Disukai
1
Dilihat
1,289
Natal tanpa Bunda
Drama

Hari ini tanggal 7 Desember.

Seminggu bulan perayaan Natal telah berlalu. Biasanya, Bunda sudah sibuk dari awal bulan. Pertama, Bunda akan mengukur jendela-jendela demi memesan tirai baru. Bunda juga akan memeriksa perabotan rumah tangga. Kalau ada yang rusak, pasti segera diganti.

Tapi tahun ini, semuanya berubah. Rumahnya tenang-tenang saja. Tidak ada kesibukan apa-apa. Tentu saja. Siapa yang mau repot-repot mengurus itu semua, kecuali Mama.

“Tiva, supnya nanti dingin kalau nggak dimakan.”

Lamunan Tiva buyar. Pandangannya yang sedari tadi fokus ke arah bak cuci, sekarang berganti ke ayahnya yang duduk di seberang meja.

“Mau tambah nasi?” tanya Ayah.

Tiva melirik piringnya. Nasinya saja masih banyak tersisa. Apa ayahnya buta atau memang tidak peduli?

“Kapan beli pohon?” Yang dimaksud Tiva adalah pohon cemara yang identik dengan pohon Natal.

Ayah mendesah dan melebarkan tangan, “Mau ditaruh di mana?”

Tiva turut mendesah. Kalau ada Bunda, pasti ibunya itu bisa cari cara supaya bisa meletakkan pohon Natal di rumah mereka.

Tiva mengalihkan pandangan ke salah satu sudut ruangan. Ada meja dan kursi di sana berikut setumpuk buku dan dokumen. Ia yakin Bunda akan menyingkirkan semua barang di sana untuk meletakkan pohon Natal.

Ah, bicara apa dia? Kalau Bunda masih di rumah ini, meja dan kursi itu tidak akan ada di sana.

“Kamu mau hadiah apa buat Natal?”

Kalau ada Bunda, Tiva tidak perlu harus menjawab pertanyaan itu. Bunda selalu tahu apa yang ia inginkan.

***

Hari ini tanggal 14 Desember.

Tiva pulang dari sekolah hanya untuk mendapati rumah yang kosong. Ayah belum pulang dari dua hari yang lalu. Katanya ada tugas di luar kota.

Hidungnya membaui aroma yang aneh. Tiva menduga karena jendela di ruang tamu itu tidak pernah dibuka. Ia mendecakkan lidah. Kalau saja Bunda masih ada, sepulang sekolah ia pasti akan disambut dengan wangi kue yang sedang dipanggang.

Apalagi di bulan Desember. Setiap hari Bunda tidak akan pernah absen memasaknya, jenisnya berganti-ganti setiap hari.

Tidak mungkin Ayah mau melakukan hal yang sama dengan Bunda adalah sia-sia. Begitu pula mengharapkan Ayah untuk menyediakan rumah yang senyaman waktu ibunya masih ada. Mustahilnya ibarat petani disuruh memetik bulan.

Tiva membuka jendela ruang tamu lebar-lebar. Ia juga beranjak ke dapur dan membuka pintu besar yang menuju ke halaman belakang. Di sana, biasanya Bunda akan duduk di bangku dekat pohon mawar. Bahkan, kadang-kadang sampai ketiduran.

Sekarang, tidak lagi ada bunga-bunga yang bermekaran. Hatinya kembali mencelos.

Akibat jendela yang sudah dibuka, udara di dalam rumah tidak lagi pengap. Meskipun demikian, masih saja ada yang kurang. Tiva menggigit bibirnya. Tidak mungkin jadi lengkap tanpa kehadiran Bunda.

Tiva mencari telepon genggam di dalam tas. Ia memencet nomor telepon Ayah yang ia atur sebagai nomor kontak darurat.

“Ayah, aku mau ketemu Bunda.”

Ada jeda sejenak sebelum ayahnya di seberang telepon menjawab, “Ayah pulang sekarang.”

***

Hari ini tanggal 21 Desember.

Seminggu setelah Ayah buru-buru pulang dari tugas luar kotanya, Tiva tetap saja tidak diizinkan menemui ibunya. Bahkan, Ayah menugaskan salah satu kerabat untuk mengantarkannya pulang pergi ke sekolah. Otomatis, Tiva tidak bebas bergerak. Ia jadi terpenjara.

Tiva mengaduk-aduk supnya tidak berselera.

“Nggak enak, Sayang?”

Tiva menghentikan adukannya. Pertanyaan itu berbeda ketimbang sebelumnya. Ia menatap ayahnya dan Ayah terlihat sabar menunggu jawabannya.

“Mau Ayah pesankan pizza?”

Tiva menggeleng. “Mau masakan Bunda,” kata gadis itu. “Kenapa sih Ayah Bunda harus cerai?”

Ayah meletakkan sendoknya dan berdeham.

“Kenapa sih Tiva nggak ikut Bunda aja,” protesnya kemudian tanpa memberikan kesempatan kepada ayahnya untuk membela diri. Tiva sudah SMP. Ia sudah cukup umur untuk tahu apa perceraian itu. Hanya saja, ia tidak mengerti mengapa justru Ayah yang mendapatkan hak asuh untuknya. Bukankah ia tergolong anak kecil yang masih memerlukan pengasuhan seorang ibu?

Ayah tetap saja diam. Seolah-olah tidak mendengarnya bicara, ayahnya itu mengangkat piring dan beranjak ke bak cuci. Lalu, dengan santai Ayah mencuci piring kotor bekasnya makan.

***

Hari ini tanggal 24 Desember.

Sekolah sudah diliburkan sejak kemarin. Tapi Tiva tidak mau menghabiskan kesehariannya di rumah saja. Ia meminta supir untuk mengantarkannya ke mal. Jadi, sudah dua hari ini ia berkeliaran di berbagai pusat perbelanjaan.

Menyaksikan orang-orang yang lalu-lalang membeli berbagai keperluan Natal, ada sejumput kesedihan dalam benaknya. Biasanya, ia dan Bunda yang pergi berbelanja. Pulangnya, mampir ke toko es krim langganan mereka.

Tiva menjilati es krim yang baru saja ia beli. Di sebelah tempat duduknya, ada beberapa tas belanja. Kemarin, Ayah memberikannya uang untuk membeli hadiah Natalnya sendiri. Awalnya, Tiva merasa kecewa. Baginya, keistimewaan bertukar kado pada saat perayaan Natal adalah unsur surprise karena tidak tahu isi kadonya. Namun, tahu-tahu terbersit ide barang yang cocok buat ia beli.

“Mbak, disuruh pulang sama Bapak.”

Tiva melirik supir yang tidak pernah jauh-jauh dari tempatnya. Tanpa menjawab apa-apa, ia membereskan tas belanjaan dan mengikuti langkah supirnya itu.

***

Memasuki rumah, ada suasana yang berbeda yang Tiva temukan. Pertama, hidungnya mencium bau masakan. Menengok ke sebelah kiri, ada pohon Natal yang menjulang.

Siapa yang menyiapkan semua ini, apakah Bunda? tanya Tiva dalam hati.

“Sudah pulang, Tiva?”

Tiva menoleh ke arah suara dan menemukan satu sosok perempuan. “Tante Laura,” sapanya seraya mengecup pipi adik ayahnya itu. Melihat apron yang dipakainya, rupanya Tante Lauralah yang menyiapkan makanan beraroma menyelerakan itu.

Tidak lama kemudian, Ayah masuk ke dapur dari teras belakang rumah mereka. “Tiva suka?” tanya Ayah menunjuk ke arah pohon Natal.

Tiva tidak bisa berkata apa-apa. Bukan karena ia tidak suka, melainkan karena tidak menyangka Ayah akan menyiapkan suasana Natal seperti yang biasanya Bunda lakukan.

“Maaf kalau belum seperti yang Tiva mau.”

Tiva tidak tahu harus bagaimana mengatakan kalau ia menghargai usaha ayahnya itu. Gadis itupun hanya dapat menghampiri dan memeluk Ayah erat-erat. “Kita hias pohonnya sama-sama ya, Yah.”

Ayah mengelus rambutnya dan menjawab, “Ya.”

“Tiva ke atas dulu ambil kotak dekorasi.”

***

Laura menengok ke arah lantai dua dari tangga demi memastikan Tiva sudah benar-benar hilang dari pandangannya.

“Kamu tetap nggak mau terus-terang sama Tiva,” cecar perempuan itu kepada saudara laki-lakinya.

“Harus bilang apa?”

“Yang sejujurnya,” desak Laura.

“Aku mau Tiva memiliki imaji yang indah tentang ibunya. Bunda yang penyayang dan sempurna. Bukan Bunda yang punya masalah mental dan berakhir di rumah sakit jiwa.”

Laura terdiam. Ia tahu adik laki-lakinya itupun terluka. Ia tidak lagi tega memaksakan opini dan kehendaknya.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
sedih
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi