Disukai
2
Dilihat
1,279
MYTHOEPIA: Sebuah Cerpen Fantasi Epik
Aksi

Mythoepia adalah sebuah negeri di mana makhluk-makhluk mitologi berkumpul di satu era yaitu Era Mytho, era manusia belum diciptakan. Penduduk asli Mythoepia disebut Mythoepian, sedangkan Penyihir Hitam bukan bangsa Mythoepian. Melalui ramalan yang telah digariskan, ia memasuki dimensi antara dunia manusia pada masa itu dan menuju era Mytho. Penduduk Mythoepia mulanya adalah penduduk yang ramah, namun semenjak kedatangan Penyihir Hitam, beberapa penduduk Mythoepia terpengaruh mantra sihirnya, tak hanya itu Negeri Mythoepia juga terkena dampaknya, kekeringan bertahun-tahun lamanya. Penduduk Mythoepia memiliki tujuh nyawa yang seluruhnya tersebar seperti kunang-kunang, berwarna biru membentuk gelang melingkar yang disebut sebagai Mytheywa. Jika, ketujuh nyawa itu telah habis, maka ia akan mati. Namun, jika nyawa masih tersisa satu, maka nyawanya akan kembali lagi setelah memakan buah Oepi, sejenis buah penambah tenaga, berbentuk bulat dan berwarna merah tua.

Ramalan menyebutkan putra Adam dan putri Hawa akan mengkahiri kekeringan panjang selama bertahun-tahun ini, yang disebabkan oleh mantra Penyihir Hitam yang mengaku sebagai Ratu Mythoepia. Garuda sang penjaga Negeri Mythoepia diketahui tengah menghimpun pasukan dan menunggu Raja dan Ratu Mythoepia di perkemahan gunung sembrani, tempat para kuda sembrani menetap. Raja dan Ratu Mythoepia haruslah berasal dari Putra Adam dan Putri Hawa. Disaat penantian mereka akan ramalan itu terjadi, Bangsa Cyclops, raksasa bermata satu dan makhluk-makhluk utusan Penyihir Hitam mempora-porandakan perkemahan di gunung sembrani. Para Kentaur, Airavata, Vanara, dan Jatayu berhamburan, membalas hingga peperangan tidak terelakkan terjadi. Garuda, saat itu belum menampakkan dirinya, ia akan menampakkan diri ketika ramalan itu benar-benar terjadi. Kedua kubu antara Penyihir hitam dan Bangsa Mythoepia hampir menghilangkan tujuh nyawa yang dimiliki setiap makhluk, hingga kubu Penyihir Hitam memutuskan untuk mundur, karena nyawa mereka hanya tersisa satu. Jatayu, keponakan Garuda, geram dengan apa yang terjadi pada saat ini, nyawanya hanya tersisa dua, ia segera mencari buah Oepi dan memakannya. Menunggu beberapa saat, hingga tenaga dan nyawanya kembali, hingga pada akhirnya, Jatayu yang lelah menunggu ramalan itu terjadi, memutuskan untuk menuju ke dimensi lain, dunia manusia.

Putra Adam bernama Maga Caraka dan putri Hawa, Tasa Caraka. Mereka tinggal sementara bersama pamannya di sebuah desa kecil. Rumah yang berdekatan dengan perkebunan dan taman yang asri penuh bebungaan warna-warni. Air sungai mengalir dengan jernih menampakkan bebatuan dan ikan-ikan yang berkejaran. Udaranya yang dingin, diselimuti kabut putih tipis-tipis membentang di antara ranting pepohonan Cupressus lusitanica. Pagi yang berkabut dan diselimuti mendung, memaksa mereka tetap tinggal di rumah. Maga lebih memilih bermain pedang di gudang tua bersama dengan Daya Matridra, anak pamannya. Tasa lebih memilih untuk membaca buku. Paman Matri Martadiputra Caraka, memiliki perpustakaan yang cukup besar di rumah yang mereka tinggali, koleksinya mulai dari buku kuno hingga buku kontemporer, berbahasa Sanskrit, Yunani hingga berbahasa latin. Tasa yang suka membaui aroma buku-buku tua milik pamannya itu, tak sengaja melihat sebuah lukisan kuno besar yang terpaku di dinding usang bersebelahan dengan rak manuskrip-manuskrip tua.

Pada lukisan itu terdapat sebuah petikan teks “Ketika kau berangkat, ambillah bintang dari ufuk timur, ikutilah cahayanya, kau akan kembali saat semuanya telah berakhir dan tak perlu ucapkan selamat tinggal” baca Tasa. Tiba-tiba, lukisan itu bergerak, terbuka tanpa ia sentuh. Ada jalan menuju ke suatu tempat yang memintanya untuk didatangi. Dikejauhan dilihatnya sebuah burung terbang menghampirinya dari dalam terowongan di balik lukisan itu. “Burung Garuda” pikirnya.

“Aku Jatayu,” jawabnya.

Tasa pun mundur, terjatuh dan kaget, melihat burung yang bisa berbicara dan bisa membaca pikirannya. “Ka-kamu bisa bicara?” tanyanya sambil menunjuk burung itu.

“Ya, aku bisa bicara. Tak salah lagi, kau adalah putri Hawa yang diramalkan untuk membebaskan negeri Mythoepia," tutur Jatayu yang melihat simbol lingkaran terbelah dengan garis tipis di urat nadi anak itu.

“A-apa maksudmu?” tanya Tasa sedikit takut, dan berdiri perlahan-lahan.

“Dimana kakakmu? Bisakah kau dan kakakmu ikut aku?”

“Kemana?”

“Kesana, Mythoepia." Mata Jatayu menoleh pada terowongan dibalik lukisan kuno itu.

“Aku belum tahu, ini terlalu mengejutkan bagiku, binatang yang bisa bicara, dan negeri dibalik lukisan ini. Ah… semuanya belum tercerna secara baik di otakku. Bisakah aku berpikir terlebih dahulu, jika aku dan kakakku siap, aku akan kesana. Tapi bagaimana caranya?”

“Baca saja petikan teks ini, maka lukisan akan terbuka, dan masuklah!"

Seusai itu, Jatayu pergi meninggalkan Tasa, semuanya belum terserap secara baik. Otaknya masih memproses kejadian yang benar-benar nyata itu, berkali-kali ia cubit pipinya, berkali-kali ia membasuh muka. Hingga Maga Caraka, kakak Tasa yang melihat adiknya berperilaku berulang-ulang itu merasa risih melihatnya. “Apa yang kamu lakukan?”

“Ah... aku hanya meyakinkan diriku sendiri, tentang apa yang terjadi hari ini," jelasnya

“Emm... aku bertemu burung yang bisa bicara, dia memintaku dan memintamu untuk membantu negerinya, Mythoepia. Tapi negeri itu di balik lukisan kuno yang bersebelahan dengan rak manuskrip tua paman. Apakah kakak mau? Semuanya tampak tergesa-gesa dan seakan tak nyata, tapi aku ingin membantu setelah semua ini tercerna. Aku ingin melihat bagaimana negeri itu, seperti dongeng, ini petualangan," tambah Tasa dengan tertarik.

“Hahh?” kakaknya menempelkan tangan di dahi adiknya itu. “Kamu tidak sakit kan? kamu baru bermimpi sepertinya, mana ada burung yang bisa bicara, itu hanya mitos, seperti mitologi Jatayu, Garuda, Airavata, Kentaur...bla...bla…bla dan binatang lainnya,” jelas Maga pada adiknya itu.

“Kakak tahu semua itu? Burung yang menghampiriku juga bernama Jatayu, aku serius, dan ia juga bicara masalah simbol di urat nadi kita.” Tasa membelalakkan matanya.

“Benarkah?" Dengan santai ia menjawab pertanyaan adiknya.

“Ayolah, kak! Aku mohon! Kita harus membantu negeri itu dan memecahkan simbol apa ini sebenarnya. Kita berpetualang ke Negeri Asing,” rengek adiknya.

“Baiklahh,” putus Maga.

 “Ketika kau berangkat, ambillah bintang dari ufuk timur, ikutilah cahayanya, kau akan kembali saat semuanya telah berakhir dan tak perlu ucapkan selamat tinggal.”

Lukisan terbuka, Jalan lain terlihat, terowongan menuju negeri lain. “Jadi ini benar-benar bukan khayalanmu?” tanya Maga pada adik kecilnya itu. Adiknya hanya mendongak seakan isyarat jawaban “ya” teruntuk kakaknya. Mereka menyusuri terowongan itu, keras yang ia pijak telah berubah menjadi daun-daun kering yang meranggas. “Wow… tidak mungkin,” takjub keduanya melihat negeri itu. Maga yang lebih memiliki pengetahuan mengenai mitologi dari buku-buku yang dibacanya. Kini melihat secara langsung. Uccaihswara seekor kuda putih berkepala tujuh milik salah satu dewa, sembrani tunggangan para raja, Vanara manusia berekor monyet, Kentaur manusia setengah kuda. 

“Jatayu!” teriak disusul lambaian tangan Tasa.

Jatayu turun dan memberi isyarat untuk memelankan suara. Banyak dari makhluk di hutan Mythoepia adalah pengikut Penyihir Hitam. Dengan segera, Jatayu mengajak mereka untuk menuju perkemahan di gunung sembrani. “Menaiki punggung Jatayu menjadi salah satu cerita yang akan terekam dalam memoriku, benar-benar keren” gumam Maga.

“Kita dimana?” tanya Maga

“Mythoepia, negeri berkumpulnya makhluk mitologi, kalian akan ku bawa ke perkemahan di gunung sembrani, tempat kalian untuk berlatih. Hanya kalianlah yang bisa mengalahkan Penyihir Jahat yang mengakibatkan kekeringan selama bertahun-tahun ini. Kalian pula yang memiliki tanda lingkaran yang dipisahkan garis tipis di urat nadi mu,” jelas Jatayu.

Disaat mendengarkan penjelasan Jatayu, tak henti-hentinya mereka takjub, berpegang pada Jatayu, mereka melihat putri duyung berkejaran di laut yang hampir menyusut. Tumbuhan yang kokoh berdiri tanpa daun dan bunga, indah tapi gersang. Namun, memasuki gunung sembrani, keadaannya berubah, tanaman dan bebunggaan tetap terjaga, hanya tempat itu yang hijau, dengan bunga-bunga dan dewi-dewinya yang berterbangan. Peri tanaman menyerbuk tanaman, Peri kupu-kupu mengambil madu.

“Kelak kalian akan menjadi Raja dan Ratu Mythoepia, bertempat di Varapat Asthana dibalik bukit itu, tempat Penyihir Hitam tinggal," jelas Jatayu dengan menoleh tempat yang dimaksud.

“Aku dan Kakakku? Jadi Raja dan Ratu?” tanya Tasa terkejut

“Iya, ramalan itu, akan terjadi,” tutur Jatayu.

“Lalu bagaimana dengan simbol di urat nadi kami ini?” tanya Maga

“Hanya Garudalah yang bisa menjawabnya," jawab Jatayu.

Mereka sampai di perkemahan sembrani. Makhluk-makhluk mitologi bertekuk lutut dengan kedatangan mereka. Rupanya Garuda juga telah mengatahui apa yang dilakukan Jatayu untuk memaksakan Ramalan itu benar-benar terjadi. Garuda melihat dari dahan pohon raksasa yang dihinggapinya. Sebuah simbol di urat nadi mereka. “Lingkaran terbelah dengan garis tipis itu benar-benar ada,” gumam Garuda. Sang Garuda mengampiri mereka. “ Sang Caraka,” gumamnya lagi. Sang Garuda benar-benar melihat dua kekuatan besar di hadapannya.

“Selamat datang di Negeri Mythoepia, Sang Caraka,” sambut Garuda.

“Kalian telah ditakdirkan untuk ke Negeri Mythoepia ini, walaupun Jatayu memakasakan Ramalan itu. Kalian telah disini, Kalian adalah 2 caraka yang berarti utusan. Simbol di urat nadi kalian adalah sebuah cakra yang tidak ada habisnya. Cakra kalian perlu diaktifkan untuk mendapatkan kekuatan yang besar. Maka berlatihlah, dengan bantuan pedang dan panah ini, kalian akan menguasai cakra yang ada dalam diri kalian," jelas Garuda.

“Tapi apakah kita bisa melakukannya?” tanya Tasa Ragu

“Tentu saja. Aku percaya itu," jawab Garuda.

Tasa Caraka dan Maga Caraka berlatih dengan keras, walaupun belum tahu ke depannya kan seperti apa, makhluk yang akan dihadapinya, mereka yang belum dewasa berperang, semuanya masih terasa ganjal. Garuda melihat perkembangan disetiap latihan mereka. Sungguh menakjubkan. Cakra yang dimiliki mereka begitu besar, bahkan bisa meluluhlantahkan negeri Mythoepia dengan sekali penggunaan cakra. Penyihir hitam mendengar kabar mengenai dua manusia yang memiliki cakra hebat itu. Ia begitu marah, Garuda mengibarkan bendera perang lagi padanya. “Aku harus menghabisi kedua anak manusia itu, tapi sebelum itu, aku harus mematikan akar dari Mythoepia, Sang Garuda," gumam marahnya.

“Layangkan perintah perang pada Sang Garuda,” titah Penyihir Hitam pada seluruh pengawalnya.

Rencana telah tersusun, Penyihir Hitam dan semua pengikutnya berangkat menuju perkemahan sembrani. Kuda sembrani yang melihat dari kejauhan dan mendengar lonceng-lonceng kereta kencana milik Penyihir Hitam, segera memberitahukannya pada Sang Garuda. Makara yang melatih Tasa di air dan Airavata yang melatih di darat pun terkejut. Keduanya pun segera bersiap walapun peperangan yang dilayangkan Penyihir Hitam itu mendadak.

Penyihir Hitam dapat merasakan cakra yang kuat dari kedua anak manusia itu, ia mengerahkan segala kekuatannya untuk mematikan salah satu cakra. Mantra dari kejauhan ia ucapkan. Tasa tiba-tiba terjatuh dari pijakan tangga air yang dibuatnya sendiri, saat berlatih dengan Makara. Air menangkapnya, terjatuh ke dalam, tubuhnya mati rasa, napasnya tersenggal-senggal, dadanya panas, air tempatnya terjatuh itu berputar, mengejutkan Makara dan Airavata, juga Garuda. “Tasa! Tasa!" teriak Maga. Maga yang hendak menghampirinya di pusaran air itu, dicegah oleh Airavata. “Jangan mendekat! Kumohon. Ini ulah Penyihir, jika kau kesana, maka kau juga akan celaka." “Tapi adiku bagaimana?” tanya Maga khawatir.

Garuda mengibasakan sayapnya, pusaran air itu pun lenyap, tubuh Tasa digendong oleh Makara menuju daratan. Tak sadarkan diri. Simbol di urat nadinya berubah putih, yang artinya cakra itu ditekan secara paksa. “Dia masih hidup,” tutur Makara. “Hanya saja, cakranya ditidurkan secara paksa oleh penyihir, dan setengah lagi kosong," lanjut Makara.

“Oh tidak, setengah cakranya kosong. Kita harus mengambilnya atau jika tidak, adikmu tidak akan terselamatkan," ujar Garuda yang mengagetkan Maga.

“Kenapa dari awal aku kemari? Kenapa? Kenapa kalian membebani kami dengan tanggung jawab yang belum tentu kami bisa? Kenapa? Kenapa juga aku mau melakukannya? Kalian bilang ini takdir, ini ramalan? Apa kematian kami juga diramalkan? Dia adikku satu-satunya." Tangis Maga dan amarahnya memuncak.

“Tasa bangun! Ayo kita pulang!" ajak Maga pada adiknya yang terkapar sekarat itu.

Garuda tidak tega melihat semua itu. Disisi lain, terompet peperangan dibunyikan. Penyihir Hitam telah tiba di perkemahan. Garuda terbang dengan cepat meninggalkan Airavata dan Makara yang menunggu Maga dan Tasa. Garuda mengepakkan sayapnya, angin menyambar semua makhluk pengikut Penyihir Hitam.

“Kembalikan setengah cakra milik anak itu," pinta Garuda dengan memaksa.

“Sang Garuda yang perkasa, penjaga Mythoepia. Apakah kau menginginkan cakra anak itu agar dia kembali hidup? Apa kau mau menukarnya dengan nyawa mu?” tanya Penyihir Hitam yang keji itu.

“Demi anak itu,” jawab Garuda memperjelas semua yang diinginkan Penyihir Hitam.

Seperti yang sudah direncanakannya, Garuda akan mengorbankan dirinya demi anak itu. Garuda tidak mengepakkan sayapnya, dan hanya berjalan. Para Cyclops membawanya dan mengikatnya pada pohon mati, disalib lah tubuhnya. Sayapnya dan kakinya diikat masing-masing. Dua puluh bulu emasnya dicabut sebagai pemenuhan ritual agar ia tidak bisa reinkarnasi kembali, sehingga Mythoepia akan tetap menjadi miliknya, Penyihir Hitam. Belati berlumur racun ditusukkannya ke jantung Garuda. Matanya yang bercahaya telah tertutup.

“Garuda telah tiada,” teriak penyihir hitam dengan puas, wajahnya pun bingar bahagia dan Mythoepia menjadi kuasanya.

Kentaur dan Airavata yang mendengar itu bersua, mereka menyerbu Penyihir Hitam walupun Garuda telah tiada. Griffin si setengah burung setengah singa setengah rajawali yang berasal dari ujung pegunungan sembrani  pun turut melawan penyihir hitam. Griffin membawa bongkahan batu-batu besar di cakarnya dan melemparkannya. Peperangan pecah, penyihir menggunakan sihirnya untuk mematikan setiap makhluk yang ada dihadapnnya. Maga teringat dengan apa yang dikatakannya beberapa saat itu, ia tersadar. Garuda telah tiada, ia mengorbankan hidupnya untuk adiknya.

“Aku akan membalas semua yang terjadi saat ini,” gumam Maga. Pedang diambilnya tanpa menggunakan tangan, cakranya membuncah. Ia menunggang Airavata menuju peperangan, dengan gagah Airavata bergerak cepat menggoyangkan tanah Negeri Mythoepia, membangunkan peri tanaman, peri hewan, peri kupu-kupu. Ia memanggilnya dengan hentakan keempat kakinya, belalainya yang panjang membunyikan suara meyakinkan makhluk lain untuk berperang. Bala bantuan tiba dari berbagai sudut. Penyihir dan pengikutnya terkepung dalam sebuah lingkaran tak bersudut yang telah dipenuhi bala bantuan.

Penyihir Hitam terkejut dengan hal ini. Airavata menerobos, Maga dengan cakranya mengayunkan pedang pada penyihir, pertarungan sengit antara anak Adam dengan Penyihir Hitam, disusul dengan peperangan semua makhluk. Peri penyerbuk tanaman menumpahkan serbuknya ke mata Cyclops, Kentaur menendang dengan kaki kudanya dan mengayunkan pedang pada setiap musuh yang dijumpainya, Vanara menutup mata setiap pengikut Penyihir Hitam dan mematahkan lehernya. Cindaku, setengah harimau setengah manusia mencakar-cakar setiap musuh yang ada dihadapannya. Maga mengeluarkan seluruh kekuatannya, menyerang penyihir dari empat arah dengan empat elemen bersamaan air, udara, tanah, api. Penyihir masih bisa menangkal segala yang diberikan padanya. Pedang biru roh naga yang dipeganganya bersinar. Maga menyalurkan sebagian cakranya di pedang itu dan menusukkannya pada dada Si Penyihir Hitam.

“Agrhhhh!" teriak Penyihir kesakitan. Tubuhnya mengisut, lenyap menjadi asap. Maga kelelahan dan ambruk di tanah. “Hufhh.. hufhh,” embusan napasnya serasa lega dengan apa yang telah terjadi. Semua telah usai. Hujan membasahi tanah Mythoepia setelah sekian lama. Aroma tanah basah itu kembali tercium. “ Selesai. Semua telah usai,” tutur Maga.

Kelelahan Maga dikagetkan dengan suara dari belakang.

 “Kak Maga!" teriak Tasa dari belakang pundaknya yang berjarak cukup jauh. Ia membalikkan tubuh dan melihatnya, Tasa, adiknya. Matanya membelalak tak percaya. Ia menanggalkan pedang biru itu, ia berlari dengan cepat seperti kilat dan memeluk erat adik satu-satunya itu.

“Aku pikir telah kehilanganmu selamanya. Aku pikir kita tidak akan kembali seperti dulu. Aku tidak tahu harus bagaimana jika hanya aku yang kembali. Aku tidak harus menjelaskannya pada paman, ayah, dan ibu," tuturnya. Semakin erat ia peluk adiknya itu.

“Aku baik-baik saja, Kak. Semua berkat Garuda dan juga Kakak,” tutur Tasa

“Simbol kita, Kak. Bercahaya.” Tasa melepaskan pelukan kakanya itu.

“Ah… iya, Phoenix." Phoenix muncul, karena panggilang kedua simbol di urat nadi putra Adam dan putri Hawa itu. Phoenix terbang menuju Sang Garuda yang tersalib di pohon tua, walaupun bulu emas Sang Garuda telah dicabut, tapi Phoenix akan menggantikan dengan dirinya, agar Sang Garuda dapat hidup kembali.

“Phoenix, burung api itu akan meneteskan air matanya untuk Sang Garuda,” tutur Airavata.

Phoenix meneteskan air matanya pada Sang Garuda dan ia hidup lagi, sementara phoenix menjadi abu dan muncul Phoenix kecil, yang kini terbang bersama Sang Garuda menuju Tasa dan Maga.

“Terima kasih Putra Adam dan Putri Hawa, kalian telah menyelamatkanku melalui Phoenix dan menyelamatkan Negeri Mythoepia ini,” ucap Garuda.

“Terima kasih juga Garuda, maafkan aku atas semua yang ku katakan tadi, aku minta maaf sekali,” tutur Maga.

“Tidak apa, aku mengerti perasaanmu saat itu Maga. Kini semuanya telah usai. Kini waktunya kembali ke Varapat Asthana.”

Sekali kibasan Garuda, semuanya seperti sedia kala. Mereka melakukan perjalanan menuju Varapat Asthana, tempat Raja dan Ratu Mythoepia. Semuanya damai, pohon-pohon tumbuh indah dengan daun dan bunga yang merekah. Setiap hari ia lihat bunga berlari kian kemari diikuti kupu dan kumbang. Air laut yang menyusut, kini telah pasang yang masih tetap menampakkan putri duyung yang berkejaran. Garuda kembali ke pegunungan sembrani, ia akan datang apabila dibutuhkan. Tasa dan Maga memutuskan untuk kembali ke dunia manusia.

Lukisan terbuka dan tertutup kembali untuk selamanya. Mereka sudah beberapa hari berada di Mythoepia, tapi ternyata hanya lima belas menit ia meninggalkan dunia manusia. Kini, liburan singkatnya telah usai. Ayahnya, Krisna Martadiputra Caraka dan Ibunya, Sophia Caraka telah tiba, menjemput mereka untuk pulang. dan suatu saat ia akan kembali ke rumah itu, rumah pamannya. Rumah pamannya akan menjadi kenangan tersendiri, dengan petualangan di Negeri lain yang tak pernah dijumpainya di dunia manusia.

Maga mengingat pesan Garuda sewaktu akan kembali. “Simbol di urat nadi mu dan adikmu akan tetap ada sampai Mythoepia kelak tidak ada. Selama simbol itu masih ada, maka kau akan tetap kembali kemari, Mythoepia bagaimanapun caranya dan dimanapun tempatnya.”           

           

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@dikaaa : Terima kasih banyak. Terima kasih juga sudah mampir.
aku suka banget sama cerpen ini
Rekomendasi dari Aksi
Rekomendasi