Sudah menjadi bulat keputusanku untuk pergi meninggalkan rumah. Bukankah tidak akan Tuhan mengubah nasib kecuali kita yang sendiri yang beranjak mengubahnya. Tentu saja segala kenyamanan rumah selama ini takkan pernah kudapatkan sama ataupun hampir dengan lingkungan di luar sana.
Buasnya dunia di luar rumah sudah bukan barang asing turun-temurun dijejalkan dalam telingaku. Satu-persatu kolegaku yang sudah terlanjur meninggalkan rumah tak pernah lagi kembali. Mereka bilang semua tewas diperantauan karena terlalu liarnya dunia baru yang ditemuinya. Teman makan teman. Teman makan yang bukan teman. Asal bisa dimakan mereka makan termasuk diri sendiri.
“Omong kosong!”
Tidak pernah aku percaya cerita seperti itu. Mereka tidak pernah tewas yang menjadikannya tak pernah kembali, menelpon, ataupun memberi kabar kolega di rumah. Mereka hanya berubah jadi tahi yang tak pernah mengingat muasal. Ingin kubuka mata mereka. Aku tak sama. Aku takkan menjadi tahi. Aku akan pulang dengan kesuksesan tanpa lupa arah kembali.
Sudah saatnya, “Bismillahirahmanirahim. Allahumma inni auzubika minal hubutsi wal khobaits.”
Aku melangkah keluar rumah lalu terjun ke sungai dan mengarunginya dengan harapan dan semangat. Akan kukabarkan pada semuanya, mereka salah aku benar.
“Blup!”
Belum sempat menyadari apa yang terjadi, aku sudah berakhir beserta mimpi dan harapan besarku di dalam perut ikan lele.