Nona

Hari sudah mulai gelap, aku dan ketiga temanku pun tidak dapat melanjutkan perjalanan, kami masih ada di tengah-tengah hutan, hujan semakin deras, ditambah angin kencang ditemani gemuruh petir.

Kami memutuskan mencari bantuan, siapa tahu di dekat sini ada pemukiman. Di tengah kebingungan, tiba-tiba seorang perempuan tua yang menggendong kayu bakar menghampiri kami, entah dari mana asalnya.

"Mau kemana?" tanya perempuan tua itu dengan suara berat.

"Kita mau ke dusun Bangkalhuni, apa nenek tahu?" tanyaku.

Perempuan tua itu hanya mengangguk.

"Tempatnya masih jauh, masih sekitar 4 jam dari sini, kalau tidak keberatan, kalian bisa singgah di rumah saya menunggu hujan reda."

Kami sepakat untuk menerima tawaran perempuan tua itu, kami pun tidak bisa melanjutkan perjalanan di tengah badai seperti ini.

Perempuan tua itu tinggal bersama suami dan cucu perempuannya. Kami dijamu dengan makanan yang cukup mewah, ada sop daging, sayuran dan beberapa cemilan. Aku sedikit aneh darimana mereka menemukan bahan makanan ini, masalahnya ini di tengah hutan, tapi ya sudahlah untuk apa aku bertanya seperti itu, batinku.

Perempuan tua itu bercerita, tempat ini dulunya adalah pemukiman warga, tetapi warga lain telah pindah dan menetap di kota, hanya tersisa keluarga perempuan tua itu. Rumah-rumah lain yang kami lewati tadi ternyata tidak berpenghuni.

Rumah perempuan tua itu cukup besar, walaupun rumah panggung, rumah itu memliki empat kamar tidur, satu ruang keluarga dan dapur.

Hujan semakin deras, perempuan tua itu menawarkan kami untuk menginap. Aku dan Adit tidur di ruang keluarga, Ayu dan Widi tidur di kamar yang kosong.

Malam semakin larut, udara semakin dingin menusuk sampai kulit. Aku terbangun melihat jam di ponselku, sudah jam 03.15 aku kebelet pipis. Aneh Adit tak ada di sampingku, mungkin dia ke kamar mandi juga.

Saat diluar aku mendengar suara berisik, seperti sesuatu yang di pukul-pukul, aku menghampiri sumber suara tersebut, disebuah gubuk yang terbuat dari anyaman bambu, aku mengintip dari celah-celah kecil, bau busuk mulai menusuk hidungku.

Mataku mulai mencari sekeliling, perempuat tua itu bersama suaminya, tangannya memegang golok dia sedang memotong sesuatu, mataku terus mencari, hingga tertuju pada tubuh tanpa kepala yang tergeletak di tanah. Bajunya berlumuran darah, tangan sebelah kirinya putus, tak bisa aku kenali, kecuali jam tangan di lengan kanannya, itu jam tangan Adit.

"Adiiit...," air mata langsung jatuh, aku menutup mulutku agar tak bersuara.

Di sudut ruangan itu terdapat tumpukan tulang belulang dan tengkorak kepala manusia. Aku terus memperhatikan perempuan tua itu, bibirnya tersenyum kegirangan.

"Persediaan makanan sudah mulai habis, untungnya ada mereka kita tidak akan kelaparan pak," ucap perempuan tua itu.

Aku kaget bukan main, perempuan tua itu sedang memotong-motong kecil tangan manusia, itu pasti tangan Adit. Seseorang memegang tanganku, aku membalikan tubuhku perlahan, seorang anak kecil, cucu dari perempuan tua itu.

"Pergi," ucap anak kecil itu.

"Nona tidak mau Kakak bernasib sama seperti teman Kakak,"

"Cepet pergi Kak!" ucap anak kecil itu lagi.

6 disukai 2 komentar 5.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Seram😰😰
Horor nya dapet sekali, terus berkarya kak Semangat
Saran Flash Fiction