"Jika kamu diberi kesempatan bertemu dirimu sepuluh tahun yang lalu, apa yang akan kaulakukan?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba duduk di sebelahku.
Aku mengangkat kepala dan menghapus air mata yang ada di pipi. Kutatap wajah gadis itu, dia cantik dan manis seperti penggambaran peri-peri di cerita dongeng sewaktu aku kecil---walau aku sendiri tidak pernah dibacakan cerita dongeng oleh ibuku sebagai penghantar tidur.
Aku tertawa sarkas. "Maaf, Nona, aku sudah dua puluh tahun. Aku sudah tidak mempercayai hal-hal seperti itu, lagi pula jika aku menjawab pertanyaanmu, bukankah jawaban itu hanya khayalan? Toh, aku nggak akan bisa menemui diriku sepuluh tahun yang lalu."
Gadis itu tersenyum, lantas dia mengelus pelan rambutku, setelah itu ia meraih telapak tanganku yang penuh darah.
Dengan senyum yang menenangkan, gadis itu bertanya. "Azka, apa kamu percaya keajaiban?"
Aku menggeleng. "Terakhir kali aku percaya keajaiban, keluargaku mati semua."
"Kali ini berbeda, aku akan memberikanmu kesempatan untuk bertemu dirimu sepuluh tahun yang lalu, kau bisa mengatakan apapun padanya, termasuk kejadian hari ini agar tidak terulang lagi. Aku akan memberikanmu waktu lima menit," ujar gadis itu.
Aku tersenyum. "Kau pasti meminta imbalan."
Gadis itu tertawa. "Kau laki-laki yang cerdas."
Gadis yang sampai saat ini belum aku ketahui namanya itu kini mengambil pisau penuh darah yang ada di sampingku, ia menunjukkan pisau itu di hadapanku.
"Aku hanya ingin meminta sedikit darahmu," kata gadis itu.
Aku tersenyum miring. "Sudah kuduga, apa kau ingin melakukan perjanjian darah? Atau kau mau semua darahku?"
Gadis itu menggeleng. "Daripada kau melukai dirimu sendiri dengan pisau ini dan menyia-nyiakan darahmu, lebih baik kau gunakan darahmu untuk membantu orang lain. Di rumah sakit banyak orang yang berjuang mati-matian untuk hidup dan mereka butuh darahmu."
Aku akhirnya mengangguk. "Baiklah, setidaknya aku bisa membantu orang lain."
Gadis itu tersenyum. "Kemarikan tanganmu, aku akan membawamu bertemu dirimu sepuluh tahun lalu."
Aku mengulurkan kedua tanganku sembari bertanya. "Apa kau seorang peri?"
Gadis itu tersenyum. "Aku harap begitu, tapi nyatanya aku seorang dokter."
"Siapa namamu?"
"Namaku Lervi."
Itulah suara terakhir yang kudengar sebelum sebuah cahaya terang membawaku entah ke mana.
***
Aku membuka mata dan tiba-tiba posisiku ada di halaman belakang rumahku. Aku takjub melihatnya, ini adalah rumahku sepuluh tahun yang lalu sebelum aku pindah ke rumah baru.
Di pergelangan tanganku ada sebuah jam yang dihitung mundur, lima menit. Barulah aku sadar tugasku sekarang.
"Hahahaha, kau tidak akan bisa menemukanku!"
Suara anak kecil terdengar, kemudian disusul suara cekikikan beberapa anak lain. Aku mengintip dari jauh, ada satu anak yang berdiri di pohon dengan posisi membelakangiku, dia menghitung dari angka satu sampai sepuluh.
Permainan petak umpet. Dulu aku sering sekali bermain petak umpet bersama teman-temanku, tiba-tiba aku rindu mereka.
Dugh!
"Aduh!" seruku bebarengan dengan anak kecil yang tadi menubrukku.
Aku membantu anak itu berdiri. Aku melototkan mata dan refleks berjongkok di depan anak itu.
Aku menemukan diriku yang berumur sepuluh tahun, batinku.
"Maaf, Kak," ujarnya dengan sopan.
"Tidak apa-apa. Azka ingin bersembunyi kan? Sini sama kakak saja." Ajakku.
"Kenapa kau bisa tahu namaku?" tanyanya curiga.
"Hust, kau tidak boleh keras-keras, bagaimana kalau nanti ketahuan. Aku Pratama, temannya kakakmu," kataku.
Di sini aku tidak sepenuhnya bohong, Pratama itu nama akhirku.
Azka kecil mengangguk-angguk, lalu dia ikut berjongkok sembari mengintip temannya yang sudah selesai menghitung sampai sepuluh.
"Apa kau ingin tahu masa depan, Azka? Kakak ini peramal loh."
Azka mengangguk. "Kakak bisa meramalkan masa depanku? Apa Kak Lervi nanti jadi istriku?"
Aku terdiam. Apa yang dimaksud Azka itu Lervi yang tadi kutemui? Kenapa aku sudah mengenalnya sejak kecil?
"Iya." Aku menjawab dengan asal. "Tapi ada yang lebih menarik dari itu, di masa depan, kau tidak boleh membunuh keluargamu sendiri, atau kau akan menyesal, apapun pilihannya."
"Ha? Kenapa aku membunuh keluargaku sendiri? Kakak ini aneh sekali, aku kan bukan penjahat."
"Ya, kuharap begitu," gumamku.
Tit tit ....
Jam tanganku berbunyi, peringatan kalau waktuku sudah habis.
"Azka! Kenapa kau ada di sana?" Kakakku yang saat itu berumur lima belas tahun menghampiri Azka kecil. "Kau bicara dengan siapa, Azka?"
Waktu lima menitku sudah habis.
***
Kembali ke waktu di mana umurku masih lima belas tahun, lima tahun sebelum kejadian hari ini.
"Aku pulang!" seruku.
Prang!
Sreet!
Baru saja menginjakkan kaki di rumah, aku sudah disuguhi sebuah lemparan guci yang tepat mengenai sebelahku dan pecahan guci itu menggores pipiku, membuatnya meneteskan darah dan mengenai seragam sekolahku.
Papa dan Mama di depan sana bertengkar.
"Kenapa lagi-lagi kau pulang terlambat, Azka?!" Bentak Mama.
"Aku sudah izin ke Papa kalau hari ini ikut latihan basket," jawabku sembari menundukkan kepala.
"Jadi menurutmu Mama tidak penting sehingga tidak perlu mengabari Mama?"
Aku hanya diam. Perilaku Mama hari ini aneh, padahal biasanya dia tidak mempedulikanku, entah aku pulang atau tidak, kenapa dia tiba-tiba berubah?
"Biasanya Mama juga tidak peduli," gumamku, tapi sialnya Mama mendengar hal itu.
Plak!
Sebuah tamparan melayang di pipiku yang tadi berdarah, kini sakitnya bertambah dua kali lipat. Aku mengepalkan tangan, kesal karena Papa sama sekali tidak menghentikan tindakan Mama. Aku berandai kalau saja kakakku ada di sini, sayangnya kini dia kuliah di luar kota.
Mama tiba-tiba menarikku dengan kasar, dia menyeretku ke sebuah gudang gelap. Lagi-lagi tempat itu, aku benci tempat itu.
"Malam ini kau tidur di gudang, dan tidak ada makan malam!"
Brak!
Pintu gudang ditutup, sehingga menyisakan kegelapan. Aku meremat perutku yang terasa mulas, tadi pagi aku tidak sempat makan karena Papa buru-buru mau berangkat kerja sedangkan Papa harus mengantarku dan Mama tidak memberikanku uang saku karena aku dalam masa hukuman.
Aku mengepalkan tangan dan meninju pintu dengan perasaan kesal.
"Kenapa aku tidak mati saja? Kenapa aku terus-terusan disiksa seperti ini?"
Aku melototkan mata saat tiba-tiba ada yang memegangi tanganku yang hendak meninju pintu, tangannya yang dingin itu menggenggamku dengan erat, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya karena gelap.
"Si-siapa kau?" tanyaku ketakutan.
"Bodoh! Kenapa kau malah melukai dirimu sendiri?" Suara perempuan terdengar.
"Aku ingin mati! Mereka tidak menginginkan aku hidup, aku terus-terusan dipukuli, tidak diberi makan, diabaikan, dibilang anak sialan. Hati siapa yang akan kuat?!"
Gadis itu terkekeh. "Jika aku memberimu dua pilihan, kau pilih yang mana? Kau yang mati atau orang tuamu yang mati?"
"Orang tuaku," jawabku tanpa pikir panjang.
***
Bertahun-tahun berlalu, bukannya semakin damai keadaan keluargaku. Mama memperparah keadaan dengan berselingkuh.
Kupikir dengan kepergianku ke luar kota untuk menuntut ilmu akan membuat semuanya membaik, ternyata aku salah besar. Baru seminggu kembali ke rumah, rasanya kepalaku ingin pecah.
Sekarang Papa dan Mama bertengkar di dapur, terdengar beberapa kali piring terbanting yang mana membuat traumaku muncul.
Dengan langkah pelan aku berjalan menuju dapur.
Prang!
Sebuah piring jatuh di atas kakiku, membuat kakiku mengeluarkan darah. Kepalaku tiba-tiba pusing dan badanku gemetar, aku kembali mengingat masa-masa kelam dulu.
"Berhenti! Berhenti, Ma! Berhenti, Pa!" seruku kalut.
"Kau sekarang berani membentak mamamu, Azka?"
Papa dan Mama menatapku dengan pandangan kesal.
"Aku tidak ingin kalian bertengkar lagi dan malah akan menyakiti kalian sendiri, di sini banyak benda tajam, aku tidak ingin kalian---"
"Berarti kau rela kalau kami menyakitimu?"
Aku mengepalkan tangan. Sebuah tetesan air mata keluar dengan lancangnya. Sebenarnya aku sudah muak dengan keluarga ini, aku ingin menghabisi semua orang yang telah menyakitiku.
"Tapi ada yang lebih menarik dari itu, di masa depan, kau tidak boleh membunuh keluargamu sendiri, atau kau akan menyesal, apapun pilihannya."
"Ha? Kenapa aku membunuh keluargaku sendiri? Kakak ini aneh sekali, aku kan bukan penjahat."
Percakapanku dengan Kak Pratama beberapa tahun lalu tiba-tiba melintas di kepalaku. Aku mengangguk, benar, aku bukan seorang penjahat.
"Anggukan itu kuanggap sebagai persetujuan," ujar Mama tiba-tiba, menyadarkanku dari lamunan.
Jleb!
Belum sempat aku menghela napas, aku merasakan tusukan di perutku hingga membuatku lemas dan jatuh. Aku melihat Mama dengan senyum mengerikan menusukkan pisau di perutku.
Aku memegang pisau itu hingga tanganku kotor karena darah. "Mama ingin aku mati kan? Bahkan Papa juga menginginkan hal yang sama."
Aku membantu Mama menusukkan pisau itu ke perutku. "Aku akan membantu Mama."
Aku terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutku. Mungkin inilah akhir hidupku, setidaknya aku bukan pembunuh keluargaku sendiri.
***
Aku tiba-tiba terbangun di sebuah tempat asing, tanganku dan bajuku masih dipenuhi dengan darah.
"Jika kamu diberi kesempatan bertemu dirimu sepuluh tahun yang lalu, apa yang akan kaulakukan?"
Pertanyaan itu, sepertinya aku pernah mendengarnya.
"Dokter Lervi?" tanyaku.
Gadis di depanku mengangguk. "Akhirnya kau mengingat namaku."
Aku terdiam. Apa yang harus kulakukan jika aku bertemu diriku sepuluh tahun yang lalu? Terakhir kali aku melakukannya, malah terjadi hal buruk, aku yang mati.
"Jika aku bisa kembali ke masa lalu dan menemui diriku yang berumur sepuluh tahun, aku akan memeluknya dengan erat dan mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak akan berusaha mengubah garisan takdir karena semakin banyak aku mengotak-atiknya, malah semakin hancur," jawabku.
"Baiklah, waktumu dua menit. Kali ini aku tidak meminta imbalan yang aneh-aneh, aku hanya ingin kau sembuh dan hidup bahagia setelah ini, aku ingin kau bisa berdamai dengan masa lalumu."
Setelah itu cahaya terang menyelimuti tubuhku dan cahaya itu menghempaskan diriku di sebuah kamar. Itu adalah kamarku sepuluh tahun yang lalu. Di sana aku melihat Azka kecil yang sedang menangis di pojokan kamarnya.
"Azka, kenapa kau menangis?" tanyaku lembut sembari menghampirinya, aku duduk di depannya.
"Kak Pratama?" Dia langsung memelukku erat sembari menangis. "Mama sama Papa memarahiku dan bilang kalau aku tidak punya kakak, dia bilang kalau aku ini anak tunggal, padahal kan kau ada."
Aku terdiam membeku. Aku baru menyadari hal itu, aku bahkan tidak pernah bertemu kakakku, pantas saja dia tidak pernah membelaku saat aku dipukuli Mama Papa, ternyata aku tidak pernah punya kakak. Dia hanya kakak khayalanku. Atau bisa dibilang orang yang kuanggap kakak itu diriku sendiri yang dewasa.
"Iya aku ada di sini. Aku kakakmu. Tenang saja, semua akan baik-baik saja, Azka. Jangan pernah membenci Mama atau Papa, juga jangan membenci Kakak ya? Mungkin setelah ini Kakak akan pergi juga," ujarku sembari mengelus pelan punggung Azka.
"Kakak mau ke mana?" tanyanya dengan nada sumbang karena habis menangis.
"Kakak kuliah ke luar kota, lama sekali," jawabku.
"Azka harus kuat ya? Tidak boleh menyerah, jangan menyalahkan dirimu sendiri dan kau harus bisa berdamai dengan masa lalu. Aku bangga padamu, Azka." Aku memeluknya semakin erat.
Tit tit ....
Bersamaan dengan itu pula waktuku habis.
***
"Setelah kami memeriksa kondisi anak ibu dan melakukan pengobatan selama seminggu, anak ibu memiliki kondisi mental yang mengenaskan, kesehatan jiwanya terganggu karena traumanya di masa lalu hingga dia berhalusinasi mempunyai kakak dan bisa menemui dirinya sendiri di umur sepuluh tahun," ujar seorang dokter yang mana membangunkanku dari tidur.
"Lalu apa yang harus kami lakukan Dok?" tanya Mama.
"Untuk saat ini kalian jangan menemuinya dahulu, traumanya akan kambuh jika dia melihat kalian lagi, jadi untuk sekarang serahkan dia pada pihak rumah sakit, kami akan menjaganya," jawab dokter itu, kalau didengar dari suaranya, aku tahu itu Lervi.
"Baiklah, terima kasih, Dok, kalau begitu kami permisi dulu," kata Papa.
Setelah itu hening selama beberapa menit. Aku memperhatikan seisi ruangan ini, ruangan itu tidak buruk tapi kenapa kaki dan tanganku diikat, lalu kenapa juga aku harus diinfus?
Tanpa sadar air mataku menetes. Lalu seorang dokter masuk.
"Azka sudah sadar?" Ternyata dia Lervi.
Aku hanya diam dan membuang muka, aku tidak ingin dia melihatku menangis karena sekarang aku ingat kalau Lervi itu kakak kelas yang dari dulu aku cintai, aku malu sekarang karena bertemu dengannya dalam keadaan yang tidak baik.
Tangan gadis itu melepas satu persatu ikatan yang ada di kaki dan tanganku. "Maaf ya karena mengikatmu, Azka, kau pasti kesakitan."
Dia lantas mengelus pelan pergelangan tanganku yang memerah.
"Kak, aku sekarang sudah mengingatmu," ujarku tanpa melihat wajahnya.
"Syukurlah kalau kau sudah mengingatku."
Kami terdiam selama beberapa menit, lantas aku menoleh dan menggerakkan badanku. Rasa perih di bagian perut membuatku meringis.
"Apa perutmu masih sakit?" tanya Lervi pelan.
Aku mengangguk. "Kenapa perutku luka Kak? Kakak bisa ceritakan semuanya padaku? Aku tadi sudah mendengar percakapan Kakak dengan orang tuaku, syukurlah mereka masih hidup."
"Aku menunggumu siap, Azka."
Aku kecewa mendengarnya. "Apa Kak Lervi juga menganggap aku gila?"
Lervi menggeleng keras. "Tidak begitu, Azka, jangan salah paham. Baiklah, aku akan menceritakan padamu."
"Kau tahu orang yang selama ini kau anggap sebagai Kakak kandungmu itu tidak ada, dia hanya khayalanmu, dan semua yang terjadi padamu akhir-akhir ini karena terapi psikologi dan luka di perutmu itu karena kau berusaha menusuk dirimu sendiri, Mama dan Papamu berusaha menghalaunya, tetapi kau semakin berusaha menusuk dirimu sendiri, itulah alasannya kenapa dokter mengikat kaki dan tanganmu," jelas Lervi.
Aku terdiam, berarti selama ini Mama dan Papa tidak ingin membunuhku, dia hanya ingin menghentikan aku yang mau bunuh diri. Tanpa sadar air mataku meleleh.
"Kak, aku ingin bertemu Mama dan Papa," ujarku.