Seorang wanita berpakaian gelap duduk di kursi di depan sebuah makam. Wanita itu mengenakan jubah kelabu, gaun panjangnya berwarna abu-abu tua, dan topi bowler hitam menutupi kepalanya. Ia membuka sebuah meja lipat dan meletakkannya di sebelah kursinya. Satu wadah kaca berisi bunga-bunga kering, botol kaca berisi air, dan sebuah gelas kaca ditatanya di atas meja itu. Si wanita mengambil beberapa butir bunga dan menjatuhkannya dengan lembut ke dalam gelas.
“Rosela selalu mengingatkanku kepadamu, Rossi,” ia berkata seraya menuangkan air ke dalam gelas. “Warna merah cantiknya selalu membuatku rindu.”
Wanita itu mengamati bunga-bunga rosela mulai mengeluarkan warnanya, mengubah air yang bening dan suci menjadi merah seperti anggur. Ia hanya berdiam diri di sana selama beberapa saat, membiarkan warna dari rosela mengambil alih sepenuhnya kehidupan di dalam gelas.
Ia meraih gelas itu, lalu menyesapnya sedikit. “Seperti yang kuingat. Seperti aromamu bertahun-tahun lalu.” Wanita itu tersenyum, warna dari rosela meninggalkan noda di bibirnya. “Aku hampir bisa merasakan dirimu, Rossi.”
Wanita itu bersandar. Ia menatap batu nisan di hadapannya. Kemudian tersenyum.
“Rosela selalu mengingatkanku kepadamu,” ujarnya lagi. Ia mencecap. “Rasanya hampir sama seperti ciumanmu di bibirku, merahnya membuatku rindu akan senyum di bibirmu.” Ada sinar teduh di kedua mata wanita itu. “Dan rasa darahmu di lidahku.”