Kutatap langit gelap di atas sana. Tanpa bintang. Perlahan, kuturunkan kepala menatap air sungai di bawahku. Gelap dan pasti sangat dingin.
Aku hanya perlu menjatuhkan diri ke dasar sungai dan membiarkan tubuhku membusuk di sana. Itu jauh lebih baik daripada harus menjalani hidup menanggung aib seumur hidup.
Kujambak rambutku frustrasi. Tiba-tiba saja ingatan itu berputar kembali di otakku. Mereka – sekelompok pria mabuk yang tak kukenal – mencegatku dan Nuri di tengah jalan sepi saat kami sedang dalam perjalanan pulang. Lalu mereka...
Aku memukul-mukul kepala lalu berteriak parau menghadap sungai.
Aku tidak akan sanggup menghadapi kenyataan.
Ini adalah jalan terbaik. Mengubur aib itu dengan nyawaku.
“Nessa! Nessa! Apa yang kamu lakukan?!” teriak sebuah suara bariton sambil menarik tanganku saat aku bersiap untuk melompat.
Mataku membelalak. Napasku terengah-engah.
“Desta?”
“Aku mengikutimu dari rumah. Aku juga udah dengar ceritamu dari Nuri,” katanya sambil mengulurkan tangannya ke arahku. Aku bergeming.
“Tinggalin aku!”
“Nessa...,”
“Aku nggak mau hidup lagi. Nggak ada gunanya aku hidup!” erangku.
“Bunuh diri bukan jalan keluar. Berpikir panjanglah seperti Nuri.”
“...”
“Aku cinta sama kamu, Nessa. Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk mengatakannya. Tapi, aku mau kamu tahu, di dunia ini masih ada orang yang sangat mencintaimu dan bersedia menerimamu apa adanya. Dan… itu adalah aku.”