Aku benar-benar tertegun memandang keindahannya. Seperti keindahan Hawa, makhluk manis yang diciptakan Tuhan dari tulang rusuk Adam. Sejenak aku menikmati moment itu.
Moment ketika angin bertiup kencang hingga memburaikan helaian rambut hitam panjang seorang gadis yang duduk di bangku sebelah kiri depanku. Tepat ketika aku menoleh ke meja guru pasti terhalang oleh bagian sisi manis wajahnya. Hingga beberapa saat lamanya aku melupakan soal-soal di papan tulis yang harus aku kerjakan.
Tiba-tiba mendung hitam berarak menyelimuti matahari. Suasana kelasku yang hening pun menjadi redup. Sementara angin masih saja menerobos masuk dan mempermainkan helaian rambut hitam panjang gadis itu.
Mendung hitam akhirnya tak kuasa menahan rindunya pada tanah. Satu persatu butiran air hujan turun. Semakin lama semakin deras dan diiringi embusan angin yang membawa sebagian butiran air hujan itu masuk melalui jendela di samping meja guru.
Bu Erma, guru biologi sekaligus wali kelasku yang sedang duduk menunggui kami, harus berdiri dan menutup semua jendela depan. Sehingga suasana kelas bagian depan, terutama papan tulis menjadi agak gelap. Setelah itu aku melihat Bu Erma berjalan mendekati Alex yang duduk di bangku dekat dengan sakelar lampu.
"Alex, tolong nyalakan lampu depan, biar teman-temanmu dapat membaca dan mengerjakan soal dengan nyaman," pinta Bu Erma dengan nada pelan pada Alex.
"Kenapa juga harus ditutup semua jendela itu, Bu?" tanya Alex ketika lampu telah menyala.
"Kasihan Aninta. Dari tadi rambut panjangnya terburai oleh angin. Ibu khawatir wajah cantiknya juga ikut luruh terbawa angin," jawab Bu Erma memecah keheningan kelas. Sontak semua siswa bersorak saat mendengar joke segar dari Bu Erma.
Aninta pun tak kuasa menyembunyikan rasa malunya. Dia berusaha membuang mukanya yang telah merah padam. Aninta menoleh ke arahku di saat aku masih memperhatikannya. Sejenak aku beradu pandang dengannya. Dia tersenyum manis, tapi cepat-cepat menutup mulut dengan tangannya.
"Ibu salah! Aninta ternyata masih tetap cantik meski angin kencang menyapu wajahnya. Barusan aku melihatnya, Bu," kataku di sambut sorak-sorai teman-teman. Aku kembali tersenyum padanya saat melihat Aninta berusaha mencuri pandang lagi ke arahku.
Aninta ... dia murid baru di kelasku. Baru dua minggu duduk di bangku itu dan mengikuti pelajaran di semester dua. Saat ini kami baru duduk di bangku kelas sebelas SMA Delayota Jogja. Semenjak peristiwa itu aku sering menggodanya. Dan sejak saat itu aku menjadi dekat dengan Aninta.