Disukai
0
Dilihat
1384
TETANGGA BIKIN KESAL
Komedi


 Kamis, Menjelang Shubuh

“Uhuk! Uhuk!” Suara batuk terdengar lagi dari arah sebelah kiri gue. Mau maksain bangun tapi mata lengket banget buat dibuka. Duh, baru aja bisa tidur, tolong gue dong buat merem sebentar lagi please…”, permintaan yang sangat dalam datang dari otak menuju kedua netra gue. Sejenak menghela napas sambil tetap diam. Namun hati ini menolak.

Arghh! kepala ini rasanya masih cenat cenut akibat mata yang gak bisa terpejam sejak tengah malam tadi. Insomnia gue kambuh lagi sepertinya, padahal udah rutin minum obat hypertensi. Awalnya gara-gara suara berisik yang ditimbulkan tetangga sebelah. Ah, lagi-lagi ulah tetangga yang selalu bikin kesal. Sebenarnya sejak sore tadi sudah terdengar suara gaduh martil, palu dan entah apalagi yang dipakai tukang-tukang itu untuk membobol tembok yang menutupi rumah itu. Arahnya dari tetangga sebelah kiri rumah. Sebelum lanjut cerita sebaiknya gue kasih gambaran lokasi rumah dulu deh.

Posisi rumah gue ini tepat berada di pojok jalan. Kalo diibaratkan seperti seperti gambar segitiga siku-siku, nah rumah gue itu posisinya pas dipojok siku-sikunya. Jadi menghadap ke arah utara, searah dengan jalan. Sementara di sebelah kiri jalan terusan rumah gue itu terdapat saluran air yang memanjang melewati kawasan lingkungan warga Kelurahan Nusa Indah, lebarnya kurang lebih dua meter. Saluran air ini memisahkan dua wilayah RT yang berbeda yaitu RT 02 dan RT 07. Kebetulan wilayah rumah gue berada di lingkungan RT 02 dan tetangga yang lagi bongkar tembok itu berada di lingkungan RT 07.

“Dag! Dug! Dag! Dug!” suara berisik yang bikin jantung naik turun terus terdengar sampai adzan isya berkumandang dan masih belum berhenti. Mau keluar untuk memeriksa rasanya malas sekali karena sudah malam. Gue pikir ini pasti kerjaan tukang-tukang sebelah yang lagi bangun rumah. Sebenarnya sudah sebulan gue merasa terganggu dengan suara tukang di sebelah yang memang sedang dalam proses pembuatan rumah.

Suara mesin potong, Ngeng! Ngeeng! Ngeeeng! Itu sangat berisik sekali. Namun lagi-lagi gue berpikir, oh iya lah namanya bangun rumah pasti akan begini. Jadi gue berusaha untuk memaafkan . Setiap kali gue cerita ke pak suami tentang kegaduhan suara tersebut, dia cuma diam dan kalem menanggapi.

“Udah yang gak apa-apa… tukang-tukang itu lagi pada kerja, asal gak ganggu ke rumah kita” selalu gitu jawabnya. Jelas aja dia gak ngerasa terganggu, wong seharian posisinya di kantor, sementara yang di rumah siapa? pikir gue sambil nahan kesal.

Rasa sebal dan kesal yang memuncak membuat gue penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan oleh para tukang itu sampai malam begini. Karena penasaran gue naik ke lantai tiga dan melihat dari sana. Beruntung rumah gue memiliki rooftop di lantai tiga, dengan bebas gue bisa melihat segala sesuatu yang terjadi dibawahnya tanpa harus mengganggu orang lain. Ternyata mereka sedang membangun rumah, lebih tepatnya kontrakan, kira-kira sebanyak delapan pintu.

Sebenarnya gue dan beberapa warga RT 02 juga gak ada yang kenal dengan tetangga di sebelah. Kami juga belum pernah bertemu dengan tetangga sebelah karena memang posisi tembok yang mengelilingi komplek tersebut. Jangankan nama, melihat wajahnya saja belum pernah. Selama ini gue gak pernah peduli dengan lingkungan seberang, karena gue bukan tetangga kepo yang mau tahu urusan orang, lagipula sudah beda RT.

Tapi setelah gue perhatikan ternyata dibalik tembok yang sedang dibobol itu terdapat satu lingkungan komplek beberapa keluarga besar. Terlihat bahwa akses jalan keluar masuk dari lingkungan komplek itu terdapat dua titik dan semuanya mengarah ke lingkungan RT 07. Nah, terus ngapain juga mereka mencoba bongkar tembok belakang yang tembus ke lingkungan warga RT 02, dimana jelas-jelas terdapat fasilitas umum saluran air diatasnya.

Guna Saluran air itu sendiri adalah untuk melancarkan jalan air dan mencegah terjadinya banjir. Jadi sebaiknya tidak ada bangunan apapun di atas saluran air. Namun masih ada saja beberapa warga yang membangun jembatan di atasnya, bahkan sampai ada yang membuat lahan parkir untruk disewakan. Hasilnya setiap kali terjadi hujan besar, rumahnya sudah pasti masuk air.

Di dalam komplek tersebut terdapat fasilitas seperti mushola, beberapa rumah besar tertata, semua sudah berdiri kokoh dengan jalanan lebar yang masuk mobil dengan leluasa dan terakhir beberapa kontrakan yang saat ini sepertinya masih dalam proses finishing. Posisinya berada di pojok lokasi komplek tersebut dan yang tepat berada dibalik tembok samping rumah.

Kalau dari cerita warga setempat yang memang katanya tahu dan kenal, sebut saja Tante Mirna tetangga yang rumahnya persis di depan rumah gue. Dia seorang janda dengan tiga orang anak, suaminya sudah meninggal tapi tak satupun dari anak-anaknya tinggal bersama Tante Mirna. Usianya mungkin sudah sekitar 65 tahun, tapi dia masih kuat untuk bersih-bersih. Rumahnya terdiri dari dua lantai dan sangat luas, ruang keluarganya saja selebar lapangan bola. Walaupun dia hidup sendiri namun isi rumahnya rapi dan bersih sekali. Pernah sekali waktu gue tanya tentang hal itu.

“Tante, siapa nih yang bersihin rumah?” tanya gue penasaran sambil celingak celinguk mencari asisten rumah tangganya atau bahasa kerennya ART.

“Ya tante dong…”, jawabnya.

“Serius Tan?”, gue setengah gak percaya.

“Iya, memang kenapa Mbak?”, dia yang balik bingung liatin gue.

“Ya ampun Tante, rumah seluas ini? Emang Tante gak cape apa ngerjain semua sendirian?” tanya gue masih gak percaya pada awalnya. Sementara gue aja kalo lagi beberes rumah yang berlantai tiga mirip ruko ini, capeknya minta ampun. Nah ini, rumah dia dua atau bahkan tiga kali lipat besarnya dari rumah gue, apa gak keteteran ya? Batin gue masih tetap gak percaya.

“Aku tuh dari dulu memang suka bersih-bersih Mba Mila, aku gak suka kalo rumah kotor dan berantakan. Jadi ya sudah biasa ngerjain semua sendiri” ucapnya santai sambil senyum.

“Ya ampun Tan, hebat banget udah kaya hobby yang mendarah daging ya” ucapku terperangah.

Tante Mirna tertawa lebar. Dia paling suka kalo gue udah berhenti di depan pagar rumahnya hanya sekedar untuk menyapa sebentar setelah pulang mengantar anak-anak dari sekolah. Ujung-ujungnya dia suka bawain gue cemilan, buah-buahan atau minuman yang ada di rumahnya. Katanya sih itu kiriman dari anak-anaknya yang banyak banget dan dia kelebihan karena gak ada orang lain yang bisa diajak makan bareng. Maklum karena sendiri katanya.

Tapi jujur gue salut sama Tante Mirna, udah setua itu berani hidup sendiri dalam bangunan rumah yang besar dan luas. Mungkin kalo gue akan berpikir dua kali hehehe. Nyokap gue sendiri aja hampir tiap hari datang ke rumah. Iseng dia cari teman ngobrol, padahal masih ada bokap. Cuma memang beda kali ya kalo sesama cewek, ngobrolnya lebih seru dan kadang bikin ngakak.  

Nah dari Tante Mirna inilah gue dapat info kalau ternyata yang tinggal di sebelah kiri rumah gue itu terdiri dari beberapa keluarga. Jadi satu keluarga besar yang punya beberapa anak. Anak-anaknya itu dapat warisan dari orang tuanya dan mereka membangun rumah didalamnya. Jadilah gue sebut itu komplek keluarga.

Yang jadi permasalahan adalah, salah satu anak dari pemilik tanah tersebut membangun tanah warisannya untuk bisnis yaitu kontrakan delapan pintu dan ternyata tidak ada akses keluar masuk langsung. Posisi bangunan kontrakan itu pun berada paling belakang dari wilayah komplek keluarga tersebut.  Kok bisa sampai detail? Ya iyalah, kan gue melihat dari atas waktu ngecek kondisi sebelah.

Ok, balik lagi ke kisah gue, ternyata memasuki usia kepala empat ini banyak banget bonus yang gue dapat. Mulai dari insomnia, gangguan sulit tidur jika sudah lewat pukul sepuluh malam. Pikiran yang kadang suka ngelantur kemana-mana kalo lagi pusing. Hal yang terjadi adalah tekanan darah gue cenderung naik, biasanya kalau anak-anak mulai susah untuk disuruh belajar padahal ujian tinggal beberapa hari lagi. Anak sekarang memang berbeda dengan anak zaman dulu.

Kalau ingat waktu masih zaman sekolah, gue gak pernah bikin nyokap sampai teriak nyuruh untuk belajar. Dengan kesadaran penuh dan konsentrasi yang tinggi, gue belajar sendiri mulai dari pukul 19.00 Wib sampai pukul 21.00 Wib. Setelah itu beres-beres buku yang akan dibawa ke sekolah besok lalu pergi tidur. Mau nonton televisi juga males, soalnya acaranya itu pasti “Dunia Dalam Berita”. Buat anak-anak seusia gue di zaman itu, menonton “Dunia Dalam Berita” lumayan membosankan. Jadi lebih baik gue langsung tidur.

Nah, satu lagi tentang fisik badan gue yang semakin hari semakin terasa berat, padahal tiap hari udah workout. Gue sendiri gak tahu di mana letak kesalahannya, kalo secara logika gue kan udah olahraga, rutin lagi setiap hari sekitar 30 menit. Cuma memang di hari ketiga, gue kadang suka absen dengan berbagai alasan klise. Maksud hati mau olahraga sore, tapi nanggung magrib. Setelah lewat maghrib, suami tersayang sudah tiba di depan pintu pagar. Ini sih alamat harus segera menyiapkan dan menemani dia makan malam. Gak bisa enggak, bisa ngambek kalo gak disegerakan. Buat urusan perut nomor satu, lewat sedikit sakit mag nya pasti kumat. Sebagai istri yang baik ya harus begitu, ini sesuai ajaran nyokap gue.

“Pokoknya kalo suami udah pulang kerja, tinggalkan dulu aktivitas lain. Urus dulu semua keperluan dan kebutuhannya Mila”. Nah, ada gak yang seperti gue? hmm gue rasa ada ya. Kejadian begitu udah biasa buat gue, yang awalnya niat absen workout cuma sehari, sampe keenakan menjadi lima hari berturut-turut. Duh! untung gak pake Personal Trainer, kalo iya rugi banget deh gue hehehe.

Tiba-tiba suara batuk tadi terdengar lagi dan kali ini benar-benar membuyarkan pikiran gue yang entah udah kemana-mana jalannya tadi.

“Uhuk! Uhuk! Yang, yang”, duh… sepertinya kali ini gue bener-bener harus bangun.

Gue bergerak ke kiri dan segera menempelkan punggung tangan ke dahinya. Terasa hangat menjalar. Spontan gue bangun terduduk dan kembali memeriksa kondisinya untuk kedua kali lalu segera memberinya air minum hangat dari termos kecil di atas nakas. Kebiasaan gue memang selalu sedia air minum panas di termos kecil.

“Aku dengar kamu batuk dari semalam yang, minum obat batuk yang ada dulu ya? mau diurut juga badannya?”, nadaku sedikit khawatir sambil menyodorkan obat batuk herbal yang selalu tersedia sebagai pertolongan pertama di rumah. Di depan pak suami, istri harus kelihatan kuat seolah- olah sakitnya cuma hal biasa dan bisa segera sembuh.

“Iya, tenggorokan gak enak dan badanku juga ngilu semua dari semalam yang” jawabnya datar tanpa ekspresi.

“Di kantor ada yang lagi sakit?” tanyaku mencoba mencari tahu.

“Biasalah yang, cuaca lagi begini lagian tiga hari kemarin aku kan kehujanan terus” jawabnya mengingatkan.

“Iya juga sih, terus gimana kuat masuk kantor ndak? Kalo ndak, nanti aku anter ke dokter aja” ucapku menawarkan. Suami tipe yang susah kalo udah disuruh berobat.

“Iya yang, aku kayaknya butuh istirahat dan berobat” ucapnya lemas lalu bergerak bangun untuk membersihkan diri dan mengambil wudhu. Sayup-sayup terdengar suara adzan shubuh berkumandang. Tumben banget kali ini gak harus dibujuk atau diomeli dulu buat periksa ke dokter. Alhamdulillah deh batinku mengucap syukur.

Kamis, Pagi Hari

“Yang, habis anter anak-anak nanti langsung belanja aja, gak usah anter aku”, ucap pak suami.

“Loh, kamu memangnya kuat bawa motor?” tanyaku sambil menyiapkan sarapan. Kalo pagi hari, gue memang lebih memilih mengantar anak-anak naik motor, menghindari kemacetan yang super panjang.

“Insya Allah kuat yang, tadi udah minum obat. Kasian kamu nanti kalo mesti bolak-balik dan nungguin aku di Klinik. Kamu kan mesti masak buat anter makan anak-anak ke sekolah” jawabnya bijak sambil sarapan.

Alhamdulillah suami gue ini pengertian banget. Memperlihatkan rasa sayangnya itu gak pakai kata-kata tapi langsung perbuatan. Empat belas tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya, bisa dihitung pakai jari berapa kali dia berucap keras. Sisanya ya gitu, lembut dan pendiam. Suami gue adalah tipe yang lebih baik menghindari konflik daripada harus berseteru. Kalau dibandingkan dengan gue yang cerewet dan lebih suka menghadapi konflik, suami gue cenderung sebaliknya, diam dan menghindar kalo gak penting banget.

Dia lebih banyak mendengarkan sementara gue yang lebih banyak bicara. Kalo dipikir-pikir sebenarnya jadi pas kan? Hehehe… terus satu hal lagi yang bikin gue salut adalah, dia gak pernah bosan dengan cerewetnya gue. Justru kalo sehari gak denger ocehan gue, dia yang nyari. Anehkan? Tapi ya begitulah.

“Oke hati-hati, by the way thanks ya sayang… ucap gue sambil mengecup dahinya. Ini adalah kebiasaan kita dari dulu setiap pagi.

“Ade, kakak ayo segera turun, sarapan nak!”, terdengar suara langkah kaki berlarian bergegas turun.

“Papa, anter kakak gak?” tanya Rizka, anak kembar gue yang pertama.

“Kakak bareng ade sama mama ya, karena papa mau ke dokter dulu”, jawab papanya sambil tersenyum.

“Papa sakit ya?” tanya Rizki, anak kembar gue yang kedua dengan nada khawatir.

“Iya papamu lagi sakit nak”, jawab gue.

Anak-anak pun selesai sarapan dan kami semua segera berangkat ke masing-masing tujuan.

Selesai mengantar anak-anak, lanjut ke warung Mbok Jum untuk belanja harian. Gue memilih ikan Nila dan sayuran segar untuk dimasak nanti. Request suami minta dibuatkan Nila goreng dan sambal matah. Seperti biasa gue pulang lewat rumah Tante Mirna, tapi hari ini gue gak melihat dia. Ah, mungkin lagi bersih-bersih di dalam pikir gue. Sesampainya di depan rumah, kembali terdengar bunyi seperti kemarin.

“Dag! Dug! Dag! Dug!”, cuma kali ini ada yang aneh. Gue lihat tembok yang menutupi komplek keluarga itu mulai bolong dan terbuka lebar. Terlihat ada beberapa tukang yang sudah turun ke dalam saluran air yang berada di antara wilayah rumah mereka dan samping perbatasan rumah gue. Di atas saluran air itu terdapat jembatan yang terhubung dari salah satu rumah yang ada di komplek tersebut sampai ke perbatasan wilayah RT 02. Kabarnya rumah tersebut dihuni oleh kakak dari orang yang saat ini bertanggung jawab membongkar tembok sebelahnya. Ada kejadian yang kurang menyenangkan sewaktu mereka membangun jembatan penghubung tersebut.

Kejadiannya kira-kira dua tahun yang lalu sewaktu gue baru resign dari pekerjaan. Sama seperti sekarang, kakaknya membangun kontrakan yang kebetulan tanahnya memang berhadapan langsung ke saluran air. Jadi mereka membangun jembatan penghubung sebagai akses keluar masuk rumah inti dan yang terletak di samping bangunan kontrakan. Masalahnya mereka membangun jembatan tersebut tanpa ada permisi dengan kami yang memang secara lokasi paling dekat dengan jembatan tersebut. Tanpa izin, semua tukang yang bekerja main hajar membongkar pinggiran tembok yang menutupi badan jalan di atas turap saluran air.

Sementara tembok tersebut adalah hasil karya tukang-tukang yang gue bayar untuk mempercantik lingkungan sekitar rumah. Jadi rapi dan tertata seketika. Karena tanah di depan pagar masih termasuk tanah gue, jadi dengan kreatifitas gue dan suami, kami membuat seperti taman pinggir kali. Suami dengan niat baik membeli beberapa pohon pucuk merah, bonsai dan bougenvile untuk ditanam di sisi tembok turap.

Hal tersebut tidak luput dari pengawasan Pak Haris, sebagai ketua RT lingkungan tempat gue tinggal. Sebelum membuat tembok pinggiran tersebut, suami izin dahulu terkait menentukan berapa ukuran tinggi tembok pembatas, agar petugas setempat yang akan memeriksa saluran air secara berkala tidak mengalami kesulitan jika harus turun ke saluran air.

Sebagai catatan, saluran air tersebut dahulu hanya selebar satu meter, lalu seiring berjalannya waktu banyak terjadi banjir di sekitar lingkungan. Berdasarkan hal itu, pihak kelurahan meminta izin dari warga agar memberikan tanahnya untuk dijadikan pelebaran saluran air dari hulu ke hilir. Jadilah warga yang rumah atau tanahnya berada tepat di samping saluran air terkena pelebaran untuk pembangunan fasilitas umum saluran air warga. Termasuk bokap, tanahnya pun jadi berkurang beberapa ratus meter dan tercatat secara rinci di dalam akta.

Tapi semuanya rusak ketika tukang-tukang itu datang dan tanpa permisi membongkar taman sepanjang saluran air tepat di depan mata gue. Speechless gue sewaktu melihat tanaman pucuk merah dan bonsai ditebang tanpa permisi. Emosi bukan main saat itu, gue langsung memaki tukang- tukangnya. Namun karena gue perempuan, mereka gak peduli dengan gue yang marah-marah. Boro boro minta maaf, pemilik rumah yang seharusnya bertanggung jawab juga gak kelihatan batang hidungnya. Marah banget rasanya, kesal bukan main ditambah setelah selesai pembangunan, bagian yang paling dekat ke arah rumah gue dibiarkan kotor tanpa dibersihkan. Akhirnya gue juga yang turun membersihkan sisa-sisa pembangunan mereka. Itu sangat membekas di hati gue dan suami.

Itulah alasannya kenapa gue merasa gelisah setelah melihat kondisi tembok yang sudah bolong pagi ini, ditambah tukang-tukang yang sudah turun membuat hati gue makin gak menentu, perasaan gue kok mulai gak enak. Ada apa nih? ngapain coba tukang-tukang pada ngetok- ngetok jembatan yang membentang di atas saluran air.

Duh, sepertinya kegiatan bongkar tembok akan berlanjut ke tengah dan bahkan sampai di tembok perbatasan wilayah RT 02, yang lokasinya tepat berada di depan rumah. Terbayang sudah pikiran yang aneh-aneh di kepala. Wah gak bisa begini! harus turun tangan gue. Seketika jiwa berontak gue keluar dan langsung gue datangi mereka.

“Bang ini mau pada ngapain ya? kok bongkar tembok?” tanya gue sopan namun dengan emosi yang mulai naik ke ubun-ubun.

“Emang kenapa bu?” sahut salah satu tukang yang berada di bawah jembatan dengan santai.

“Ini saya tanya, abang ini pada mau bongkar tembok buat bikin apa?” sengaja gue  tanya ulang dengan nada yang lebih kencang.

“Iya Bu mau dibongkar” sahut tukang satunya yang masih berada di atas jembatan tanpa menoleh ke arah gue.

“Mau dibikin apa bang?” tanya gue lagi masih dengan baik-baik.

“Jembatan bu” sahut tukang lainnya.

Waduh! Tuh kan bener apa feeling gue. Dah gak bener ini. Emosi gue udah makin naik ke ubun-ubun. Gak bisa dibiarin, gue mesti ketemu dengan pemilik rumahnya ini, batin gue.

“Bang, ini bongkar tembok buat jembatan, apa udah izin sebelumnya?” gue coba tanya lagi sambil narik napas panjang, mencoba mendinginkan kepala.

“Udah bu!” jawab mereka serempak. Suasana mulai rame karena banyak tukang yang keluar dari balik tembok dan melihat gue dengan keheranan. Ngapain sih ini ibu-ibu kepo banget ma kerjaan kita. Gitu kira-kira yang gue baca dari raut wajah semua tukang.

Wah, gak betul ini, izin sama siapa? mana pemiliknya? Dada gue udah berdentam-dentam menahan emosi. Tiba-tiba terdengar suara yang gue kenal dari belakang.

“Yang, lagi ngapain di situ?” teriak suami dari kejauhan. Alhamdulillah, rupanya dia sudah pulang dari Klinik. Gue bener-bener butuh bantuan saat ini untuk menghadapi para tukang yang mulai berkerumun.

Gue langsung cerita kondisi sebelumnya dan apa yang gue khawatirkan. Mengingat kejadian masa lalu yang suami gue juga tahu, maka dia langsung maju untuk memastikan kondisi sebenarnya.

“Udah biar aku yang tangani, kamu mundur ya yang” ucap suami sambil maju pasang badan ke arah tukang-tukang. Kok gue ngerasa ini sepertinya bakal perang ya?

“Permisi Bang, ini lagi bongkar buat jembatan?”, tanya suami pelan.

“Oh, iya Pak”, jawab mereka serempak. Wah ini suaminya rada kaleman kayanya. Pikir semua tukang sambil bergantian melihat ke arah kita berdua.

“Sudah izin belum?”, suami mencoba mencari tahu hal yang nantinya bakalan bikin semua warga RT02 kesal.

“Sudah Pak”, jawab mereka lagi bersamaan.

“Izin sama siapa? dan siapa yang izin”, nah loh kena kan.

“Yang izin Bapaknya pemilik rumah ini pak”, jawab salah satu tukang yang paling dituakan.

“Izin sama siapa?”, tanya suami mengulang dengan tegas.

“Sama RT nya pak”, jawab tukang itu lagi.

“RT mana? RT 02 atau RT 07?”, wajah suami mulai kesal.

“Wah kurang tahu pak, tapi kata Bapak sudah izin kok sama RT nya” dengan nada cuek seolah-olah gak ada urusan dengan kita yang masih baik-baik bertanya.

“Ok, terus sama yang punya rumah di sini, tetangga dan warga di sini sudah izin apa belum?” tanya suami dengan suara mulai keras.

“Sudah pak” jawab mereka sekenanya.

“Sama siapa izinnya?” kembali menanyakan hal yang akhirnya membuat suami emosi jiwa tak tertahankan.

“Sama yang punya rumah itu” jawab salah satu tukang sambil tangannya menunjuk ke arah rumah gue.

Sontak wajah suami gue merah, mata melotot dan emosinya langsung naik. Sanggup ya bilang udah izin, padahal yang punya rumah jelas-jelas ada di depan mata. Bisa-bisanya bohong berjamaah gini, hadeh Bang…Bang! Mereka gak tahu kalau…

“Kalian tahu tidak SIAPA PEMILIK RUMAH INI?!!” tanya suami tiba-tiba dengan nada naik beberapa oktaf. Tukang-tukang yang tadinya acuh gak acuh, mulai berhenti dan melihat suami dengan pandangan takut.

“EE..ta..tau..eh gak tahu Pak” jawab salah satunya dengan gagap dan mulai menciut nyalinya melihat suami gue melotot.

“Saya adalah PEMILIK RUMAH INI!! Kalian belum ada izin untuk membongkar dan membangun tembok yang akan dijadikan jembatan ke arah sini yaitu wilayah RT 02. Dengar baik-baik ya, sebagai warga sini, jika ada pembongkaran terkait pembuatan bangunan yang melibatkan fasilitas umum itu harus ada izin minimal dari ketua RT di wilayah tersebut yang tempatnya akan dijadikan bangunan. Masalahnya sebulan yang lalu turap saluran air wilayah RT 02 baru saja selesai diperbaiki oleh para petugas kelurahan. Lihatkan? bekas perbaikannya masih jelas begini, mana bisa main bongkar dan dibuat jembatan!”, panjang kali lebar penjelasan suami gue, membuat semua tukang yang sedang bekerja segera menghentikan pekerjaannya.

“Tapi Pak, kita diperintahan buat bongkar dan membuat jembatan di sini sama Bapak” tukas tukang itu.

“Bapak siapa? Siapa yang punya rumahnya? Suruh keluar saya mau bertemu!” ucap suami dengan lantang.

“Pak Haji Topik Pak” jawab mereka ketakutan sambil tatap-tatapan.

“Bilang saya mau ketemu, saya tunggu sekarang!” suami masih kesal namun mulai menurunkan nada suaranya dan  bicara masih dengan nada baik-baik.

“Gak bisa pak, kita tetap harus bongkar ini” jawab tukang yang lebih tua tadi sambil menyuruh tukang yang lebih muda untuk melanjutkan pekerjaan membongkarnya.

Oh, mulai ngeyel rupanya tukang-tukang ini, tiba-tiba..

“DENGAR YA, KALO KALIAN BERANI BONGKAR PEMBATAS INI, SAYA BAWA TUKANG-TUKANG SAYA BUAT BONGKAR BALIK SEMUA!! BILANG SAMA YANG PUNYA RUMAH, SAYA TUNGGU! SAYA YANG PUNYA RUMAH INI!” teriak suami dengan suara kencang sambil menunjuk jembatan perbatasan, membuat semua tukang-tukang yang ada dibawah saluran air naik dan berlarian masuk kebalik tembok.

Gue? Speachless, ternyata suami gue yang super kalem dan gak pernah ngomel itu bisa semarah ini. Maak! Asli gak nyangka, padahal tadi gue yang udah tegangan tinggi, tapi sekarang malah dia yang kebakaran hahaha…

Suami langsung balik badan sambil berjalan menuju rumah dengan wajah tegang. Tanpa sadar ternyata nyokap gue udah di luar terlihat sedang berbincang dengan Tante Mirna yang tengah menyapu halaman parkir belakang rumahnya. Ternyata nyokap juga baru pulang belanja dari Warung Mbok Jum. Gue yakin nyokap dan Tante Mirna saat ini sedang sibuk ngomongin apa yang dilihat mereka barusan.

“Duh, orang itu memang kebiasaan, kalo bangun rumah gak ada sopan santunnya” ucap Tante Mirna

“Iya bener bu, itu makanya anak saya marah-marah. Terakhir saudaranya yang ngebangun jembatan di situ gak pake permisi juga. Tanaman dipinggir tembok dibabat habis tanpa diganti. Padahal kita pake modal loh itu untuk bikin dan belinya” tukas nyokap meradang.

“Bisa rame nih kayaknya bu, tapi saya setuju sama Mba Mila, pokoknya saya dukung pilihan Mba Mila dan suami. Kalo dibongkar dan dijadikan jembatan, bisa-bisa akses orang yang mengontrak nambah lagi dan jembatan itu pasti jadi tempat nongkrong gak jelas sampai pagi. Bisa bahaya ini” ujar Tante Mirna.

Tak lama berselang terdengar suara langkah kaki orang yang mencari suami.

“Permisi! Permisi!” suara seseorang terdengar dari luar pagar dengan kencangnya.

“Ya, cari siapa pak?” tanya suami yang segera putar balik sebelum masuk ke dalam rumah.

“Saya cari orang yang punya rumah ini Pak!” jawab laki-laki paruh baya itu setengah teriak. JIka dilihat dari penampilannya bapak itu kira kira berusia di atas 60 tahun. Badannya tidak tinggi namun lincah pembawaannya. Memakai kacamata dengan kaos oblong hitam dipadu celana pendek selutut, raut wajahnya terlihat kesal dan hampir marah, tapi seketika ditahannya ketika bertemu dengan suami.

“Saya yang punya rumah ini, perkenalkan saya dengan Pak Erwan. Maaf dengan bapak siapa ya?”, tanya suami sopan. Seketika perubahan sikap suami langsung terasa. Kalau itu gue, rasanya belum tentu bisa seperti dia, yang ada situasi malah bisa semakin panas.

“Saya dengan Pak Haji Topik, pemilik rumah seberang pak. Ada apa ya pak, tukang -tukang saya jadi pada ketakutan katanya oleh bapak tadi”, nadanya mulai tinggi dan terdengar  menyalahkan suami.

“Begini Pak Topik, tukang-tukang bapak mau membongkar tembok dan membangun jembatan yang nantinya menuju ke arah sini. Terkait hal tersebut apa sudah ada izin dari RT kami pak? karena saya tanya apa sudah izin dengan tetangga sebelah dan warga sini, jawabnya sudah tapi kenyataannya saya sebagai pemilik rumah ini belum pernah dimintakan izin hal terkait. Makanya saya minta langsung ketemu dengan Bapak. Jika sudah izin dengan siapa ya?”

“Saya sudah izin dengan RT 07 Pak dan juga RT sini!” ucapnya dengan nada makin tinggi. Wah gue yang geregetan lihat tingkahnya yang gak sopan buat ukuran orang tua langsung masuk di antara mereka.

“Maaf Pak Topik, saya dengan Ibu Mila istri dari Pak Erwan, kita baru sekali ini ya pak bertemu. Begini pak kalo bapak memang sudah meminta izin dari RT kami, sebaiknya saya konfirmasi langsung dengan RT nya, apa Bapak kenal dengan RT kami?”, sekian basa-basi di awal namun pertanyaan gue yang menohok langsung membuat wajahnya tegang seketika. Nah kan! gue udah curiga ini bapak pasti bohong juga, sama seperti tukang-tukangnya.

“Sebentar ya pak saya telepon bapak RT kami dulu, sekalian saya minta datang ke sini buat ketemu dengan bapak. Mohon ditunggu ya pak” ucap gue sambil saling memberikan kode dengan suami untuk menahan si bapak.

"Kita lihat siapa yang bohong di sini!”, sekalian aja gak gue kasih napas biar tahu lo berhadapan dengan siapa kali ini. Warga RT 02 gak bisa disepelein, batin gue dalam hati.

Sementara gue menghubungi Pak RT, suami dan Pak Topik sudah mulai beradu argumen lagi. Nada suara mereka semakin tinggi

“Gak bisa begitu pak, saya juga paham tentang proyek seperti ini! Saya juga orang lapangan. Bapak seharusnya jika mau membangun, izin dulu dari pihak terkait dan tetangga kanan kiri juga sekitar. Jika ada kerusakan maka diganti. Bukan seperti ini pak. Apalagi itu terkait mau membongkar turap. Itu fasilitas umum pak”, terdengar suara suami yang mulai serius dan tegas.

***

“Ya Bu Erwan, belum ada izin ke saya. Lah, ini saya malah baru tahu dari laporan ibu di grup RT tadi pagi” ucap Pak RT di seberang sana dengan kebingungan. Sebelumnya gue memang mengambil foto dan melaporan kejadian bongkar tembok itu di grup RT pagi tadi sebelum mengantar anak-anak ke sekolah..

Nah kan bener apa yang gue pikir, pasti bohong lagi tuh bapaknya. Kali ini gak ada ampun, sekalian gue kumpulin aja semuanya biar makin jelas.

“Pak, sebaiknya Pak RT datang ke sini saja sekarang, ini situasi sudah panas. Kalo gak dipisahin nanti bisa berantem, tolong cepetan datang Pak!” ucap gue mulai panik. Gimana gak panik, itu bapak-bapak berdua kok suaranya mengalahkan suara gue yang lagi bertelepon ria dengan Pak RT, ditambah nyokap yang juga mulai ribut nyuruh gue buru-buru panggil  Pak RT buat misahin.

“Iya dah bu, saya kesitu sekarang!” tutup Pak RT dengan segera. Takut juga dia kalau warganya berselisih paham yang nantinya bisa berujung fisik.

Gak menunggu lama, terdengar suara motor Pak RT parkir di depan rumah dan langsung turun menemui suami. Hasilnya Pak Topik menghentikan dulu pekerjaan membongkarnya. Pihak RT 02 memberikan kesempatan kepada Pak Topik dan RT 07 untuk datang ke RT 02, di mana nanti warga akan dikumpulkan untuk musyawarah terkait masalah ini. Pak RT tidak setuju jika dibuat lagi jembatan penghubung yang nantinya akan membuka akses jalan bagi komplek keluarga dan orang-orang yang menyewa rumah kontrakan didalamnya. Salah satu sebabnya adalah, akan adanya penambahan kerja juga tanggung jawab RT dan pihak keamanan warga dalam mengawasi pergerakan warga baru, apalagi itu bukan warga RT02 melainkan RT07.

Selain itu jika diberikan tempat seperti jembatan yang berukuran lebar di ujung jalan, Sudah pasti memberikan tempat dan sarana bagi para remaja tanggung bahkan orang dewasa untuk nongkrong dan begadang sampai pagi. Hal itu mengganggu aktivitas warga sekitar dan menjadi rawan kejahatan. Belum lagi kendaraan yang akan parkir seenaknya. Di Jakarta ini, gak boleh lihat lahan kosong sedikit pasti sudah ada kendaraan yang berhenti untuk parkir di situ. Sementara jalanan yang dijadikan tempat parkir adalah akses warga keluar masuk untuk beraktifitas baik menuju kantor ataupun ke sekolah.

Seminggu kemudian..

Pak Topik dan RT 07 tidak memenuhi janji mereka untuk bermusyawarah dengan pihak warga RT 02 yang ada di sekitar jembatan. Mereka mencari cara lain dengan melaporkan hal tersebut ke pihak Kelurahan, sementara dari pihak kelurahan semuanya diserahkan kembali ke RT dan warga setempat.

Kami sebagai warga RT 02 membuat keputusan bahwa sebagian besar tidak menyetujui  adanya pembanguna jembatan baru yang akan membuat akses keluar masuk bertambah banyak. Kecuali jika pihak komplek keluarga tersebut juga membuka akses jalan mereka untuk digunakan oleh warga RT 02. Namun kenyataannya Pak Topik dan keluarga besarnya tidak mau menerima usul tersebut.

Akhirnya mereka tetap membuat pintu kecil yang hanya cukup untuk dilewati satu motor atau satu orang yang menyambung ke jembatan di sebelahnya. Ternyata info paling baru dari Tante Mirna adalah jawaban dari kelakuan yang lumayan membuat warga RT 02 sebal. Jadi adik dan kakak itu ternyata tidak akur dan sedang dalam perang dingin. Walhasil Pak Topik tidak bisa menggunakan jalan yang melewati rumah kakaknya tersebut. Itu kenapa dia ngotot mau membuka akses baru. Tapi kami tetap dengan tegas dan keras menolak.  

Rencana musyawarah yang berjalan alot tanpa hasil yang jelas, sampai pada hari ke enam setelah perselisihan terjadi. Seperti biasa sepulang mengantar anak anak dari sekolah, gue belanja dan pulang lewat depan rumah mereka. Gue menahan tawa ketika melihat bangunan tembok yang dibongkart itu berubah jadi pintu pagar sebagai akses keluar masuk yang berukuran satu motor atau satu orang dewasa.

“Tahu bentuk huruf Y? nah kurang lebih akses pintu keluar adiknya yang berada di sayap kiri dan akses pintu keluar kakaknya berada di sayap kanan. Kaki dari hurup Y itu adalah jembatannya. Paling tidak dengan cara itulah hubungan kedua kakak beradik itu bisa mencair lagi pikir gue. Walaupun dengan cara yang tidak baik, tapi selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian yang tidak menyenangkan. Sesombong apapun, jika dihadapkan dengan kekompakan yang disatukan pasti akan kalah sombongnya. Setiap kali gue melihat jembatan itu, saat itu gue cuma tersenyum penuh makna.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi