Senja di akhir pekan ....
Lembayung jingga bertahta di atas cakrawala kota menyisakan senyum Sang yang perlahan beranjak menuju peraduannya. Kepak sayap siluet burung bangau dan awan kelabu pun berarak mengelilinginya.
Sementara lidah api Sang masih memancarkan keagungan Sang Raja. Namun aku melihat dia begitu lelah setelah seharian memanggang tubuhnya di atas awan.
Tak terhitung waktu Sang melakukan itu untuk menerangi perjalanan ragaku. Hingga di batas cakrawala Sang selalu mengikat rindu. Sorot matanya sendu memandangku yang sedang berdiri terpaku menatapnya sambil menikmati embusan sayap sang bayu.
Aku merasakan kegelisahan Sang. Dia kemudian berkata padaku, "Aku ada untukmu tapi kau selalu saja tak peduli. Aku ingin bercengkerama denganmu tapi kau tiada waktu untukku. Hanya senja di akhir pekan ini aku merasa ada untukmu. Karena kau begitu lembut memandangku meski hanya dalam diam dan sebentar."
Dibalik semburat awan kelabu Sang masih memancarkan keagungan dan keindahan lidah apinya. Meski aku melihat cahayanya sedikit demi sedikit mulai meredup. Hingga gelisah itu semakin merantai hati Sang.
Namun saat itu aku seperti tidak peduli padanya. Aku hanya merasa nyaman saat memandang Sang. Keindahannya menghapus rasa letihku. Keagungannya mengembalikan semangatku setelah sepekan tergerus ego dan keangkuhanku.
Aku terus saja memandang Sang dan masih menikmati keindahan cahaya senjanya dalam diam. Namun aku merasa menyakiti Sang di saat dia butuh sebuah pengakuan dariku.
Bukannya aku tidak peduli pada Sang, tapi aku tidak kuasa bila terus bersamanya. Aku merasa terbakar oleh Sang di sepanjang perjalanannya meski aku benar-benar membutuhkan Sang. Sehingga aku hanya bisa memandangnya dalam keteduhan. Seperti saat senja di akhir pekan ini.
Aku mendengar Sang berkata lagi, "Aku ingin kau memandangku dan menikmati keindahan cahayaku di sepanjang perjalananku. Jika tidak, setidaknya di setiap senja di akhir hari untuk menghapus rasa gelisahku. Namun, itu tidak kau lakukan hingga datang Dewi dalam setiap mimpiku." Sejenak Sang diam. Aku memperhatikan cahaya senjanya yang semakin meredup.
"Dalam mimpiku kau bersama Dewi menikmati dinginnya embusan angin malam," lanjut Sang kemudian, "Anganmu menari dan jiwamu berkelana bersama pantulan cahaya di wajahnya. Kenapa tidak kau lakukan itu bersamaku juga?"
Aku hanya bisa diam dan masih memandang Sang. Ingin rasanya aku memegang lembut lidah api cahayanya. Ingin rasanya aku menahan dan menanamnya di palung hatiku yang paling dalam. Agar Sang ikut merasa saat aku menari dan berkelana di angkasa bersama Dewi.
Tetapi tidak mungkin aku melakukan itu semua karena keberadaan Sang akan meniadakan Dewi. Sedangkan cahaya lidah apinya akan menghapus gelapnya malam di angkasa.
Senja di akhir pekan telah berlalu. Cahaya api Sang pun sirna ditelan cakrawala. Dan lembayung jingga di atas kota berganti dengan gelapnya malam.
Selamat datang, Dewi ....
Saatnya jiwaku berkelana di angkasa bersama pantulan cahaya di wajahmu ....
Selamat tidur, Sang ....
Nikmatilah mimpimu sebelum esok engkau berkelana menemani perjalanan ragaku kembali. Dan senja di akhir pekan selalu merindukanmu, bersamaku dalam diam ...