Entah mengapa malam ini aku sulit sekali untuk tidur, ku lihat jam dinding di kamar kosku menunjukan pukul 23.24 dan aku masih berguling-guling mencari posisi yang pas untuk tidur, malam itu mataku sulit terpejam.
“Aku gak bisa tidur, kamu sudah tidur?” aku mengirim pesan singkat kepada Hilwa, ku tunggu tidak ada jawaban mungkin dia sudah tidur.
Mataku sudah mulai berat entah jam berapa aku mulai tertidur lelap, aku terbangun di pagi hari dengan mata yang masih sangat mengantuk, aku melihat ponselku tak ada pesan yang masuk, aku mengikat tali sepatuku berjalan menelusuri gang kecil untuk samapai di kampusku, tak terlalu jauh memang, jarak antara kampus dan tempat kosku dalam waktu lima menit saja sudah sampai.
“Aku mau ketemu di tempat biasa,” Hilwa mengirim pesan singkat kepadaku.
Aku langsung paham tempat yang Hilwa maksud, aku langsung menemuinya, kulihat dari kejauhan dia sedang duduk di taman depan gedung serba guna. Aku langsung mempercepat langkahku agar dia tak menunggu lama.
“Ada apa?”
Hilwa menarik napas panjang berkali-kali, kini matanya menatap tajam mataku, tergambar raut kesedihan di wajahnya.
“Dateng ya,” menyodorkan sesuatu, aku meraihnya pelan.
“Maaf aku tak bisa menetap seperti yang kau harapkan, harusnya aku tak pernah singgah.”
Aku hanya bisa terdiam, memandangi undangan pernikahan yang ada di genggamanku. Sungguh sebuah akhir yang tak pernah aku duga, empat tahun harusnya aku bisa membuatnya menetap, tapi selama ini ternyata aku yang membuatnya hanya sekedar singgah.
Aku tidak pernah memberi kepastian, aku hanya ingin memilikinya, tapi tidak pernah benar-benar berjuang untuk mendapatkannya. Mungkin sampai kapan pun hatinya memang milikku, tapi orang lain yang mendapatkannya.
“Maaf aku hanya bisa membuatmu singgah,” ucapku lirih, aku memeluknya erat-erat, aku dipaksa keadaan untuk melepaskannya.
Hahaha