Disukai
0
Dilihat
956
Mainan Natal yang Terlupakan
Romantis

“Boks lagi dari loteng,” kata Ibra seraya meletakkannya di atas meja kopi.

Anak laki-lakinya yang baru berusia 13 tahun tidak mengalihkan pandangannya dari iPad yang dipegangnya. “Buang aja, Pa.”

“Coba lihat dulu, Benny. Siapa tahu ada yang masih bagus,” pinta Ibra.

“Paling-paling album foto atau mainan lama Benny. Nggak mau ah, Pa.”

Ibra membuka penutup kotak itu dan melihat isinya. “Mainan Papa,” kata pria itu sewaktu melihat salah satu benda di sana.

***

Ibra waktu itu masih delapan tahun. Ayahnya mengajak Ibra untuk berkemah. Setelah semalam menghabiskan waktu di alam, mereka pun siap-siap untuk pulang. Lumpur menempel di sepatu Ibra sewaktu ia mengikuti langkah ayahnya.

“Eh lihat, ada apa di sana?”

Ayahnya mendatangi sebuah warung kecil yang keseluruhannya terbuat dari kayu. Di antara makanan dan minuman yang dijual, ada beberapa suvenir dan mainan yang juga dipajang di sana.

Ibra masih ingat bagaimana hatinya berdegup kencang karena mainan-mainan itu seolah memanggil-manggil namanya.

Ayahnya mengambil sebuah mainan kayu berwujud mobil-mobilan. Mainan itu disodorkan kepada Ibra. Ia menelitinya tapi menggeleng.

Ibra lebih tertarik dengan mainan berupa miniatur rangkaian kereta lokomotif. Rangkaian keretanya ada tiga dan apabila digerakkan, besi pengait rodanya akan memutar dan mendesiskan bunyi tut tut.

“Kamu mau yang itu?” tanya Ayah.

Ibra tidak serta-merta mengangguk. Tadi ia sempat melihat harga yang tertempel di sana. Ia tahu harganya mahal. Dan ia tidak mau Ayah jadi repot karena menuruti keinginannya.

Ayah meneliti mainan kereta yang ia mau itu. Ibra menahan napas karena Ayah telah sampai pada bagian memeriksa harga.

“Aku lebih suka mobil,” katanya cepat.

Ayah tidak berkata apa-apa. Ibra tidak tega melihat ayahnya kebingungan seperti itu. Ia mengambil mainan mobil dan menyodorkannya ke Ayah.

“Hmm, tidak apa-apa kalau kamu mau yang kereta,” kata Ayah sembari tersenyum. “Hitung-hitung hadiah Natal.”

Sekilas, senyum terbit di bibirnya. Perayaan yang selalu ia tunggu-tunggu. Setiap tanggal 25 Desember. Hari yang begitu spesial. Ibu akan memasak makanan istimewa meskipun sederhana. Rendang sapi dan ayam goreng. Maklum, sehari-harinya mereka hanya mampu makan nasi, telur atau tahu tempe, dan sayuran.

Senyum Ibra tidak pernah lepas dari wajahnya sewaktu Ayah mendatangi pemilik warung dan membayar mainan itu. Ibra menunggu dengan melihat-lihat sekeliling.

Ada satu anak perempuan yang juga berkeliling. Rambutnya dikuncir kuda dan memilih-milih mainan. Ibra menebak usia anak perempuan itu lebih muda darinya yang sembilan tahun. Melihat botol susu yang tersilang di tubuh anak itu, Ibra menyangka paling-paling anak itu masih bayi.

Pikirannya buyar tatkala Ayah mendekati dan menyerahkan mainannya. Tentu saja ia langsung merobek plastik pembungkusnya. Senyumnya langsung merekah. Namun senyum itu tertahan karena Ibra merasa ada sepasang mata yang memperhatikannya. Anak kecil tadi. Anak itu berlari ke sosok yang Ibra duga adalah ayah anak itu dan menunjuk dirinya.

Awalnya Ibra bingung, tapi karena arah telunjuk anak kecil itu mengarah ke tangannya, tahulah ia kalau anak kecil itu menginginkan mainannya.

Anak kecil itu bersama ayahnya mendatangi meja penjaga warung. Beberapa saat kemudian, penjaga warung itu menggelengkan kepala.

Ibra mematung sewaktu anak kecil menoleh ke arahnya dan menatapnya tajam. Setelahnya, tahu-tahu anak kecil itu berurai mata.

Ibra membeku. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

“Ibraaa! Ayo, nanti ketinggalan bus.”

Panggilan itu membuat Ibra membalikkan tubuh dan berlari mengejar ayahnya. Mainan kereta tertempel erat-erat di dada Ibra.

***

Ibra sudah duduk manis di dalam bus di samping ayahnya sewaktu melihat sosok yang turut masuk ke dalam bus. Si anak kecil bersama ayahnya. Tak disangka-sangka, mereka duduk di kursi di depan Ibra.

Bus telah berjalan beberapa lama. Tahu-tahu si anak kecil melongokkan kepalanya dari atas kepala kursi.

“Eh, Syifa. Jangan begitu. Mas-nya terganggu.”

Ibra menatap mata anak kecil yang sekarang ia ketahui namanya, Syifa. Matanya basah dan sepertinya air mata kembali akan merebak di sana.

Tuh kan benar saja. Ibra tahu apa penyebab anak kecil itu menitikkan air mata. Tanpa ia sadari, Ibra memeluk mainan kereta di dadanya erat-erat.

“Sudah sudah,” ayah Syifa menenangkannya.

“Ibunya tidak ikut, Pak?” tanya Ayah. Satu tangan Ibra menggamit lengan Ayah berharap ayahnya itu tidak ikut-ikutan.

“Sudah meninggal, sejak Syifa lahir.”

Ibra sudah cukup besar untuk mengetahui kalau hidup tanpa punya ibu itu sangat berat. Mungkin ada anggota keluarga lain yang memasakkan makanan ataupun membacakan dongeng sebelum tidur. Namun, pelukan seorang ibu itu berbeda dari orang lain. Ada harum yang khas yang menempel di jiwamu setiap memeluknya. Ada kehangatan yang melindungi tidak hanya karena kedinginan, tetapi juga saat dilanda kesedihan.

Ibra tidak dapat membayangkan kalau tidak ditemani Ibu sebaik kita berlabuh di dunia ini.

“Syifa suka kereta. Di belakang rumah kami ada lintasan kereta dan dia selalu berlari mendekat kalau mendengar suaranya.”

Ibra memandangi mainan kereta di tangannya.

“Jadi dia tadi mau mainan kereta di warung tempat perkemahan.”

“Ah, sama seperti yang Ibra punya,” jelas ayahnya.

Ibra tidak ingin Ayah menyinggung-nyinggung kalau ia punya mainan baru.

“Iya, rupanya mainan keretanya cuma ada satu. Syifa sedih.”

“Waduh, saya jadi merasa tidak enak.”

“Ah, nggak Pak. Jangan begitu. Sebentar lagi kita sampai di kota juga, saya akan ajak Syifa beli mainan kereta di toko lain.”

Ibra menangkap semua pembicaraan itu dengan pemahaman anak berusia sembilan tahun. Ia dapat meminjamkan mainan selama di bus. Nanti Ibra bisa memintanya lagi kalau sudah sampai.

Ibra pun mengangsurkan mainan kereta miliknya.

“Manis sekali Ibra. Terima kasih ya, Nak.”

Ibra tersenyum. Ada sejumput rasa yang timbul di sudut hatinya. Ia sukar menjelaskan apa istilah perasaan ini. Ada sesuatu yang hangat. Hampir mirip dengan kehangatan pelukan Ibu. Apa ini? Hatinya bertanya-tanya.

Rupanya, perjalanan bus membawa Ibra dan Ayah untuk terlebih dahulu turun karena telah tiba di tujuan. Ayah telah mengajaknya bersiap-siap. Tapi, Ibra masih tidak bergerak. Ia masih menunggu mainan keretanya dikembalikan.

Syifa telah tertidur. Mainan kereta dipeluk anak kecil itu erat-erat. Ibra menarik tangan Ayah bermaksud memberitahukan kalau ia ingin mainan keretanya kembali.

Namun, Ayah salah sangka dan malah menggenggam tangan Ibra dan membimbing Ibra untuk keluar dari bus tumpangan mereka.

***

“Ada apa ini? Ribut-ributnya sampai di dapur.”

Ibra mengalihkan pandangannya dari kotak kardus berisi mainan lama ke arah satu sosok wanita di hadapannya. Rambutnya panjang dikuncir kuda. Tapi yang paling tidak pernah lepas dari benak Ibra adalah mata perempuan itu. Mata yang besar seperti tidak pernah menyembunyikan emosi apapun yang dirasakan oleh wanita itu. Mata yang tidak akan pernah Ibra buat menangis karena bersedih. Kecuali satu kali, dulu, batinnya seraya tersenyum.

“Wah, mainan kereta,” komentar wanita itu sewaktu melongok isi kardus yang terletak di atas meja kopi. “Punya Mama ini,” lanjut perempuan itu seraya meraih mainan tersebut.

Ibra tidak terima dengan ucapan tersebut. Ia lalu merebut mainan itu dan berkata, “Punya Papa.”

“Tapi kan sudah dikasih ke aku,” kata wanita tertawa terbahak-bahak sambil mengambil mainan kereta kembali.

Ibra tahu alasan tawa wanita itu begitu renyah. Mainan kereta itu adalah mainan yang sama yang ayahnya beli untuknya di sebuah warung di sebuah bumi perkemahan. Mainan itu adalah mainan kereta yang didekap oleh seorang anak kecil perempuan yang ketiduran di dalam bus.

Anak perempuan itu telah menjelma menjadi perempuan dewasa dan sekarang berstatus sebagai istrinya.

TAMAT

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi