Disukai
0
Dilihat
1361
Natal Lain Kali
Drama

Puan melihat bayangan dirinya sendiri menatapnya dari monitor laptop. Ia memilih background yang menunjukkan rambutnya memakai mahkota yang terbuat dari kertas. Ada camilan kue Natal yaitu kue jahe di mejanya dan sebotol sampanye yang isinya tinggal setengah. Ia sudah siap merayakan Natal.

Tiba-tiba sebentuk kotak muncul dengan tulisan “Mama Rina.” Tidak lama kemudian, satu sosok pria dengan rambut memutih muncul di layar. Ayahnya. Mulut Ayah bergerak-gerak tapi tidak ada suara yang terdengar.

“Ayah. Nyalakan dulu mic-nya,” kata Puan.

Mulut Ayah masih bergerak-gerak, namun suara masih tidak terdengar. Puan membimbingnya untuk menekan simbol suara. Lalu, tiba-tiba terdengar kencang sebuah lagu Natal.

Benar-benar tipikal ayahnya. Semangat Natal, begitu istilah Ayah dulu kalau ia protes dengan cara Ayah menyambut perayaan Natal secara berlebihan.

Tidak lama kemudian, Mama mengucapkan, “Halo… halo,” berulang kali.

Layar hitam masih memenuhi kotak yang seharusnya berisi dengan imaji ibunya. Puan lalu memandu Mama agar wajah ibunya itu muncul di layar.

“Mama nggak bareng Ayah?” tanya Puan karena kedua orangtuanya itu tidak berada di ruangan yang sama meskipun melakukan zoom meeting di rumah yang sama.

“Ayah di gudang, sedang milih-milih barang yang tidak terpakai yang mau didonasikan.”

Puan mengangguk-angguk. Ia tahu kalau gudang mereka terpisah dari rumah dan berada di halaman.

Terakhir, wajah adiknya bergabung dengan Puan dan kedua orangtuanya. Mereka siap merayakan Natal bersama-sama.

Pandemi Covid-19 membuat orang-orang terkurung di dalam rumah. Bahkan pada saat perayaan dan peringatan hari besar, tidak bisa lagi saling bepergian dan mengunjungi sanak saudara. Mendadak, aplikasi zoom meeting yang memfasilitasi pertemuan secara daring populer untuk dipakai orang-orang.

“Semua sudah dapat hadiahnya masing-masing?” tanya Ayah dengan suara tak kalah keras dengan lagu Natal yang keluar dari pengeras suara di belakangnya.

Paket dari Ayah sudah datang tiga hari yang lalu. Tapi, ia dilarang membukanya. Ayah bilang hadiah itu hanya boleh dibuka saat tanggal 25 Desember alias sekarang.

Puan mengambil kotak yang bertengger di meja rak di sampingnya. Terbungkus dengan kertas kado berwarna merah dan hijau khas Natal, ia mengangkat kotak itu agar Ayah melihatnya.

“Ayo, buka sama-sama,” kata Ayah.

Puan tidak begitu antusias membuka kado miliknya. Ia berlama-lama mempreteli selotip perekat bungkus kado.

Di layar, tampak adiknya Sania mengangkat hadiahnya, “Aaah makasih. Kok Ayah tahu kalau aku memang pengen ini.”

Rupanya Sania mendapatkan iPad. Puan menggeleng-gelengkan kepalanya. Satu lagi alat elektronik yang popular pada masa pandemi ini.

Tidak lama setelah itu, Mama yang tahu-tahu menangis karena membuka hadiah dari Sania, scarf dengan merek fesyen internasional. “Gimana cucu tersayang Mama? Senang dengan hadiahnya?”

Sania menyahut, “Senang. Malah dia sampai begadang main rumah bonekanya.”

Ayah, Mama, dan Sania terlibat pembicaraan. Tawa riuh sesekali terdengar. Topiknya selalu tentang Marina, cucu pertama dan satu-satunya di keluarga mereka. Namanya yang menyerupai nama Mama membuat Mama sangat menyayangi cucunya yang sudah berusia lima tahun tersebut.

Ayah bercerita kalau pembatasan berkumpul ramai-ramai sudah selesai, ia akan mengajari Marina menaiki sepeda. Mama tidak mau kalah karena ingin mengajak cucunya itu belajar bikin kue.

“Ardi di mana?” tanya Ayah.

Ardi itu adalah suami Sania. Keduanya menikah empat tahun lalu. “Kantor, Ma. Laporan akhir tahun perusahaannya, ada yang harus dibenarin.”

“Bukannya WFH?” tanya Mama. Istilah WFH yang berarti work from home jadi terkenal karena para karyawan yang diharuskan bekerja dari rumah selama pandemi berlangsung.

Ada sepi sejenak karena Sania yang tertegun. Akhirnya, adiknya itu menjawab, “Yah kan yang datang cuma sedikit. Tiga orang.”

“Tetap saja, San. Nanti kalau dia pulang, harus langsung mandi. Cuci semua baju-bajunya, semprot barang-barangnya.

“Iya, Ma…” balas Sania.

Pembicaraan mengenai Ardi itu tidak ingin didengar oleh Puan. Ia mematikan tombol mikrofon di laptopnya. Ia melirik ke arah kotak kado yang masih bertengger di meja rak. Tiga peserta zoom meeting lainnya tidak sadar kalau Puan belum menunjukkan hadiah Natal miliknya.

Tiba-tiba, satu sosok lain terlihat di belakang Sania. Seorang gadis mungil yang masih memakai piama memeluk ibunya dari belakang.

“Ah, Marina. Sudah bangun, Sayang?”

Sania merangkul Marina ke pangkuannya. Sekarang, Puan dapat melihat sosok anak perempuan Sania itu lebih jelas. Rambutnya dipotong poni. Matanya bulat membesar dengan rasa ingin tahu terhadap sekelilingnya. Alis keponakannya itu tebal dan beriring seperti jejeran semut hitam. Mirip ayahnya, batin Puan.

Perayaan Natal lewat Zoom itu lalu dipenuhi dengan gelak tawa menyaksikan tingkah polah Marina. Balita itu juga tampaknya senang menjadi pusat perhatian. Marina menanyakan banyak hal kepada kakek dan neneknya yang tentu saja disambut dengan sangat antusias.

Tapi lama-lama, Marina juga merasa bosan. Ia merengek kepada ibunya, Sania.

“Yah kalau begitu kita sudahi saja?” Ayah yang mengajukan.

“Iya, kasihan Marina. Dia juga belum makan,” sambung Ibu.

Sania dan Marina yang pertama kali melambaikan tangan, lalu keduanya menghilang dari monitor laptop. Setelah itu, Mama yang menyusul.

Ayah masih ada di layar. Puan rasa orangtuanya itu kesulitan menekan tombol untuk meninggalkan pertemuan lewat zoom itu.

“Cari kata Leave, Yah,” kata Puan yang sudah menyalakan kembali mikrofonnya.

Ayah menggelengkan kepalanya. “Ayah memang mau ngomong sesuatu.”

Puan bertanya, “Apa?”

“Kapan pulang?”

Puan tertawa. “Ini kita zoom kan karena ada larangan kumpul-kumpul.”

“Pandemi kan baru-baru saja Nak. Tapi kamu sudah tidak pernah ke rumah sejak Sania menikah.”

Puan mengalihkan tatapan. Ya, bapaknya benar. Bahkan, ketika Sania dan Ardi melangsungkan pernikahan, ia tidak datang sama sekali. Tidak sanggup Puan menghadiri hari bahagia adiknya itu.

Lokasinya yang berada di luar negeri menguntungkan Puan untuk mencari-cari alasan. Ongkos yang sedang naik atau tidak mendapatkan libur. Pandemi kali ini bikin Puan tidak membuatnya bingung mengarang.

“Ayah mengerti.”

Puan memandangi Ayah. Betulkah ayahnya itu paham sakit hatinya?

“Tapi tidak adil bagi Ayah dan Mama kalau Puan jadi memusuhi kami,” kata ayahnya.

Puan berdeham pelan-pelan demi membersihkan tenggorokan. Ia lalu memaksakan sebuah senyum. “Puan nggak apa-apa kok, Yah.” Lagi-lagi ia berbohong.

It’s all good. Puan senang melihat Sania bahagia. Apalagi ada Marina yang menggemaskan. Puan memang nggak bisa pulang karena pandemi.”

Ayah mendesah dan berkata, “Baiklah kalau begitu, Nak. Ayah berdoa semoga pandemi cepat selesai dan bisa bertemu Puan lagi.”

Puan mengangguk semata-mata ingin pembicaraan itu lekas selesai.

“Selamat Natal,” kata Ayah mengakhiri pembicaraan.

Puan menekan tombol untuk keluar dari aplikasi Zoom. Sewaktu mendaratkan punggungnya di pinggiran kursi, mata Puan menatap kado yang sedari tadi belum dibuka.

Puan meraih kotak itu dan membukanya. Rupanya Ayah mengirimkan sebuah foto yang telah dibingkai indah. Foto masa kecil Puan. Di foto itu, rambutnya pendek berponi dan senyumnya menunjukkan dua gigi depannya yang ompong. Ia merangkul adiknya, Sania yang tersenyum manis dan berambut panjang dikuncir ekor kuda.

Apa maksud Ayah mengirim foto itu? Tidak tahukah ayahnya kalau hatinya masih terluka? Apa Ayah bermaksud memintanya melupakan kesalahan fatal adiknya?

Puan menarik laci rak dan melempar isi kado Natal yang ia terima ke dalamnya. Pada rak yang sama itu, ada selembar foto lain, yaitu foto Puan dan Ardi.

Ia bertambah kesal mengingat kata-kata Ayah tadi. Mereka ingin Puan pulang meskipun tahu kalau ia sudah tidak lagi bisa kembali ke rumah masa kecilnya itu? Apa yang ada dalam pikiran Ayah sewaktu mengirim fotonya bersama Sania?

Apa ayahnya tidak mau berempati bagaimana perasaan Puan mengetahui kalau pacarnya selingkuh dengan adiknya sendiri? Apa rasanya menyaksikan kedua pengkhianat itu menikah dan dianugerahi kebahagiaan di depan matanya sendiri?

Puan masih belum dapat berdamai dengan kenyataan itu dan akhirnya jadi memusuhi semua orang. Ia menutup laci itu dengan kasar lalu meraih sampanye dan meminumnya langsung dari botolnya.

Ia belum dapat memaafkan apa yang terjadi dalam hidupnya. Mungkin Natal lain kali.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi