Disukai
0
Dilihat
891
Sang Penghancur
Drama

Tanah yang kupijak retak. Dinding yang kusentuh hancur. Manusia yang kusentuh meledak. Tanaman yang kusentuh langsung layu. Hewan yang kusentuh juga langsung hancur. Inilah aku Sang Penghancur. Sebuah kisah yang penuh keputusasaan.

Sebulan yang lalu, sebelum aku mendapatkan kutukan sebagai Sang Penghancur. Saat itu aku baru mandi sore. Karena terlalu lelah setelah bekerja seharian, aku berencana untuk menonton televisi. Tapi, baru saja kunyalakan, televisi itu langsung meledak. Tanah yang kupijak retak. Entah angin dari mana, kutukan itu aktif begitu saja.

"Liman, apa yang telah kamu lakukan?!" seru ibuku yang mendengar keributan yang baru saja kulakukan.

Aku tak bergeming. Belum paham dengan apa yang baru saja terjadi. "Saya tadi menyalakan televisi, Bu. Tapi tiba-tiba meledak televisinya." Aku berusaha menjelaskan.

Ibuku menggeleng bingung. Tapi segera tersenyum karena sebenarnya hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke dua puluh. Sepertinya beliau berencana memaafkan semua kesalahanku hari ini. Lalu mendekatiku. Saat dia hendak memeluk kepalaku, tubuhnya langsung meledak. Darahnya menyiram seluruh tubuhku. Tentu saja itu membuatku sangat shok. Ibu yang telah merawatku selama bertahun-tahun meledak begitu saja. Serpihan dagingnya bercampur tulang halus melukis merah ruangan itu.

Kenapa denganku?

Apa yang sedang terjadi?

Ketakutan segera menyergapku. Di saat yang sama ayahku melihat kejadian itu langsung lari tunggang langgang sambil berteriak. "Iblis. Anakku seorang iblis!"

"Bukan! Saya bukan iblis!" teriakku frustasi ketakutan. Aku berusaha berlari mengejar ayahku yang terus berteriak histeris di luar. Sampai sampai mengundang keingintahuan warga kampung.

Saat aku mengejar. Lantai yang kupijak retak-retak. Tapi aku tak peduli. Aku takut dengan keadaanku. Melihat kerusakan yang kubuat para warga melempariku dengan batu. Tapi sia-sia, batu itu langsung hancur begitu mengenai tubuhku. Ketakutan warga menyebabkan para polisi turun tangan. Mereka berusaha menembakkan senjata padaku. Tapi lagi-lagi peluru yang meluncur cepat itu hancur berkeping-keping. Aku telah kebal dengan apapun. Mereka takut denganku. Tapi aku lebih takut dengan hal yang kualami ini.

Para tentara memberondongku dengan gatling dan bazooka. Aku tetap tidak mati. Aku seakan telah menjadi makhluk abadi. Dan itu membuatku semakin takut. Sebaiknya aku mati saja, pikirku.

Berita dengan cepat menyebar saat diupload di media sosial. Mereka menamaiku Sang Penghancur. Aku kabur dari kampungku. Tapi tetap saja, jejakku mudah terlacak. Aku tidak bisa sembunyi. Presiden menjadikanku buronan nasional. Bahkan sampai berani membuat sayembara. Siapa saja yang bisa membunuhku, dia boleh menjadi presiden saat itu juga. Benar-benar pemerintahan yang gila.

Seketika banyak orang berbondong-bondong untuk membunuhku. Segala macam senjata selalu mengejarku. Pagi siang sore malam. Aku tak bisa tidur berhari-hari. Aku juga tidak bisa makan. Tidak bisa minum. Makanan yang kusentuh langsung hancur. Cairan yang kusentuh menguap. Tapi aku tidak pernah kelaparan ataupun kehausan.

Seminggu

Sebulan

Setahun

Aku terus berjalan tak kenal lelah. Aku ketakutan pada diriku yang berubah menjadi monster. Apalagi orang-orang juga mulai melupakanku. Tak ada lagi yang mau membunuhku. Jujur saja aku kesepian tanpa orang-orang dengan niat membunuh itu. Hal itu membuatku semakin frustasi. Tak kenal lelah. Aku sudah sangat ingin mati. Tapi tidak bisa. Loncat dari menara, menaranya hancur duluan. Menyayat diri pakai pisau, pisaunya hancur duluan. Mau menenggelamkan diri di laut. Lautnya menguap duluan.

Aku sudah seperti orang gila. Bergerak ke sana ke mari tak tentu arah. Bahkan aku sudah tak peduli lagi saat ini aku sudah berjalan berapa ribu kilo. Atau sekarang hari apa. Siang atau malam. Acara di televisi yang sedang ramai apa. Aku tak tahu lagi. Aku hanya bisa berjalan tanpa henti.

Entah sudah berapa lama aku terus begitu. Kehilangan arah dan harapan. Tiba-tiba ketika menyusuri jalan lurus tak berujung, sebuah tempat yang indah, namun penuh dengan kesunyian, seorang wanita menegurku dengan suara yang merdu, rasa-rasanya dia setengah bernyanyi dalam mengucapkannya. "Mau kemana, Mas?"

Aku terkejut. Entah sudah berapa lama aku tak mendengar suara manusia lagi.

"Mau saya antar?" katanya.

Aku menoleh ke arahnya. Cantik. Sepeda keranjang warna biru dia tuntun di sebelahnya.

"Kok diam? Ada masalah?"

Aku tetap berjalan. Membiarkan retak tanah di belakangku memberitahunya kalau aku orang yang berbahaya.

"Masalah emang terus ada, Mas. Itu sudah lumrah."

Aku mulai risih dengannya. Bukan karena dia sok menceramahiku, tapi aku risih karena dia terus mengikutiku.

"Masalah nggak akan selesai kalau nggak diselesaikan."

"Kamu seharusnya menjauh dari saya." Setelah sekian lamanya tak bicara. Kini suaraku mirip kodok ngorek.

Dia tertawa. "Suaranya lucu."

"Kamu bodoh apa? Kamu tidak lihat kalau saya Sang Penghancur?"

"Tahu kok."

Aku terkejut mendengarnya, berhenti berjalan.

"Seharusnya kamu pergi, bukan malah mengikuti seperti ini."

"Eh itu wajah kamu ada daunnya." Dia mau menyentuh wajahku. Aku buru-buru menarik diri.

"Kamu bisa meledak, Bodoh!"

Dia malah tertawa. "Coba saja."

Dia malah berusaha memegang tubuhku. Aku yang tak ingin menyakiti seseorang lagi segera berlari. Dia mengejar. Menanggalkan sepeda birunya "Tunggu, Mas."

Aku tak menoleh lagi. Aku tak akan tega membiarkan gadis cantik itu meledak di depanku.

Saat itulah aku melihat jurang. Yah, itu cara terakhir buatku bunuh diri. Jurang di depanku ini adalah jurang yang sangat dalam. Saking dalamnya, tidak ada orang yang mau mengambil mayat di bawah sana. Selama seminggu ini inilah tujuanku. Yang orang-orang sebut sebagai Ujung Dunia.

Sebelum menjatuhkan diriku. Aku berhenti di pinggir jurang. Aku berbalik melihat gadis cantik itu yang cukup jauh. "Terima kasih sudah mau bicara dengan saya. Tapi, maaf saya sudah lelah dan ingin semuanya berakhir. Selamat tinggal."

Tersenyum lega. Lalu, aku menjatuhkan diriku.

Angin sejuk menerpaku. Rasanya lega. Tak ada beban. Aku yakin kalau aku bakal mati, dan itu membuat hatiku tenang. Tapi ketenanganku terusik saat kulihat gadis tadi ikut melompati jurang itu.

"Bodoh. Kenapa kamu ikut saya?" bentakku kesal dan benar-benar tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Dia tersenyum. Memangkas jarak dengan menghentakkan kakinya di bebatuan dinding jurang. Kini tubuhnya hanya terpaut semeter denganku. Tangannya yang putih mulus bak bidadari berusaha menggapai tubuhku.

Melihat kegigihannya aku malah meneteskan air mata. "Kenapa kamu mengikutiku sampai sejauh ini? Saya tak mau membunuh orang lagi. Saya mohon mengertilah."

Dia tersenyum. Dengan hentakan terakhirnya. Tubuhnya menabrak tubuhku keras. Lalu perlahan memelukku lembut. "Apa yang kamu lakukan?"

Tapi anehnya dia tidak meledak seperti orang-orang yang selama ini menyentuhku.

Langit sore dengan sapuan warna jingga di sepanjang dinding jurang dia menatapku dengan wajahnya yang masih tersenyum. Hatiku serasa sejuk. Sesejuk angin sore yang mengibarkan rambut gadis itu. Lalu dengan suara yang menggetarkan hati, dia berkata,

"Aku Sang Pemulih."

Dampit, 19 April 2020

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi