Disukai
0
Dilihat
1125
Sitta dan Warna
Slice of Life

Sebuah pintu terbuka, menyuarakan decit pelan ketika lantai bergesekan dengan pintu kayu itu. Langkah kaki terdengar mantap, melangkah ke dinding sebelah kanan guna menyalakan lampu ruangan. Lampu telah menyala, kini ia berjalan menuju kasur di tengah ruangan. Sang pemilik kamar bernuansa abu-abu itu merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia bertanya-tanya tentang waktu, namun tak memiliki tenaga untuk menengok ponsel yang ada di tas hitamnya atau sekadar menengok ke dinding belakang kasurnya. Pada akhirnya, ia hanya memejamkan mata dan membiarkan tubuhnya telentang tak karuan.

Ia cukup setia dengan posisi itu, hingga beberapa menit berlalu, ia memutuskan untuk duduk. Pandangan matanya mengarah pada ujung lancip sepatu hitam yang masih ia kenakan. Suara helaan napas terdengar sebelum kedua tangannya menyentuh sepatu dan melepaskan jeratan sepatu pada kaki yang kini tampak kemerahan itu. Sejujurnya, kedua kaki itu tak pernah bersepakat dengan sepatu hak tinggi, sebab ia pasti akan berakhir lecet-lecet.

Kini, pandangan matanya beralih pada tas kulit berwarna hitam di sebelahnya. Pikirannya melayang-layang pada acara pertemuannya dengan beberapa teman di masa SMA sore ini. Ia teringat tentang foto yang ia dan teman-temannya ambil di acara pertemuan itu dan memutuskan untuk mengambil sesuatu dari dalam tas. Ada sebuah foto yang tercetak di sebuah kertas polaroid, menampilkan empat orang perempuan yang tersenyum dengan berbagai pose.

Tak perlu waktu lama untuk matanya menemukan di mana dirinya berada, sebab ingatannya masih segar atas kejadian sore itu. Seorang perempuan dengan blouse berwarna ungu duduk di ujung belakang kursi sebelah kanan, tampak berjarak dengan senyum simpul yang hadir sekadarnya. Ia tersenyum, menertawakan dirinya yang tampak canggung di dalam foto itu, “Sudah kubilang, jika kau tak suka, jangan dipaksakan.” Katanya sambil mengetuk-ngetuk gambar wajahnya di kertas polaroid itu.

“Ya, mau bagaimana lagi. Si people pleaser tak akan bisa berhenti menyenangkan hati orang-orang di sekitarnya.” Katanya sambil berjalan menuju nakas di samping kiri kasurnya. Ia membuka laci paling atas, mengambil album foto dari dalam sana. Memandang sejenak, ia memutuskan untuk duduk di atas kasur.

Tangan kirinya membuka perlahan sampul album foto itu. Di halaman pertama, ia bisa melihat beberapa foto di sana: foto empat perempuan dengan seragam putih abu-abu, foto dirinya, dan foto teman satu kelas dengan seragam yang sama. Semua foto itu tampak begitu hidup, karena bagaimanapun juga ia masih bisa merasakan kehangatan suasana kala foto-foto itu diambil.

Suasana kelas tampak ramai dengan suara musik terdengar dari pelantang suara di pojok ruangan. Saat ini sedang tidak ada pelajaran, hanya ada tugas yang diberikan guru untuk mengganti kehadirannya di kelas hari ini. Dan jika melihat suasana kelas saat ini, semua murid sibuk dengan urusan lain, bukan urusan tugas yang diberikan oleh guru.

“Ta, katanya kamu beli kamera polaroid, ya?” Tanya salah satu perempuan yang membuat tiga orang di sekitarnya saling berpandangan.

“Wah, iya, aku baru ingat. Kamu bilang jika hari ini kamu akan membawanya, bukan?”

“Kamu bawa, Ta? Mana? Coba lihat.” Seseorang yang dipanggil ‘Ta’ itu hanya pasrah mengeluarkan kamera polaroid dari dalam tas sekolahnya.

“Sudah kuduga warnanya akan abu-abu, charcoal grey.”

“Kenapa, sih kamu suka sekali dengan warna abu-abu?”

“Padahal ada yang warna biru, loh. Dan itu bagus.” Si pemilik kamera tersenyum mendengar protes dari ketiga temannya itu dan berkata, “Sudahlah, kalian mau foto atau tidak?”

“Tentu saja mau!” Jawab ketiganya bersamaan.

Keempat perempuan itu berfoto bersama, tersenyum senang ke arah kamera. Mereka telah mengambil beberapa pose saat seseorang berbicara dengan lantang, “Wah, ada yang beli kamera baru, nih!” Tepat setelahnya, seluruh pasang mata di ruang kelas itu menatap ke arah sumber suara.

“Boleh, nih, buat foto. Ayolah foto satu kelas.” Celetuk salah satu siswa yang mengundang riuh suara-suara persetujuan dari siswa-siswi lain.

“Iya, iya. Boleh.” Kata si pemilik kamera. Setelah itu, meja-meja dan bangku-bangku ditata sedemikian rupa untuk memberi ruang yang cukup bagi mereka untuk berfoto bersama.

Hari itu, mereka melalui waktu yang menyenangkan. Jam kosong tak pernah mengecewakan mereka, sebab di waktu itu, mereka bisa mendapatkan kenangan manis yang membuat sudut bibir terangkat ketika mengingatnya kembali.

Tangannya kembali bergerak membuka halaman-halaman lain. Halaman-halaman itu, ia didominasi dengan empat perempuan yang sama. Yang membedakan antara satu foto dengan foto lainnya adalah pose, latar belakang foto, dan juga baju yang mereka kenakan. Mata itu bergerak ke sana-sini, melihat betapa senyuman itu masih secerah warna pakaian yang ia kenakan. Warna kuning, jingga, dan merah masih sering ia lihat di beberapa halaman foto itu.

Ia membuka halaman baru di album foto itu dan ada yang berbeda di sana. Bukan lagi empat orang, tapi kini lima orang perempuan yang mendominasi foto-foto selanjutnya. Mereka adalah semua teman-teman di masa kuliah, teman-teman yang masih sering bertemu dan berkomunikasi hingga saat ini. Ia masih ingat kapan foto di pojok kiri itu diambil, yaitu ketika masa pengenalan program studi. Hal itu bisa ia ingat dengan cepat karena ada atribut yang mereka kenakan di foto itu.

“Akhirnya selesai juga. Aku tak menyangka masa pengenalan program studi akan berakhir seperti ini.”

“Tapi seru, bukan?”

“Seru bagaimana? Kita justru menangis bersama.”

“Justru itu letak serunya. Masa pengenalan program studi itu menjadi masa pengenalan yang paling lama. Dan ia memiliki banyak sekali kegiatan yang bukan hanya menguras banyak tenaga, tapi juga emosi. Lalu ketika tadi kita menangis bersama, itu adalah sebuah ending yang membahagiakan.”

“Iya, sih. Jadi lebih lega, ya?”

“Nah!”

Lima orang perempuan itu saling berbicara dengan santai, membicarakan acara penutupan masa pengenalan program studi mereka, “Dan di antara kita, yang paling kencang menangis adalah Sitta.” Kata salah satu orang perempuan yang membuat mereka berlima tertawa bersamaan.

“Huuuaaaa! Hiks! Hiks!” Satu orang perempuan lain mencoba menirukan cara Sitta menangis dan membuat tawa mereka semakin nyaring.

“Tentu saja! Menurutku memang sudah seharusnya kita menangis sekencang itu. Kita semua tahu bagaimana sulitnya tugas-tugas yang diberikan sampai-sampai kita begadang bersama. Jangan bilang kalian tak setuju denganku.” Kata Sitta dengan begitu bersemangat.

“Ya, benar sekali.”

“Kau benar.” Sahut mereka sambil memgangguk-anggukkan kepala.

“Tapi apapun itu, kita berhasil melewatinya.” Kata salah satu perempuan sambil merangkul pundak Sitta, “Bagaimana kalau kita merayakannya? Kita foto bersama? Kita belum pernah berfoto bersama, loh.”

“Iya juga, ya.”

“Yuk, yuk.”

“Boleh, aku membawa kamera untuk hari ini. Jadi, ayo foto bersama!”

“Oh, ya?”

“Wah, kalau begitu ayo berfoto!” Mereka pun mengambil beberapa foto dan memutuskan untuk berhenti sejenak guna melihat hasil foto mereka, “Wah, bagus!”

“Iya, hasil fotonya bagus. Thanks to Sitta.”

“Sepertinya lebih bagus lagi kalo kita meminta tolong orang lain untuk memotret.”

“Ah, ya. Tapi siapa?”

“Mereka saja.” Kata salah satu perempuan sambil melihat ke sekumpulan perempuan yang duduk di gazebo.

“Tapi aku tak mengenal mereka. Ada yang kenal?”

“Tidak.” Kata salah satu perempuan dan yang lainnya menggeleng.

“Biar aku saja yang meminta.” Kata Sitta yang langsung berjalan ke arah gazebo.

“Wah, Sitta!”

“Sitta memang selalu bisa diandalkan.”

“Terima kasih Sitta!”

Kenangan manis memang tak pernah gagal untuk membuat bahagia. Seperti saat ini, Sitta tampak tersenyum dan sesekali tertawa saat membalik beberapa halaman di album foto. Ia bisa melihat foto-foto itu berubah menjadi video hidup di pikirannya. Ia mengingat bagaimana serunya mereka bernyanyi di ruang karaoke bersama, pergi berlibur, pergi ke wahana permainan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

“Sitta! Kamu tahu kita akan pergi ke mana, bukan?”

“Tentu saja.”

“Lalu mengapa kamu pakai pakaianmu itu?” Semua pasang mata mengarah pada Sitta, “Ah! Sitta!” seru mereka bersamaan.

“Kenapa kamu pakai baju itu?”

“Ta, kita mau ke pantai, loh!” Kata perempuan itu dengan gemas.

Sitta tampak kebingungan dan bertanya, “Iya, aku tahu. Memangnya kenapa?”

“Jangan pakai baju warna hijau ketika kamu ke pantai!”

“Iya! Kamu mau hilang?”

“Tapi aku tak bawa baju lain.” Kata Sitta dengan pelan.

“Tidak bawa? Sama sekali?” Mereka menatap Sitta dengan panik, lalu salah satu orang menyeletuk, “Sudah, sudah. Baju Sitta memang begitu. Ia hanya punya baju warna biru dan hijau. Tak apa, yang penting nanti jangan berenang di pantai.”

Sitta sadar dengan keseruan-keseruan pertemanan mereka, sebab hal itu tercetak jelas di dalam foto. Banyak sekali foto-foto dengan pose aneh dan bahkan ia juga bisa menemukan beberapa foto diambil di waktu yang tidak tepat. Hal itu sungguh dapat mengundang suara tawa ketika melihatnya. Lalu ketika halaman selanjutnya terbuka, ia diam beberapa saat.

Foto yang membuat Sitta terdiam adalah foto dirinya bersama dengan empat orang yang berbeda dari sebelumnya. Dan yang menjadi alasan Sitta terdiam adalah ia mencoba mengingat-ingat kapan foto itu dimbil atau acara apa yang berkaitan dengan foto itu, “Oh!” Kata Sitta pada akhirnya.

“Bagaimana kalau kita pergi makan bersama?” Kata salah satu wanita di meja kubikel sebelah kanan Sitta. Perkataannya mengundang banyak tatapan mata penasaran, “Ada acara apa?” Tanya salah seorang pria.

“Tidak ada, aku hanya ingin mengajak kalian makan bersama. Aku yang traktir.”

“Serius, Mbak?” Tanya seorang perempuan muda.

“Iya!” Wanita itu menjawab dengan tegas sambil berjalan meninggalkan meja kubikelnya. Ketika sampai di depan meja kubikel Sitta, ia bertanya, “Kamu juga ikut, kan?”

“Emmm, gimana, ya? Tapi aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan, Mbak. Mungkin lain kali.”

“Oh, ayolah! Kita jarang sekali pergi bersama. Ayolah Sitta! Kamu ikut, ya? Please!” Ketika melihat ekspresi Sitta yang hendak menolaknya lagi, ia langsung mendatangi Sitta dan memegang tangannya, “Aku tak akan pergi kalau kamu tidak pergi.” Perkataan itu langsung membuat Sitta menciut dan memutuskan untuk pergi.

“Ada apa, ya? Dia tidak pernah bersikap demikian.” Bisik perempuan muda kepada Sitta ketika mereka sampai di salah satu restoran dan Sitta hanya menggeleng-gelengkan kepala sebagai balasannya.

“Permisi, ini pesanannya.” Kata salah satu pelayan restoran.

“Oh, iya. Ayo, kita makan.”

Mereka berlima makan dengan perasaan mereka masing-masing, tak ada percakapan yang terlontar sampai si wanita berkata, “Kalian tahu mobil yang aku pakai ke sini?” Pertanyaan itu membuat Sitta dan perempuan di sebelahnya mengangkat pandangannya sebelum keduanya saling bertatapan.

“Itu mobil baru, ya?” Tanya salah satu pria yang duduk di hadapan Sitta.

“Iya, kekasihku baru saja membelikannya untukku.”

“Wah, hebat sekali. Padahal yang aku tahu, mobil itu memiliki harga yang fantastis.” Adalah pria yang berbeda, yang menyahuti ucapan si wanita.

“Iya. Aku sangat terkejut ketika dia membelikan mobil yang aku inginkan. Padahal aku sama sekali tidak pernah memberitahunya tentang mobil itu.”

“Oh, kamu suka mobil itu?”

“Kenapa dia membelikanmu mobil?”

“Ya, aku suka. Aku juga tidak tahu. Ketika kutanya alasannya, dia berkata jika dia hanya ingin membelikanku mobil. Kamu, bukannya juga punya mobil, Ta?” Tanya si wanita kepada Sitta.

“Iya, Mbak.”

“Kok tidak pernah kamu pakai untuk berangkat ke kantor?”

“Tidak, Mbak.”

“Kenapa?”

“Macet.”

“Kalau kamu? Kamu punya?” Pertanyaan itu kini ditujukan kepada perempuan muda di sebelah Sitta.

“Engga, Mbak. Buat apa? Aku lebih suka naik motor.”

“Ih, enak loh! Kalau kamu naik mobil, tidak perlu risau akan cuaca.”

“Minta saja pada kekasihmu.” Celetuk salah satu pria dan si wanita berkata, “Mana bisa? Dia tidak punya kekasih, tahu! Iya, kan?”

“Iya, Mbak.” Sahut si perempuan muda dengan terkekeh.

“Oh, ya. Ayo kita berfoto!” Ajak si wanita.

“Ayo!”

“Iya, ayo kita foto!”

“Kita foto pakai ponsel siapa?” si wanita bertanya dengan pandangan mata yang mengarah pada Sitta.

“Pakai ponselmu saja Sitta.” Celetuk salah satu pria.

“Pakai kamera saja, kebetulan hari ini aku bawa.” Kata Sitta sambil mengeluarkan kamera polaroid miliknya.

“Kamu punya kamera polaroid, Ta?” Tanya si wanita.

“Iya, Mbak.”

“Aku juga punya, ada di rumah. Aku tak pernah membawanya ke kantor karena menurutku itu tidak perlu. Kenapa kamu membawanya?”

“Hanya kebetulan saja.”

“Oh.” Mereka pun mengambil beberapa foto bersama.

Kketika mereka telah mengambil beberapa foto, si wanita berkata, “Coba kali ini aku yang memotret.”

Si wanita bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke arah Sitta sambil mengambil kamera di tangan Sitta. Ia mengarahkan kamera dan bersiap untuk berfoto bersama. Namun, ketika hendak berfoto, ia tak sengaja menyenggol minuman Sitta hingga kemeja berwarna cokelat yang dikenakan Sitta itu basah dan kotor karenanya, “Ah, Sitta! Kenapa kamu letakkan minumanmu di situ? Bajumu jadi basah!”

“Tak apa apa, Mbak.”

“Aku tak sengaja menumpahkannya.”

“Iya, Mbak.”

Acara malam itu tak berlanjut setelah insiden tumpahnya minuman Sitta karena mereka pun memutuskan untuk segera pulang, “Sudah kuduga, ia pasti memiliki maksud tertentu ketika mengajak kita makan bersama.” Kata si perempuan muda ketika berjalan bersama Sitta menuju parkiran motor.

“Aku tak yakin kekasihnya membelikannya mobil begitu saja. Pasti dia memohon-mohon untuk dibelikan mobil. Kamu tahu? Dia bersikap berbeda sejak waktu itu, sejak dia mempergoki kita pergi ke kantor mengendarai mobilmu. Aku yakin, sejak saat itulah dia merengek kepada kekasihnya supaya membelikan dirinya mobil. Aku juga yakin, setelah ini dia pasti juga beli kamera polaroid.”

“Dia sudah punya.”

“Eh? Kamu percaya?”

“Dia sendiri yang bilang jika dia memilikinya di rumah.”

“Halah! Tak perlu percaya pada ucapannya! Aku tahu jika dia tidak punya. Memangnya kamu tak melihat ekspresinya ketika mengatakan hal itu? Aku tahu bahwa dia berbohong. Dan malam ini, dia pasti merengek pada kekasihnya lagi. Aku heran, kenapa wanita seperti dia bisa memiliki kekasih? Pintar? Tidak. Cantik? Tidak terlalu. Bagaimana bisa seorang pria menjadikan wanita seperti dirinya sebagai kekasih? Apalagi dia adalah pria kaya, tentunya dia bisa mencari kekasih yang lebih baik. Oh? Atau dia adalah simpanan kekasihnya?” Sitta terkekeh dengan ucapan di perempuan muda, “Hei! Bisa jadi, bukan? Dia tak pernah mengenalkan kekasihnya. Menunjukkan fotonya saja tidak.”

Sitta pada akhirnya ingat tentang momen yang ada di balik foto itu. Malam itu, merupakan malam yang ganjil, sebab mengajak untuk makan bersama merupakan tindakan yang tidak pernah dilakukan oleh si wanita teman kerja Sitta itu. Sitta merasa jika dirinya tak begitu menaruh banyak perhatian pada kehidupan pertemanannya di kantor, itulah yang menjadi alasan mengapa Sitta memerlukan banyak waktu untuk mengingat kenangan yang ada di foto itu. Ia perlu menggali lebih dalam ke tumpukkan ingatannya guna menemukan kenangan tersebut.

Di halaman berikutnya, ia menemukan foto yang membuatnya tersenyum kembali. Ada tiga orang di sana, tiga perempuan yang sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka adalah sahabat yang kini tinggal berjauhan dengan Sitta sejak Sitta memutuskan untuk merantau ke kota lain ketika dirinya berkuliah. Ia tersenyum ketika melihat foto itu, sebab tak bisa dipungkiri, hanya dengan melihat senyuman ketiga perempuan itu saja, sudah cukup untuk membuat bibirnya melengkungkan senyuman.

“Ta, ada temanmu datang!” Teriak Ibu Sita dari luar rumah. Mendengar hal itu, Sitta segera berjalan ke luar dan melihat dua sahabatnya berjalan masuk dari arah pagar. Ketika mereka berpandangan, ketiganya berlari dan berteriak. Mereka saling memeluk sambil melompat-lompat kecil.

“Rasanya sudah lama sekali kita tak bertemu.”

“Ya, kamu kenapa jarang sekali pulang?”

“Ah, maaf. Perjalanan jauh terlalu memuakkan. Jadilah aku jarang sekali pulang. Ayo masuk, kita mengobrol di kamarku.”

“Kalian ambil sendiri minuman yang ada di kulkas, ya.” Kata ibu Sitta.

“Iya, Bu.” Sahut mereka bersamaan.

Mereka bertiga berjalan masuk ke dalam rumah dan langsung menuju lantai atas rumah Sitta, alih-alih mengambil minuman di kulkas terlebih dulu seperti kata ibu Sitta. Sesampainya di kamar, mereka langsung menghampiri kasur dan merebahkan diri di sana. Melihat kesamaan tindakan yang dilakukan ketiganya secara bersamaan itu, mereka pun tertawa.

“Jangan bilang sampai saat ini kalian berdua masih sama?” Tanya Sitta.

“Sama apa?” Tanya salah satu sahabat Sitta.

“Sama-sama banyak menghabiskan waktu di kasur.” Sahut sahabat Sitta lainnya yang membuat mereka lagi-lagi tertawa.

“Tentu saja! Magnet kasur tak pernah gagal untuk menarikku lagi dan lagi.”

“Oh, ayolah! Setidaknya cobalah beberapa hal yang lain.”

“Omong-omong soal hal lain, bagaimana liburanmu dengan teman-temanmu kemarin?”

“Kalian harus mencobanya! Seru sekali!”

“Oh, ya? Wahana apa saja yang kamu naiki?”

“Banyak! Tapi yang paling aku suka adalah saat menonton pertunjukkan teater di sana.” Kata Sitta dengan semangat.

“Di sana juga ada pertunjukkan teater?”

“Ya.”

“Ah, pasti seru. Aku bisa melihat kamu begitu bahagia di foto yang kamu unggah. Waktu itu juga kamu pakai baju warna biru, bukan?”

“Biru.” Kata Sitta dengan anggukkan.

“Aku senang bisa melihatmu menikmati masa-masa kuliahmu.” Perkataan salah satu sahabat Sitta membuat keheningan memenuhi ruangan. Ketiganya sibuk dengan pikiran yang melayang-layang, sampai sahabat Sitta yang lain menyahuti, “Seandainya dulu kita bisa sekolah di SMA yang sama.”

“Ya, kau benar.” Mendengar hal tersebut, Sitta mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk dan menatap kedua sahabatnya.

“Hei, jangan bicara seperti itu.”

“Kamu tahu? Sebenarnya itulah hal yang selama ini kami pikirkan. Karena kami berdua tak bisa menyamai kemampuan otakmu, kita jadi tak bisa menemanimu bersekolah di sekolah unggulan itu. Kalau saja kita bisa bersekolah di sekolah yang sama, kami tak perlu melihatmu bersusah payah mengubah dirimu menjadi orang lain.”

“Sitta yang ceria, Sitta yang warna-warni. Andai saja warna-warna cerah itu kamu pakai dengan suasana hati yang sama cerahnya.” Sitta tersenyum dan kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Ia berkata, “Setidaknya saat ini sudah lebih baik.”

Ponsel Sitta berdering, tanda bahwa ada sebuah panggilan telepon yang masuk. Ketika Sitta menatap layar ponselnya, ia bisa melihat bahwa panggilan tersebut adalah panggilan telepon dari teman-teman SMA Sitta.

“Halo?”

“Kamu sudah sampai di rumah, Sitta?”

“Sudah.”

“Bagaimana restoran yang aku rekomendasikan? Makanannya enak, bukan?” Tanya salah satu teman Sitta.

“Ya, lumayan.” Sahut teman Sitta yang lain.

“Makanannya enak, tapi pelayanannya lama. Untung saja aku datang ke tempat itu bersama dengan kalian, jadi tak perlu risau akan kehabisan topik obrolan.”

“Betul. Pelayanannya lama sekali. Tapi semua itu terbayar dengan minuman yang segar. Es cokelat yang kupesan rasanya enak.” Sahut Sitta

“Minumanmu enak? Minuman yang aku pesan tadi terlalu manis.”

“Kamu pesan apa tadi?”

“Aku pesan es leci. Kalau tahu begitu, seharusnya tadi aku pesan es teh saja.” Kata salah satu teman Sitta yang membuat mereka semua tertawa.

“Eh, kalian sudah lihat foto kita belum? Foto kita bagus.”

“Oh, iya! Aku baru saja ingin mengatakan hal itu.”

“Aku akan mengunggahnya di media sosialku, karena aku terlihat sangat cantik di foto itu.”

“Aku punya ide yang lebih bagus. Bagaimana jika kita semua mengunggahnya di media sosial? Kita jarang sekali, loh, bisa kumpul lengkap berempat. Biasanya Sitta tak bisa ikut karena dia sibuk.”

“Oh, ya. Benar. Kita unggah saja bersama.”

“Iya, nih. Kamu kenapa sibuk sekali, sih? Kita jadi jarang bertemu. Nanti, pokoknya kita harus pergi bersama lagi.”

“Setuju. Tapi jangan ke restoran itu lagi.”

“Kenapa?”

“Sitta mengalami kesulitan ketika memakan daging barbekyu.”

“Oh, ya? Kenapa, Ta?” Tanya salah satu teman Sitta.

“Di sana tidak disediakan pisau, hanya sendok. Dan dagingnya sulit dipotong dengan sendok.” Jawab Sitta.

“Kenapa tidak pakai tangan saja?” Mendengar hal tersebut, salah satu teman Sitta menyahuti, “Eh, Sitta tak bisa melakukannya. Dia kan wanita anggun, tak mungkin dia mengotori tangannya untuk makan. Dia harus tetap cantik.”

“Ah, benar sekali.”

“Kamu tak banyak berubah, Ta.” Kata teman-teman Sitta yang dibalas senyuman oleh Sitta.

“Omong-omong, kita unggah fotonya sekarang saja, yuk.”

“Iya, ayo.”

“Kamu jangan lupa mengunggahnya, Sitta. Jangan lupa juga tag nama kita-kita.”

“Iya.” Kata Sitta.

Panggilan telepon itu pun berakhir. Sitta meletakkan ponsel dan melihat kertas polaroid di tangan kirinya, fotonya bersama teman-temannya di masa SMA. Pandangan matanya kemudian beralih pada fotonya dengan sahabat-sahabatnya di album yang ada di pangkuannya.

“Lain kali, aku akan memakai baju warna abu-abu.” Kata Sitta. Ia meletakkan kertas foto polaroid di tangan kirinya ke dalam album, menutup album, meletakkan album itu kembali ke dalam laci nakas, berjalan menjauh, dan mematikan lampu kamarnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi