Disukai
0
Dilihat
1,407
Pemakaman Seorang Suami, Bapak Dan Kekasih
Drama

Tino membuka pintu dengan tiba-tiba dan mengejutkan Raya yang sedang duduk termenung di meja kerjanya.

"Dia sudah datang," ucap Tino tanpa melepaskan gagang pintu ditangannya seolah-olah menunggu jawaban dari kakaknya.

"Kamu yakin?" Raya berdiri dan berjalan mendekat kearah jendela lalu mengintip sedikit keluar dari balik tirai.

Tino mengangguk saat Raya menatapnya.

"Mulailah acara pemakaman Bapak dan jangan beritahu ibu tentang kedatangannya, biar aku yang akan mengurusnya nanti."

Sekali lagi Tino mengangguk lalu menutup pintu.

Raya kembali mengintip dari balik tirai jendela, menatap sosok perempuan yang masih cantik diusia setengah abad lebih, duduk menyendiri dideret paling belakang. Tampak raut sedih tergambar jelas dari wajahnya dan mata yang terlihat telah lelah mengeluarkan airmatanya.

Dan tak terasa air mata Raya pun ikut menetes, teringat pembicaraan terakhir dengan mendiang ayahnya seminggu yang lalu.

***

Raya memandang bapaknya yang menatap kosong kearah danau dan mencoba menerka apa yang sedang dia pikirkan. 

Dia mencoba menahan titik air matanya agar tidak jatuh, memadang laki-laki yang raga dan jiwanya telah kalah berperang melawan kanker prostat. 

Raya memeluk bapaknya sambil berurai air mata, tak peduli akan janjinya untuk tidak menangis lagi dihadapannya.

Arif tersenyum dan membelai lembut rambut putri kesayangannya itu, mencoba menenangkannya. 

"Kamu sudah janji kan nduk?"

Raya hanya menganguk dan melepas pelukannya lalu mengusap air matanya.

“Kalian bertengkar lagi?”

Seolah-olah Raya tahu kemana arah pembicaraan bapaknya, dia melihat kebelakang dan mendapati Kevin kekasihnya sedang berdiri tidak jauh dari tempat dia duduk, mengawasinya.

“Kami hampir tidak pernah bertengkar, hanya satu hal yang selalu membuat kami berbeda pendapat…keluarganya?”

“Kamu mencintainya.”

Raya terdiam, “Raya…”

Arif terkekeh, “Itu bukan pertanyaan nduk…'”

Raya tersenyum dan diam-diam tersipu.

“Dia mengingatkan bapak pada seseorang.”

"Siapa pak ?" tanya Raya penasaran.

Arif tersenyum dengan tatapan menerawang kearah danau, “Bapak…”

Raya terekejut.

“Yang membedakan hanya dia lebih berani mengejar cinta sejatinya dan melawan dunianya yaitu keluarganya.”

“Pak…” 

Arif menoleh pada Raya yang menatapnya dengan kebingungan lalu tersenyum padanya untuk menenangkannya.

“Ada satu rahasia masa lalu bapak yang ingin bapak ceritakan padamu nduk, bapak harap kamu mau mendengarnya.”

Raya mengangguk.

Arif kembali menatap danau dengan tatapan menerawang dan memegang lembut tangan Raya,

"Ceritakanlah apa yang menurutmu terbaik untuk ibumu dan kedua adikmu." Arif menatap putrinya, "Bapak menyayangi kalian, itu yang terpenting yang perlu kalian tahu," lanjutnya lalu mendang kearah danau yang masih berkabut.

Raya memegang erat tangan bapaknya sambil mendengar dengan sabar bapaknya bercerita.

"Namanya Liana..."

Sebuah jeda yang bisa Raya rasakan bahwa ada kepedihan saat Ayahnya mengucapkannya.

"Seorang perempuan keturunan tionghwa tangguh yang masih bisa bangkit disaat dia kehilangan semua dalam hidupnya, keluarga dan hartanya waktu kerusuhan Mei. Butuh berbulan-bulan bagi dia untuk bisa kembali hidup normal dan menghilangkan trauma akibat kerusuhan waktu itu, walau bapak yakin semua luka dan trauma itu tidak akan pernah bisa hilang dari hidupnya. Perlahan dia buka kembali kedai milik keluarganya yang dulu cukup terkenal di kota Solo, dan memulainya kembali dari nol. Berkat kerja kerasnya dan bakat memasak yang diturunkan ibunya, membuatnya berhasil mengembalikan kejayaannya kedai keluarganya sampai saat ini. Dan semuanya itu bermula hanya dia dan bapak, yang waktu itu dia hanya mampu membayar satu orang karyawan. Mungkin karena sebelumnya bapak pernah menjadi sopir pribadi keluarganya, dia percaya dan meminta bapak untuk membantunya. Tanpa kami sadari rasa cinta itu muncul diantara lelah perjuangan kami setiap hari di kedai, dan hampir tiga tahun lamanya kami menjalani hari-hari bahagia kami di kedai, hingga kami sadar kalau cinta kami tidak akan pernah sampai ke pelaminan. Perbedaan keyakinan dan usia tidak akan pernah memenangkan hati kakek dan nenekmu."

Arif terdiam sejenak.

“Kami berpisah karena bapak akan menikah, dan dia menepati janjinya menghilang dari hidup bapak setelah bapak menikah. Bapak tahu hatinya sangat hancur, dan diapun bisa merasakan kalau hati bapak lebih hancur karena perpisahan itu.”

"Entah darimana dia tahu saat bapak ditangkap polisi karena membela nenekmu dari amukan anaknya yang sudah dibutakan hatinya karena warisan. Tiba-tiba Liana muncul kembali saat bapak mendekam di penjara, dan selama lima belas tahun, dia tidak pernah absen menjenguk bapak setiap minggunya. Dialah yang diam-diam merawat dan menjaga kalian selama lima belas tahun ini, menyekolahkan kamu, Tino dan Tono sampai selesai dan diam-diam memberikan ibumu pekerjaan di kedainya."

"Dan dia menghilang kembali setelah bapak keluar dari penjara."

Arif menitikan air mata dan membuat Raya terkejut karena selama ini dia tidak pernah melihat bapaknya menangis.

"Dia akan datang saat pemakaman bapak nanti dan berjanjilah pada bapak agar dia bisa melihat bapak untuk terakhir kalinya."

Arif menatap Raya yang terisak dan memegang tangannya.

"Jangan biarkan dia sendiri dan kesepian. Dia yang selamanya mencintai bapak, tapi tak pernah bisa memiliki bapak. Dia yang selamanya merindukan bapak, tapi tak pernah bisa memeluk bapak."

Arif menangis dipelukan putrinya, yang hanya bisa terdiam melihat sosok yang selalu kuat dihadapannya bisa serapuh ini.

***

Kevin memarkirkan mobilnya disebuah kedai yang berada ditengah kota Solo. 

Raya melihat kedai itu lebih dekat dari kaca mobil depan dan memastikan kedai itu sama dengan kedai yang berada di dalam foto yang sedang dia pegang.

“Ini kedainya, sama persis dengan yang difoto walau ini foto lama," ucap raya meyakinkan dirinya sendiri sambil menatap foto bapaknya dan sosok yang dia yakini adalah Liana, sedang berdiri dan tersenyum di depan kedai.

“Ini kedai langganan keluargaku, kenapa tidak bilang kalau ingin makan disini.” Kevin melepas sabuk pengamannya dan hendak membuka pintu namun dicegah Raya.

“Kamu sering makan disini?” tanya Raya dengan tatapan penasaran pada Kevin, yang hanya bisa menjawab dengan anggukan.

“Aku dan keluargaku, walau tidak sering tapi selalu menyempatkan makan disini.”

“Kamu kenal dengan pemilik kedai ini?”

Kevin bingung dengan pertanyaan Raya walau akhirnya dia hanya menggeleng.

Raya mengehela nafas dan merasa kecewa dengan jawaban Kevin.

“Kamu ingin makan di sini kan?” tanya Kevin ragu, “Atau ada hal lain?” Tiba-tiba Kevin meraih foto dari tangan Raya.

“Foto apa ini? Siapa mereka?”

Raya hanya terdiam lalu merebut foto dari tangan Kevin dan keluar dari mobil.

“Sayang…” teriak Kevin lalu ikut keluar dan mengikuti Raya masuk kedalam kedai.

Tanpa basa-basi, Raya langsung menuju ke bagian kasir yang saat itu tidak terlalu sibuk.

“Permisi mbak, maaf menganggu sebentar.”

Kasir itu tersenyum ramah pada Raya, “Bisa saya bantu Kak?"

“Kalau saya ingin bertemu dengan Ibu Liana, pemilik kedai ini, bisa nggak ya?” Ada perasaan takut saat Raya melontarkan pertanyaan pada kasir kedai.

“Maaf ada keperluan apa ya kak…?”

“Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan ke ibu Liana...penting.”

Raya memegang erat tangan Kevin yang berdiri di sampingnya dan tidak menyela satu patah katapun. Kevin hanya membalas dengan sentuhan lembut tanganya pada Raya.

“Ada apa Ta? Apa ada masalah?” tanya seorang perempuan yang mendekat kearah mereka.

“Ini Bu, mbak Raya ini ingin bertemu dengan Ibu Liana?” jawab Tita sang kasir.

Perempuan itu tersenyum dan mengangguk pada Raya, “ Saya Via, supervisor di sini. Untuk saat ini Ibu Liana sedang tidak berada di sini mbak, bahkan dia jarang berada di kedai ini, karena semuanya sudah dia serahkan dan percayakan pada pegawainya.”

Wajah Raya tampak kecewa, “Maaf mbak, apa kira-kira saya bisa mendapatkan nomor handphonenya ya, maaf sebelumnya.”

Via tersenyum lagi pada Raya, “Maaf mbak, untuk hal itu saya tidak berani memutuskan sekarang, paling tidak saya harus bertanya dahulu pada Ibu Liana.”

“Tapi nanti tetap akan saya sampaikan kedatangan mbak Raya pada Ibu Liana,” lanjut Via 

“Katakan pada Ibu Liana, Raya putrinya Pak Arif Setyawan yang dulu pernah bekerja di sini, ingin bertemu secepatnya.” 

Via hanya mengangguk dan tersenyum.

“Terimakasih mbak, maaf menganggu waktu kerjanya.”

Raya menggandeng tangan Kevin untuk keluar bersama dari kedai, namun mereka berhenti dan terkejut saat melihat kedatangan orang tua Kevin dan kedua adiknya.

 “Om…Tante…,” ucap Raya sesopan mungkin dengan senyuman diwajahnya.

Orang tua Kevin hanya terdiam dan menatap mereka.

“Papa… Mama…”

Orang tua Kevin mengacuhkan sapaanya lalu berlalu menuju kedalam kedai, diikuti kedua adik Kevin yang diam-diam melambaikan tangan pada Kevin dan tersenyum padanya.

Kevin menarik tangan Raya dan membimbingnya masuk kedalam mobil mereka.

“Kamu akan merindukan mereka?” Raya meraih tangan Kevin yang hendak menyalakan mobilnya.

“Aku bisa menghubungi adikku,” jawab Kevin sambil menatap Raya yang juga menatapnya.

“Kita akan bertengkar dan kamu akan mengungkit hal ini…”

“Kita selalu bertengkar,” potong Kevin, “Bukan bertengkar, berdebat…kita selalu berdebat tentang pekerjaan kita, pasien-pasien kita, dan semua hal yang membuat kita akan lebih saling mencintai dari sebelumnya.”

Raya memegang lembut pipi Kevin, “Kenapa kamu memilihku?”

Kevin tersenyum dan membalas menyentuh pipi Raya dengan lembut, “Bagaimana aku tidak jatuh cinta pada pandangan pertama pada sosok Intern sok pintar yang membuatku khawatir, apakah aku cukup pintar untuk menjadi Residen nya?”

Raya tersenyum dan mencium lembut tangan Kevin, “Dan bagaimana aku bisa jatuh cinta dengan residen sok bossy yang doyan menyiksa intern nya didepan dokter spesialis rumah sakit.”

Mereka berdua tertawa lalu terdiam dalam hening dan saling menatap.

“Apapun atau siapapun yang sedang kamu cari, aku harap sebanding dengan waktu yang kamu habiskan jauh dari bapak," ucap Kevin lembut, “Kita tahu, bapak sudah tidak banyak waktu lagi," lanjutnya sembari menghapus air mata Raya.

“Aku tahu mas, aku hanya belum siap kehilangan bapak. Aku hanya ingin memberikan sesuatu yang bisa membuatnya bahagia disaat-saat terkahirnya.”

“Seseorang yang sedang kamu cari, kamu yakin akan membuatnya bahagia?”

Raya menatap Kevin, “Mungkin… entahlah, mungkin akan membuatnya bahagia tapi mungkin akan menyakiti hati seseorang.”

“Sudahlah, kita akan memikirkannya nanti, yang terpenting sekarang kita selalu menemani bapak, dan membuat bahagia bapak sebisa mungkin.”

“Menjadikannya wali nikahmu mungkin akan menjadi hal terindah baginya saat ini.”

Raya yang sedang memasang sabuk pengamannya terkejut dengan ucapan Kevin,

“Maksud Mas…?”

Kevin hanya tersenyum bahagia dan mengangguk pada Raya.

Tiba-tiba Raya memukul manja lengan Kevin, “Serius… melamarku di pinggir jalan? Di dalam mobil yang panas? Di depan keluargamu yang mungkin sedang menatap kia dengan penuh kebencian, dan di depan Kedai…”

Tiba-tiba Raya terdiam dan menatap kedai di depannya lalu menitikkkan air mata.

Kevin memegang lembut tangan Raya, “Katakan padaku itu air mata bahagiamu?”

Raya menatap Kevin dan mengangguk lalu menjatuhkan dirinya dalam pelukan Kevin.

“Cerita itu terulang kembali, tapi dengan akhir cerita yang berbeda,” ucap Raya lirih.

***

“Acara akan segera dimulai.”

Raya tidak menyadari kehadiran ibunya di ruang kerjanya. Dia hanya tersenyum menatapnya dan berharap dia tidak curiga kalau Raya sedang menatap seseorang.

“Mana Suamimu? Dari tadi ibu mencarinya.”

“Dia sedang menyipakan tempat pemakaman Bapak, sebentar lagi dia pasti kembali.”

“Ayo kita keluar." 

Ibu Arif terkejut melihat Raya hanya terdiam menatapnya dan mengabaikan ajakannya.

“Ada apa nduk?”

Raya menitikkan air mata yang membuat Ibunya khawatir dan mendekat kearahnya, 

“Ada apa? Kangen Bapak ?”

Raya hanya mengangguk.

Ibu Arif mengusap lembut rambut Raya.

“Ada yang ingin Raya sampaikan tentang Bapak.”

Ibu Arif hanya tersenyum pada Raya yang membuat Raya sedikit terkejut.

“Tentang apa? Kalau itu sebuah rahasia biarlah tetap menjadi rahasia, tapi kalau kamu tetap ingin menceritakannya pada ibu...ceritakanlah,” diusapnya air mata Raya.

Tiba-tiba Ibu Arif melangkah mendekat ke jendela dan menyibak sedikit tirai yang menutupinya lalu menatap kearah luar.

Raya hanya bisa terdiam menatap ibunya.

“Sebuah foto bisa mengartikan segalanya, sebuah cinta, sebuah persahabatan atau hanya rekan kerja biasa.”

Raya terkejut medengar ucapan ibunya, "Ibu…"

“Itulah hal yang ibu pikirkan ketika menemukan foto yang mungkin saat ini sedang kamu simpan.”

Raya menghampiri ibunya, terisak sambil memeluknya dari belakang.

“Tapi Ibu tidak pernah mencari tahu arti dibalik foto itu, karena Ibu takut kehilangan bapakmu.”

Ibu Arif mulai menitikkan air mata.

“Ibu dan Bapakmu, hidup dilingkungan keluarga yang masih menimbang bibit,bebet dan bobot. Sebuah pernikahan yang dipaksakan, tapi tidak membuat kami memberontak. Bapakmu tetap menjadi sosok suami yang baik bagi Ibu, sayang dan betanggung jawab pada Ibu dan kalian. Sosok yang dulu Ibupun tidak mencintainya, namun seiring berjalannya waktu, dia bisa membuat ibu mencintainya lebih dari apapun.”

“Walapun terkadang ibu bisa merasakan, ada setengah dari hatinya yang tidak bisa Ibu miliki, tapi Ibu tetap mencintainya, karena dia sosok suami yang bertanggung jawab , yang sayang pada keluarganya dan tidak pernah menyakiti Ibu atau kalian."

“Ibu hanya merasakan sakit saat melihat Bapakmu termenung sendiri atau saat dia memeluk erat Ibu dengan rasa sayangnya, Ibu merasakan sakit bukan karena cemburu, tapi karena merasa bersalah telah menjadi sosok pemisah diantara mereka.”

“Ibu…” Raya terisak, dan Ibunya menenangkannya dengan sentuhan tangan Raya dibahunya.

“Ibu merasa kasian dengannya, dan kadang ikut menangisinya, betapa tersiksanya hidup didalam cinta yang tidak pernah tergapai dan terjebak dalam kesetian yang sia-sia.”

Ibu Arif berpaling pada Raya dan menatapnya lalu memegang erat tangannya, “Jadi apapun cerita dibalik foto itu, biarlah menjadi rahasiamu dengan Bapakmu. Biarkan Ibu membawa kenangan suami Ibu yang begitu sayang dan mencintai Ibumu ini, selamanya, sampai nanti kita dipertemukan lagi.”

Raya mengangguk dan diusapnya air mata ibunya, begitupun sebaliknya.

“Mari kita menjemputnya, Ibu yakin Bapakmu ingin dia melihatnya untuk terakhir kalinya.”

*** 

Raya, ibunya dan kedua adiknya berdiri dan tersenyum dihadapan Liana.

"Dia menunggumu," ucap Raya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi