Ada bermacam-macam barang yang perempuan itu beli secara impulsif. Setiba di rumah, ia pun menyesalinya karena benda-benda yang ia beli itu sebenarnya tidak berguna untuknya.
Semula ia kerap mencibir kakaknya yang gemar belanja. Waktu itu ketika ia masih kuliah dan kakaknya sudah bekerja. Sering kali selepas kerja kakaknya tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ia singgah di pusat perbelanjaan atau mal yang bertebaran di kotanya. Ketika itu ia merasa heran, kenapa kakaknya itu mau-maunya dan sempat-sempatnya singgah ke pusat perbelanjaan sementara pulang bekerja pasti badan terasa penat, lelah dan letih setelah bekerja seharian.
Ia menyadari betul rumah cukup nyaman untuk dijadikan tempat pulang. Suasana kamar kakaknya sangat nyaman. Ada tumpukan bantal-bantal di atas sofa merah gelap. Di dinding ruang utama kamar, ada lukisan-lukisan semuanya dibingkai pigura dengan rapi. Kebanyakan lukisan adalah pemandangan malam kota Jakarta yang di dalam lukisan itu diterangi cahaya keemasan dari pijar lampu-lampu kendaraan, dan dari gedung bertingkat. Ada lukisan Taman Suropati di Menteng, kolam air mancur di Bundaran HI, dan Tugu Monas. Di bagian dinding yang lain, ada bingkai foto keluarga terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak. Itu foto keluarganya.
”Justru aku sedang melakukan refreshing,” sahut kakaknya ketika ia tanyakan apa yang membuat kakaknya begitu gemar ke tempat keramaian.
”Kok, cari penyegaran di tempat hiruk pikuk dan ramai seperti mal dan supermarket?” sungutnya dengan ketus.
Ya, waktu itu ia sungguh-sungguh tak mengerti. Kadang-kadang kakaknya mampir ke mal hanya untuk membeli sebungkus tisu wajah, lain waktu cuma membeli air dalam kemasan.
Ia tak menyangka, dua tahun kemudian ia pun terjebak oleh kegemaran yang sama, belanja. Kala itu ia mulai bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri. Rasanya ingin sekali ia ke mal setiap hari, atau berselancar mengunjungi toko-toko online. Seperti hal kakaknya, mula-mula ia hanya iseng, melihat-lihat barang dan menaksir-naksirnya barang sambil membanding-bandingkan harganya dengan toko sebelah.
Ternyata sangat menyenangkan sesuatu yang ia rasakan. Rasanya seperti lepas semua ketegangan dan beban akibat bekerja seharian di kantor apabila ia melihat deretan baju-baju yang digantung, sepatu-sepatu yang berjejer rapi di rak, memandang rangkaian aksesoris, perhiasan, atau jam tangan di balik etalase toko, memerhatikan pajangan kosmetik yang berwarna-warni, serta memegang-megang pakaian dalam yang lucu dan seksi-seksi.
Biasanya ia akan belanja, ketika mentalnya lelah akibat beban kerja yang datang bertubi-tubi. Ia membeli satu dua barang semacam pernak-pernik yang harganya memang tak seberapa. Atau tak jarang pula ia membeli sesuatu karena tak enak hati terhadap pramuniaga yang telah bersusah payah melayaninya dengan ramah, biasanya hal itu terjadi di toko sepatu atau tas.
Perempuan ini menyadari betul, karena ia mempunyai uang, ia berani membeli apa saja yang ia inginkan. Ia pun merasa koleksi pakaian, tas, dan sepatunya selalu kurang. Apabila ada orang lain yang mengingatkan, ia selalu membela diri dengan berdalih, ”Apabila aku suka, mengapa tak membeli? Toh, aku bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri”. Pembelaan itulah yang selalu mendorongnya untuk membeli apa saja yang ia inginkan.
Tentu ia sangat menikmati ketika ia mengenakan blus baru, sepatu baru, tas baru, atau bra dan celana dalam baru. Bahkan ia pun membeli ponsel baru, meski ponsel lamanya masih bagus dan berfungsi dengan baik.
Ia merasa sangat pusing dan tertekan apabila dalam seminggu ia tidak belanja di mal, atau belanja online. Ia seolah merasa kerinduannya akan belanja sama menggigitnya dengan kerinduan pada kekasihnya. Kalau belum belanja, ada yang belum tuntas, atau ada sesuatu yang hilang dari dirinya, dari kehidupannya.
Keinginannya untuk belanja menjadi-jadi secara menggebu menjelang periode menstruasi. Perempuan tertentu punya masa PMS, pre-menstrual syndrome, yang menjadikannya sebagai pembelanja impulsif. Ia menduga ia adalah salah satunya. Ia pun tak bisa menghindari diri dari sindroma ini. Ia pun memiliki gejala PMS yang lain, seperti mulas-mulas disertai perasaan depresi dan kondisi emosional tanpa sebab.
Pada masa-masa kritis seperti itu, ia akan sangat merasa tubuhnya menjadi nyaman, perasaannya menjadi enak, apabila ia berada di pusat perbelanjaan lalu memborong barang-barang belanjaan. Gejala PMS ini bisa mendadak menjadi berkurang atau hilang sama sekali pada saat ia banyak membeli barang, dan tentu barang-barang yang sebenarnya tak berguna untuknya.
Ketika ia sampai di rumah, ia menyesali dirinya. Barang-barang dibelinya tak bermanfaat untuknya. Ia hanya membuang-buang uang, saat itulah ada perasaan bersalah menyerangnya. Tersebab, ia tentu mempunyai keperluan lain yang lebih penting daripada barang-barang yang ia beli secara impulsif itu. Seperti merencanakan keuangannya untuk membeli rumah atau berinvestasi.
Perempuan itu pun menyadari bahwa selama ia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan marketing, ia hanya menghabiskan gaji tanpa pernah menyisihkan sedikit pun untuk hari depan. Namun, semakin ia sesali, semakin ia merasakan kepanikan yang luar biasa atas dirinya.
Maka untuk menenangkan diri, ia pergi ke pusat perbelanjaan dan belanja barang apa saja yang menurutnya menarik dan menenangkan hatinya. Rupanya belanja sudah menjadi semacam kebutuhan mentalnya dalam mencari penyaluran, dan mencari perasaan aman. Seperti orang yang ketagihan narkoba. Ia sudah masuk dalam lingkaran setan yang ia buat sendiri.
Pada saat itulah, ia ingat kakaknya. Dulu, kakaknya pun sama dengan dirinya, doyan belanja, meskipun ia merasakan bahwa ia jauh lebih parah.
Kakaknya sudah menikah dan kini tinggal di kota lain. Ia pun berkunjung ke kota kakaknya tinggal, selain untuk bersilaturahmi, ia bermaksud bertanya sesuatu kepada kakaknya.
”Apakah Kakak masih suka belanja?”
”Tidak lagi,” jawab kakaknya tegas. Perempuan itu terperanjat dengan jawaban kakaknya.
”Sejak aku hamil dan punya bayi, aku merasa bertanggung jawab memenuhi kebutuhannya. Dan aku berhasil menahan keinginan belanjaku, demi anakku dan masa depannya,” lanjut kakaknya.
Ia tak bercerita soal kebiasaan belanja yang sekarang dialaminya kepada kakaknya. Ia begitu penasaran dan ingin tahu bagaimana kakaknya bisa mengatasi kebiasaan belanja dulu. Ternyata jawabannya adalah rasa tanggung jawab terhadap buah hati atau anaknya bisa membuat kakaknya berhasil menahan hawa nafsu belanja. Ia memang belum punya tanggungan. Ia punya pacar, tetapi kekasihnya juga memiliki pekerjaan dan berpenghasilan. Ayah dan ibunya pun tak membutuhkan uangnya. Malah, terkadang mereka masih sering menanyakan keperluannya.
Sepulang dari rumah kakaknya, ia berusaha mencari jalan untuk menghentikan kebiasaan belanja impulsifnya itu. Ia juga menyadari, kenyataannya ia sering merasa tersiksa dengan barang-barang yang dibelinya ternyata tak berguna, karena ia tak membutuhkannya. Ia benar-benar merasa bersalah. Perihal rasa bersalah ini, ia utarakan kepada pacarnya.
Jalan itu terbuka ketika pacarnya mengajak ke toko buku untuk mencari buku marketing terbaru. Di toko buku ia membeli beberapa buah buku bacaan lainnya.
Ia berpikir, sejak ia bekerja, ia melupakan hobinya membaca buku. Membaca buku-buku fiksi. Ia pun membeli beberapa novel dan kumpulan cerpen. Ada novel ”Orang-Orang Oetimu” karya Felix K. Nesi, ”Burung Kayu” karya Niduparas Erlang, kumpulan cerpen ”Apa yang Tak Bisa Membuatmu Bersedih, Ia Juga Tak Bisa Membuatmu Bahagia” karya Sungging Raga, serta buku fiksi terjemahan karya penulis luar negeri, ”Si Tukang Onar” karya Maxim Gorky penulis dari Rusia yang diterjemahkan oleh Eka Kurniawan. Sebenarnya ia ingin sekali membeli buku kumpulan cerpen karya Bamby Cahyadi, sayang sekali kedua penulis cerpen ini tidak menerbitkan buku terbaru, ia berharap cerpenis Bamby segera menerbitkan buku di tahun 2021. Kelak buku kumcer terbaru cerpenis yang juga manajer itu akan terbit di awal tahun 2022 berjudul "Seminar Mengatasi Keluhan Pelanggan". Sejak itu hobi membaca buku ia mulai lagi dengan penuh gairah. Ia pun larut dalam keasyikan membaca buku dengan cerita-cerita memikat.
Pun sebagai wujud penyesalan atas barang-barang yang ia beli tetapi tak berguna untuknya, ia lalu mengumpulkannya dan ia sumbangkan pelbagai barang itu kepada orang-orang yang membutuhkan.
Membaca buku adalah sebuah keindahan. Rasanya masih banyak yang ditawarkankan kehidupan ini, dari membaca buku. Buku yang belum dibacanya membuat ia tak sabar menunggu waktu pulang kantor tiba dan buru-buru pulang ke rumah untuk membaca buku sambil beristirahat hingga malam larut. Dari membaca buku ia berhasil mengalihkan pikirannya dari berbelanja barang-barang yang tak ia butuhkan. Bahkan buku yang ia baca itu berhasil membuatnya ingin mencoba menulis buku.
Memang, sebagai perempuan apalagi saat PMS tiba, ia terkadang masih tergoda untuk belanja sesuatu di mal atau di toko online, namun hasrat belanja itu ia hilangkan dengan membaca buku yang belum tuntas dibacanya, dan ia pun mulai menulis. Ya, ia menulis.
Mungkin ada benarnya, apabila perempuan ini terlalu memfokuskan perhatiannya pada hobi belanjanya, suara yang terdengar di kepalanya adalah godaan untuk belanja yang akan selalu menggedor-gedor hasratnya.
Dengan segenap usaha, ia berhasil menaklukkan hasrat belanjanya. Ia pun mulai menulis tentang hobi belanja secara impulsif itu dalam bentuk sebuah cerita pendek.***