujung sendok plastik di atas tepung goreng, terdengar bunyi renyah, cekungan alat makan itu menusuk daging ayam tipis, menggali sampai ke dalam, lalu mengangkatnya dengan komposisi 60% nasi, 20% lauk, dan 10% saus. Amanda melahapnya pelan.

Enak. Lumrahnya makanan seorang ibu, sedikit kematangan, daging ayamnya tipis, hambar, bumbu tepungnya pun tak begitu terasa, tapi semua tertolong oleh legitnya saus teriyaki instan.

Amanda teringat Bu Mulyo yang gemar menyindirnya tidak bisa masak. Ia pun membalas dalam hati tak akan sudi pula makan masakannya. Namun, kini Amanda mengunyah sumpahnya sendiri, susah payah ia menelan apa yang disebut rasa malu, arogansi, pakewuh, dan harga diri.

Benar juga, hanya karena mereka membenci kita tanpa alasan, kita tidak perlu juga sampai melakukan hal yang sama. Manusia itu cepat atau lambat akan saling membutuhkan satu sama lain, sebenci apapun rasa yang terpendam, sejijik apapun hal yang telah mereka lakukan kepada kita.

Pantas Chandra sering mengatainya baperan. Amanda menyendok sisa makan siangnya. Mendung kelabu yang sempat menutup siang itu memudar, berganti siang terik pertanda mereka berdua tak perlu menerjang hujan di waktu pulang.

***

Pak Mulyo sampai di rumah bersamaan dengan Chandra yang baru pulang dari minimarket terdekat. Mereka saling bertegur sapa kemudian Bu Mulyo membuka pagar membawakan seplastik pesanan. Chandra pun berbasa-basi.

"Sabtu-sabtu pesanannya rame ya, Pak?"

"Iya, Mas. Alhamdulillah. Tadi ... Bu Chandra juga sempet pesen." Langkah Chandra berhenti.

"Oh, Amanda pesan juga?"

"Iya. Tadi nganter ke Jalan Mayapada belakang BNI itu. Enggak tahunya yang pesen Bu Chandra."

"Oh, iya emang kalau weekend gini memang saya larang buat masak. Mending beli di luar aja."

"Memang jarang masak di rumah mas? Apa enggak boros?" sela Bu Mulyo.

"Ya, lumayan sih, bu. Tapi Alhamdulillah masih cukup kok. Soalnya tahun lalu sempet keguguran dua kali karena kecapekan."

Bu Mulyo terkesiap. Perlahan beliau menunduk dengan mata membeliak dan mulut datar. Alisnya melengkung tajam ke atas. Selama ini ia berpikir bahwa Bu Chandra adalah milenial sombong pemalas karena jarang bersosialisasi, jarang masak, jarang bersih-bersih rumah ---terlihat dari sampah yang menumpuk di pojokan teras depan.

Bu Mulyo adalah pekerja keras dari kecil sehingga sisi malas Amanda itu tidak bisa diterima oleh sifat rajin dan disiplinnya. Namun, kini Bu Mulyo diam susah payah menghirup apa yang disebut rasa malu, arogansi, pakewuh, dan harga diri.

Chandra pamit masuk, menyisakan pasutri paruh baya itu dalam kekalutan yang disembunyikan. Pak Mulyo cuma bisa mengembuskan napas, mengambil plastik yang digenggam Bu Mulyo, lalu memeriksa lokasi pemesan.

Mendung kelabu yang sempat menutup siang itu memudar, berganti siang terik pertanda Pak Mulyo tak perlu menerjang hujan di masa pengantaran.

Esoknya hari bergulir seperti biasa. Pasangan Chandra Veriawan dan Mulyo Raharjo masih belum mau bertegur sapa, gosip demi gosip pun silih berganti setiap detiknya, melupakan apa yang menjadi perbincangan dan antipati kemarin malam.

Tamat.

Glossary

1 Lak yo po ra stress to? = Apa tidak stress? Bahasa Jawa.

2 Mokas = Motor bekas

3 Bigos = Biang Gosip. Seseorang gemar bergosip.

4 BTW = By The Way. Omong-omong, Partikel untuk menyela dalam percakapan atau mengalihkan pembicaraan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi