Disukai
1
Dilihat
2,651
SOMETHING IN MANCHESTER
Drama

Cahaya lampu stick kedap-kedip seakan mengatakan "bangun hey, bangun" diiringi dengan suara pesawat yang barusan lewat. Aku tertidur di emperan sebuah toko dekat dengan bandara Soekarno-Hatta, lalu mengambil air untuk membasuh wajahku yang kusut seperti seprai belum dicuci. Kuamati sekeliling, tampaknya aktivitas di bandara hari ini cukup ramai.

"Misi, Mas, barangnya mau saya angkat?" seorang porter tiba-tiba saja menghampiriku.

"Waduh, Mas, nggak usah, saya bisa angkat sendiri kok," balasku seadanya karena baru bangun.

Setelah porter tersebut pergi, kususun barang-barang untuk masuk ke bandara. Ini pertama kalinya dalam hidupku aku mengunjungi bandara. Inilah bandara Soekarno-Hatta yang katanya terbesar di Indonesia.

Wait a minute.

Karena ini pertama kali aku mengunjungi bandara, aku tidak tahu di mana memesan tiket. Akhirnya, aku bertanya pada satpam. Satpam bilang kita terlebih dahulu harus check-in, lalu menuju ke tempat pemeriksaan barang, dan setelahnya menuju ke antrean barang untuk menyimpan koper. Aku akhirnya bisa duduk dengan tenang setelah menyelesaikan semua prosedur. Ternyata, mengandalkan diri sendiri itu baik; jangan bergantung pada orang lain terus.

"Please pay attention, passengers of Emirates flight number 549 with destination Jakarta - London, please enter departure gate 3."

Suara pengumuman keberangkatan pesawat memenuhi penjuru terminal 1. Kulihat boarding pass-ku, ternyata itu pesawatku yang akan berangkat. Setelah sekian menit mencari tempat duduk yang tertera di tiket, akhirnya aku menemukan tempat duduk idaman, di samping jendela!

"Akhirnya bisa juga duduk dekat jendela, lumayan juga pemandangan," kuarahkan pandanganku ke jendela, melihat pesawat akan segera lepas landas.

London, here we go! Begitulah gambaran hatiku saat pesawat telah mengudara menuju London.

Cuaca saat ini dilanda musim panas yang membuatku bermalas-malasan di dalam bus. Kami sedang melakukan tur karya wisata yang diadakan oleh universitas tempat aku berkuliah.

"Cinta Pertiwi!" Saat namaku disebut, aku langsung menjulurkan tangan ke atas seakan mengatakan "hadir". Terlihat di seberang jalan, ada seekor kucing yang tengah tertidur dan seekor burung sedang hinggap di atasnya. Sungguh menggemaskan. Pandanganku tidak henti-hentinya melihat pemandangan itu sampai akhirnya aku sadar kalau bus tidak berjalan dan terjebak macet panjang.

Sungguh menyebalkan.

"London, ini dia!" Kulinjakkan kakiku pertama kali di luar bandara Heathrow. Lalu lintas di sekitar bandara cukup padat, jadi aku memilih untuk naik bus saja. Tujuannya tentu saja adalah museum seni Trafalgar Square. Akhirnya, setelah bus datang, aku pun naik dan mengambil bangku kosong—seperti biasa—dekat jendela. Bus pun mulai meninggalkan halte.

"Sial, sial, dan sial. Kenapa coba macetnya harus pas mau ke museum seni, mana udah 2 jam lagi," kekesalanku memuncak akibat ban bus kempes. Miss Nova mengatakan kalau kami harus turun karena museum seni Trafalgar sudah dekat.

"Kurasa hari sial ada dalam kalender," ujarku, dan semua akhirnya turun dari bus meski agak sedikit bad mood hari ini.

Semua penumpang protes karena bus tidak berjalan begitu lama, hingga akhirnya sang supir berkata, "Semua penumpang harap turun. Saat ini bus sedang mengalami kerusakan pada mesin. Jika dilihat dari kondisinya, tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan. Sekian."

Mau tidak mau, aku harus turun dan berjalan kaki. Toh, jarak ke museum juga tinggal beberapa meter lagi. Beberapa orang melontarkan umpatan karena kecewa, sebagian hanya diam memaklumi seperti aku. Kami akhirnya sampai di halaman museum Trafalgar. Miss Nova menyuruh kami berbaris. Semua teman-teman protes—termasuk aku—karena mereka meminta kami berbaris. Padahal, apa sih susahnya langsung masuk!

"Anak-anak, tunggu sebentar. Kita harus menunggu pemandu wisata kita. Kita tidak diizinkan masuk terlebih dahulu tanpa didampingi pemandu yang sudah direservasi," Miss Nova mencoba menenangkan kami dan memberitahukan peraturan sebelum masuk. So bored. Siapa sih pemandu itu, sudah lama bikin kesel juga.

Akhirnya, yang ditunggu-tunggu telah datang. Miss Nova berjabat tangan dengan pria tersebut. Sudah lama mana pake jabat tangan lagi. Pria tersebut mulai memperkenalkan dirinya.

"Perkenalkan, saya Ruly Tabuti, bisa dipanggil Ruly. Saya berasal dari Solo. Pengalaman kerja saya baru pertama kali bekerja sebagai pemandu wisata untuk tur wisata. Umur 24. Terakhir, hobi saya suka baca buku dan bermain game online."

"Sampai di sini ada pertanyaan?" Ruly bertanya. "Ya, di sana yang angkat tangan silakan," Ruly mempersilakan.

"Kenapa Pak Ruly ini sangat lelet? Pak tahu kan kalau sekarang lagi musim panas. Mana kami kurang cocok dengan sekitar," Cinta mewakili perasaan teman-temannya yang kepanasan.

"Untuk itu, posisi saya sama seperti kalian. Bus saya mogok sementara bus kalian mengalami macet dan bannya juga kempes," Ruly mencoba membela diri.

"Tapi itu kan kewajiban Pak Ruly untuk berusaha secepatnya ke sini," nada Cinta meninggi, sebaliknya Ruly tidak terima.

"Tapi saya sudah melakukan apa pun yang bisa saya lakukan agar kalian tidak menunggu terlalu lama," ujar Ruly.

Miss Nova menengahi kami berdua. Aku tidak sadar kalau aku sudah berada di depan Cinta. Semua mahasiswa menonton kami yang dari tadi berdebat. Malunya sampai ke ubun-ubun. Akhirnya, Miss Nova menyuruh semua orang masuk ke dalam museum, sementara menyisakan kami berdua. Keadaan sungguh tidak kondusif untuk kami berdua, jadi kikuk sendiri jadinya.

"Saya minta maaf atas kejadian tadi, sungguh saya sangat lancang berkata tidak sopan kepada Bapak," Cinta akhirnya menjadi kikuk atas tingkahnya sendiri. Sementara Ruly tertawa dalam hati, hahaha rasain, bisa-bisanya kamu lancang pada saya. Ruly pun menjabat tangan Cinta untuk meminta maaf juga.

"Gak apa-apa, udah kejadian tadi, mending lupain aja. Dan jangan panggil saya Pak, panggil saja Ruly khusus buat kamu," ujar Ruly. Cinta menjadi kikuk sendiri. Bisa-bisanya Pak—eh—Ruly menyuruhku begitu. Hatiku jadi tidak karuan jadinya. Dasar Ruly, bisanya goda cewek kelihatan dari tampangnya. Kami pun berdamai, menyudahi masalah tadi, bahkan kami menjadi dekat setelah permintaan maaf itu.

Akhir-akhir ini universitas sedang mengadakan lomba antar fakultas. Aku mengikuti lomba menulis—sebenarnya malas mengikuti apa pun, cuma karena ada yang tulis nama, ya mau nggak mau ikut. Angin musim panas menerbangkan sehelai rambutku diselingi dengan makan es krim menghadap perempatan jalan yang ramai. Aku sedang menunggu seseorang.

Sementara yang ditunggu hatinya bermekaran seakan musim semi datang di hatinya. Saat tiba di perempatan, Ruly melihat Cinta sedang makan es krim sembari menunggunya. Yang ditunggu pun datang menyembunyikan sesuatu di belakang badannya.

"Kamu lagi nyembunyiin apa sih?" Cinta penasaran, mencoba melihat apa yang disembunyikan Ruly, tapi dengan sigap Ruly menghindarinya.

SURPRISE! Biasanya, para pria akan membawa bunga, cokelat, atau perhiasan, tapi ini malah bawa... sepasang merpati.

"Kamu mau ngapain bawa merpati? Mau dimasak?" Cinta keheranan dengan Ruly yang hanya tersenyum.

"Jadi, sebenarnya saya mau kita couple dengan sepasang burung ini biar kelihatan beda," ujar Ruly, menyerahkan satu merpati untuk Cinta dan satu untuk dirinya. Aku mengiyakan permintaannya sebelum kami berjalan-jalan mengelilingi kota London dengan bus.

6 bulan kemudian...

Hari wisuda telah tiba. Semua mahasiswa sedang duduk menghadiri sidang pernyataan kelulusan mahasiswa tahun ini. Anggota keluarga masing-masing hadir menyaksikan kelulusan, sementara aku menunggu... Apakah Ruly datang? Aku hanya bisa menanti.

Sidang pengumuman telah selesai dan semuanya dinyatakan lulus, termasuk aku. Namun, hatiku belum selesai dengan... Ruly. Aku duduk termenung di tangga luar universitas. Entah ke mana Ruly menghilang, dia tidak mengabariku apa pun. Sepatah kata pun tidak ada, bahkan di messenger.

Semua teman-teman Cinta mencoba menghiburnya dengan mengajak jalan, makan, hiburan, atau apa pun itu, tapi Cinta tetap kukuh menolak. Cinta datang duduk di tempat mereka pertama kali nge-date di perempatan jalan. Jam, hari, bulan, dan tahun silih berganti, dan Cinta tetap kukuh mendatangi tempat itu, meskipun dia tidak tahu kapan Ruly akan datang menemuinya. Separuh hatinya ada di Ruly. Cinta yakin Ruly akan datang pada waktu yang tepat meskipun waktu yang akan menjelaskan semuanya.

3 hari kemudian...

Breaking news: An Etihad Airways plane with a London - Jakarta flight reportedly crashed in the South China Sea. So far the cause is confirmed to be bad weather which caused the plane to crash. The following are the names of the victims who were successfully released by the rescue team.

Mataku tertuju pada salah satu koran yang menampilkan deretan nama korban jatuhnya pesawat Etihad Airways. Tumpahlah semua air mataku... Ruly telah meninggal. Aku melihat nama Ruly dalam daftar korban pesawat tersebut. Aku hanya bisa pasrah menerima kematian Ruly, hingga seekor merpati hinggap di sebuah lampu jalan perempatan. Burung itu memperhatikanku dengan matanya yang hitam bulat—aku tidak memperhatikannya karena sedih sekali mengingat Ruly. Pagi itu, Ruly berencana pulang ke kampungnya di Solo untuk mengabarkan bahwa ia akan melamar Cinta setelah kembali dari Jakarta. Namun, pesawat mengalami turbulensi sehingga jatuh ke laut.

Cinta, yang terpukul oleh kematian tragis Ruly dalam kecelakaan pesawat, merasakan patah hati yang mendalam. Setiap hari, dia merasa hampa tanpa kehadiran Ruly yang selalu memberikan cahaya dalam hidupnya. Tiap sudut kota London, setiap tempat yang mereka kunjungi bersama, kini terasa sepi dan kelam baginya.

Tanpa Ruly, aku merasa seperti seorang pelaut yang kehilangan kompasnya di tengah lautan badai. Aku terombang-ambing dalam gelombang kesedihan yang tak berujung. Setiap pagi, aku terjaga dalam kekosongan yang menusuk, merindukan suara Ruly yang menghiasi hari-hariku.

Pada hari wisuda, aku duduk di tengah kerumunan, tetapi hatiku terasa kosong. Aku menanti-nantikan sosok Ruly yang tak kunjung datang, hanya untuk menyadari bahwa Ruly telah pergi selamanya. Air mata tak henti mengalir dari mataku, merobek hatiku yang sudah hancur.

Kehilangan Ruly membuat aku kehilangan sebagian dari diriku sendiri. Setiap hari, aku terus bertanya-tanya mengapa takdir begitu kejam padanya. Namun, tak ada jawaban yang mampu menghilangkan rasa sakitnya. Dia terjebak dalam kegelapan, merana dalam perpisahan yang tidak pernah diharapkannya.

Kisah cinta kami yang indah berubah menjadi tragedi yang menyakitkan. Cinta menyadari bahwa dia harus melanjutkan hidupnya tanpa Ruly, tetapi luka yang ditinggalkan Ruly dalam hatinya takkan pernah sembuh sepenuhnya. Hanya kenangan manis tentang cinta mereka yang akan dia simpan, sambil meratapi kepergian Ruly yang tak tergantikan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar