Disukai
1
Dilihat
994
Nada dan Canda
Romantis

Ini kisah temanku. Aku akan menceritakan kepada kamu tentang temanku yang seorang perempuan yang awalnya terpaksa menghabiskan waktu dengan tetangganya laki-laki. Genrenya sih dari romantis diselipin komedi sedikit, tapi awalnya adalah ketidaksukaan. Ribet amat aku jelasinnya.

Disclaimer, bukan kisahku. Ini kisah TEMANKU!

Aku akan menceritakannya dari sudut pandang temanku ya. Temanku ini sedang menikmati liburan semester sebulan penuh bermalas-malasan sejak hari kedua. Dia mempunyai list marathon series dan drakor di pikirannya dan rencana cadangan yaitu belajar masak.

Namun rencana mengkhianatinya, hari damai telah musnah. Mamanya menyuruhnya ke rumah sebelah untuk mengajarkan les ke anak kelas 6. Langkah kakinya terasa berat masuk ke rumah sebelahnya.

Ada dua pintu rumah tetangganya. Pintu utama dan pintu studio. Tetangganya punya studio les musik dari gitar, biola, piano, drum dan lainnya. Seingatnya dulu pernah coba les di sana sebentar untuk les piano. Alasan dia berhenti karena tentu saja tidak berbakat.

“Kak Mel, terima kasih udah ngajarin Opi matematika,” kata anak itu tulus setelah satu jam berkutat soal-soal prediksi.

“Sama-sama. Kalau gak ngerti bisa tanyakan ke kakak ya. Besok kamu bisa ke rumah kakak aja.”

Opi membereskan buku-bukunya. “iya kak. Hah, coba saja Kak Nada seperti kakak. Kak Mel nggak perlu repot ngajarin Opi. Maaf menganggu liburan Kak Mel.”

Dia agak gemas mendengar Opi curhat. “Nggak papa, kakak bantu Opi. Lagipula kakak bosan di rumah terus.”

Opi mengerutkan dahinya. Seakan memikirkan sesuatu.

“Ada apa, Pi?

“Ah! kalau gitu habis ngajar Opi, Opi bayar dengan ngajarin kakak gitar, mau?”

Dia menggeleng. “Tidak. Kakak udah pernah coba dan gagal.”

“Yah!” Opi terlihat kecewa. “Opi baru bisa main gitar, yang lain belum mahir. Ah! Bunda pernah cerita kalau Kakak pernah les piano di sini ya?”

“Iya. Hanya sebulan. Itu pun sudah lama.”

Opi beranjak dan meraih lengannya. “Kalau gitu Kak Nada yang ngajarin kak Mel piano. Biar Opi semangat lagi belajar matematika.”

“Eh! Eh! Tunggu Pi!”

Entah kenapa tenaga anak 12 tahun itu kuat. Dia ditarik menuju pintu yang menembus ruang studio. Dia sudah lama tidak kesini, perubahan tidak banyak namun lebih terasa fresh dari yang ia ingat. Suara alunan gitar dari ruang pertama terdengar samar-samar ketika mereka melewatinya.

Mereka berhenti di depan pintu. Opi membuka pintu sedikit seiring alunan piano yang familiar terdengar.

“Nah, sudah kuduga Kak Nada pasti main piano sendiri di sini. Cocok untuk Kak Mel ambil jam ini. Akan kubujuk Kak Nada.”

Mel menghentikan jemari Opi untuk membuka pintu lebih lebar. “Tunggu lagunya selesai.”

“Oh, iya kak,” kata opi nurut.

Mel mengakui menikmati permainan pianonya. Tapi cukup itu saja, dia malas ketemu manusia itu. Alasan kedua kenapa ia berhenti adalah lelaki itu.

“Opi, kakak milih belajar gitar aja ya. Diajarin Opi kakak senang,” bujuk Mel.

Opi menggeleng. “Kakak lebih cocok belajar piano, tenang Kak Nada guru yang terbaik. Teman-teman Opi bisa main gitar karena Kak Nada.”

“Opi? Kamu di depan pintu?” alunan piano terhenti bersamaan pertanyaan itu.

Mel panik dan terlambat menahan tangan Opi yang sudah membuka pintu lebar. Mel melihat piano yang indah itu lalu ke tuts piano yang ditekan jari-jari lelaki itu. Lelaki itu melihat Mel dengan senyuman manisnya seperti dulu. “Hai, sudah lama nggak ketemu, Melody.”

Mel mencoba sopan tercampur rasa canggung “Hai. Lama nggak jumpa.”

“Udah setahun lebih ya terakhir kamu ke sini, kamu tidak berubah.” sindir Nada halus sambil mengusap rambut poninya ke belakang.

Mel memutar bola matanya. Tentu saja Opi tidak tahu. Dia menyeret Mel ke Nada. “Kak, ajarin Kak Mel piano dong!”

Nada terkejut lalu tertawa. Mel tidak suka situasi ini.

“Ayolah kak Nada, kata bunda ini bayaran lesnya Opi,” rengek Opi.

“Terus aku dapat apa?”

“Pahala?”

Mel menahan tawa. Nada menatap tajam Mel.

“Oke, aku ngajarin Melody piano. Melanjutkan yang sebelumnya.”

Mel menyela. “Tunggu! Nggak bisa gitu-”

“Kamu kan kabur saat itu, lesnya belum selesai. Lagipula siapa yang bisa ngajarin kamu yang buta nada selain aku yang paling sabar?” ucap Nada sombong.

“Nggak usah-”

“Besok dimulai lesnya ya Melody, kita pakai metode dulu! Pasti asyik dan menyenangkan! Ini rasanya guru ketemu murid lamanya yang kabur. Demi muridnya gurumu ini akan berusaha yang terbaik!”

Mel mendengus. Kebiasaan Nada memotong ucapannya dan kepercayaan dirinya yang terlalu melambung tinggi membuatnya mual. Mel sangat tidak menyukainya. Arghh!

Nada mengeluarkan senyuman liciknya lagi sebelum keluar pintu seakan dia tau pikiran Mel. Opi menyusul Nada setelah meminta maaf ke Mel atas sikap kakaknya yang kasar, Entah kenapa kakak beradik itu sangat berbeda sifatnya.

Alasan sesungguhnya Mel berhenti les piano sebulan karena salah satunya tak tahan cara ngajar Nada yang keras dan seenaknya.

Mel melirik ke piano dan menyentuhnya. Dia mengingat kembali pertemuan mereka. Nada yang duduk dengan wajah seriusnya sambil menekan tuts piano. Mel menampar pipinya sendiri. Hampir saja dia terpaku ketampanan Nada.

“Wajahnya saja yang plus, kepribadiannya minus!” omel Mel.

__

 

Ada pesan masuk. Mel kaget melihat notifikasi hapenya.

 

Nomormu nggak berubah.

Harus datang jam sama persis seperti kemarin.

Aku menantikan kedatanganmu, wahai muridku.

 

Mel hanya melirik hapenya saja, tidak berniat membuka pesan tersebut. Biar sengaja tidak dibaca.

“Kak, ayo ke rumah Opi. Pasti kak Nada udah nunggu di studio,” ucap Opi senang sambil menyusun buku-bukunya ke tas.

Mel sangat malas. Rasanya dia ingin rebahan di kamar lalu memutar lagu dan bernyanyi sampai ketiduran. Ah, betapa indahnya.

Tentu saja itu menjadi angannya saja. Sekarang dia berada di depan pintu. Melihat Nada duduk di depan piano dengan gaya sok kerennya.

“Selamat datang, Muridku. Mari kita mulai belajar piano,” senyumnya sambil mengayunkan tangannya menyuruh mendekatinya.

Mel berjalan dan duduk mau tak mau di sampingnya. Dia melihat tuts hitam putih. Agak sedikit rindu untuk menyentuhnya.

“Rindu kan? Sudah kubilang kalau sudah kenal piano akan selalu kembali padanya. Apalagi aku jadi gurumu, dobel rindu.”

Mel pura-pura mual. “Aku tinggal main aja, kan?”

Nada beranjak dari kursi membuat jarak agar Mel leluasa. “Coba mainkan satu lagu. Kamu pasti ingat kan?”

“Yang mana?”

“Sembarang. Bukannya aku udah ngajarin banyak lagu ya?”

“Iyaa,” jawab Mel acuh tak acuh. “Tapi jangan harap ya, aku udah lupa.”

“Aku maklum kok, udah buta nada dan gak bisa baca sheet. Eh, apa kamu udah bisa baca?”

“Nggak.”

“Belajar diam-diam gitu?”

“Males.”

Nada tertawa. “Memang kamu nggak pernah berubah dari dulu. Aku harap aku juga masih sama.”

Mel menyerngit. Ada yang aneh dari Nada. Dia melihatnya tapi dilihatnya Nada masih sama, hanya berbeda adalah pakaiannya rapi kemeja dan cardigannya sewarna. Tidak seperti dulu yang baju seragamnya selalu dipakainya ketika main piano.

“Kamu terpesona ya? Aku tahu aku tambah ganteng tapi tolong jangan menyukaiku. Nanti kamu kecewa,” ucap Nada sombong.

“Apa sih?” Mel terkejut ngeri.

Nada mengusap kedua matanya. “Aku hanya bercanda, Melody. Serius banget.”

Mel bergidik ngeri. “Nggak lucu tahu.”

“Aku tahu.” jeda Nada. Dia mulai serius. “Coba mainkan lagu yang kamu ingat.”

“Oke,” kata Mel mulai menekan tuts putih dengan jemari kanannya.

Beberapa detik telah berlalu. Mel menyelesaikan permainannya. Dia menunggu tanggapan Nada yang agak syok.

“Melody, kalau lagu yang lain?”

Mel menggeleng. “Aku lebih bisa lagu ini.”

“Nggak sampai satu menit kamu main, kamu bercanda kan?”

“Serius! Dua trius!”

“Astaga, permainanmu sangat buruk!”

“Aku tahu, makanya udahan ya main pianonya.”

Nada menggeleng. “Nggak bisa dibiarkan. Aku malu punya murid yang gak bisa-bisa kayak kamu. Kamu harus diajarin ulang. Dari awal.”

“Nggak!” sergah Mel. “Aku udah mainin lagu yang kubisa dan kuhapal.”

“Tapi kenapa harus lagu Indonesia Raya?”

“Kan udah kubilang aku mahir! kamu tidak ingat aku jadi paduan suara karena keahlianku ini?”

“Itu kan kamu pake pianika, tinggal tiup-tiup dan mencet aja. Dan kamu coret-coret disitu.”

“Hei! Nada Anugrah Yatra! Itu memudahkan aku ya! Lagipula terserahku main gimana. Kok maksa!”

Mel menghembuskan napas kasar. Nada sepertinya sadar bahwa Mel benar-benar kesal.

“Maaf, aku udah berlebihan. Kamu mau dengar aku main? Sebagai permintaan maaf.” bujuk Nada.

Mel mengangguk mempersilahkan Nada duduk di sampingnya. Dia bergeser agak ke tepi.

“Aku akan mainkan lagu Indonesia Raya dengan pelan. Coba kamu lihat jari-jariku.”

Mel mengangguk saja sambil melihat Nada mulai memainkan piano. Dia suka saat Nada serius main piano dan selalu kagum bagaimana Nada begitu hebatnya menjadikan musik terasa hidup dan bercerita dengan emosinya.

Dia jadi ingat masa lalu ketika Nada pertama kali mengajarkannya lagu Indonesia Raya dengan pianika karena kelasnya dapat giliran paduan suara dengan alat musik.

 

“Atur napasmu, Melody. Kalau seperti tadi nanti kedengaran kamu kehabisan napas gara-gara dikejar angsa.”

“Hei!”

“Maaf maaf, becanda. Tapi aku jujur loh. Mending kamu atur napas sebelum ke nada lain.”

Mel mengeluh. “Susah kali. Kenapa pula nggak nyanyi aja daripada pake pianika sih.”

“Pake pianika lebih seru. Aku lebih suka ini daripada nyanyi.”

“Penipu! Suara kamu bagus daripada aku!”

“Oh, iyalah. Aku kan merendah hati karena kasihan sama kamu yang selalu sumbang,” sindir Nada. Dia mengambil pianika dari Mel dan menarik selang tiup dari tangan Mel. “Coba kupratikkan. Kamu dengar baik-baik.”

Nada mulai memainkan pianika dengan serius sedangkan Melody memperhatikan alat tiup yang ada di bibir Nada. Nada tidak membersihkan dulu sebelum dipakainya, tidak seperti temannya lain. Tiba-tiba sepanjang lagu jantung Mel berdebar tak karuan.

 

Mel menggeleng menyadarkan ingatan yang tak boleh diingatnya lagi.

“Ngapain geleng-geleng? Hah… kebiasaaanmu nggak berubah ya. Nggak fokus pas aku main. Nah, coba deh main,” ucap Nada mode serius.

Mel tanpa kata langsung mencoba menekan tuts piano. Satu baris saja yang dia ingat.

Nada mendengus. “Heh! Kok makin buruk sih!”

Mel memalingkan mukanya. Berusaha mengatur raut wajahnya.

__

 

Mel menatap sheet lagu penuh dengan coretan Nada. Tulisan tangan Nada sangat rapi berbanding terbalik dengan dia. Sebenarnya Nada guru yang baik. Cara mengajarnya mudah dipahami dan setiap ada kesalahan langsung dikoreksi sampai lancar, tapi kadang keras dan seenaknya itu membuatnya malas datang belajar.

Tapi entah kenapa kalau Mel yang diajarin Nada menjadi suka bercanda dan menyombongkan diri, narsis dan dan mengesalkan. Walaupun Mel jadi bisa sedikit demi sedikit tapi sebulan belajar dengan dia ada yang muncul sebuah rasa.

“Hah.” Mel menutupi mukanya dengan beberapa lembar sheet musik.

“Kalau diingat-ingat pertemuan terakhir itu…” lirih Mel terhenti mencoba mengingat les terakhir dengan Nada. Mel ingat kenapa dia bersedia ngajarin piano. Kalau tidak salah jawabannya, ‘Aku main piano karena bosan. Tapi ngajarin kamu bikin bosanku hilang. Terus aku senang melihat kamu bersungguh-sungguh. Kadang aku iri padamu. Apakah aku bisa seperti kamu?’

Besoknya Mel tidak datang karena dia memboloskan diri ingin sehari, tapi keterusan hingga sampai dia lulus SMA. Bahkan Nada tidak pernah menghubunginya saat dia bolos seminggu. Mel ke rumah tetangganya itu lalu mendapat jawaban Nada sudah pergi untuk kuliah.

Tidak ada titipan untuknya. Entah pesan berupa ucapan maupun surat. Nada pergi meninggalkan piano dan sebuah sheet music tulisan tangan dia. Lembar lagu yang terputus di tengah-tengah. Seperti menunggu ingin diselesaikan.

“Jika aku tidak bolos saat itu apa ya yang terjadi?” tanya Mel pada diri sendiri. “Arrgh! Aku terlalu memikirkan perasaan tidak berguna. Buat apa! Kenapa pula dia muncul dengan ala slow motion movie. Ada apa dengan memoriku? Melody, move on! Kamu udah tahu jawabannya kan!”

Mel memejamkan matanya erat-erat mengatasi keresahan yang muncul setelah lama terpendam di dasar jurang.

__

 

“Kukira kamu nggak bakal datang karena di luar hujan deras,” kata Nada melihat Mel masuk ke ruangan.

Mel mengibas ujung lengannya yang kena basah, lalu ujung celananya. “Jadi libur aja hari ini?”

“Nggak dong. Aku tidak bisa membiarkan muridku semangatnya menurun. Lagipula sayang kalau kamu kembali tanpa ilmu baru kan?”

Mel menatap pakaian Nada. Hari ini juga rapi. “Kok rapi banget kamu?”

Nada melihat dirinya. “Oh, kamu sadar juga. Aku ingin menyadarkan muridku bahwa aku adalah cerminan guru terbaik. Seharusnya muridku bisa mengikuti tata cara berpakaian. Bukan tiap hari pake kaos panjang buluk dan celana training kebesaran.” Jeda Nada menatap Mel. “Aku ngomongin kamu, Melody.”

Mel memutar bola matanya. “Ayo mulai lesnya. Karena hujan jadi cuma setengah jam ya Nada,”

“No no no, kondisi apa yang membuatmu berani mengutarakan pendapat mengurangi jam belajar?”

Mel menunjuk jendela. “Lagi hujan. Sangat deras. Bisalah di diskon.”

“Seharusnya makin lama. Dua jam-”

“Dua jam?!”

“Atau sampai hujan reda?”

“Apa?! Hujan reda?” pekik Mel.

Nada tersenyum. “Jadi pilih yang mana?”

“Nggak dua-duanya lah,” jawab Mel protes.

Terdengar suara gemuruh petir dan angin kencang dari dalam ruangan. Nada beranjak membuka tirai dan mendapati dari kaca jendela tampak hujan tambah deras. Nada menunjuk itu seolah memberitahu hujan akan lama redanya.

“Gimana kamu pulang, Melody?”

“Aku pakai jas hujan. Santai lah.”

“Padahal main piano dengan background hujan petir dan angin adalah perpaduan yang bagus,” ucap Nada memperagakan jemarinya menekan tuts piano.

“Kamu nggak mau aku pulang ya? Sampai nggak mau ngurangin jam belajar?”

Nada menggeleng. Pandangannya serius ke Mel. “Aku hanya khawatir kamu nanti sakit.”

Mata Mel menyipit. “Alasan aja, bilang aja kamu suka hujan.”

Ada jeda. Mel menunggu respon Nada yang sedang memunggunginya.

“Kamu suka hujan ya?” tanya Mel lagi.

“Emm, mungkin lebih ke suara yang dihasilkan oleh hujan. Suara air yang jatuh ke tanah, daun, genteng, dan aspal. Semakin deras semakin baik karena jika kamu berteriak hanya terdengar suara hujan.” jawab Nada datar. “Tapi aku lebih suka setelah hujan. Rasanya bebas menghirup aroma seusai hujan.”

Mel terdiam. Suasana ini terasa aneh dan mengingatkannya pada pertemuan terakhir mereka. Mel ingat dia pernah bertanya pertanyaan yang mirip seperti ini tapi saat itu cuaca sangat panas.

Dia tidak terbiasa dengan sikap Nada yang seperti ini, rasanya ada yang aneh dan seperti peringatan yang muncul dari logikanya. Tapi ia urung untuk menanyakannya.

“Nada, kamu-”

“Kalau gitu aku beri kebebasan berkreasi. Terserah kamu main lagu apa, salah nada atau irama gak sesuai. Untuk hari ini aku jadi pendengar saja.” potong Nada kembali dengan senyumnya.

“Aku mainkan lagu dan kamu nyanyi gimana?”

Nada berpikir. “Kamu kangen aku nyanyi? Aku tahu suaraku bagus.”

“Aku nggak tahu kenapa kamu terlalu percaya diri.”

Nada tertawa terbahak-bahak. “Aku juga kadang tidak mengerti kenapa aku seperti ini.”

“Aku mulai ya.”

“Tunggu, kamu mau main lagu apa?”

“Tebak lah,” jawab Mel mulai menekan tuts piano.

Nada tersenyum tipis tidak menyangka akan mendengar lagu ini. Mel memainkan lagu Mengheningkan Cipta dengan percaya diri. Ini lagu kedua yang diajarkan oleh Nada setelah lagu Indonesia Raya.

Nada mulai bersuara mengikuti permainan Mel Sesekali tempo jadi cepat dan lambat tapi Nada tidak terpengaruh. Dia sangat menghayati sampai Mel terkagum.

“Teknik jari kananmu sudah bagus. Tempo bisalah disesuaikan. Aku akan ajarkan besok. Sekalian belajar dua tangan.”

Mel mengeluh.”Hah. Satu tangan sudah cukup.”

“Mau belajar Reading?”

“Nggak dua-duanya!” jawab Mel manyun.

Nada tak menanggapi Mel. Dia membuka jendela yang di mana hujan mulai menjadi gerimis, pertanda akan reda disusul suara burung samar.

“Hujan sudah reda, aku pulang dulu ya!” ucap Mel beranjak dari kursi.

“Saat itu tahun lalu mengapa kamu nggak datang, Melody?” tanya Nada datar.

Mel gelagapan, tak menyangka Nada akan membahas saat itu. “Yah, pengen aja bolos.”

“Pengen aja ya,” gumam Nada. “Tapi keterusan sampe lusa lalu.”

“Ka-kamu juga tiba-tiba nggak ada.”

Nada mengangguk. “Aku juga pergi begitu saja. Yah, salahku juga nggak ninggalin rekomendasi kamu ke Kak Dera.”

“Maksud kamu apa?” tanya Mel tak mengerti.

“Kamu lebih baik diajarkan kak Dera. Sayang kalau kamu nggak berhenti dulu, sekarang mungkin kita bisa duet piano. Karena kamu akan semakin mahir dariku. Apalagi kamu kan suka piano lebih dari aku,” jawab Nada lancar.

Mel terdiam. Alasannya ternyata itu. Dia hanya tetangga dan murid. Tidak lebih dari itu. Namun, rasanya ada yang hilang.

“Kamu lebih suka piano dari aku. Buktinya kamu bagus banget mainnya.”

Nada mengangkat bahunya. “Bukankah aku pernah bilang padamu kalau aku main karena bosan. Tapi ngajarin kamu bikin bosanku hilang. Terus aku senang melihat kamu bersungguh-sungguh. Kadang aku iri padamu.”

“Tapi kenapa-”

Nada menepuk pelan bahu kanan Mel. “Melody, kita lanjut besok. Hujan udah reda.”

Mel memandang punggung Nada sampai menghilang dari pintu.

__

 

“Opi, kakakmu Nada baik-baik saja kan?”

Mel menunggu jawaban Opi dengan gugup. Akhirnya dia bisa menanyakan hal itu setelah selesai dengan pelajaran bahasa indonesia. Opi mungkin masih SD kelas 6 tapi anak itu lebih pintar memahami situasi dan lebih peka daripada kakaknya. Mungkin dia tahu.

“Kak Mel, kakak sadar ya?” tanya Opi balik.

Mel bingung. “Sadar apa?”

“Kak Nada ada yang beda, kan.”

“Iya. Nada mungkin sama tapi entah kenapa ada yang berbeda. Dia dulu sering bercanda dan nyinyir tapi sekarang aku tak bisa membaca raut mukanya ketika dia bilang kalimat yang ambigu. Rasanya dia menutup diri ketika aku mencoba mendekatinya. Seakan dia tidak mengijinkanku tapi aku tak mau dia menjauh seperti itu. Dia kenapa?”

“Kak Mel suka Kak Nada ya?” tanya Opi seketika membuat mata Mel membelalak. Anak itu sungguh peka.

Mel tidak menghindar. “Kelihatan ya?”

Opi mengangguk. “Sangat.”

Mel menutup mukanya malu. Dia ketahuan oleh adiknya Nada. Sekalian saja tanyakan itu. “Menurutmu, Pi, Kakakmu ke Kakak gimana? Apakah sama?”

Melihat Opi diam saja, Mel melambaikan tangannya. "Nggak usah dijawab. Entah kenapa kakak nanyain beginian ke kamu.”

“Ehm, kenapa nggak tanya ke Kak Nada langsung?”

“Jika semudah itu, tapi entah kenapa nggak bisa,” keluh Mel.

“Maksud Opi tanya keadaan Kak Nada baik-baik aja. Siapa tahu dijawab.” Opi menyengir sambil menyusun bukunya ke tas. “Kalau sudah dijawab kakak bisa lanjut nanya yang lain.”

Mel menatap Opi haru. Anak segitu sudah dewasa sekali. Tiba-tiba ia ingin punya adik kandung seperti Opi.

“Oiya, hari ini pasar malam, Kakak bisa ajak Kak Nada ke sana. Siapa tahu Kak Nada mau. Opi khawatir Kak Nada selalu di rumah.”

“Dia nggak pernah keluar waktu liburan?”

“Hanya saat hujan. Entah ke mana.”

Mel merenung mengingat percakapan dengan Nada kemarin.

__

 

“Kamu telat, Melody.”

Mel berdiri di depan pintu, ragu untuk mendekati Nada yang rapi seperti biasanya. Dia mendapati raut wajah heran Nada.

“Kenapa nggak masuk?”

Mel melangkah masuk mendekati piano. Dia duduk di kursi sedangkan Nada menyandarkan lengan kanannya ke ujung piano.

“Apa Opi menyulitkanmu?” tanya Nada masih heran.

“Hah?” Mel tidak mengerti pertanyaan Nada.

“Pelajarannya susah? Mukamu muram kayak habis baca novel sad ending.”

“Hmm, iya agak susah,” jawab Mel seadanya.

“Ayo kita mulai,” kata Nada serius.

Selama satu jam Mel sungguh-sungguh belajar dan mendengarkan Nada. Nada pun tak banyak bercanda atau menyindirnya, dia sangat sabar mengajari Mel. Satu jam itu terasa terlalu cepat untuk mereka berdua.

“Tumben hari ini kamu serius,” ucap Nada setelah Mel menyelesaikan satu lagu.

Mel meregangkan tangannya. “Biasanya aku serius kok.”

“Nggak, hari ini kamu beda. Kamu masih Melody Lerina kan?” canda Nada.

Mel tidak peduli. “Karena aku sudah serius hari ini apakah kamu bisa mengabulkan permintaanku hari ini?”

“Oh, ada maunya ternyata.”

“Mau ya?” rayu Mel.

“Nggak. Pasti aneh kalau tentangmu.”

“Nggak aneh kok. Ayolah, muridmu ini sudah berlatih rajin lho.”

“Nggak.” keukeuh Nada.

Mel berpikir, ternyata Nada teguh juga. Ah, ada cara itu. “Nada, aku janji besok aku akan kayak gini. Bukan, aku akan tambah rajin dan serius. Ayolah, bilangnya kamu mau duet sama aku kan?”

Mata Nada menyipit. Masih ada curiga di tatapannya. Mel meraih kain lengan kiri Nada dan meremasnya erat.

“Nada, aku nggak akan bolos sampai akhir bulan sebelum aku kembali kuliah. Aku janji.”

Ada jeda keheningan antara mereka. Mel dan Nada saling menatap sampai akhirnya Nada menghela napas lalu melepaskan cengkraman Mel di lengannya.

“Apa permintaanmu, Melody?”

Melody tersenyum lebar. “Ayo ke pasar malam denganku. Berdua.”

__

 

Mel menunggu di depan pagar rumah Nada habis isya. Ia menepuk uang jajan di saku celana kirinya. Lalu mengecek isi tasnya. Semua aman.

“Nunggu lama, Melody?” tanya Nada sedikit membuat Mel terkejut.

“Ng-nggak. Ngomong-ngomong tumben pakai jaket?” tanya Mel berjalan duluan ke tepi jalan.

Nada mengikutinya dari belakang. “Dingin. Emang kamu nggak kedinginan. Katanya bakal hujan.”

“Tenang aku udah nyiapin jas hujan plastik. Tinggalkan payungmu, Nada.”

“Enak pake payung lah.”

“Pake jas hujan lah.”

“Payung.”

“Jas Hujan.”

“Payung”

“Jas hujan.”

Nada menyerah. “Yaudah, aku naruh payung dulu.”

Mel menunggu Nada sambil melirik isi tasnya. Tak lama kemudian Nada datang dan mereka berjalan beriringan menuju pasar malam di tepi jalan raya.

Hampir lima belas menit berjalan santai sambil kuis dadakan oleh Nada. Kadang sesekali Nada tertawa karena Mel menjawab asal-asalan. Namun Mel tak ada rasa kesal, malah rasanya ia ingin mengulang 15 menit itu.

“Aku lama nggak ke sini,” gumam Nada melihat keramaian di depannya.

“Oh, serahkan kepadaku! Aku tahu jajanan yang paling enak!”

Mel menarik kain lengan kanan Nada. Dia sadar Nada menatapnya bingung. “Biar nggak kepisah. Tuh lihat! Ramai banget.”

Nada melepas cengkraman Mel lalu ia melingkarkan tangannya ke tangan Mel. “Aku nggak mau jadi anak hilang.”

Mel tertawa. “Baiklah. Ayo jajan pentol bakar dulu di situ!”

Mereka berjalan menembus keramaian orang dan mencoba berbagai macam jajanan. Pentol bakar, cireng, cilur, sosis panggang, kentang tornado, lemang, sampai es lemon yang luar biasa asamnya. Jangan lupa Mel membeli titipan sayur dan nasi jagung favorit mamanya.

Mereka juga memperhatikan odong-odong yang sedang berputar, lalu anak-anak yang melukis dengan cat air, mainan klotok yang mengeluarkan suara khas klotoknya, hingga membeli mainan bubble stick untuk Opi.

Mel merasakan butiran air di pipinya. Ia mengusapnya lalu mendongak ke langit hitam. Langsung saja butiran air mulai mendarat di pipinya.

“Hujan, Melody.” kata Nada ikut mendongak.

Gerimis itu mulai berubah menjadi deras. Mel langsung mengeluarkan jas hujan pastik dan memberi Nada warna biru, sedangkan dia warna hijau.

“Akhirnya aman. Ayo pulang.”

Nada tak bergeming. Melody menepuk bahunya. “Nada? Ayo pulang. Udah kebeli juga semuanya.”

Mel mendapati Nada sedikit terkejut. “Nada, kamu melamun?”

“Nggak, Melody. Ayo pulang.” ucap Nada mendahului Mel.

Mel mengikuti Nada dari belakang. Hujan semakin lama semakin deras begitu pula jarak antara mereka. Cahaya redup lampu depan rumah-rumah yang mereka lewati tidak membantu banyak. Punggung Nada terlihat rapuh seperti suara jangkrik yang berbisik.

“Nada,” panggil Mel pelan.

Nada tetap berjalan.

“Nada! Nada!” teriak Mel diantara hujan.

Nada berhenti lalu berpaling ke Mel. “Kamu memanggilku?”

“Se-sebenarnya waktu itu, waktu aku datang ke studio setelah bolos seminggu, kamu udah nggak ada, tapi aku menemukan sesuatu. Dan, aku menyimpannya sampai sekarang. Itu sheet musik yang kamu buat, kan.”

Mel menatap Nada. Raut muka Nada yang dia tidak tahu artinya.

“Aku mencoba memainkannya, tapi itu belum selesai. Kamu belum menyelesaikannya.”

“Aku tidak ingin membicarakan ini.”

Mel menahan Nada yang akan pergi. “Aku merasa ada yang hilang. Entah itu not, tempoku terlalu cepat, atau emosi dibalik lagu yang kamu buat. Tapi aku merasa lagu itu hampa. Dan sejak kita ketemu lagi, kamu mengucapkan kata-kata yang aneh. Aku khawatir padamu, Nada.”

Mel merasa matanya panas. Tetapi ia tetap melanjutkannya. “Aku ingin bertanya sejak kita ketemu lagi. Aku ingin bertanya ‘apakah kamu baik-baik saja?’ tapi wajahmu seakan tidak ingin ditanya itu. Tiap hari aku mengurungkannya. aku hanya ingin tahu kabarmu.”

Nada menatapnya. Tatapannya itu tidak kosong lagi tapi ada kesedihan di sana.

“Aku tak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku akan menunggumu, Nada. Aku akan menunggumu,” kata Mel mulai menangis. Ia tidak menahan lagi dan dia akan menanti apapun yang Nada katakan.

Pandangan Nada buram, dia tahu air matanya jatuh sama seperti hujan. Bahkan tudungnya mendukung keinginan dia untuk melepaskan semua.

Mel mengenggam kedua tangan Nada. Yang dibutuhkannya bukan pernyataan suka, hanya Nada. Nada dan candanya setahun lalu dan ke depannya yang membuat hari-harinya seperti musim panas.

Suara hujan menyembunyikan isak tangis Nada. Jalanan yang basah, rumput yang berdiri tegar, angin menerpa relung hati mereka, lalu genggaman erat Nada menandakan masih ada harapan.

Iya, harapan.

“Melody, tunggulah aku,” ucap nada dengan kesungguhan hati.

Mel menahan tangisnya, Lelaki di hadapannya mengijinkan dirinya membuka pintu yang telah tertutup rapat. Secercah harapan muncul di gelapnya malam.

“Aku akan menantimu kembali, Nada.”

__

 

Jadi, menurut kalian bagaimana kisah temanku?

 

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi